Selasa, 08 Juni 2010

"The Night Queen Of ELLENA

puspa prasasti aji
Aku genggam terus sebuah asa, yang terus memenuhi hati ini. Asa yang kadang menyiksa dan menyisakan ketidak tahuan, bila aku dihadapkan pada temen sekelasku,Ellena. Terus saja cewek caem ini mengintai di balik tepi hatiku, mungkin pula saat alam tersenyum lahirlah cewek ABG ini.

Gadis berambut model jadul, terurai hingga sebatas pinggangnya, dengan bingkai kacamata yang terus menghiasi wajah ayunya, dan dibalik itu sepasang mata anggunpun sempat menorehkan sebuah bilik di sudut hati ini. Aku coba hadirkan seabreg kembang setaman untuk menggantikannya, namun tetap saja jiwa ini terbelah hanya untuk dirinya. Ellenapun terus terbujur dingin, bila aku terus membayanginya, hingga akupun menjadi semakin tak mengerti, ataukah hanya emosi hati ini yang membelitku. Saat rampungnya UHT di kelas sebelas IPS, .

Ellena terus saja berhias dengan senyuman happy di wajahnya. Baranghkali saja aku menemukan saat yang tepat, agar hati ini tidak bergayut pada bayang saja. Maka lantas sebuah appoinmentpun aku lontarkan. Saat dia di perpustakaan, dan entah wajah yang ayu kaya rembulan tanggal 15 itupun menjadio merah, dengan sedikit rona warna merah jambu di pipinya. Baru kali aku ngliatin wajahnya yang paling kelihatan ayu itu. Atau memang dia harus marah terus, agar aku dapat melihat rembulan itu, dan terkadang sorot mata di balik kacamatanya itu menyorotkan sebuah protes keras akan keberanianku, mencoba menautkan bilah hati ini. 
“Aku nggak suka acara kaya gitu-gituan, Rud. Aku lebih suka di rumah aja mbantu mami” sebuah protes dia sodorkan pada aku. 
“Nggak masalah kan, Cuma acara modelling untuk Best of The Best Ratu Semarang, kamu kan suka acara kaya gitu, kan ?” 
“Eh. . .darimana kamu tahu aku suka itu” 
“Biasanya kan kalau cewek suka acara kaya gitu-gituan, aku pengin ngliatin aktiongnya para finalis” akupun coba nggak mau nyerah begitu saja. Habis cewek kaya dia, terus-terusan aja banyak cowok yang diatas aku berusaha ndapatin dia. Maka akupun pengin kaya Rudy yang sebenarnya.

“Maafin ya. Aku nggak suka ngliatin acara kaya gitu” 
“Sekali kali dong Ell, kamu kan habis tegang belajar UHT ini” 
“Ya biarin ini kan urusan aku sendiri 
“ wah galak juga cewek gedongan ini. Aku jadi habis, tapi tetap aja berpikir seribu kali untuk menundukan hatinya yang kaya batu karang lautan. 
“Sekarang kan lagi mode rambut jadul, makanya nanti juga ada seleksi The Quen of Gratefull Performance” 
puspa prasasti aji
“Apaan itu” “Ya seleksei casual model khusus untuk cewek yang penampilan alami, model jadul dari mulai dari kacamata, rambut, gaun dan nggak tahu ah...aku bukan pakar penata rambut dan model, yang tahu kan kamu” aku berhasil membuat dia mulai tertarik, seringkali wajah yang caem kini sering kali berada di depanku.

Matanya yang tadinya agak serius, kini mulai memberikan sorot yang exciting, mulai aku melihat bunga mawar merah jambu dengan semerbak menghiasi ruangan hatiku.
“Eh Rud, kamu tahu dari mana ?. Kok tahu segalanya, emangnya kamu juri atau pemerhati masalah modeling” 
“Kebetulan Mbak Reni, kakaku sering jadi juri da punya agency untuk training calon modeling” “Jadi kamu mau promosi” 
“Ya nggak juga Ell, Cuma barangkali kamu tertarik, minimal kamu ngliatin dulu, ntar kalau tertarik aku ajak ke kakaku, tapi aku so sorry lho Ell”
“Ya nggak apa-apa” 
“Maka Ell, niatan aku mau ngajak kamu ngliatin acara model malam ini, mumpung UHT kita udah rampungan, nanti juga aku kenalin sama model-model nasional” 
“Aku malu Rud” “Ngapain malu, masa cewek kaya kamu pakai minder segala sih Ell” “Ngenyek, aku kan anak kolong “ 
“Kamu anak gaul kok Ell, Cuma kadang kamu tertutup nggak seneng curhat” “Kamu tahu dari mana”
“Buktinya tadi kamu keki sama aku”
“Sekaarang sudah nggak kan ?”
“Jadi nggak marah, kalau aku ajak ngliatin finalis modeling, berpose di Cat Walk” “ Oke deh Rud, kamu bisa kerumahku ntar sore” Langit sekarang menjadi runtuh berhamburan menerpa hatiku, meski masih tetap memberikan biru indahnya,

Sementara rumput hijau di sekeliling sekolah, yangh tadinya bisu mendingin, kini mulai bergoyang di terpa angin kemarau. Hati yang tadinya diterkam kesunyian, kini menggeliat menebas habis kebisuannya Xenia yang keren yang aku pakai njemput Ellena, menjadi saksi akan mekar bunga, apalagi kini Ellena telah berada di sampingku. Aku lewati setiap jalan penuh lampu warna-warni menuju malam final pengukuhan medel The Best of The Best. Ellena sudah bukan Ellena yang aku dekati tadi. Kini dia adalah The Prince of Paradise yang akan memiliki malam ini, akupun sudah merasakan terbang memenuhi setiap penjuru langit bersama Ellena. “Jadi kamu sering ngliatin acara kaya gin Rud”
indah mahanani
“Nggak juga Ell, palin kalau disuruh nemenin Mbak Reni”
“Lama lama kamu kan tahu modeling Rud”
“Aku nggak suka kok Ell, Cuma kasihan aja sama Mbak Reni, apalagi kalau butuh ganterin custom untuk model”
“Kamu seneng dong Rud, punya kenalan model anak gedongan, yang cuakep-cuakep” “Ah biasa aja, Ell. Kalau udah sering ketemu rasanya nggak ada apa-apanya, paling Cuma tampilannya yang keren”
“Ah kamu sok idealis, kalau aku lihat kamu, kayanya suka punya temen yang gedongan dan caem” “Penginya sih kaya gitu, Cuma mereka nggak bisa jadi temen yang bener-bener Ell. Nggak kaya kamu “
“Ah ngaco kamu” sahut Ellena dengan wajah tertunduk dan memerah semua rona wajahnya, seberkas yang bada di hatikupun kini aku sodorkan untuk dirinya. Barangkali dia juga mau aku jak untuk mengantarku terbang menuju semua penjuru langit. Memang malam ini adalah The Night of Ellena.

Sekali dia memandangiku dan kedua tatapan mata berbinarpun saling bertaut, sama seperti hati yang mulai mekar di serambi malamnya Ellena. 
“Ellena, kamu senengkan melihat acara ini” Senyum manislah yang menjawab pertanyaanku, sekali sekali Ellenapun terlena dengan kata hatinya, aku tahu dari sorot matanya yang nggak lepas dari catwalk di depannya, barangkali dia lagi belajar gaya para model yang punya reputasi seabreg.
“Aku suka Rud, lain kali aku ajakin lagi ya” “So pasti princess”
“Apa maksud kamu” “Malam ini kamulah ratunya dan kini menjadi ratu di hatiku” aku coba untuk ngomon apa adanya.
“Aku Ellen Rud, anak biasa-biasa aja, nggak seperti lainnya. Nanti kamu nyesel punya temen aku” Tanpa ada jawaban secuilpun dariku, hanya aku rapatkan tempat duduku lebih dekat lagi dengan Ellena, dan diapun hanya memandangku dengan sendu namun dibibirnya masih menyisakan senyum keindahan. Dan malam inipun menjadi “The Night of Ellena”.

Senin, 07 Juni 2010

Kembang Layu Elsa

puspa prasasti aji
Aku perhatikan semakin ganjen saja Elsa bertingkah di depan cowok-cowok gaulnya, berpose layaknya artis sinetron menambah dunia dan seisinya maunya runtuh. Apalagi bila dia melempar sedikit senyum tipis, jantung yang aku tanam dalam dada ini semakin menderu, menyuruhku untuk segera memiliki kembang mekar ini. Guratan wajah Elsapun makin jelas saja tergambar di halaman kalbuku. 

Namun dia tetap saja Elsa, meski hati yang aku miliki tetap saja memberontak, untuk segera menikam keangkuhannya. Ataukah hanya gaya hidup Elsa saja yang selangit, yang masih asing bagiku, yang bertolak belakang dengan gaya hidup aku yang dari kota kecil. Sejauh kalbu ini merenung, akupun masih ingat betul teori Pak Burhan, dosen Pengantar Ekonomi yang suka bicara dari hati ke hati dengan semua mahasiswanya, “Gaya hidup modern bukannya berasal dari kota atau kampung, kaya atau miskin, tapi dari pola pikir intelektual. Kamu kamu semua kan komunitas intelektual. Apa nggak ada menteri lahir dari desa, hampir semua petinggi negara lahir di desa”. 

Sebuah kekuatan baru mulai tertetes di sanubariku yang mengering dikungkung kurangnya pd. Sesaat semua mahasiswa bersorak ceria, mirip anak TK, kala diumumukan bahwa Pak Hardiman dosen statistik tidak hadir pada sore kali ini. Sementara Elsa di tengah keceriaannya terus saja didekati sama cowok cowok beken kampus, yang nota bene bertampang gaul, gedongan dan difasilitasi mobil untuk kuliah. 
Sedangkan aku hanya ingat pesan emak, tiap aku mau berangkat ke Jakarta, setelah mudik di Purwokerto, untuk tekun belajar sehingga bisa meraih sarjana ekonomi dan dapat kerjaan yang mapan, untuk membantu studi adiku-adiku. 
Akupun menyadari semua itu, namun tetap saja hati, yang menggelindingkan ego yang tak tentu arahnya, menjerit untuk tetap memiliki Elsa. Meski hanya selintas beberapa saat hasrat itu menderu, karena aku tahu bahwa Elsa sebenarnya adalah mahasiswi yang santun, baik dan tekun belajar. Hanya aku saja yang tak mampu mendekati. 

Semester demi semester aku selesaikan dengan prestasi nilai yang baik, karena tekun dan aktifnya aku belajar, emakpun bertambah senang. Namun semakin pula aku kehilangan akal untuk mendekati Elsa, yang tambah seronok dan menorehkan bunga kampus di tengah cowok yang berlabel high-class, hampir tiap hari setelah selesai kuliah Elsa tak ubahnya piala bergilir bagi temen-temenku, yang menyodorkan mobil mewah dan doku sekedar mejeng sepanjang warna warni lampu kota Jakarta. 
Istriku
Akupun menjerit pilu, semoga gadis baik dan santun itu segera mengukuhkan hatinya agar mampu membawa diri di tengah pergaulan kumbang kumbang kampus yang haus akan madu. Apakah dengan cara begini Elsa akan menemukan diri dan segera menjadi cewek dewasa, selalu saja kata hai seperti itu terselip dalam lubuk hatiku, ataukah karena aku saja yang tidak mampu membuat egonya Elsa menjadi runtuh. Namun tetap saja Elsa tidak mampu mengendalikan diri dan kehormatannya, bahkan sekarang menjadi buah bibir kampus, bahwa harga diri Elsa hanyalah sebatas mobil mewah dan pub bahkan hotel berbintang untuk bermalam beberapa hari. 

Pada siapa lagi aku harus berontak, meski amarahku telah menyetuh ujung kepala dan menyumbat tenggorokanku, namun kemana kepalan tangan aku tujukan. Akupun mulai menelisik tentang Elsa, lewat Ivan yang hanya sekedar kenal saja meski telah menjadi temen kuliahku selama 4 tahun. “Gokil mau apa kamu nanya tentang Elsa, apa mau booking. Ah kamu belajar saja yang rajin, biar jadi menteri” “Nggak gitu Van, Elsa kan orangnya baikan sama aku, aku hanya kasihan, dia sekarang jarang aktif di kampus” “Eh Rudi, kalau kamu kasihan sama Elsa, kamu nggak bakal mampu dekat dengannya, lagian Elsa nggak pernah tuh crita tentang kamu” “Jelas dia nggak bakalan crita tentang aku, karena aku sama dia nggak ada apa-apa” 
“Ya udah, kalau nggak ada apa-apa, ngapain kamu kasihan dan pake tanya-tanya segala !” 
“Jangan gitu Van, aku memang anak katro, bukan gedongan kaya kamu, tapi aku juga temen Elsa, aku berhak tahu, karena dia dulu di semester satu dan dua, satu kelompok belajar sama aku. Toh dia nggak nolak buatin tugas-tugas dosen, bahkan dia yang sering nolong aku” 
“Terus kamu mau nanyain apa?” “Cuma sekarang dia kok jarang di kampus, ada apa? “ 

“Kamu kangen ya, udah deh nggak bakalan kamu bisa ndapetin dia, Tanya saja langsung sama Elsa, habis perkara !” “Ya udahlah Van, terserah kamu mau ngomong apa”

“Ya udah sana pergi,” Pantas saja Elsa terasa bukan Elsa yang dulu, karena gaul dengan cowok gedongan yang angkuh. Mudah-mudahan aku bisa merubahnya dan menyadarkan, karena Elsapun bisa menjadi Elsa yang baik seperti dulu, bila ada cowok yang mampu menjadi curhat hatinya. Aku semakin yakin kalau aku bakal meruntuhkan kebinalan hatinya. Toh aku tidak lama lagi lulus dari kampus ini, sementara Elsa masih memiliki mata kuliah yang belum lulus, semoga waktu yang sempit ini bisa aku manfaatkan untuk mengembalikan Elsa yang ingin aku miliki, demikian kata hatiku terus saja membara di tengah jantung hatiku. 

Sore hari Jakarta diguyur gerimis sejak pagi, maka tak biasanya kota besar ini menjadi agak lengang. Mungkin sebagian besar warganya memilihj untuk tinggal di rumah ketimbang menghabiskan hari Minggu harus menembus dinginya gerimis ini. Hanya aku saja yang memang memiliki tekad untuk meluncur ke tempat kos Elsa, semoga saja dia belum mudik ke Bandung. Pintu kamarnya belum tertutup rapat, sehingga aku tidak repot repot untuk mengetuknya, sementara dari dalam kamarnya aku dengar senandung kecil yang dinyanyikan Elsa sempat membuat aku tak kuasa melangkah lebih dekat lagi kea rah pintu kamarnya. 

Beruntung Elsa telah mengetahui keadatanganku, Elsa menyambutnya dengan roman muka kaget dan masam, lantaran hanya aku yang datang. Pipinya memerah, sorot matanya tidak berani lagi memandangiku. Hanya sebuah ucapan kecil saja yang dia ucapkan, yang menyuruhku duduk di ruang tamu. “Kamu nggak mudik, Rud” “Ah enggak, aku mau nyiapin ujian srkipsi minggu depan “

“Selamat ya Rud, kamu hampir lulus, moga-moga aja berhasil” 

“Ya harapan ortuku di kampung kaya gitu” 

“Kok kaya dikejar hantu aja, kamu hujan- hujan gini meluncur ke sini, Rud”

“Kamu masih nyimpen file tugas kelompok kita yang dulu enggak, Els!, aku lupa naruh dimana. Lu kan dulu rajin ngeprint. Kalau bisa aku pinjam filenya” 

“Nggak tahu di mana Rud, aku nggak pernah lagi punya file-file kaya gitu” “Di komputermu ?” “Entah Rud, aku jarang buka laptopku?” 

“Tapi ada kan?, coba kamu buka ?” 

“Nggak tahu tuh, Rina,,dah beberapa bulan ini pinjem laptopku, coba dong di laptopmu ?” 

“Aku nggak punya laptop, aku pinjam kampus kalau butuh computer?” 

“Maafin ya Rud, kamu jauh-jauh ke sini nggak bawa hasil” “Kamu nggak punya salah kok Els, aku masih punya buku di rumah” 

“Oh ya kamu mau minum apa?” “Kok repo-repot , nggak usahlah aku cuma sebentar, Kamu masih baikan sama aku ya Els, kok kamu jarang datang ke kampus lagi” 

“Nggak tahu tuh Rud, aku sekarang malas untuk kuliah” 

“Ah kamu bohong sama aku, aku yakin lantaran kamu sekarang banyak bergaul dengan temen-temen gedongan yang norak itu, kan ?” 

“Apa aku salah bergaul dengan mereka Rud”

“Kamu udah tahu jawabanmu dari dalam hatimu sendiri, maafin aku Els, aku nggak mau nyampuri privasimu, tapi aku cuma kasihan melihatmu” 

“Emangnya ada apa denganku, Rud !, aku baik baik saja kok Rud” 

“Ya sukurlah kalau kamu baik-baik saja, makanya paling tidak kamu bisa wisuda bareng aku, kalau kamu serius belajar. Aku Cuma menyayangkan lho Els, dulu kamu satu kelompok belajar denganku. Di perpustakaan kamu paling aktif, sampai nilaimu lebih baik dari aku. Aku mengakui kamu lebih segalanya dibanding temen cewek lainnya, tapi sekarang kamu kedodoran. Maafin aku ya Els, ini hanya sekedar saran dari temen kamu” 
“Ah nggak apa-apa Rud, aku nggak marah. Sebenarnya aku juga sering ditanya papa dan mama, kapan aku wisuda, tapi karena aku punya kesibukan lain”

“Yah orang memang punya kesibukan sendiri-sendiri Els, aku juga nggak nyalahin sama kamu. Udahlah Els, aku tak pulang dulu” “Kamu punya acara penting kok buru-buru !”

“Nggak,, aku Cuma mau pinjam tugas kita yang dulu dan aku Cuma pengin nulung kamu, kalau bisa kita wisuda bareng sama seperti kita dulu d perpus aktif bareng” “Ya tunggu sebentar to Rud, aku pengin curhat sama kamu, siapa lagi temenku yang peduli sama aku” 

“Tapi kamu banyak acara kan?” “Ya banyak” “Itulah yang aku takuti Els, aku takut ngganggu acara kamu” “Kamu mau kan ngantar aku jalan jalan hari ini ke mana aja. Please Rud !”

“Aku nggak bawa kendaraan, Els, aku naik bis kota tadi “ “Pakai motor aku aja, kita pergi entah kemana terserah kamu aja” “Kok tumben, apa something wrong Els” 

“Yah begitulah, Rud. Aku mulai panik, temen-temenku udah mau wisuda, padahal, kreditku masih banyak yang belum aku selesaikan” “Nah itu baru Elsa, yooo kita berangkat” Aku cuma menuruti selera Elsa saja kala dia minta kita ngobrol di rumah makan khusus bakso kesukaan dia, tempatnya sungguh romantis. Cocok buat curhat si Kembang Wangi tambatan hatiku, yang selama ini aku hanya bertemu dengan Elsa di episode mimpi hidupku. 

Aku tahu pasti, bahwa Elsa adalah bunga layu, yang telah direguk sari madunya oleh banyak kumbang liar. Namun Elsa tetap elsa, aku tidak perduli apapun keadaanya. Karena dia juga manusia, toh yang penting dia mau menyadari masa lalunya dan masih memiliki niatan yang baik untuk menggapai masa depan dia entah dengan siapa dia melangkah. Sepatah demi sepatah kata curhat dari mulut Elsa mengalir bagitu saja, tapi aku sama sekali tidak mendengarkan, karena aku tahu semua sebelumnya, dan menyadari semua penderitaan hatinya.

Hanyalah harapan yang begitu besar untuk memiliki yang membuat Elsa tanpa sedikitpun noda di depanku. “Mungkin saja kamu muak mendengar curhatku,,,atau kamu telah mendengar tentang aku dari temen temen kampus, Rud” 

“Nggak tahu Elsa, bagiku kamu curhat apa nggak itu sama aja” 

“Maksu kamu” “Kamu masih tetap Elsa yang dulu, temenku yang sering nulungku, kamu sering ngeprinkan tugas untuk aku dan banyak kebaikan lainnya, karena aku nggak punya computer, karena aku mahasiswa dekil dari udik yang nggak punya apa-apa, kamulah yang paling tahu keadaan ini. Sekarang kalau kamu seperti ini, akupun tidak memandang lain tentang kamu” 

“Ah yang bener aja Rud, jarang aku temui pria seprtimu, aku kehilangan kau Rud, kalau kau wisuda dan kembali ke Purwokerto “ Elsa menyampaikan kepediahan hatinya sembari bergayut di pundaku. “Tapi masih ada yang kurang Els”

“Apa itu Rud” “Kamu nggak bisa aku miliki, nggak mungkin kamu mau dengan cowok dekil kaya gini” Elsapun hanya meredupkan matanya, wajahnya disodorkan di hadapakanku, dan sebuah ciuman kecil aku dapatkan. Mesti selintas namun berarti bagiku, inilah Elsa yang bertahun aku dambakan. Aku bisikan ke telinganya “ Els, aku sayang….Belum sempat aku selesaikan, Elsapun membalasnya dengan ciuman yang lebih bergairah.

Cukup Hanya "SAY HALLO"

Inilah yang dinamakan hidup, bila hati inipun harus selalu berada diantara apa harus aku gapai, atau sebaliknya apa yang harus aku jinjing meski suatu kehampaan, Maka malam selalu aku biarkan agar bertaut dengan kokohnya bibir langit.
Kala bintangpun mencoba untuk melihat buku harian di sudut hatiku, namun aku tengahi dengan sorot mata yang mampu merobohkan ketegaran penjuru langit. Deru dan debu perjalanan hidup ini telah aku sampaikan kepada semua yang masih menyimpan hati, lantaran pula jiwa ini harus meniti pada kodrat yang tergambar di tangan, dan pada seribu ilalang yang memekikan kegetiran ini.
Meski aku ganti dengan gambaran yang berhias kembang warna-warni. Namun tetap saja jiwa ini harus mereguk hasrat. Ketika aku lukiskan dengan tinta yang menggambar suatu kebisuan hanyalah ada gambar wajah manis, yang berkulum ketidak-tahuanku, sempat aku paduka wajah itu dengan renda warna jingga, agar kokoh menghiasi dipinggir kanvas.
Namun wajah itupun menukik dan terbang menembus pekat malam. Sejak saat itu akupun tak berani lagi melihat malam, yang sering kusaksikan bersama dengan badai, deru angin malam yang akan menghempaskanku ke pinggir kegelapan malam. Namun wajah manis masih aku saksikan ketika ruang dadaka meradang yang ingin merindukan isi dunia ini.
“Pras, aku sendiri tak tahu harus berkata apa!”. Satu demi satu kata masih aku ingat, apa yang memang harus terlontar dari mulutnya,
“Hanya sebatas apa yang tersimpan di hatimu, itu saja sudah cukup Tyas !”. Aku jadi bertambah tidak mengerti mengapa ini pula yang aku sampaikan pada Roro Tyas di sebuah senja di tepi padang ilalang, di sudut desa.
“Tapi, aku memang tidak tahu, apakah harus seperti itu Pras ?’
“Tyas !, aku Prasetyo, aku bukan laki-laki yang sembarangan melangkah, apa yang harus aku rengkuh”
Tak ada lagi, jawaban yang datang dari mulut Roro Tyas, demikian pula mulutku ini bagaikan dibelenggu besi baja, hanya diam yang mampu aku lakukan,
Roro Tyaspun hanya mengamati jalan desa yang ada didepanya, sambil mengajaku pulang ke rumah, karena senja telah menapaki wajah langit. Semilir angin gunung mulai menerpa tubuh kami berdua, langkahpun menjadi bertambah cepat. Meski aku menginginkan pertemuan ini terus saja hingga di penghujung malam.
Haripun berlari menyongsong datangnya bulan, dan bulanpun menautkan pada tahun, hingga pada suatu pagi mentari kembali menampakan keceriaanya, menghangatkan sawah yang menguning, kerbau dan sapi yang melenguh, gemercik air sungai di pinggiran rumah. Aku sambut pagi ini dengan asa masih tergenggam di tangan, untuk mengeti lebih jauh hati Roro Tyas,
Sementara tegarnya Bukit Barisan sebatas mata memandang, meninggalkan kesan mencibirkan hatiku yang tidak sekokoh bukit itu. Namun aku tak perduli mesti Tyas harus berkata apa. Inilah kehidupan, yang harus dihadapi dengan kelapangan dada.
“Tyas, coba kamu lihat sebentar lagi kita akan panen raya, semua petani di tanah Minang ini akan berhasil musim ini” aku sodorkan wajahku dengan senyum ceria, agar Tyas juga mampu sepertiku. Bersatu dengan keceriaan pagi di tanah Minang. Keceriaan sepanjang hari di tengah menguningnya padi, hingga terasa mentaripun mulai condong ke barat.
“Tapi aku nggak suka panen ini, Pras !”
“Ah…kau bercanda, Tyas.
“Sungguh, Pras !, Aku serius, keinginan Bapak sudah nggak bisa ditahan lagi” “Keinginan tentang apa? Aku harap tidak ada hubungan dengan cinta kita, Tyas!”
Jantung yang ada di dalam dada ini terasa ditimpa beban yang berat, sehingga terasa sesak. Rasa was was kini menyelmuti hati, seiring dengan denyut nadiku yang menderu tidak teratur.
Pandanganku mulai nanar, melihat wajah Roro Tyas yang menegang, berhias kegelisahan hati dan sorot mata yang hampa, tentu saja memberikan isarat bahwa sesuatu akan menimpa tali hati yag selama ini lembut, penuh gambaran kehalusan insani. Mestikah harus direnggut oleh sesuatu.
“Itulah yang selama ini aku takutkan, Pras!”
“Takut, takut tentang apa, Tyas?, Serahkan pada aku!”
“Ini menyangkut tentang bakti anak kepada ortu, bukan masalah yang harus kamu tangani. Aku sendiri tidak tahu, harus berbuat apa”
“Aku harap kau mau jujur padaku, Tyas”. Lama kedua mata remaja yang memiliki dunia itupun hanya saling pandang, hanya saja mata Tyas mulai basah, pertanda diapun berniat melontarkan kata hatinya pada Prasetyo, pemuda desa yang lama dia kenal, yang hanya memiliki segenggam asa, untuk menapaki kehidupan mereka berdua kelak. “Bapak menyuruhku segera ke Jakarta, untuk melanjutkan studi di Jakarta, aku harus kuliah Pras. Bapak juga berniat mempertemukan semua saudara bapak Ibu yang sekarang masih di Jawa. Entahlah Pras aku tidak berdaya lagi.
Memang sudah lama Bapak rindu dengan saudara saudaranya di Jawa. Kamu kan tahu bahwa Bapak dan Ibuku brasal dari Tanah Jawa”
“Lantas aku harus bagaimana, padahal waktu panen tinggal beberapa hari?” suarakupun mulai tersendat, Sementara angin tenggara mulai bertambah kencang menimbulkan suara daun padi yang semakin nyaring bergesek.
“Biarkan saja aku yang menangis, Pras, kamu kan laki-laki. Aku sudah tahu persis tentang ketabahan kamu”
“Tapi apa yang dapat aku lakukan di sini tanpa kamu”
“Tapi juga aku harus bagaimana?, kita remaja desa yang biasa berbakti pada ortu, yang biasa hidup diatas apa yang kita miliki. Aku harap engkau bersikap dewasa, sama seperti sikap kamu pada adik-adikmu”
“Tapi, ini masalah lain, Tyas”
“Aku yakin pada diri Prasetyo masih sanggup untuk menghadapi ini semua, meski betapa menderitanya sebuah penantian, akupun akan kembali pulang setelah selesai kuliahku”
“Aku percaya sama kamu Tyas, aku belum pernah menjumpai kamu berbohong, yah…sudahlah, kita hanya sesuatu yang belum memiliki apa-apa, meski berat rasa hatiku bila harus jauh dari kamu”.
“Apa aku juga tahan menerima ini semua, Pras !. Aku seorang wanita, Pras!, yang memiliki hati yang lemah. Tapi masih terbesit di hatiku untuk menyongsong masa depan di jaman sekarang. Pras, dewasalah, tunggulah aku sampai aku pulang”.
Suara Roro Tyaspun melemah, pipinya sudah terbasahi air mata. Kini wajah ayu itu telah terbenam pada Pras, yang tiada seberapa kokohnya.
“Pasti, Tyas !, aku hanya pemuda desa, hanya mengerti sawah dan lading, hanya sepintas punya harapan untuk merangkai masa depan bersamamu, namun kini kau pergi”
“Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, aku hanya sementara di Jakarta”
“Tapi bagiku sama saja?”
“Kenapa Pras ?”
“Tentunya Bapak Ibumu akan melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya menyekolahkanmu ke universitas “
“Aku harap tidak, Pras. Aku akan bersikeras agar Bapak Ibu mau menerimamu”
“Ah…itu masalah nanti, perjalanan hidup kita masih panjang. Sudahlah, kita pulang saja, hari mulai gelap”.
Kedua remaja itu melewati pematang sawah dengan tangan mereka saling melekat. Yang jelas dunia dan isinya telah mencatat, adanya sepasang remaja desa yang telah memberanikan diri mencoba mendayung perahu kehidupan di tengah badai yang tak pernah peduli nasib mereka.
Sang waktulah yang kemudian menenggelamkan mereka berdua, pada kodrat-iradat yang telah ditentukan Tuhan yang Kuasa. Hingga tidak terasa sepuluh tahun sudah Prasetyo berpisah dengan Roro Tyas, dengan penantian yang mencekam, karena tanpa selembar suratpun dia terima dari Roro Tyas, yang kini kuliah di fakultas kedokteran di Jakarta.
Namun inilah hidup, pertemuan dan penantian ataupun perpisahan adalah suatu suratan takdir yang mengakrabi kehidupan setiap insan, seperti yang dialami mereka berdua, meski sempat menyisakan kegetiran di kehidupan pemuda desa ini yang sarat dengan kesengsaraan hidup, maka Prasetyopun kini hanya mampu menyandarkan segalanya pada Tuhan yang Diatas.
Barangkali saja Tuhan yang Kuasa berkehendak mempertemukan mereka kembali, saat gempa yang cukup dasyat mengoncang Bumi Minang hingga meluluh-lantakan semua yang ada di atasnya. Pertemuan antara keduanya kinipun tidak bisa dihindari, sama seperti dikala Tyas mengucapkan perpisahan 10 tahun yang lalu, saat Tyas mengucapkan janji untuk sebuah penantian mereka berdua.
Prasetyo kinipun hanya mampu memandang Tyas, dengan segumpal kekecewaan hati. Tyas kini telah menjadi dokter ahli bedah dan bersanding dengan temen kuliah di kedokteran, untuk menguntai jalan hidup bersama.
Prasetyo hanya mampu mengawali dan mengakhiri pertemuan mereka kembali hanya dengan kata “say hallo” dari pemuda desa, yang akrab dengan sawah, padi, kerbau tetapi masih menyisakan keteguhan hati dan jiwa. Yang mengorbankan segalanya demi sebuah ikatan janji, yang dipinta Tyas.
Langit Bumi Minang terus dikungkungi mendung hitam kepriatinan, terlebih bagi Prasetyo yang telah mencoba menemukan hatinya kembali di tengah luluh lantak rumahnya.