Sabtu, 24 November 2012

Pagar Halaman


Semua sorot mata yang  ada di halaman rumah tua itu melotot ke arah Dasimin yang berada di tengah kerumunan. Berpuluh pasang mata itu seakan berniat menguliti Dasimin, yang terlihat berwajah pucat pasi dengan tubuh gemetar, bukan hanya menghadapi garangnya sorot mata yang tajam, tetapi lengkingan teriakan ganas tetangga-tetangganya yang silih berganti menusuk hatinya, kadang teriakan warga sekampungnya itu jelas jelas menghinanya, menyalahkan dan menyuruhnya secara kasar kepada dirinya untuk merobohkan pagar halamanya yang sudah terlanjur ditembok permanen. Dasimin merasakan tubuh  dan hatinya yang gerah bukan kepalang, meski tanah dan daun daun pepohonan di sekitar rumahnya telah basah diguyur gerimis yang turun sejak siang tadi, disertai dengan angin penghujan yang merindingkan kulit.

Sekali sekali sorot mata Dasimin dilemparkan pada ketua RT, yang diharapkan mampu menjadi penengah antara dia dan tetangganya yang telah kalap, meski tak satupun tetangganya yang menjinjing senjata tajam. Namun apa yang diharapkan Dasimin sama sekali tidak ia dapatkan, justru pak RT sama liarnya  dengan warganya. Maka Dasiminpun hanya mampu diam seribu bahasa di atas pecahan tembok yang berceceran di halaman rumahnya. Dasimin hanya mengharapkan semua tetangganya tenang untuk memberi kesempatan dia bicara, tentang alasan mengapa dia tidak mau membangun pagar tembok halaman rumahnya  beberapa meter kebelakang. Sehingga menutup jalan kampung untuk lalu lalang tetangganya.

Teriakan para tetangganya hingga saat ini belum reda juga, meski gerimis masih terus membasahai tubuh manusia manusia yang bergetar membara. Entah sudah berapa lama Dasimin dan istrinya yang berdampingan,  menggigil ketakutan dilingkungi warga yang meradang itu. Tangan kanan Dasimin masih erat membawa foto copian sertifikat tanahnya yang sah dari notaris kenalanya. Untung saja beberapa minggu sebelum dia menambah bangunan di bagian depan rumahnya dan bangunan pagar dari tembok permanen yang menjadi biang permasalahanya, Dasimin sudah melengkapi dengan IMB yang diurusnya dari kelurahan setempat.

***

Dengan langkah setengah berlari menebas kerumunan warganya yang sedang kalap itu, Pak RW kini sudah berada di tengah mereka dan berdiri disamping suami istri Dasimin, dengan kedua tangan terangkat Pak RW mencoba untuk menyurutkan langkah warganya yang semakin rapat mengurung Dasimin.  Kini jarak antara Dasimin dan warga semakin dekat, beberapa diantaranya mulai leluasa menudingkan telunjuknya tepat ke wajah Dasimin, yang sudah mulai kalap juga dengan perlakuan mereka yang semakin kurang ajar. Menyaksikan gelagat yang kurang baik itu, kini Pak RW mulai bertindak tegas  juga dengan mereka, apalagi kala terdengar teriakan sebagian warga yang memanaskan atmosfer malam dingin itu.

“Bunuh, anak sombong itu “.

Sebagian lain berteriak “Habisi anak ingusan ini”.

“Cobalah bapak bapak mundur dulu, kita bicarakan masalah ini dengan baik “ teriak Pak RW yang suaranya tenggelam dalam kegaduhan itu.

Dasimin menjadi heran mengapa tetangganya yang dahulu kental bergaul dengan dia dan keluarganya kini menjadi demikian liarnya, mereka sebagian besar adalah teman main Dasimin sejak masih di SD dahulu, mereka semua biasa bermain denganya di sawah yang mengering karena diterkam kemarau panjang, untuk bermain layang layang. Saat musim hujan, sehabis bersekolah mereka bersamanya sepanjang sore mencari yuyu sepanjang pematang sawah yang basah . Sebagian dari merekapun pernah bekerja bersama sebagai tukang bangunan di Jakarta beberapa puluh silam. Bahkan saat Dasimin menjadi pemborong kecil-kecilan  merekapun bekerja denganya sebagai buruh harian, Dasimin tidak pernah terlambat membayar mereka, bahkan apabila mereka sakit, Dasiminpun tidak sayang meminjamkan uangnya.

***

“Mengapa mereka seperti ini?, Pak RW ?” seru lantang Dasimin pada Pak RW, di tengah keputusasaan Dasimin.

“Sabarlah Dasimin, sementara ini kamu jangan mengambil sikap dulu, biarkan aku menenangkan mereka dahulu ” Dasimin hanya menganggukan kepala.

“Saudara saudaku, sabarlah dan mundurlah, permasalahan ini harus diselesaikan dengan tenang, Dasiminkan saudara kita semua. Cobalah kita ke balai RW untuk membicarakan ini semua, aku dan Pak RT akan berusaha menyelesaikan permasalahan ini” seru Pak RW.

“Ah,  percuma Pak RW , kita sudah berkali kali membicarakan masalah ini, tapi anak bengal ini masih sombong, tidak mau mengerti keadaan kampung kita “ tukas Susanto.

“Tapi kaliankan terlanjur merobohkan pagar tembok Dasimin, bagaimanapun itu tindakan yang  salah “

“Pak RW, tembok pagar itu jelas jelas menutup jalan kampung ini, mengapa kita disalahkan? “ protes Harlan yang disambut dengan tepukan meriah semua warga, pertanda mereka semua telah terhinoptis dengan kemauan egonya.

“Sekali lagi bapak – bapak, tindakan kita semua salah, karena Dasimin membangun tembok itu di tanahnya sendiri yang disahkan dengan sertifikat ini “ Pak RW mengacungkan foto copian sertifikat tanah yang masih diatas namakan orang tuanya Dasimin.

“Apakah benar, kita bisa semaunya merobohkan bangunan yang dibangun seseorang di atas tanahnya sendiri yang secara sah dibuktikan dengan sertifikat. Cobalah saudara semua berpikiran dewasa” Kembali Pak RW melantangkan suaranya hingga kini mulai dapat didengar dari warga di sebrang jalan kampung yang sempit, yang tidak ikut berkerumun mendzolimi Dasimin, lantaran teriakan teriakan emosi warga kini mulai meluruh.

***

Kerumunan itu kini mulai surut, namun gerimis semakinderas. Satu dua warga mulai meninggalkan ceceran batu bata yang memenuhi sebagian halaman rumah Dasimin. Sebagian yang pulang kerumah masing masing,  masih melantunkan lisan menggerutu, sebagian lagi hanya diam membisu,  bahkan sebagian lainnya kini mulai was was jangan jangan masalah ini akan berbuntut panjang, lantaran mereka tahu bahwa sebenarnya Dasimin tidak bersalah. Namun mereka yang was was tidak tahu entah angin apa yang bertiup di hati saudara mereka  semua hingga kini mejadi liar.

“Sudahlah, bapak bapak mari ikut aku ke Balai RW, di sana kita duduk dengan tenang, berdiskusi untuk memecahkan masalah yang sering menghalangi kita. Kalau dulu kita mampu rembug dengan kepala dingin, mengapa sekarang tidak ?. Sebenarnya aku dan Dasiminpun heran, mengapa masalah ini bisa bapak bapak lakukan dengan gegabah ?, mari bapak bapak kita ke Balai RW” ajakan Pak RW semula tidak  ada yang merespon, hanya dia dan Dasimin yang kini mengayunkan langkah menuju Balai RW.

***

Pak RW kini duduk bersila di salah satu sisi ruang rapat Balai RW yang beralasan karpet kumal bersanding dengan Dasimin dan istrinya. Sementara Pak RT dan beberapa warga duduk di sisi lainya. Wajah mereka semua kini tidak segarang senja tadi. Sebaliknya Dasimin kini mulai berani memandangi wajah mereka satu demi satu. Sejuta rasa penasaran kini masih   terselip di hati Dasimin.

“Pak RT, apabila Dasimin mengadukan ini semua ke aparat yang berwajib, maka Pak RT dan warga akan berurusan dengan aparat. Tapi tentunya Dasimin tidak akan melangkah sejauh itu, ya Pak Dasimin ?”.

“Betul, Pak RW , aku tidak akan mengadukan hal ini. Tapi saya hanya ingin tahu mengapa tembok pagar saya dirobohkan. Padahal tembok itu masih di atas tanah peninggalan bapak yang bersertifikat sah, lihatlah setifikat ini” suara Dasimin terdengar datar dan berat, karena hatinya masih dihinggapi perasaan yang tidak menentu.

Memang sudah beberapa kali Pak RT memohon Dasimin tidak membangun pagar itu tepat di batas itu, Dasimin diminta untuk mundur beberapa meter, namun Dasimin tidak menyetujui hal itu, lantaran mendiang bapaknya beberapa tahun silam telah menyumbangkan tanah miliknya  beberapa meter untuk jalan.Maka Dasiminpun bersikokoh untuk tidak menyurutkan batasnya, malah dia menghendaki agar Karno, Tedjo dan Sumantri , tetangga  sebrang jalan  yang gantian mengundurkan batasnya, sehingga jalan kampung itu menjadi cukup lebar.

“Jadi begini Pak RW, awalnya memang ada isu jalan kampung itu, bakal digunakan truk material untuk proyek pengembang perumahan, sehingga warga yang berniat bekerja di proyek menjadi tidak sabar melebarkan jalan itu” ucapan  Pak RT kini mulai membuka tabir kemelut yang baru saja terjadi.

“Isu dari mana, Pak RT ?” tanya Pak RW.

“Sudah seminggu yang lalu kami kedatangan pengembang yang melakukan survey lokasi termasuk jalan di depan Dasimin”

“Aduh, Pak RT, kalau memang lingkungan kita akan dikembangkan proyek perumahan, tentunya Pak Lurah mesti memberitahu aku, tapi nyatanya hingga kemarin Pak Lurah tidak membicarakan itu. Ah...ini hanya isu saja,kenapa bapak bapak mudah terpancing dengan isu itu. Maafkan warga kami ya Pak Dasimin”

Dasimin hanya menganggukan kepalanya***

Jumat, 23 November 2012

Uzur


 Dahulu kau tergambar kekar di langit biru, selaksa hari telah menepi tertusuk detik demi detik saat bercengkerama dengan gagah beraninya kau menghamburlan semburat warna jingga dewi asmara. Lalang kunang malam, tergelincir ke tengah adonan yang kau tuangkan dalam gelas manis tertoreh kata rindu.

Kini dalah hunian padang terbentang saat kau menyudahi lantang bintang gemintang, berganti rembulan bernyanyi parau, di bibir senja yang kau hardik dengan kerlingan mata yang mulai kabur.

Detik tak harus melangkah surut.....

sayap merpati di balik cakrawala senja menantimu.....

adakah yang mampu kau kemasi dalam bekal....

padang lengang bertabir putih....

saat kau bicara kepada kedua kaki dan tanganmu

adakah kau jinjing kelopak bunga ranum

untuk wewangi bocah kecil bertatap sendu

 

ataukah kau jinjing isarat tentang sorot mata malaikat yang garang menusuk tulang igamu, saat kau menyemai sari bunga lelayu lantas kau sudahi dengan hempasan debu debu yang mampu mengeringkan kebub bunga.

 

Kau akan mencari harimu sendiri

rembulanpun takan pernah nampak lagi...

lelaki tua yang uzur hanya mampu menguliti diri sendiri

lebih baik kau tawan seribu lidah basah

agar tenggorokan lebih longgar menghela nafas

benak dadamu leluasa menyimpan kain sutra halus

milik Sang Kuasa Penunggu Langit Tujuh Susunan...

uzur kini menikam jantungmu.....

 

(Semarang, 23 November 12)

 

 

 

 

 

 

Selasa, 06 November 2012

Aku Tetap Putra Indonesia





persetan dengan yang ada di Bumi Khatulistiwa
anjing NICA mampu bertekuk lutut, terbungkam  howitzer
dan cocor merah yang melipat sayapnya, terbang menyelinap di awan
mengadu kepada tabir langit, tentang gemetar tubuhnya...
ditelikung bambu runcing rona merona

persetan dengan petinggi berbaju perlente, bergaris eksotis
mengaburkan pandang  “Si Kecil “ mengais hari, berselingkuh nasib
di rumah kardus dengan nasi basi mengganjal perutnya
tanpa upeti dermawan yang menjinjing peduli dan tangan halus
meski legam tenggorokanya tertusuk panasnya nasib
bukan hangus lantaran uang korupsi

persetan dengan itu semua,
aku putra tanah ini, aku menepis jauh jauh  apa yang meluruhkan
sayap sayapku yang mungil
tanpa korupsi, akupun tegak membidik hari hariku
pergilah jauh para koruptor dan penerima upeti
biarkan kau terhempas atmosfer bernafas berang...hingga kau
hinggap di tepian kubangan hitam kelam

jangan kau menyanyikan lagi lagu rindu membiru
yang menggeleparkan tiap nafas si kecil, berbaju kusam
biarkan aku memberikanmu kado persetan bercampur ludahku...
agar kau tertunduk malu dan menyunting hari harimu
di jeruji besi, atau terbanglah ke sisi yang damai
bersama para bidadari penghuni tanah yang nyaman
agar kau tak lagi berkata dusta, karena telah terpotong ludahmu
sendiri......

pernahkah kau sejenak menyusun prosa...?
berisi bait tentang pengemis dan abang becak yang beroda aus
lantaran menggigit jalan jalan kota berlobang yang kau
sayat dengan durjanamu yang kelam dan sumbang...
atau pengemis terkapar di bawah baliho di sudut kota
memeluk perutnya sendiri, yang kosong
perut yang menerbangkan protes jaman , tentang uang negara
yang kau sajikan dalam adonan gula gula hedonisme
aku isaratkan pada tanaman perdu, beluntas dan palma
di halaman rumah bambuku,  disaksikan melati dan kenanga
tentang dengus nafasku  sendiri yang tak berujung,
tentang ini semua, tentang saudara saudaraku yang mengepalkan tangan
untuk sebuah ketidakmengertian,
untuk sebuah gegap gempita yang membuat
terjaganya anak anak kita sendiri dari tidur siangnya...
lantaran aroma mesiu persis kembang api
di malam tahun baru, serta desingan batu batu jalanan
yang kau terbangkan dengan  gelora di hati gemetar tubuhmu sendiri

mentari masih bangkit dari Bumi Papua
hingga terbenam di Serambi Aceh
melewati Pegunungan Kidul yang membelah Pulau Jawa...
Negeri Archipelago tak harus melinangkan air mata
tak harus renggang bergandeng tangan saat penganten baru
duduk di singasana berornamen kembang setaman

Semarang, November  2012

Senin, 05 November 2012

Demi Anak Kita




Seperti meniti  tali  yang terbentang dan  dipenuhi duri tajam yang tak berujung dan harus dilalui. Sedangkan tautan kedua ujung tali itu.  tak begitu kokoh bertambat dengan puncak tebing yang menghimpit tubuh Rakian dengan kokohnya. Namun Rakian harus terus menitinya. Entah sudah berapa kali Rakian melewatinya, entah ujung yang mana yang sudah dijamahnya. Sementara di sebelah kanan kiri tali itu,  jurang menganga siap menyantap tubuhnya. Gentarpun harus disimpanya kuat kuat dalam lubuk hatinya. Apalagi rasa pasrah dan tertunduk lesu, dia buang jauh jauh hingga tak tampak lagi lakon hidup yang menyesakan dada.
Sesekali lakon hidup yang dilalui terasa sangat menusuk jantungnya, sesekali pula timbul dalam hatinya, perasaan pantang surut ke belakang demi Ardian dan Elly dua bocah laki laki dan perempuan,  sebagai buah hati perkawinan dengan Russ Kania selama beberapa  tahun. Perkawinan yang sangat menjadi dambaan Rakian, sejak dia dan Russ benar benar bertaut dalam pelukan mesra. Hingga lahirlah Ardian 4 tahun sesudah dia mulai mengarungi bahtera sebagai suami  dan Elly 8 tahun kemudian. Tak ada  sisi gelap satupun dalam hidup yang berkelambu kemesraan dan kesetiaan yang  pernah menusuk dalam dalam jantungnya di masa lalu.
Masa masa indah mengawali kehidupan mereka,  meski dia hanya  tenaga cleaning servis di perusahaan konsultan konstruksi dan interior design yang cukup beken di kotanya. Saat itu bagi Rakian, adalah yang hanya mampu diperbuat olehnya, yang hanya berijazah SMA. Peluh dan sesekali kesah menjadi  bagian kesehariannya dalam hidup yang dimiliki, sedangkan bergulirnya jarum detik terus memburunya, semakin lama detik itu menggigitnya dan semakin pula dia merasa tersudut. Meskipun dengan jerih payahnya dia mampu membelikan Russ rumah mungil di sudut kota, yang masih sepi dari taburan eksotis kota yang begitu liarnya.
Russ istrinya yang bergaya selebritis muda, hanya menampakan wajah wajah gelapnya selama menempati rumah mungil, berdinding batako dan beratap asbes. Bergaul dengan tetangga tetangga yang dipandang Russ hanya sebagai masyarakat kelas bawahan, yang norak dan tak berkelas. Sedangkan Russ selalu bergincu bibir mirip artis sinetron muda yang kontraknya mencapai milyaran rupiah. Di bawah asbes yang sudah mulai rapuh dan berdebu inilah Russ selalu menuntut Rakian demi sebuah hidup bergaya selebritis.
Rakian hanya tertunduk lesu bila seharian Russ memberondongkan umpatan, tentang ketidakmampuan Rakian dalam menuruti kemauan sang selebritis tinggi hati itu. Kedua anaknyapun seharian itu pula menempel dan menggayutkan pada tubuhnya. Sama sekali rasa kasih sayang pada kedua putranya tidak luntur sedikitpun, meski dia sering tersudut oleh impian dan khayalan istrinya. Dengan raut muka polos dan bening mata yang indah kedua anak anaknya tidak menghiraukan apa yang keluar dari mulut Russ ibunya, Rakianpun sama seperti kedua anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan serentetan tuntutan selebritis yang bagaikan sedang tidak punya order kontrakan lagi. Meski sorot mata pria ganteng itu tidak mampu menyembunyikan perasaan yang bercampur, pilu, marah, sedih dan bingung.
Apalagi bila Russ melihat tetangga yang memusari dia terus saja merehab rumah mereka, dengan gaya rumah mpdern bergaya romawi, berdinding batu alam dan berlantai keramik. Diapun bagaikan macan lapar yang siap melahap tubuh Rakian yang tinggi. Entah iblis mana yang merasuk dalam aliran darah Russ Kania, sehingga dia menjadi nanar matanya, tak sehalus dan selembut saat awal awal pernikahan mereka. Russ saat itu tidak memperdulikan dia tinggal di rumah apapun, derita yang paling menunjamkan hatinya, diapun lega menerimanya. Tetapi kini jauh berbeda. Kelambu pengantinya yang dulu dia sulam dari benang sutra, yang lembut dan halus, kini telah meluruh menjadi kelambu penuh kepengapan.
_______________
            “Hanya kita saja, yang belum merehab rumah ini, Mas. Sedangkan tetangga kita sudah berganti tembok , berdinding genteng, pakai keramik lagi lantainya. Sedangkan kita membeli tv plat saja model sekarang tidak mampu” pagi-pagi sekali di Hari Minggu Russ sudah memprovokasi suaminya, yang dulu dianggapnya Sang Arjuna, yang mampu merobohkan jantung hatinya. Sementara Rakian seperti biasanya tidak memperdulikan ocehan wanita yang sangat dicintainya, yang memberinya dia putra dan putri, yang ganteng dan ayu mirip ibunya.
            Rakian hanya sibuk memandikan kedua putranya dengan seloroh yang lembut, penuh belaian kasih sayang, berlainan dengan ibunya yang melipat wajahnya bagaikan nenek lampir dari Gunung Merapi, meski sama sekali tidak terdapat guratan ketuaan di kulit wajahnya yang putih mulus.
            Namun betapa penasaran hati Rakian pagi itu, karena tidak seperti biasanya Russ berdandan sangat modis, dengan make up yang belum pernah dia belikan. Memakai stelan underok yang minim dengan kaos yang ketat. Sementara rambutnya dibiarkan terurai hingga pundaknya. Entah dari mana Russ mendapatkan sepatu yang berhak agak tinggi, dengan warna kulit kemerahan. Kedua anaknyapun  menyampaikan protes kepada Rakian bahkan sempat memberontak menuntut untuk ikut ibunya, yang tak tahu  entah kemana tujuan perginya. Namun protes itupun menjadi surut kebelakang, setelah kedua mata ibunya yang bundar memberikan sorot mata garang dan menghardiknya, supaya tidak usah ikut denganya.
            “Mereka berdua kecewa tidak kamu ajak pergi, Russ ? ”. Rakian mencoba membujuk Russ agar di Minggu pagi ini, Russ mengajak mereka untuk jalan jalan.
            “Mengapa kau memintaku seperti itu ?” jawab Russ.
            “Kamu kan ibunya, mereka butuh kamu, Russ ?”
            “Mas Rakian, aku ada janji dengan temanku “
            “Kemana ? “ seribu rasa penasaran kini bersemayam di hati Rakian
            “Apa perlumu ?” Russ mejawab dengan sebuah bentakan yang melengking.
            “Aku kan suamimu, Russ ? “
            Ruang tamu yang sederhana beralas semen yang sudah banyak mengelupas kini lengang  dan membisu. Rakian hanya tertunduk wajahnya dengan kedua bahunya yang masih digayuti kedua putranya. Seakan akan Rakian tidak mampu barang sedikitpun untuk menghalangi kemauan istrinya. Russpun segera berlalu tanpa say goodbye, kedua sorot mata anaknya terus mengikuti tubuh ibunya, yang tak lama menghilang di pertigaan ujung gang mereka yang kumuh. Rakianpun tahu apa yang akan dilakukan istrinya itu, tapi tak pernah mencoba untuk menahanya. Sebab bagaimanapun juga itu adalah hak istrinya untuk menentukan sikap, sebagai rasa kecewa pada dirinya yang sudah bertahun tahun menghinggapi kalbunya.
            Rakian kini dipersimpangan jalan, dilain sisi dia rela Russ menggapai kebahagiaan yang dia butuhkan untuk lifestyle yang dikejarnya. Tetapi di lain pihak kedua putranya membutuhkan belaian seorang ibu. Tapi bagaimanapun juga sebuah langkahpun harus dia beranikan, justru demi kebahagian kedua sisi yang melingkunginya. Russ sudah meluruhkan kasih sayangnya pada kedua belahan jiwanya, demi hanya kehidupan glamour yang dibidiknya, tanpa memperdulikan resiko apapun. Apabila Ardian dan Elly terus menemani kehidupan ibunya, maka mereka berduapun terus menjadi sasaran kemarahan ibunya. Namun getaran hati yang menggelora di beranda jantung Rakian, terus saja datang pergi silih berganti, antara Russ dan kedua bocah mungilnya.
Sementara malam telah merambat semakin larut, deru mesin kendaraan di gang depan rumahnya kini tidak terdengar lagi. Sesekali terdengar suara dentingan pinggan si abang bakso yang memecahkan kesunyian malam. Larutnya malam ini adalah saat yang paling memilukan, apalagi sering terdengar rintihan Elly memanggil ibunya demi segelas air susu hangat. Sementara Russ entah kemana menyelinap di tengah remang malam, atau mungkin dipelukan laki laki jalang demi selembar uang. Tapi yang jelas Rakianpun harus rebah keperaduan di samping kedua anaknya, yang telah merenda mimpi.
__________
            “Sudah kau pikir dalam dalam Russ, untuk meninggalkanku ?. Cobalah bersabar demi Ardian dan Elly “ pinta Rakian, yang sudah mulai lapang hatinya menerima keputusan yang diambil Russ, suatu keputusan yang diyakini sebelumnya bakal diminta Russ. Kegetiran hatinya telah mulai tertepiskan lantaran sedikit demi sedikit hatinya menjadi tabah saat menerima kenyataan ini. Rakian telah cukup lama merasakan betapa beratnya menerima makian kasar, tuntutan dan seribu sikap Russ yang menikam ulu hatinya.
            “Aku mengambil langkah ini justru demi mereka berdua yang masih butuh biaya. Sudahlah Mas Rakian, suatu saat akupun akan di tengah mereka kembali “. Inikah Russ Kania ?, wanita yang dulu justru mengejarnya untuk mendapatkan bilah cintanya, yang berjanji bersama mengayuh biduk hidup di tengah keadaan apapun. Tapi apakah ini sebuah lakon hidup yang harus dititi oleh manusia, yang bisa saja berubah tak tentu arah.
            Berkali kali Rakian hanya mampu menelan ludahnya sendiri, dia masih terpaku berdiri di serambi rumah mungil, menyakisikan Russ Kania pergi berlalu dengan sebuah mobil mewah, meski terdengar dengkur kedua anaknya yang  terlelap di tengah malam, setelah beberapa saat sebelumnya Russ Kania menciumi pipi kedua anaknya. Bagi Rakian malam ini memang malam tak berbintang gemintang, rembulan tertutup mega hitam. Tak lama kemudian terdengarlah adzan subuh menggema di malam pilu itu. Sedikit kesegaran dalam hatinya kini mulai ia dapatkan.