Selasa, 02 November 2010

Bertemu Mahapatih Gajah Mada (Tersesat Di Lorong Waktu)

Berlian segera mengemasi buku bukunya setelah terdengar bel panjang berbunyi. Nyaring suara bel itu memekakan telinganya, tetapi kini hatinya girang bukan kepalang. Lantaran dia dan dua temanya masing-masing Irene dan Hamdi berencana main ke rumah Galang, putra Prof Alfonso.

Nama Prof Alfonso sudah tidak asing lagi di telinga Berlian. Setiap wajah professor jenius itu tertampang di televisi, Berlianpun terbesit dalam hatinya, ingin memiliki prestasi seperti dia. Kebetulan sekali Galang temen sekelasnya adalah putra Prof. Alfonso, maka hari itu sehabis sekolah dia berencana main ke rumah Galang, apalagi bila bisa berkenalan dengan professor itu. Meski hal ini sudah direncanakan jauh hari, namun baru saat ini niat Berlian bisa kesampaian. Berlian segera melonjak dan memburu ke tiga temanya yang sudah bersiap pulang juga.

Tidak beberapa lama sampailah mereka di halaman rumah Prof Alfonso, ahli Fisika yang sudah mendunia. Namun betapa kaget Berlian, ternyata rumah Prof Alfonso tidak semegah yang dia bayangkan. Tentunya sebagai ahli Fisika tingkat Internasional pasti memiliki rumah yang megah dan mewah, demikian bisik hati Berlian. Namu meskipun sederhana, rumah professor itu tertata rapi dan bersih. “Oh ini pertanda Prof. Alfonso adalah cendekiawan kondang yang biasa hidup teratur” demikian berkali kali bisik hati Berlian selama di dalam rumah professor.

***

“Silakan, teman-teman kita makan siang dahulu. Mama sudah menyiapkan makan siang untuk kamu. Berlian !, kamu tidak bisa berkenalan dengan papiku, karena papi baru saja ke Amerika”
“Lantas, apa kegiatan papimu di Amerika ?” Berlian penasaran ingin tahu kegiatan papinya Galang.
“Entahlah, tapi papi sering crita sama mama kalau papi berhasil menemukan “mesin perjalanan waktu”. Kalau ke Amerikanya aku nggak ngerti !”.
“Mesin waktu ?, mesinya sebesar apa. Lang ?” Tanya Irene penasaran.
“Aku nggak tahu mesinya yang mana, Cuma yang aku ngerti papa sering keluar masuk kamar yang terbuat dari kaca .Sekali papa masuk entah berhari-hari tidak kembali, nggak tahu tuh, papi ngapain aja ?”.
“Boleh aku ngeliat mesinya, Lang “ Pinta Irene.
“Boleh aja, karena mesin itu sudah dimatikan papi sebelum ke Amerika, Kalau Cuma ngliatin itu nggak apa apa, asal jangan menyentuh panel panel yang ada di dinding kaca”
“Dari mana kamu tahu itu ?” Tanya Berlian.
“Ya dari papa, pas aku libur sering main main di kamar kaca tapi nggak berani main main tombol yang ada di panel “.

2
Mereka bertiga kini sudah di depan “mesin waktu”. Merekapun sangat kagum dengan mesin temuan papinya Galang, belum pernah mereka melihat mesin secanggih itu. Sebuah kamar yang terbuat dari kaca anti gores dan anti panas. Kaca tersebut melingkungi sebuah ruangan yang serba berisi panel-panel otomatis, yang mereka sendiri tidak tahu fungsinya.
“Boleh aku masuk, Lang ?” pinta Berlian.
“Tentu, tapi jangan kamu pegang kaca bagian dalam, karena berisi tombol tombol serat optik dan serba otomatis”
“Ah, jangan masuk Yan, nanti malah kamu terlempar ke jaman lain” usul Irene pada Berlian.
“Oh, nggak apa--apa kalau Cuma masuk, kan sudah dikunci papi. Yan yang penting kamu jangan pegang panel panel itu ?”. Berlian hanya mengganggukan kepala, maka diapun memberanikan diri masuk untuk mengobati penasaran hatinya disusul ke tiga temanya itu. Mengapa kendaraan waktu ini bentuknya tidak seperti pesawat, kereta api ataupun bus atau bahkan kapal selam, apa pula bahan bakarnya.
Galangpun menemani temanya bertiga dan berusaha menjelaskan tentang mesin waktu itu menurut yang dia tahu. Sistim itu hanya melempar molekul molekul di tubuh kita dengan gelombang elektonika ke sasaran ” tahun waktu” yang kita tuju.
“Molekul ?, ah aku jadi nggak mengerti “ potong Irene.
“Gelombang elektronika itu yang kaya apa, Lang ?” seru Berlian
“Ya, kata papi sih, cahaya matahari juga termasuk gelombang elektronika“
“Kalau gitu, badan kita terasa sakit dong kalau naik mesin waktu ini?” sahut Irene.
“Mana aku tahu ?”
“Seandainya aku mau ke Jaman Majapahit, seperti pelajaran tadi pagi, aku tinggal klik aja sudah ketemu Patih Gajah Mada, ya Lang “ pekik Hamdi sambil berjalan memutar mutar kamar itu dengan kedua tanga direntangkan mirip pesawat terbang. Sikap lucu tadi segera diikuti Galang, Irene dan Berlian yang lagi senang hatinya. Tanpa mereka sadari kekonyolan mereka menyebabkan hidupnya “mesin waktu” Prof. Alfonso, karena mereka telah mengakfifkan panel mesin. Sehingga secara otomatis pintu utama tertutup, dan semua sistim di mesin itu aktif dan siap melempar mereka ke waktu Jaman Kerajaan Majapahit.
Mata mereka terbelalak seketika dengan jantung yang seakan akan mau lepas. Mereka berempat hanya mampu berpelukan satu sama lainya. Namun yang mereka rasakan hanya seperti naik lift di gedung bertingkat. Tidak beberapa lama seketika “mesin waktu” itu berhenti bergerak, pintu otomatispun bergerak terbuka.
Terlihat sebuah gedung tidak seberapa tingginya terbuat dari batu hitam yang kokoh, menjulang di depan mereka. Gedung itu dikelilingi prajurit yang beraneka macam persenjataanya, tak berbaju dan hanya bercelana pendek warna merah. Beberapa diantaranya sudah mengerumini mereka dengan terkagum kagum. Bahkan sebagian lagi berlarian karena ketakutan. Tetapi seorang prajurit yang berjambang dan berbadan tegap, menghampiri mereka sambil membentak, “He siapa kamu dan darimana?”.
“Temen temen saya yakin ini istana Majapahit, seperti permintaan Hamdi tadi. Kita sudah terlanjut sampai disini, kita tidak bisa mundur lagi. Sekalian saja kita berpura pura duta dari kerajaan apa, aku sendiri belum tahu. Kita harus berlaku sopan sehingga
3
mereka tidak menyakiti kita . Kalian jangan takut. Biar aku saja yang bicara denga mereka” Bisik Berlian kepada mereka bertiga yang sudah kelihatan pucat wajahnya.
“Tapi kata Bu Guru kita nggak boleh berbohong “ desak Irene.

“Apa prajurit itu tahu tentang “mesin waktu”, apa mereka percaya kita dari tahun 2025. Inilah jalan satu satunya bagai kita. Tidak usah takut temenku, ini bukan salah siapa siapa, ini salah kita bersama terbawa “mesin waktu”. Ujar Berlian mencoba membesarkan hati teman temanya.

***

“Ayo jawab anak kecil, Siapa kamu dan dari mana ?” Tanya kepala prajurit itu.
“Kami dari jauh, dari kerajaan Atas Angin. Kunjungan kami ke sini, sekedar untuk berjumpa dengan Mahapatih Gajah Mada. Kami hanya ingin menyambung persahabatan dengan Negeri Majapahit yang Agung” Jawab Berlian.
“Mengapa Kerajaan Atas Angin hanya mengirim anak kecil ?, apa tidak punya utusan lainnya ?”.
“Di negeri kami, anak anak adalah lambang perdamaian dan persahabatan. Maka raja kami mengirim kami semua. Apabila maksud kami diterima maka raja kami sendiri yang akan menghadap Tuanku Raja Hayam Wuruk. Tapi pada kesempatan ini ijinkan kami bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada terlebih dahulu “
“Mana upeti tanda persahabatan kamu ?”
“Akan dibawa langsung oleh raja kami nanti !“ Jawab Berlian dengan berusaha meyakinkan kepala prajurit yang garang itu.
“Baiklah ikuti kami, akan kami bawa ke pesanggrahan Mahapatih Gajah Mada.
Sang Mahapatih dengan wajah yang penuh wibawa, duduk di kursi kepatihan, di kelilingi para Senopati Prajurit Majapahit dengan wajah tertunduk. Merekapun segera menghanturkan hormat, dan langsung dipersilakan duduk di kursi tamu kerajaan.
“Jadi engkau anak anak wakil dari kerajaan Atas Angin ?. Di daerah mana itu ?”
“Di daerah…Jayakarta “
“Oh,,aku tahu itu, dekat dengan Kerajaan Banten, mengapa baru ini aku mendengar ?”
“Negeri kami hanya negeri kecil, tentu saja Tuanku belum mendengar”. Jawab Berlian.
“Aku kagum dengan keberanianmu, anak anaku ?. “
“Raja kami terpaksa mengirim kami, karena berharap dapat menjalin persahabatan dengan Negeri Besar Majapahit. Anak anak di negeri kami dijadikan lambang cinta kasih, Tuanku ! ”.
“Oh, kami terima dengan tangan terbuka dan sampaikan salam hormat Majapahit untuk raja dan Rakyat Atas Angin. Istirahatlah kalian semua, silakan nikmati apa saja yang kalian suka ?”
“Jawaban dari Baginda Mahapatih Gajah Mada sangat ditunggu raja kami. Maka mohon maaf kami tidak bisa lama disini”
“Baiklah, anak anaku. Aku sangat terkesan dengan sopan santunmu. Tapi nikmati dahulu hidangan kerajaan silakan”

***
4
Mereka sudah kembali ke dalam mesin waktu, sementara Prajurit Majapahit lengkap dengan panji kebesaranya melepas kepergian mereka dengan penuh persahabatan. Galang berusaha sekuat tenaga mencari tombol mengaktifkan mesin waktu itu dibantiu ketiga temanya. Beberapa saat mereka mengalami kesulitan dan kepanikan. Di tengah kepanikan itu, Hamdi kemudian berteriak “Hai mesin waktu, kembalikan kami ke rumah Prof. Alfonso !”
Mereka kini berpelukan karena gembira, mesin waktu telah aktif dan dengan sesaat berhasil melemparkan mereka ke waktu tahun 2025, tepat di halaman rumah Prof. Alfonso. Setelah pintu utama terbuka secara otomatis, berhamburan sejumlah orang menghampiri mereka berempat. Mereka diantaranya adalah Prof. Alfonso, orang tua mereka berempat, para wartawan dan masyarakat luas.
“Oh, terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan anaku kembali setelah tiga bulan lamanya mereka hilang terbawa mesin buatanku sendiri “ seru Prof Alfonso di tengah kerumunan yang berisi peluk dan cium.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Bulan Di Keranjang Sutra


Lydia semakin acuh saja, saban aku lekatkan lagi hati ini. Namun semua itu bisa aku tepiskan, lantaran aku laki laki yang dikodratkan untuk tegar dalam menghadapi kehidupan. Entahlah kehidupan macam apa yang seperti ini. Kata hati seperti ini saja yang mampu selalu aku benamkan dalam telaga hatiku yang berair jingga, hanya itu pula yang menjadi kekuatanku dalam menggapai angin sejuk yang akan aku sinari cahaya bulan dalam keranjang hati ini.

Dalam keranjang hati yang bersulam kain sutra selembut anganku, dalam sentuhan angina kemarau di senja hari. Selalu aku sertakan Lydia dengan sejuta sayapnya untuk terbang mengitari langit misteri, bermega jernih. Namun akupun tiada pernah meluruhkan sayapku kala rona wajah Lydia menjadi masam, berlembayung hitam dan nampak mengusung keragu-raguan. Inilah sebuah hasrat dariku Lydia, inilah kala sebuah hati harus menerjang tebing tebing tinggi yang menjadi pagar taman bunga. Namun sekokoh apapun sebuah pagar, tidak akan mampu menahan gelora Ombak Laut Selatan yang memiliki seribu tangan untuk menerkamnya.

Lydia masih saja menatap angkuh pada gambaran halaman hatiku, nampaknya apa yang ada di hatinya betul betul terkemas dalam batu pualam yang kokoh dan dikungkung seribu misteri.

“Lydia lihatlah dalam keranjang ini, lembutnya kain sutra tidak selembut hatimu dan lihatlah pula bulan telah memberikan seberkas cahyanya untuk diri kamu “

“Herlin terjanglah gunung es jauh di depanmu, tak kan mampu kau mendapatkan keranjang itu. Arti sebuah persahabatan bagiku, perlu kamu simpan rapat dalam kantong bajumu “. Lydia membisikan sendu sedanya itu dekat telingaku.Hingga aku tak kuasa lagi untuk meneruskan tidurku lagi. Bergegaslah aku tepis mimpi itu di tengah malam yang terpagut sepi. Nampaknya hanya malam saja yang bisa menjadi wujud untuk berbagi meradangnya hati, sehingga aku jaga malam itu dari terkaman fajar. Namun malampun harus bergegas pergi.

 Google, 2010
Hanya eksotis wajah pagi saja yang masih berminat menemaniku, dengan ocehan burung kenari di dahan pohon rambutan. Sekali sekali terdengar juga burung nuri yang ikut nimbrung simponi alam ini. Pagi ini pula yang memberiku sebuah ide cemerlang, di tengahnya hati yang membujur dingin. Entah kekuatan apa yang membuat aku mau meluncur ke rumah Lydia minggu pagi ini. Ataukah selaksa malaikat yang terjelmakan dari hasrat hatiku yang melemparkan aku ke tengah gedung loji milik keluarga besar Lydia yang berada di tengah Kota Semarang.

Namun kaki ini belum sempurna betul menyentuh pijakan bumi, kala aku harus melewati wajah wajah berselimut aneh menatapku asing, manusia manusia berpakaian perlente memenuhi halaman rumah Lydia yang luas berlantai rumput halus, disela-sela pohon palm dan pot pot bunga besar. Mereka mengelilingi Om Bernhard papinya Lydia entah berniat apa mereka berkumpul di sini. Oh Tuhan mengapa harus hari ini aku ke rumah Lydia, yang dapat aku lakukan hanya mengutuk diriku sendiri.

***

“Mohon maaf, apakah sudah ada appointment dengan Tuan Benhard“. Tanya seorang berbadan tinggi besar dan mengenakan jas dengan dasi yang panjang hingga ke pusarnya. Anehnya orang ini bertanya dengan wajah bersungut sungut, bagaikan manusia yang dibuat dari mesin, tanpa memiliki hati barang sedikitpun. Bukankah ini Kota Semarang yang masih kental dengan nila kesantunan. Lantas apakah Lydia bersedia menemuiku bila berada di lingkungan seperti ini. Tapi memang aku yang tolol, bukankah Lydia tidak pernah bergaul sembarangan di kampus, yang sama sekali tidak pernah menorehkan sebuah senyumanpun pada aku kala berjumpa di kampus. Mengapa sekarang aku di rumahnya. Atau lantaran senyum Lydia kala menghiasi wajah yang melangkonis ini, dengan penampilan yang selalu serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat yang tidak mudah kulupakan.

Lantas mengapa pula Lydia sering minta tolong aku untuk ngerjain soal soal mekanika tehnik, kala kita satu kelas belajar bersama di perpustakaan. Bukankah aku juga berhak mengenalnya lebih dekat. Mengapa pula dia tidak pernah cerita kalau di putri seorang pebisnis besar. Sedangkan aku hanya anak seorang wartawan daerah dan penulis yang tidak seberapa mutu tulisanya. Namun papikupun terus membanggakan dirinya semata agar putra putra, termasuk aku mampu hidup dengan mandiri.

“Oh, maaf aku hanya teman satu kampus Lydia”
“Maaf tuan, Lydia hari ini sibuk sekali. Dia sebentar lagi memberi presentasi tentang rancangan Fly Over “
“Oh, maaf apakah dia mampu ?”
“Tuan ini siapa ?. Bicara tuan sangat merendahkan Tuan Lydia. Maaf tuan segera pergi dari tempat ini. Terus terang kedatangan tuan tidak dikehendaki Tyan Benhard “.
“Sebentar lagi aku akan pergi, memang ini bukan dunia saya. Tapia kun kasihan sama Lydia barangkali dia mengalami kesulitan dalam materi mekanika tehnik dan konstruksi beton. Tuan, Lydia sering bertanya padaku masalah out di kampus. Cobalah hubungi dia dulu “

“Baik tuan, untuk kali ini saja tuan saya beri kesempatan. Bila Non Lydia tidak bersedia, tuan, enyahlah dari rumah ini dan jangan ganggu Non Lydia lagi.

indah mahanani
Suara pintu tebal dari kayu jati mengagetkan kedua laki laki itu, kala dengan terburu Lydia membuka pintu itu. “Sukurlah Herlin aku sangat membutuhkan kamu “. Tangan Lydia segera melilit bahu Herlian dan segera menariknya menuju ruang kerjanya di pojok ruang tamu yang ditata dengan ornemen dan lay out model Jerman.

“Apa apaan Lydia, kamu udah gila ?”
“Masa bodoh, aku sudah nggak punya waktu lagi. Satu jam lagi papa menyuruhku presentasi. Aku masih banyak menemui kesulitan. Tolong Herlian aku minta bantuanmu”
“Tentang apa ?”
“Mekanika tehnik untuk rancangan Fly Over di Kota Semarang “
“Jadi proyek besar dong Lydia ?”
“Ah itu nanti, sekarang lihatlah gambar ini.Tolong kamu analisa ini”
“Baik, kalau itu mah yang paling aku senangi. Maka aku mendapat nilai A untuk ini “
“Oh, ya. Kamu tahu dari mana aku mau presentasi”
“ Aku asal asalan saja ,main. Aku tadi naik BRT, aku punya rencana minggu ini main ke rumah temen 2x, termasuk kau Lydia “

Lydia hanya diam membisu, sebentar sebentar pandangan matanya tertuju pada cowok udik yang nggak ngerti gaul dan hidup apa adanya, tapi pinternya minta ampun. Hari hari biasanya di kampus, cowok ini kelihatan biasa biasa saja. Lantaran dandanan dan sikapnya yang nggak ngerti gaul. Tapi kala Lydia tidak sengaja mengamati keseriusan cowok ini dalam melakukan analisa. Lydiapun telah mengakui bahwa kegantengan Adipati Karna, tokoh dunia pewayangan kini berada di depanya.

Bukankah Herlian berambut ikal bergelombang dan hitam dengan hidung mancung dan bibir yang tipis. Dan lagi postur tubuhnya yang ideal bila bersanding denganya, apanya yang kurang dengan cowok itu, tapi dekilnya memang membuat Lydia selama ini mengabaikan dia. Lydia merasakan sesuatu yang tidak adil, bila selama ini dia hanya minta tolong menyelesaikan tugas dan ujian semester. Tentang kelembutan cowok ini Lydiapun telah mengakuinya.

Lydiapun sekarang dengan tangkas dan mempesona memberikan presentasi rancangan konstruksi proyek papinya di depan hadirin. Sebentar sebentar mata yang indah dan bulat itu selalu memberikan sorotnya pada Herlian yang dipaksa ikut presentasi Lydia itu. Seakan akan Herlianlah yang sekarang menjadi konsultan megakonstruksi proyek besar di Kota Semarang. Sudah barang tentu kehadiran Herlian sekarang menambah pdnya.

“Herlian, terimakasih sekali kamu telah memberikan advice konstruksi ini, dan papapun kelihatanya puas dengan ide ideku, yang sebenarnya adalah ide kamu. Aku nggak ngeti Lian, mengapa justru kamu datang saat aku membutuhkanmu. Aku dari pagi mencari no Hpmu, tapi nggak ketemu, dan alamat rumahmu apalagi..”

“Ah, hal kaya gitu biasa aja Lyn, nggak ada yang istimewa. Hari udah siang aku mau pulang. Sampai ketemu lagi besok di kampus “
“Ntar aku antar kamu pulang sekalian aku pengin tahu alamatmu. Trimakasih ya Lyan..” .Lydia tak meneruskan kata katanya. Karena bibirnya kini sudah memagut bibir cowok udik ini, bagai ular kobra yang mematuk mangsanya.
“Aku nggak pernah menerima biasa menerima ciuman kaya gini, Lydia ?”
“Herlian…!!! ” Lydiapun tambah manja dipelukan Herlian, yang kini sudah tidak canggung lagi. Tapi Herlian telah lama menghadirkan gadis manja itu di hatinya, hanya saja sikap cowok ini tidak eksotis dalam meabuhkan cintanya. Maka Herlianpun segera menyurutkan hasrat penuh gairah itu. Karena yang dia inginkan dari Lydia adalah segalanya, bukan hanya gairah cinta anak ingusan.
“Herlian …mengapa ?”
“ Kamu cantik Lydia, kamu segalanya. Suatu saat kitapun saling memiliki “
“Maafkan aku ya Herlian”

Herlian hanya memberikan senyuman yang mampu memberikan keteduhan bagi hati Lydia. Kedua remaja kinipun bergandengan tangan menemui papanya Lydia, lantaran sudah saatnya Herlian pamit. Om Bernhard menjadi kagum dengan kemampuan anak muda sekarang, yang jauh dengan masa mudanya dulu, yang hanya bisa berjuang menegakan nasionalisme dijaman revolusi dahulu. Sekarang jaman sudah berubah, yang sangat diperlukan adalah lahirnya The Smart Generation seperti mereka berdua.

“Lydia sayang, apa kamu sudah lama kenal Herlian “
“Sudah pap, Cuma Herlian agak pemalu jadi baru kali ini berani main ke rumah”
“Oh, begitu. Selamat jalan Herlian, besok besok jangan sungkan-sungkan main kesini !’
“Tentu, Om ! “.

Keduanya kini meluncur dengan mobil warna merah metallik, menelusuri jalan jalan kota Semarang yang dipagari tanaman bunga warna warni, kini keranjang yang tak layak telah berisi sinar bulan yang menerangi hati Herlian yang tadinya gelap mencekam. Keranjang itu pula kini berenda benang sutra yang halus dan lembut. Kedua remaja inipun kini menembus kegelapan Kota Semarang.

Senin, 04 Oktober 2010

TENTANG PERJALANAN SEBUAH HATI

Untukmu
Aku di berandamu
Dengan sebilah hati….
Werna merah…terngiang sebuah gairah
Aku beranikan menghias dengan sebuah prosa
Berisi taman bunga seribu warna….
Anyelir , Dahlia, Melati
Agar kamu mampu berhias
Mentari pagi dan kicauan kenari


Saat Kau Disampingku

Inilah yang kamu hasrati
Bila telah ranum carawala fajar
yang tergolek menggapai sebuah kepastian
Bila kau temui lagi, padang melekang
di tengah kemarau yang mencibir…
menepiskan belalang dan kupu
saat aku belum mengemasi keranjang penuh
wangi bunga
Tak ada lagi …
Perjalanan menembus tabir samar membelit harap
Hingga kamu bercerita pagi yang sejuk


Masih Adakah Perhelatan Hati…?

Jangan ada lagi nyanyian
yang sumbang merajut awan gelap
Penuhi saja bilik jantungmu……
dengan secawan anggur merah
Hingga aku menjadi liar menerjang
apa yang sebenarnya belum aku mengerti
Sejenak kita menanggalkan nafas
Agar mampu bersimpuh
Melipat harap dalam mengayunkan biduk
Mengemas wajah yang jatuh ke bumi
Selamat pagi..halaman rumahku…..


Tepikan Perahu Kita

Ketika kita melihat jalan gersang termakan debu
Menyulut kebiadaban derap langkah manusia beradu
Meradangkan ego dan melemparkan tajamnya
sebilah pedang ketamakan
Kita berikan sudut hati kita yang lebih dingin
Agar mereka mampu sebentar mengekangkan
Kuda sembrani hitam pekat
Menerbangkan warna hitam dan menebaskan
angkara murka
Batas senja telah diterpa angin dingin
Pohon palma yang berjejer masih terpagut membujur
Kita sambut saja malam hingga berhias purnama


Sebuah Dirgahayu
Merah….mendidihkan gairah
Beruntai putih mengokohkan lengan yang mengencang
Menengok langit berhias kemanusian
dan bersemayam mahkota Ibu Pertiwi.
Semarang Medio. Agustus 2010

Minggu, 03 Oktober 2010

SERIAL UCIL "Ratu Sihir"

Syahdan di jaman dahulu, hiduplah seorang wanita muda yang cantik jelita yang bernama NYI COMPO di pinggir Hutan WIDURI. Wanita ini hidup seorang diri, tidak memiliki sanak saudara. Nyi Compo dikenal sebagai wanita yang memiliki ilmu sihir yang sangat tinggi.. Sehingga karena kesaktiannya itu, dia terkenal dengan gelar RATU SIHIR DARI PANTAI UTARA..

Kemasyhurannya tersebar hingga ke seluruh pelosok Tanah Jawa, baik di kalangan manusia atau hewan. Termasuk juga hingga ke Hutan Kedung Siluman. Sehingga dipastikan semua penghuni hutan ini pasti tahu Ratu Sihir ini.

Namun sayang seribu kali sayang, Nyi Compo memiliki sifat tamak dan jahat. Ilmu kesaktian yang ditekuni beratus tahun tidak digunakan untuk kebaikan, tetapi digunakan untuk kepentingan diri sendiri dengan cara mengorbankan orang lain. Bukan hanya untuk merampas kekayaan orang lain saja, merenggut nyawa orang lainpun ia lakukan.

Sehingga perasaan khawatir, takut dan cemas telah menyebar di penghuni seluruh Pulau Jawa. Bahkan kegelisahan ini kini telah merambah penghuni Hutan Kedung Siluman. Karena akhir-akhir ini telah tersebar kabar bahwa Nyi Compo akan membumi hanguskan hutan hutan di Tanah Jawa yang banyak menyimpan kekayaan alam. Timbulnya rasa was-was ini tentunya bukan tanpa, lantaran Hutan Kedung Siluman banyak menyimpan harta kekayaan tependam seperti emas, intan dan harta berharga lainnya peninggalan para leluhur.

Apalagi telah tersebar luas di kalangan para petualang, bahwa Raja Rimba Kedung Siluman telah memiliki 2 telur emas yang bisa digunakan untuk tujuan apa saja. Sudah barang tentu kedatangan Nyi Compo tinggal menunggu waktu saja, dan kabar seperti ini telah tersebar di seluruh penjuru Kedung Siluman.

Malang tak dapat dicegah untung tak dapat diraih. Baru saja penghuni Kedung Siluman berhasil mengusir pasukan kera yang dipimpin Wiro Libas, kini mereka kembali dicekam perasaan was-was kedatangan Nyi Compo. Bahkan menurut kabar terakhir diketahui bahwa Hutan Menoreh, Alas Roban, Hutan Gunung Kidul dan masih banyak hutan lainnya telahdibumi hanguskan Nyi Compo.

Sementara itu sekembalinya Elang Mas dari tugas mata-mata, mengabarkan bahwa hari ini Hutan Pesisir Semarang telah dikuasai Nyi Compo dan pengikut-pengikutnya yang kian hari bertambah. Sehinnga seluruh kekayaan wilayah itu sekarang menjadi milik Nyi Compo.

K ita tahu bahwa bercermin pada pengalaman yang lalu, adalah pelajaran yang paling baik. Pelajaran tersebut adalah terjadinya serangan Wiro Libas dan kawanan belalang, yang
memporak-porandakan Kedung Siluman. Kejadian yang lalu itu bisaterjadi lantaran penghuni Kedung Siluman tidak siaga sebelumnya.

Oleh karena itu, pada saat bulan purnama tiba kali ini, Ucil tidak menyia-nyiakan pertemuan agung itu. Seperti biasanya pertemuan agung itu dihadiri para pemimpin Kedung Siluman. Pada pertemuan itu, Ucil meminta sahabat-sahabatnya bersiap diri menghadapi serangan Nyi Compo dan pengikutnya.

Bila sosok musuh yang mengancam Kedung Siluman , hanya mengandalkan kepandaian ilmu bela diri atau taktik berperang yang jitu, Ucil dan sahabat-sahabatnya tidak perlu khawatir. Tetapi sosok Nyi Compo adalah lain daripada yang lain. Bukankah menghadapi ilmu sihir yang demikian, harus dengan cara yang lain pula. Pendapat Ucil yang demikian telah dibenarkan oleh Eyang Kancil Sakti.

Malam sudah demikian larut, pesta cahaya bulan purnama masih menghangati Hutan Kedung Siluman. Bulan purnama yang menggantung di langit hitam terasa begitu dekat dengan penghuni Kedung Siluman yang sedang berkumpul melingkar.Meskipun demikian suasana perkumpulan malam ini sungguh berbeda dengan malam lainnya. Para hewan-hewan penghuni hanya kelihatan tertunduk lesu, tanpa keceriaan tidak seperti malam perkumpulan sebelumnya.

Hanya para pendekar-pendekar hutan ini, yang tidak ikut larut dengan kesedihan ini. Namun mereka merasa sedih juga melihat sikap saudara-saudara mereka yang banyak dihinggapi kegetiran hati.

Yang jelas penghuni Hutan Kedung Siluman sekarang sedang dibayangi rasa ketakutan yang mencekam, karena mereka merasa ngeri dengan kezaliman wanita iblis Nyi Compo. Hal ini wajar saja sebab mereka hidup di jaman entah berantah yang belum mengenal hokum

Mendapati kejadian yang tidak menyenangkan di perkumpulan bulan purnama ini, akhirnya Ucilpun menyempatkan diri untuk angkat bicara, guna mencairkan kebekuan suasana perkumpulan,
“Sahabatku semua, masa-masa yang lalu kita telah banyak menemui kesulitan, seperti bala tentara Wiro Libas yang cukup menyengsarakan kita. Setelah itu datanglah kawanan belalang yang tidak kalah besarnya menyengsarakan kita. Namun semua itu selalu bisa kita atasi bersama, hanya karena persaudaraan antar kita yang kuat. Walau wanita iblis itu dan pengikutnya datang menyerang kita, kita toh akan selalu siap menghadapinya. Lantas apa yang kalian pikirkan. . . sahabatku “ seru Ucil lantang.

“Tentu saja kita takut, Cil !. Musuh yang kita hadapi adalah ratu sihir yang licik , dengan pasukan terdiri dari mayat-mayat hidup yang tersihir. Amat menakutkan, Cil ! : seru Sembrani.

“Aku sarankan kita membuat pedang seperti pasukan manusia, untuk menebas kepala pasukan wanita iblis itu” kata Rajawali Perkasa.

“Ah. . . untuk apa ?. Toh merela akan hidup terus meski lehernya putus “ seru Badak.

“Cil, kita perlu minta keterangan Elang Mas, dimana markasnya wanita iblis itu, biar nanti ribuan rakyatku yang akan melibasnya “ pinta Gajah Sona, pemimpin kawanan gajah..

“Mereka bermarkas di bukit Gombel, hanya setengah hari perjalanan menuju sana “ Elang Mas memberi keterangan sesuai dengan permintaan sahabatnya Gajah Sona.
Karuan saja jawaban Elang Mas menimbulkan suasana perkumpulan menjadi gaduh.

“Sahabat-sahabatku !, selama aku berpetualang, banyak aku temui demit-demit yang mandraguna, termasuk Nyi Compo ini. Percayalah sahabatku !, betapa tingginya ilmu yang dimiliki demit pasti dia memiliki sisi kelemahan “ jawab Eyang Resi Kancil Sakti dengan kata kata datar dan sorot mata yang tajam. Menandai bahwa dia adalah ahlinya dalam hal ini.

“Eyang Resi !, sebaiknya aku siagakan seluruh singa yang ada di Kedung Siluman untuk menerkam pasukan wanita iblis ini. Cukup banyak pasukan singa yang siap tempur. Saya kira cukup untuk membuat wanita iblis itu jera “ seru Senopati Kedung Siluman Singo Brojo..

“Mohon maaf sebelumnya Senopati !, setiap mayat hidup yang kamu terkam, dalam waktu yang sekejap dia akan hidup lagi karena pengaruh sihir, jadi akan percuma saja “ jawab Eyang Resi Kancil Sakti.
“Lantas dengan cara apa kita bisa melumpuhkan mereka “ tanya Kilat Menjangan.
“Satu-satunya jalan dengan cara mencari kelemahan Ratu Sihir itu sendiri “ jawab Kancil Sakti.
“Tentu bukan barang gampang mencari kelemahan wanita iblis itu “ tutur Kijang Lelono.
“Betul pendapatmu, kijang sahabatku, maka marilah kita berbagi pendapat bagaimana caranya bisa mengalahkan Ratu Sihir “ jawab Kancil Sakti.
“Cil, aku punya pendapat “ kata Naga Sanca sambil melilitkan badanya di pohon akasia yang menjulang tinggi. Sehingga nampaklah tubuh Naga Sanca memenuhi semua pohon itu.

“Silakan katakana saja, sahabatku !” kata Ucil lembut.
“Di tempat tinggalku Lembah Teratai Emas banyak tersimpan emas dan intan peninggalan Eyang Resi Naga Siluman, aku rela untuk diserahkan ke wanita iblis itu. Asal dia tidak menghancurkan semua sahabatku “
“Aku hargai kebaikanmu, , ,wahai Cucu Sang Resi . . .sekaligus cucu guruku… .Namun saja seandainya semua emas dan intan kau serahkan. Wanita iblis itu tetap akan meminta lainnya. Lagian bukan itu saja, dia akan meminta darah segar dari bayi-bayi kita untuk merawat kecantikannya” demikian Kancil Sakti memberi jawaban yang masuk akal.

Pendapat demi pendapat mengalir seperti air sungai, silang pendapatpun menjadi semakin hangat. Hingga mereka tidak merasa hari telah hampir pagi. Sementara kawanan ayam jantan telah menyambutnya dengan ucapan selamat pagi. Akhirnya mereka bergegas membubarkan diri, untuk larut dalam kehidupan mereka masing-masing. Setelah sebelumnya terjadi kesepakatan antar mereka untuk menyelamatkan Hutan Kedung Siluman tanpa menggunakan kekerasan. Bukankah Kancil Sakti dan Ucil adalah ahlinya dalam hal ini ?

_____________oooo_______________


Siang hari di puncak musim kemarau, melesatlah beberapa kawanan kuda yang dipimpin Sembrani meninggalkan Hutan Kedung Siluman. Kepergian mereka diiringai angin barat yang semilir membawa kesejukan. Mereka tidak lain adalah jawara Kedung Siluman antara lain Ucil, Eyang Resi Kancil Sakti, Rogo Branjangan, Kilat Menjangan, Kijang Lelono, Elang Mas dan Sennopati Singo Brojo.

Kepergioan mereka sungguh terburu-buru, karena mereka merencanakan petang hari nanti bisa bertemu dengan Ratu Sihir dari Hutan Widuri yang kini tinggal di istana megah di Bukit Gombel Hutan Semarang. Mereka sama sekali tak menghiraukan lambaian tangan sebagian besar penghuni Kedung Siluman, sebagai tanda ucapan selamat berjuang, Yang ada di pikiran jawara-jawara adalah sesegera mungkin sampai di Bukit Gombel.

Jalan menuju Bukit Gombel dipenuhi dengan sebagian besar turunan, kadang turunan itu cukup terjal kadang pula landai. Mereka melalui jalan hutan yang tidak seberapa lebarnya dan berkelak-kelok. Setelah cukup lama mereka melewati jalan ini, akhirnya tibalah mereka di Bukit Gombel , saat matahari hampir tenggelam.
Istana Ratu Sihir berada di puncak Bukit Gombel, persis berdiri megah di bagian bukit yang beruapa dataran. Karena di bangun di puncak Bukit Gombel, maka sudah barang tentu Istana Ratu Sihir terlihat cukup megah dari berbagai penjuru bukit ini.

Kemegahan seperti inilah yang diimpikan wanita iblis itu.
Bahkan kemegahan yang seperti ini ternyata belum memuaskan hatinya. Kecuali dia berhasil merebut 2 telur emas milik Baginda Raja Rimba Kedung Siluman sekaligus merebut harta karun dari Lembah Teratai Emas peninggalan Eyang Resi Siluman Naga Sakti. Tidak cukup itu saja , Ratu Sihir berniat mendirikan istananya yang terbuat dari emas dan intan Lembah Teratai Emas.

Setelah menapakan kakinya di Buki Gombel, Kancil Sakti dan kawan-kawan tidak beberapa lama berhasil menemui Ratu Sihir tanpa banyak menemui kesulitan. Ratu Sihir menemui mereka dengan duduk congkak di atas singasananya, dikawal oleh banyak mayat hidup hasil pengaruh sihirnya. Sementara itu ratusan jawara yang terdiri para pendekar berilmu tinggi, berjejer di belakan singasana.
“Kami mewakili segenap penghuni Hutan Kedung Siluman menyampaikan hormat kepada Kanjeng Ratu Sihir. . . semoga ratu panjang umur “ demikian Kancil Sakti menyampaikan hormat.

“Hiii. . .hiii. . .aku terima dengan senang hati. Mengapa tanpa undangan kamu berani menghadapku “ jawab Ratu Sihir.
“Maafkan kami yang tak tahu diri. . .kedatangan kami yang tidak diundang ini, hanya sekedar menyampaikan rasa takluk penghuni Kedung Siluman kepada Gusti Kanjeng Ratu
Sihir dari Hutan Widuri.” Jawab Kancil Sakti sambil membungkukan badan diikuti oleh sahabat-sahabat lainnya.

“Hii. . .hiii . ..bagus kalau begitu. Aku tidak usah repot-repot mengirim bala tentara. Lantas apa yang akan kau persembahkan kepa junjunganmu, hiii. . .hiii “ pinta Sang Ratu.
‘Dengan segala kerendahan hati, apa yang Nyai pinta akan kami berikan “ jawab Kancil Sakti dengan gaya yang meyakinkan.

“Tentu saja aku minya seluruh emas dan intan di Lembah Teratai Mas. Untuk kujadikan dinding istanaku di tepi Tekaga Sewon Wono. Oh ya berikan pula dua telur emas milik rajamu. Atau akan kusihir semua penghuni hutanmu menjadi mayat hidup. Pilih yang mana ! ! ! ! !” bentak Sang Ratu diselingi tawa mengerikan.

Sungguh suatu peristiwa yang sangat bertolak belakang. Di satu sisi Ratu Sihir adalah wanita yang cantik jelata. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya kuning langsat. Disisi lain dia wanita yang memiliki sifat sangat tamak,jahat dan licik sekaligus sombong demikian bisik hati kecil Ucil.

“Eyang Kancil nampaknya Sang Ratu tidak main-main lagi, dia tidak cuma nggertak kita. Aku takut bila rencana kita meleset “ seru Ucil.

“Tenang saja, Cil !. Wanita iblis ini sedang lupa diri, karena godaan dunia. Keadaan seperti inilah yang aku nantikan. Disinilah kelemahan Ratu Sihir “ jawab Kancil Sakti dengan suara yang berbisik.

“Engkau belum menjawab permintaanku, He Kancil Tua. !. Kabulkan permintaanku ! atau aku luluh-lantakan Kedung Siluman “ ancam Ratu Sihir.

“Tentu aku akan mengabulkan semua permintaan Nyai. . . .sebagai tanda takluk, kami kepada ratu. Aku serahkan satu keranjang emas dan berlian “ ujar Kancil Sakti yang mencoba mendinginkan hati wanita iblis itu.

“Hanya satu keranjang ?. . .untu apa aku tak butuh !” seru Ratu Sihir.

“Ini hanya sekedar untuk tali asih. Semua emas dan intan yang ada di Lembah Teratai Emas silakan Kanjeng Ratu ambil. Tentunya setelah ratu nanti berkunjung ke Kedung Siluman “


“Hii. . .hi….hi. . bagus. .bagus. . inilah abdi yang baik. bawa sini keranjang itu ! “ pinta Sang Ratu. dengan tak menyisakan tawanya yang melengking dan mengerikan, seraya menarik keranjang emas yang kini sudah di dekatnya.

“Apa isi keranjang itu , Kancil Tua ?. . . Mengapa ada cahaya yang bergemerlapan ? “ ujar Ratu Sihir yang tertegun kagum.

“Gemerlap cahaya itu berasal dari intan yang tiasa ternilai harganya. Dengan intan itu Kanjeng Ratu bisa membeli semua hutan di Pulau Jawa. Hanya saja untuk mengambil intan itu harus dengan satu syarat “

“Cepat katakan apa syaratnya “

“Untuk mengambil intan itu, Kanjeng Ratu harus memejamkan mata, karena sinarnya bisa membutakan mata bila jaraknya terlalu dekat “

Tanpa berpikir panjang, sambil memejamkan mata Ratu Sihir membuka keranjang itu dan memasukan tangannya ke keranjang itu. Namun betapa kagetnya Ratu Sihir, seelah tangannya menyentuh benda yang lunak, hangat dan menjijikan. Karuan saja merinding seluruh tubuh wanita iblis itu. Apalagi setelah dia menarik tangannya, terdapat ratusan lintah yang menggigit tangannya dan ribuan kunang-kunang beterbangan mengelilingi tubuhnya.

Karuan saja dia menjadi panik bukan kepalang, meski dia minta tolong kepada semua pengawal-pengawalnya, namun apa daya menghadapi hewan yang menjijikan itu. Apalagi lintah-lintah itu kini berloncatan dan menggigit seluruh tubuhnya, Semua pengawalnyapun hanya diam membisu dan terpaku bingung apa yang harus mereka kerjakan. Akhirnya diapun minta tolong kepada tamunya kawanan penghuni Kedung Siluman.

Hanya dengan siulan yang singkat saja, lintah-lintah itu akhirnya melepaskan gigitannya dan berloncatan kembali ke keranjang semula. Sehingga legalah hati wanita iblis itu dan telah jera tidak sanggup mengalami hal yang sama lagi. Maka diapun berjanji tidak akan mengganggu kedamaian Kedung Siluman lagi
________________oooo_______________

SERIAL UCIL "Kancil Sakti "

Kesedihan Ucil kini telah lenyap, hatinya kembali pulih seperti semula lantaran
emaknya telah sembuh, karena itu pula kini dia lebih ceria lagi bertutur kata dengan hewa sahabat-sahabatnya.
Setiap hari seusai membantu pekerjaan emaknya, dia luangkan waktunya untuk bermain dengan sahabat-sahabatnya. Mereka saling berlari, bekejaran dan bercengkerama layaknya saudara sekandung. Bahkan kini mereka benar-benar telah menjadi sahabat sejati, apabila salah satu dari mereka menemui kesulitan, maka yang lainnya segera memberi bantuan.
Demikianlah kehidupan Ucil Si Tarzan Kecil tiap harinya. Namun hari terus berganti, karena waktu selalu bergulir tiada yang mampu menghentukannya. Pergantian hari, bulan pada akhirnya akan menyebabkan pergantian musim, hingga giliran sekarang Hutan Kedung Siluman dilanda musim kemarau yang panjang.
Seperti biasanya apabila semua penghuni hutan ini mengahadapi musim kemarau yang panjang, mereka harus siap menghadapi hukum rimba yang ganas antar mereka. Hukum ini jelas akan menguntungkan hewan-hewan yang besar dan ganas, mereka akan sesuka hati menganiaya hewan lainnya yang lemah. Bukankah bagi hewan yang lemah hanya bisa mengakui kecongkakan yang kuat ?. Lebih parah lagi, musim kemarau yang melanda Hutan Kedung Siluman tahun ini sungguh sangat panjang.
Persedian air utama yang ada di TELAGA SEWON WONO, kinitelah surut. Air yang masih tertinggal hanya sebagian kecil, terletak persis di tengah telaga, itupun kini telah keruh.
Sudah barang tentu manfaat Telaga Sewon Wono menjadi sangat penting, bagi kehidupan hewan di seantero hutan lebat tersebut. Semua hewan penghuni hutan ini memanfaatkan dengan sebaik-baiknya.
Namun lain lagi bagi Singa Perkasa SANG RAJA RIMBA. Yang congkak dan jahat. Karena sifat tamaknya, dia dengan congkaknya menguasai telaga ini sesuka hatinya. Hal ini membuat seluruh penghuni Hutan Kedung Siluman menjadi resah. Jangankan untuk minum, mendekatpun bagi hewan lainnya tidak diperbolehkan.

Karuan saja peristiwa di atas membuat Ucil ikut prihatin. Akhirnya dengan maksud baik Ucil disertai sahabat-sahabatnya menyempatkan diri untuk menemui Sang Raja Rimba. di istananya, yang letaknya tidak jauh dari Telaga Sewon Wono.
“Selamat jumpa lagi, . . . hai Si Raja Rimba. Semoga hari ini engkau dan keluargamu selalu dalam keadaan sehat-sehat “ sapa Ucil setelah dia duduk di depan Si Raja Rimba, yang duduk di atas tumpukan jerami dengan congkaknya.
“Auuummm.. . Selamat datang di istanaku, Hai Ucil. Apa keperluanmu datang menemuiku? “ seru Si Raja Rimba.
“Kedatangan kami semua menghadapmu hanya ingin mengunjungimu semata. Sekaligus perkenankan kami semua menyampaikan kekaguman kepada engkau Sang Perkasa, sehingga engkau patut di beri julukan SANG PERKASA SI RAJA RIMBA “ balas Ucil, dengan ucapan yang berbasa-basi. Ucil sengaja merayunya, karena dia tahu watak dan perangai Si Raja Rimba, yang sangat keranjingan pujian dari lainnya. Barangkali dengan cara ini, aku bisa melunturkan kecongkakan singa yang gila hormat tadi.
“Ha….ha . . ha.. memang begitu seharusnya, Cil. Semua hewan di hutan ini takut dan tunduk kepaku Sang Raja Rimba, lantas kepada siapa, akan berlindung kalau bukan kepada aku. . .siapa yang mereka takuti Cuma aku Sang Raja Rimba, ha. . ha. . ha “ seru raja rimba dengan wajah yang garang dan suara yang lantang.
Sebenarnya merah juga telinga Ucil mendengarkan kecongkakan singa gila hormat yang ada di depanya. Namun rasa marah dalam hatinya, sekuat mungkin dia tahan. Hal ini karena dia adalah duta dari semua sahabat-sahabatnya, sehingga dia harus bersikap hati-hati.
“Untuk itulah kami menghadapmu di istana, karena kami menginginkan pertolongan darimu, hanya engkaulah yang bisa menolong kesulitan kami “ dengan tidak sabar Ucil menuturkan permasalahannya.
“Katakan saja, Cil. Tentu dengan mudah aku akan membnantumu “ jawab Raja Rimba dengan wajah yang tersenyum angkuh.
“B aiklah Raja Rimba, aku harap engkau bersedia mendengarkan semua keluhan rakyatmu, yang sedang dilanda keresahan mendalam “
“M asalah apa, Cil “ Raja Rimba kaget mendengar penuturan Ucil.
“Hendaklah engkau bertindak adil, berikan kebebasan pada rakyatmu untuk mengambil air telaha sekedar untuk minum “ jawab Ucil lantang
“Aku selalu memberi kebebasan yang luas pada rakyatku, apabila keadaan air cukup berlimpah. Namun memang aku larang, karena persadiaan air terbatas “
“Aku yakin air telaga tidak akan habis hanya sekedar untuk minum saja “ tutur Ucil dengan nada yang cukup tinggi.
“Itulah maslahnya, Cil. Pada kenyataannya mereka seenaknya saja mengambil air. Mereka tidak mau mematuhi aku sebagai Raja Rimba, agar mengambil secukupnya “
“Lantas akan kau biarkan rakyatmu mati kehausan ? “ Ucil tidak kalah kerasnya dengan ucapan Raja Rimba.
“Grrr…..grrrr apa boleh buat, itulah hukuman yang pantas bagi mereka “ ucap Raja Rimba, yang sudah tidak dapat menahan rasa amarahnya.
“Dimana rasa keadilanmu sebagai Raja Rimba ? ” kini giliran Ucil yang berang dengan raja rimba.
“Aku tidak perduli. Bagiku peraturan ini akan terus aku jalankan sepanjang musim kemarau ini “
“Sungguh engkau tidak pantas menjadi Raja Rimba di Hutan Kedung Siluman ini. Tidak pernah aku duga, bahwa sifatmu bertentangan dengan nama besarmu. Percuma aku memberi hormat kepada engkau “ Ucilpun tidak mau kalah dalam meladeni kekerasan hati Si Raja Rimba.
“Itu bukan urusanmu, hai bocah sombong !. Cepat tinggalkan tempat ini ! “ gertak Raja Rimba kepada Ucil, yang nampaknya sudah tidak main-main lagi.
“Ketahuilah, hai Raja Rimba. Apabila terjadi ketidakadilan di hutan ini. Disitu pulalah Ucil akan dating untuk membrantasnya “ seru Ucil yang nampaknya juga tidak main-main.
“Bagus bocah yang tidak tahu diri !. Andai aku bertindak tidak adil, lantas apa maumu ?. Aku peringatkan kau !. Sekali terkam saja, tubuhmu akan tercabik-cabik “ tutur Raja Rimba yang kini sudah tepat di depan Ucil, siap menerkam.

Keadaan di dalam istana Raja Rimba kini terdengar gaduh, semua hewan berteriak memaki Raja Rimba, sementara lainnya berhamburan keluar karena takut. Betapa tidak
Kawanan singa pengawal Raja Rimba dan Ucil beserta kelompoknya sudah saling berhadapan dan saling bersitegang. Kedua belah pihak telah siap untuk bertempur mati-matian. Bahkan dalam situasdi yang genting seperti itu, meloncatlah Si Belang persis di depan Raja Rimba seraya menggertak.
“He Raja Rimba serakah majulah hadapi Belang , inilah lawanmu bukan bocah kecil ini “ tantang Si Belang yang siap untuk menyabung nyawa.
Melihat situasi yang telah menjadi kritis ini, Ucil berusaha untuk mencegah pertarungan antara Raja Rimba dan Si Belang. Karena keadaan seperti ini sama sekali tidak dikehendaki Ucil. Tugas dia yang paling utama, adalah mengajak semua penghuni hutan ini, saling menghormati dan tolong-menolong antar mereka. Sehingga di Hutan Kedung Siluman, tercipta ketertiban dan ketrentaman.
Saat itu juga, Ucil segera mengajak sahabat-sahabatnya meninggalkan Raja Rimba dan pengawal-pengawalnya guna mencari cara lain untuk melunturkan kecongkakan dan ketamakan Si Raja Rimba..
Namun demikian Ucil tetap meminta sahabat-sahabatnya tidak putus asa dan terus berupaya mencari cara lain. Sepanjang perjalanan mereka meninggalkan istana raja rimba, Ucil dan sahabat-sahabatnya saling berdiskusi menentukan langkah selanjutnya. Diskusi antar mereka sungguh sangat serius tetapi menyenangkan, mereka saling melempar pendapat, tidak memandang jenis hewan, besar-kecil tubuh mereka atau perbedaan anatara mereka lainnya.
Dari sekian banyak pendapat yang disampaikan mereka yang ikut larut dalam diskusi ini, hanyalah pendapat Si Burung Hantu yang bernama Si GUK GUK yang dapat diterima oleh mereka semua. Karena semua telah sepakat menerima pendapat Si Guk Guk, akhirnya Ucilpun bisa bernafas lega. Karena untuk menyadarkan Si Raja Rimba memang haruslah dengan cara yang bijak.
Pendapat Si Guk Guk memang pendapat yang paling masuk akal sekaligus pendapat yang cukup bijak, sehingga diharapkan tidak banyak menimbulkan masalah dalam perjuangan mereka semua mendapatkan air minum. Bukankah semua hewan di Hutan Kedung Siluiman telah mengetahui kebesaran nama sahabat mereka yang arif, yaitu KANCIL SAKTI dari LEMBAH KLAMPISAN. Kebesaran nama Kancil Sakti telah telah mereka ketahui bersama, selain sakti Kancil Sakti juga dikenal sebagai tokoh yang arif- bijaksana, ringan menolong sesame, ramah dan luwes bergaul.
“Guuk. . . guk…teman-temanku, tentunya kalian masih ingat sahabat kita KancSakti, yang telah lama kita lupakan. Bukankah dia sahabat kita yang ringan-tangan menolong kita semua, saya yakin berkat kecerdasan dan pengalaman hidupnya, tentulah mudah bagi dia untuk menyadarkan Si Raja Rimba. . Guuk. . .guk “ demikian pendapat Si Guk Guk
“Baiklah teman-teman, setelah kalian menyetujui pendapat sahabatku Si Guk Guk, besok kita segera kesana untuk menerima nasehat-nasehatnya, karena hari sudah cukup siang aku pamit dulu. Kasihan emak di rumah sendirian ” serui Ucil sambil membalikan badanya untuk segera pulang membantu pekerjaan emaknya. Sudah barang tentu kesepakatan anatar mereka telah dirahasiakan bersama, agar tidak terdengan telinga Si Raja Rimba, yang dikhawatirkan bisa menghalangngi niat mereka.
Tidak berapa lama mereka telah sampai di Lembah Klampisan, yang menakjubkan karena dikelilingi bukit yang landai dan sejuk. Persis di salah satu bukit, terdapat goa yang besar dan sejuk, disitulah Si Kancil Sakti tinggal. Karena Kancil Sakti sangat mudah bergaul dengan siapapun, merekapun tidak menemui kesulitan untuk menjumpainya.
“Jadi kamu yang bernama, Ucil “ seru Kancil Sakti
“Betul, Eyang Kancil “ jawab U cil.
“Hoooooo…..jangan panggil aku eyang “ protes Kancil Sakti.
“Ah. biarlah, aku senang memanggil eyang “ jawab Ucil, seraya melepas senyum.
“Hmm. . .terserah maumu saja Cil, Ayo cepat katakana, maksud kamu dan sahabat-sahabatmu menemui kancil yang tidak berguna ini “.
Ucilpun lantas menceritakan derita semua sahabat-sahabatnya penghuni Hutan Kedung Siluman, akibat ketamakan dari Si Raja Rimba.. Sekaligus niat dia meinta pertolongan Kancil Sakti. Mendengar penuturan Ucil yang runtut, dari awal hingga akhir Kancil Sakti hanya menarik nafas panjang sambil mengelus-elus jenggotnya yang telah memutih’
“Sungguh suatu perbuatan yang tidak terpuji, tidak pantas dilakukan oleh Raja Rimba . Baiklah saat ini juga, bersama mari kita temui rajamu. Semoga saja dia bersedia merubah keputusannya. “ seru Kancil Sakti dengan bergegas berniat menemui Raja Rimba..
Hari belum begitu sore, matahari masih bergelantung di langit biru yang kini sudah mulai condong ke barat. Sementara itu, Si Kancil Sakti bersama dengan sahabat-sahabat Ucil, telah sampai di gerbang istana Singa Si Baginda Raja Rimba. Kedatangan mereka sungguh membuat kaget penghuni istana, termasuk Raja Rimba.
“Auummm. . . engkau lagi Cil. Bagus. . .bagus. . .engkau membawa hidangan seekor kancil yang sudah tua, namun tiada mengapa Cil. Sudah tiga hari aku tidak makan
“ sambut Raja Rimba yang telah dimabuk dengan kecongkakannya.
“Aku tidak punya waktu lagi untuk berbasa-basi denganmu lagi, keadaan penghuni hutan ini sudah cukup menderita. Serahkan sekarang juga Telaga Sewon Wono kepada kami “ sahut Ucil dengan nada ketus.
“Ambil saja sesukamu, Cil. Asal kamu mau menyerahkan hidangan kancil berjenggot itu, meskipun sudah tua, namun biarlah yang penting cukup untuk mengganjal perutku “ seru Raja Rimba. Nampaknya rasa lapar diperutnya membuatnya dia lupa diri.
“Asal kamu mampu menangkap dan menerkam tubuhku, silahkan kamu nikmati kancil ini sepuas-puasnya, he. . . singa ompong yang lemah “ tantang Ucil.
Sebenarnya ngeri juga perasaan Ucil, atas sikapnya yang menantang Raja Rimba. Namun hal ini dia lakukan karena segala sesautu telah mereka rencanakan, untuk melumpuhkan Raja Rimba atas perintah Kancil Sakti.
“Kurang ajar, rasakan taringku. . . bocah bandel “ gertak Raja Rimba seraya melayangkan tubuhnya sekuat tenaga guna melumat tubuh si kecil Ucil. Namun betapa kagetnya Si Raja Rimba, saat kaki belakangnya menyentuh tanah. Dia merasakan lemas sekujur tubuhnya, bahkan tanah yang diinjaknya menjadi lunak, sehingga kedua kaki belakangnya terperosok ke dalam tanah yang basah.
Tidak heran kalau Si Raja Rimba menjadi gusar hatinya. Denghan sekuat tenaga dia mencobna menarik kedua kaki belakangnya. Namun anehnya, semakin kuat menarik kakinya, semakin dalam pula kaki belakangnya terperosok.
“Apa yang kamu lakukan , Cil. Jangan kamu kira aku akan menyerah begitu saja, he bocah sombong, he . . . pengawalku tolong angkat tubuhku, jangan hanya diam saja” . Sikap Raja Rimba semakin tidak menentu.

Meski enam pengawal setianya bersamaan menarik tubuh rajanya, namun tubuh Raja Rimba sama sekali tidak bergeser sedikitpun. Yang jelas peristiwa seperti ini, tidak membuat Raja Rimba menyadari kekurangannya, bahkan malah bertambah besar amarahnya.
“Jangan kamu kira, aku akan begitu saja menyerah padamu. . . bocah ingusan, kalau kau memang berani, bunuh saja aku, tunggu apa lagi. . . bocah dungu ! “ teriak Raja Rimba hingga suaranya menggetarkan dinding istana. Karuan saja membuat hati sebagian besar hewan yang ada di dalam istana menjadi tambah getir . Hanya Ucil dan Kancil Sakti yang kelihatan tenamg.
“Untuk apa aku membunuhmu yang sudah tak berdaya, sekarang serahkan saja Telaga Sewon Wono kepada semua rakyatmu “ jawab Ucil.
“Sampai kapanpun tidak akan aku serahkan telaga ini “
Di sela perseteruan Ucil dan Raja Rimba, majulah Kancil Sakti hingga tepat di depan tubuh Raja Rimba yang tak berdaya lagi, seraya berkata dengan tenang.
“Aku harapkan , Baginda yang Terhormat berkenan menyerahkan telaga ini, hanya kemurahan hatimu sajalah yang mampu menolong dirimu sendiri “ kata Kancil Sakti.
“Kancil tua. . . apa pedulimu, telaga ini miliku, hanya aku sajalah yang boleh meminum airnya, jangan ikut campur urusanku “ tutur Raja Rimba dengan sikap yang angkuh.
“Baiklah kalau memang begitu, sekarang nikmati saja air telagamu sepuas-puasnya “ seru Kancil Sakti seraya melangkah surut menuju Ucil berdiri.
Tidak beberapa lama setelah Kancil Sakti melangkah surut, kini terlihatlah pemandangan yang mencengangkan semua yang hadir di istana. Betapa tidak, dari semua lubang tubuh Raja Rimba mengalirlah dengan deras air yang keruh dan berbau busuk. Maka pantas saja bila seisi istana menjadi gaduh. Mereka saling berteriak,melolong, menggeram dan entah suara apa lagi.
Mengalami peristiwa yang mengerikan semacam ini, barulah Sang Raja Rimba menjdi kecil nyalinya. Sontak dia memohon kepada Kancil Sakti dan Ucil beserta sahabatnya dan berjanji akan menyerahkan Telaga Sewon Wono kepada seluruh rakyatnya..

Senin, 27 September 2010

Puisi ANAK SINGKONG

GERIMIS DI TENGAH KEMARAU

Aku mengusung singkong, ubi jalar dan tanaman sayur,
Yang tumbuh di halaman rumah
Ke dalam bilik kamarku,
Agar terasa hangat hatiku, jantungku
Darahku, yang terbujur kaku,
Meski ini bukan gerimis terakhir
Yang mengguyur dinding bilik
Terbuat dari anyaman bambu
Membasahi ilalang di atap rumahku,

Namun sepiring nasi lusuh
Dengan sekerat tempe
Dan dibasahi sayur asem
Mampu mengganjal laparku,
Dengan senyum beribu warna
Istrikupun menghangatkan tubuhnya
Dengan sayur dan kue-kue pasar
Agar di tengah malam tak terjaga
dari teriakan dinding perutnya

Di meja yang tiada seberapa kokohnya
Berkaki bambu sebesar lenganku
Tertata makanan hangat
Agar anak-anaku tiada menghujamkan
Tangis bernada sinis
Karena kosong isi perutnya,
Meski perut yang mungil itu
Telah akrab dengan jaman

Aku menari nari di atas lantai tanah
Dengan radio butut yang berwarna kusam
Sekusam warna pagar rumahku
Yang mengumandangkan tembang jawa
Anaku sontak memburuku
Bagaikan kupu kupu di kebon belakang
Berhamburan memesariku
Istriku hanya tertawa hingga jelas
Lesung pipinya

Inilah sejuk…….
Bukan lantaran rumah berdinding semen
yang halus mengkilap
Putih cemerlang, bergurat jeruji penjara
Seperti pada loji para petinggi
Berdinding marmer nan licin
Sehingga berulang menjatuhkan musuhnya

Gerimis tak berniat surut
Aroma tanah yang dilekang kemarau
Masih saja memenuhi dinding bambu
Bayang hitam merengkuh bilik bambuku
Seloroh kini telah berada di atas bantal
Dengan dengkuran yang menepiskan
Getir yang mengitari pembuluh nadi

(Semarang, 26 September 2010).


ANAK SINGKONG


Jangan kau malu anaku,
Kala sepeda ini dikayuh, melewati jalan
yang kering dengan batu batu terjal
mencibirkan…makna
Jangan kau berangan “duduk” di kursi
Hulubalang raja
Yang berenda kertas berhias sutra
Lantaran kau adalah anak “singkong rebus”
Yang selalu bisa mengganjal perut
Bila matamu nanar
Merangkul kegetiran……

Anaku….
Kau bukan anak menteri di atas sana
Tapi tak harus kau melangkah surut
Kejarlah kedamaian
Dengan kedua tanganmu yang teduh
Meski sorot matamu redup
Tak mampu menerangi sudut langit

Jangan kau kejar rembulan…anaku….
Bila separonya telah dihimpit awan gelap
Kejarlah bintang di langit
Bila awan telah menyodorimu
Senyum indah
Berdoalah bila benakmu telah
Menyimpan apa yang ada di kepalamu…..

(Semarang, 26 September 2010).

BINTANG KEJORA

Apa telah kau besihkan beranda rumah
Meski hanya berlantai tanah liat
Agar tegar langkahmu, membidik bintang kejora
Warna warni,
Di bibir langit,
Apakah benar kau mampu menyuntingnya,
Bila melewati remang malam
Beterbangan kelelawar penghisap darah
Dari urat nadimu yang kecil….tak berdaya

Namun tiada juga kau bersalah…..
Bila kau memungutnya dan kau simpan
Dalam cucuran peluhmu..
Karena kau masih tegar
Melangkah pada kedua kakimu
Dan legam bahumu telah cukup kokoh

Biarlah emak dan bapakmu
Melepasmu di pagar luar rumah
Janganlah kau hirau, pada guratan wajah
Yang kami sisakan untukmu…..
Tengoklah kebon sayur bila
Telah gontai langkahmu

Semarang, 26 September 2010).


ABANG BECAK

Pada langit, bumi, lembah dan ngarai
Aku pekikan…..
Aku tiada pernah merasa lelah
Mengusung kehidupan
Di hari yang mengigit dan
Dan nafas yang menerkam

Jalan ini adalah miliku
Meski dipusari gedung bertingkat
Beratap jalan laying, berwajah gincu tebal
Aku akan terus menerjang
Meski debu jalan menghardiku
Demi manja istriku dan anaku
Semarang, 26 September 2010).

Minggu, 26 September 2010

BUKU HARIAN

Usianya kini telah hampir 55 Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45 tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya. Maka hari-harinya hanya dia lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah rumah gedong yang hanya dihuni dia seorang diri. Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Pagi hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda. Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala itu diapun tidak mau melewati hidup yang indah begitu saja, bersama istrinya Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula tersebut.
Istri yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah barang tentu tergolong putri gedongan dan manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang mampu merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran, namun memiliki etos kerja yang brilliant, pandai memimpin, murah senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan. Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula tersebut.
Namun saat itu keteguha hati Prakoso menjadi luruh, kala berjumpa kembang mawar yang wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang penuh memberi arti dan sangguh mampu menjadi pelabuhan hatinya. Bukankah maghligai pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh setiap insan.
Namun Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai kerja yang handal, hanya Prakosolalah satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian hari. Maka Diajeng Melatipun tidak ragu lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran Prakoso, sang mandor yang juga memiliki pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro koleganya.
Menyikapi niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun menyambutnya dengan bahagia. Meski silih berganti para putra bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin, pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya yang sudah beranjak ewasa. Namun kenangan itu, sepertinya masih melekat di kehidupannya, kala lembar demi lembar buku hariannya di baca. Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh, namun menyebabkan hatinya yang semula ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget menelikungnya saat melihat istri dan
kedua anaknya berpamitan entah hendak pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah menunggu di pintu regol.
“Melati .! Tunggu dulu, kau mau kemana ?”
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Melati, hanya terlihat dia menyibukan diri mengemasi koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia dan anak-anaknya.
”Melati, aku suamimu, berhak melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku pergi”
”Lantas kalau kau suamiku, kau mau apa ?”
”Aku berhak menerima penjelasan darimu, apa maksud semua ini?”
”Apa perlu lagi kujelaskan, apa kau masih berhak menerima penjelasanku”
”Aku masih suamimu yang sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua bukan kemaunku”
Kembali rumah mewah berarsitek Eropa itu menjadi lengang, kini hany a terdengar suara isak tangis dari kedua putrinya, yang mulai beranjak dewasa, yaitu Rr. Caroline Widiati dan Rr. Elisabeth Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
”Kalau kau ingin penjelasanku, sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi menjadi suamku, kamu sudah tidak mampu lagi menafkahi keluargamu. Yang kamu lakukan hanya mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander itu.”
”Tap itu dulu kan, mam ! ”
”Ya dulu waktu kau masih masih bugar dan banyak menyimpan gulden. Sekarang mana ?”
”Lagian di luar masih banyak ekstimis republik yang akan membahayaka perjalananmu”
”Aku sudah minta bantuan Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku beberapa petugas ”
”Tunggulah dulu barang beberapa hari, kita bicarakan baik-baik”
”Kamu lupa Mr. Prakoso !, bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi kamu selalu m,enghindar, bahkan semakin kamu terporosok lebih dalam dengan wanita-wanita jalang dari temat-tempat kasino itu, berapa ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
”Bukan itu maksudku Melati !, toh aku sudah menyadari itu dan aku sudah minta maaf masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu, toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
”Ketahuilah Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah para bendoro, karena kita adalah keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut. Suamiku”
Prakoso merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa menoleh sedikitpun kearahnya Diajeng Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah
kita bertemu lagi putriku, demikian bisik hatinya, bersama dengan ringkik kuda yang semakin lama semakin tak terdengar lagi.
Ditutupnya lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar terpagut perasaan rindu terhadap sebuah pertemuan, Prakoso yang tiada berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan panjang seorang laki-laki yang terhempas dari badai kehidupan.
Berkali kali dirinya mengunjugi Wedana Kresidea\nan Cirebon, Bendoro Winata untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah dia tahu, bahwa keluarganya kini berada di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal bersama pamanya, namun entah alasan apa merekapun sepakat untuk hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat yang jelas.
Serasa baru kemarin kegetiran itu berlangsung, meski telah lima belas tahun berselang. Pandangan matanya menjadi sendu, kursi goyang dari kayu jatipun telah berhenti bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur berada di atasnya. Prakosopun tambah semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa semakn menghimpitnya, sehingga paru-parunya tersa sakit untuk bernafas.
Sebuah suara lembut dari dalam kamar tidurnya yang lengang telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya kini terasa lebih longgar lagi. Warna dinding rumahnya yang tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya. Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun kini lenggang.

Selasa, 21 September 2010

KAMPUNG ILALANG

( Sketsa Berbagi Kasih dan Peduli di Era Keterpurukan Sosial dari Penulis Pinggiran)

SEPERCIK AIR
Mereka mampu menumpahkan batas pandang
Menyisir tiap celah bukit
Yang melingkungi
Untuk melihat semburat,
Rambut Sembodro atau Supraba
Yang beruntai kuning keemasan…

Sebutir jagung yang tumbuh
Di pematang kebun berbatas keadilan
Dirimbuni daun singkong, mentimun
Untuk bekal hari esok
Mereka untai dalam birama,
Agar anak cucu mampu bermandi
cahaya rembuilan di tengah sawah
Yang mengering tanpa gemercik iba

Mereka saling bertaut…bila ufuk telah redup
Kala benang sutra kehidupan
Dirajut dengan tepi yang tajam
Dan menghujam ke tengah jantung mereka
Terhempas dalam sorot mata
Yang mampu menguliti mereka

Pagipun tetap berpagar
Burung yang memadu hasrat
Berbulu warna warni, ketika angin meradang
Menggandeng tikus tikus rakus yang merobohkan
Akar rumpun ilalang

Illalang itupun merobohkan daunya
Menuju kaki langit
Sebuah teriakan mereka
Engkaulah sepercik air……
Kamilah berbaju kekeringan
(Semarang, 21 September 2010)

PARADE JALANAN

Mereka tak lebih dari jerami
Yang ditumpuk di tepi jalan kehidupan
Karena terpanggang angin kemarau
Yang bersemayam
Dari empat penjuru kaki langit
Apa arti sebuah desah gemerisik
Dari daun ilalang yang mengering
Tapi tiadalah mereka merenggut
Rumpun akar yang tertanam di bumi
Engkaulah milik kibasan bumi

Janganlah kau tebarkan lagi
Biji biji sehingga melupat gubug bambu
Hingga meranggasnya pohon pohon kekar

Gemerecik air kalipun
Akan menghijaukanmu
(Semarang, 21 September 2010)


JANGAN KAU TANGISI DUKA LARA
Di sudut kebun tiada bernaung
belas kasihan…….
Di tepi bunga Raflesia berdaun kokoh
Menyeruakan bau busuk
Menusuk semata rumpun tiada berdaya
Apalagi di samping bunga,
berkelopak sipit
Dan berakar tunggang
Bukankah bunga kokoh
Yang bertangkai seputih salju…
Telah layu…..

Apalagi deru perubahan
Telah mengenyangi perut kebun itu
Namun biarlah rumpun berkalang sudut
Berakar di kubangan tanah sejuk

Duka adalah tabir….
Milik anak ingusan
Tiada mampu meraih kanvas
Di belahan bumi
Di balik Mahameru
(Semarang, 21 September 2010)

KASIHKU
Telah terpagut aku di senja hari
Ketika kawanan merpati berbulu jingga
Memenuhi langit
Belahan barat

Aku kumpulkan suara cengkerik
Untuk menyuarakan symponi hidup
Aku kumpulkan pula air tawar
Yang kujaring dari angin malam
Untuk membasahi cinta bening ini

Temaramnya malam bukanlah kutukan Tuhan
Yang bersemayam di hati kita
Malam adalah kala langit
Ditaburi sayap
Dari sang putih bersih
Agar mengirimkan pesan
Untuk beranda hati kita
Yang dihinggapi burung hantu
Mencengkeram hingga ujung sendi

Akupun bersama sang pagi
Siulan burung dan batang bambu
Menggeleparkan hati kita
Untuk menantang istana ufuk
Merentangkan bilah daun kita
Kita adalah ilalang

(Semarang, 21 September 2010)

Sabtu, 18 September 2010

Ranting Ranting Kering

 Wikimedia, 2010
Hanya tinggal mengandalkan ke dua kaki yang terbungkus keriputnya kulit, yang melegam karena terbakar matahari. Terkadang kedua kakinya itupun gemetar menapaki pematang sawahnya yang tidak seberapa luas. Namun Suto tidak pernah merasakan adanya sebuah perpisahan. Meski kehadiran istrinya beberapa puluh tahun mendampingi dirinya hanya tinggal kenangan. Setelah semua kepengapan hidup dan kesengsaraan yang mendera mereka telah cukup.

Rupanya Tuhanpun memilih Suminah untuk segera menghuni langit dengan taman bunga warna warni, ketimbang harus menghuni dunia yang penuh tipu daya. Suminahpun meninggalkan Suto dengan tenang, karena Suminahpun tidak mampu melawan kodrat yang digariskan oleh Yang Diatas. Apalagi diapun tahu bahwa suaminya adalah laki-laki yang tangguh, terbukti dari seluruh hidup mereka, hanya kesengsaraan dan kemiskinan yang mengakrabinya.

“Aku sakit, Pak !” Demikian Suminah mengeluh dihadapan suaminya, pada suatu malam. Setelah seharian mereka di sawah.
“Tidurlah, besok biar aku saja yang kesawah. Kamu tidak usah membantu”
“Ah Cuma masuk angin, besok juga sembuh”
“Kamu sudah cukup umur, Bu !. Jangan memaksa diri”
“Tapi kalau di rumah juga mau apa ?. Aku senang mbantu kamu, Pak !. Aku juga tidak sampai hati sama kamu Pak. Aku lihat kamu sebenarnya sudah tidak kuat lagi ke sawah. Pak. Duh Gusti kemana perginya Yono dan Noto. Sudah bertahun-tahun belum pulang juga”
 Ranting Kering,Sumber Pondok SASTRA HASTI Smg
“Sudahlah, jangan mengungkit-ngungkit mereka lagi Bu !. Nanti kamu tambah sakit. Kita tidak punya biaya untuk ke rumah sakit lho Bu !. Jaga kesehatanmu !”
“Aku seorang ibu Pak, aku yang melahirkan mereka berdua. Dari kecil aku asuh, setelah dewasa entah kerja di mana. Mereka berdua lupa dengan kita berdua, yang sudah renta, Ya Pak ?”.
“Jangan kuatir, Bu !. Tidak lama lagi mereka pasti pulang. Mereka tidak lupa dengan kita Bu, aku yakin. Hanya saja mereka tentunya belum mendapatkan kehidupan yang layak”

Suminah tidak menjawab lagi, namun tatapan matanya tetap kosong, rasa rindu kepada dua anaknya kian menjadi-jadi saban hari. Apalagi bila mendengar teman sekampung Yono dan Noto telah berbahagia dengan istri dan anak anaknya. Namun Suminah adalah wanita yang telah biasa mengalami berbagai macam goncangan hidup.
Namun entah mengapa rasa rindu kepada anaknya, beberapa minggu ini kian tak karuan.

Baik Suminah sendiri, apalagi Suto adalah manusia biasa yang tidak tahu kodrat dan iradat dari Tuhan Yang Kuasa kepada hambanya. Rupanya rasa rindunya itu telah meluruhkan ketegaran wanita petani yang hidup di desa, Suminah kinipun hanya berbaring ranjang lapuknya dan sebuah kekuatan diluar kasat mata telah membius jantung dan paru. Sehingga Suminahpun kini hanya terbujur dingin.

Hanya linangan air mata Suto saja yang mengiringi kepergian belahan jiwa yang selama 30 tahun bersamanya mengarungi dunia yang tak pernah menjadi sahabat mereka. Rasa penyesalan yang dalam telah menyelimuti ruang hati Suto, mengapa dia tak mampu mempertemukan istrinya dan kedua anaknya. Namun kala itu kemana dia akan mencari kedua anaknya. Disamping itu dia dan istrinya hanyalah sepasang manusia yang sudah uzur, yang tidak mungkin berpetualang dari kota ke kota mencari mereka. Karena mereka berdua hanyalah ranting ranting yang kering dan rapuh.

Suto kini sudah tak mungkin lagi terus larut dalam bayangan Suminah, karena dia kembali disibukan dengan panen. Tangan dan kaki yang keriput itu masih saja bersemangat untuk menuai sebuah kehidupan walau hanya secercah hinggap pada awan jingga di ufuk barat, apalagi tanpa bantuan Suminah istrinya. Tak khayal lagi kini rasa rindu kepada semua keluarganya menjadi kental. Namun bagaimana lagi, bila ranting kering yang sudah rapuh, hanya menunggu jatuh ke tanah dihempas angin kehidupan.

Perjuangan melawan ganasnya penghidupan membuat mereka saling berpisah satu sama lain. Kedua anaknyapun memilih meninggalkan desa itu lantaran sudah tidak memiliki harapan lagi. Yono putra sulung mereka bergabung dengan rekan satu desa yang berniat mengadu nasib ke Lampung untuk bertranmigrasi. Sementara itu Noto bertekad merantau ke Malaysia dan berjanji untuk sering menengok mereka beberapa tahun sekali. Namun nyatanya mereka hanya meninggalkan sebuah harapan dan kerinduan untuk sepasang ranting yang kering yang ditengah terik musim kemarau.
Harapan tinggal harapan, Sutopun hanya mampu merenungi kepergian semua harta miliknya yang tiada pernah tahu berapa nilainya. Apalagi semenjak kepergian Suminah, Suto telah kehilangan seisi dunia ini. Malampun bertambah larut, langit langit kamarnya yang kumuh dan berdebu kini menjadi saksi. Dipegangnya kata hatinya yang mampu membesarkan dirinya, maka diapun tidak mau mendengarkan lagi hati kecilnya,

Suto kin terlelap dalam sebuah mimpi panjang, ketika dia dan kedua anaknya bermain di tengah sawahnya yang mongering karena kemarau menerpanya. ,Mereka bertiga berkejaran dan melepas tawa riang hingga terdengar dari tiap penjuru padang tersebut. Mereka bermain layang-layang, menangkap kerbau, mencari belalang hingga datanglah Suminah yang berpakaian serba gemerlap, bersulap benang sorga dan semerbak wangi bunga sorgapun merebak memenuhi hidung Suto. Suto tak mampu menolak Suminah yang menjulurkan tanganya untuk mengajak pergi ke penjuru langit. Sementara kedua anaknyapun hanya melambaikan kedua tangannya dengan senyum bahagia. Dan heninglah peraduan Suto.

PUISI DI TITIAN BENANG SUTRA

SERIBU MIMPI
Aku dapati lembaran kain sutra
Yang kau gulung…..
Hingga tepinya menyentuh
sebuah buku harian
tak tergores sebuah penapun

Aku hampiri dengan nyanyian burung
Laksana teriakan ilalang yang
dipusari angin dini hari,,,,

Seribu bentang kini kau tebar
Haru biruku telah disodori
Oleh kawanan kenari
Bersayap tak menampakan hasrat
Biar aku kuliti sendiri
Detak jantung yang hanya menyepi

Aku berteriak…melewati batas pandang
Sekuat yang kau duga
Biarkan saja “ruh” dalam
binar nyanyiku…..
Menjadi saksi
Kala malam seribu bunga
Tumbuh dalam kubangan seribu mimpi

(Saat Ultahku, September 2010)

TELAH MENEPI PERAHUKU
Pernahkah kau lihat…
Bila perahu telah bertegur sapa
Dengan dalamnya lautan
Seribu misteri
Pernahkah juga kau lihat…
Meranggasnya daun beluntas
Dipagut nyanyian kemarau…
Di pantai warna warni

Telah kau lihat lihat
Saat benang sutra di hatimu
Telah tersingkap
Kala…..
Bocah bocah menyanyikan tembang
Purnama di halaman rumah

Tak ada nyala api yang benderang
Hanya kulit mereka……
Diseka temaram sang rembulan
Di pantai itulah sauh kutambatkan
Agar perahu menghitung nafas

(Saat Ultahku, September 2010)

SEHALUS BENANG SUTRA
Ketika kita terjaga…lantas
Titian panjang harus kulewati
Agar aku mampu melihat
Halaman hati….berenda
Sapaan pagi

Aku hangatkan bekal
Yang telah membujur …dingin
Dan tiada mengenaliku lagi
Lantas benang sutra di sudut bibirmu
Telah menjerat awan senja
Aku tidak mau lagi
Berkalang dengan buruk gagak

Aku tak mau lagi
Menukikan sayap hingga
Menghempas bumi
Kita jaga warna langit
Agar mirip dengan untaian…
Benang sutra di sudut senyumu
(Saat Ultahku, September 2010)


ANTARA SEMERU DAN MOUNT EVEREST
Saat engkau bimbang..
Janganlah menghitung bintang
Saat engkau dingin
Jangan sekali
Menjaring angin

Lekatkan sayapmu..
Pada ujung Mahameru
Lantas akupun mampu
Memandang Mount Everest
Kini keduanya bersatu
Pada sajak penuh arti
(Saat, Ultahku September, 2010).

Jumat, 17 September 2010

Angin Kemarau Di Tengah Padang

Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.
Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya. Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.
Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.
Aku mengenalnya dengan raut mukanya yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku entah kemana. Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.
Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap, sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.
“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.
“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.
“Maafin aku mengganggu tidurmu”
“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.
“Win, kamu marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”
“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”
“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”
“Kamu kan teman sekantorku, dan sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”
“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.
“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”
“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”
“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua anaku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.
“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”
“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”
“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”
“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.
“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”
“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!. Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah” Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.
“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”
“Aku tunggu di luar saja Win. Di luar angin kemarau mulai kencang“
Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.
“Mereka sudah tidur, ? “
“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.
“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”
“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”
“Mereka butuh itu Win “
“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”
“Lama lama mereka juga akan percaya”
“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”
“Apa arti semua itu sih Win?”
“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’
“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”
“Maksud Mas ?”
“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”
“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”
“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “
“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.
Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi , bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.
Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.
“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.

Nyanyian Merdu SANG GURU

Biarkan saja kokok ayam jantan tak henti menyambut pagi hari, mereka berkokok saling bersautan dari pojok desa satu dengan lainnya. Mereka begitu tak hirau dengan datangnya hari yang akan dijalani oleh kehidupan manusia babak demi babak, menurut kodrat yang telah digariskan oleh Sang Pencipta.

Pagi itu bumi Desa Kembang Arum seakan tiada menyisakan warganya yang kembali merapatkan selimutnya, meski di tengah musim kemarau udara begitu dinginnya. Kabut tebal masih enggan menatap sang mentari. Sementara itu semua celoteh burungpun tak mau peduli dengan malasnya embun yang menyelimuti mereka. Sementara semua penduduk desa, yang kebanyakan petani gurem mulai bersiap mencari secercah penghidupan, dengan menyandarkan pada palawija, lantaran musim kemarau masih menerpa mereka. Di tengah penghidupan masyarakat yang separuh nafas itulah, Nur Hadi mengabdikan diri sebagai Pak Guru.

Demikian predikat yang diberikan masyarakat desa kepadanya.Nur Hadi bukan hanya guru di SD N III Kembang Arum, namun dia juga sebagai guru bertani, bergaul, pengentasan terhadap ketertinggalan, keserasian rumah tangga dan seabreg nilai lainnya yang dibutuhkan masyarakatnya. Jubah Hitam kala dia kenakan diwisuda menjadi S.Pd. ternyata menyimpan seribu beban. Namun bagi Nur Hadi beban itu, hanyalah sebuah nyanyian merdu seorang pendidik yang ditekuni lahir batin.

Matahari sudah tidak malas lagi dan kini mulai bangkit dari cakrawala timur, jalan desa sudah dipenuhi sibuknya petani guna mencari nafkah. Debu jalan desapun tak mau kalah dalam bersuka ria, beterbangan bersama angin kemarau yang dingin dan kering.
Dengan sepeda motor bututnya Nur Hadi mulai bersiap menuju sekolahnya guna menyongsong anak-anak kesayangannya untuk mendapatkan setetes demi setetes ilmu. Namun terkadang pula dia sering menjumpai penduduk desa yang sengaja bertandang di sekolahnya sekedar minta setetes masukan guna menyelesaikan semua permasalahan yang membelitnya. Dalam hal ini jadilah Nur Hadi sebagai konsultan rumah tangga, kesehatan, bisnis yang tanpa menarik jasa serupiahpun.

 Google, 2010
Angin kemarau melambaikan semua rerimbunan daun di lingkungan sekolah, menimbulkan hawa sejuk sekaligus keteduhan hati. Nur Hadi masih membimbing anak kelas VI untuk menata kelas, karena senin lusa akan dilangsungkan ujian sekolah. Pandangan matanya kini terpusat pada halaman sekolah, kala seorang wanita tua berjalan mendekatinya dengan tergopoh-gopoh. Rupanya pagi ini giliran seorang penduduk desa yang berniat minta tolong kepada Pak Guru Nur Hadi.
“Oh rupanya engkau Bi, silakan duduk”
“Aku harus bagaimana?, aku harus berkata apa?”
“Sabarlah Bi, duduklah dengan tenang, katakana apa masalahnya, Jangan emosi dulu”
“Itu si Amran, yang sekarang tak mau sekolah lagi, sudah tiga malam ini dia baru pulang. Lagian pulang dalam keadaan mabuk. Bagaimana ini Pak Guru ?”.
“Ah anak muda sekarang memang seperti itu, Bi. Jangan Bibi banyak marah dengan anak sekeras itu. Turuti saja kemauannya dulu. Setelah dia agak lapang hatinya barulah Bibi nasehati dia”
“Tolonglah Pak Guru, sudah tidak kurang lagi aku ngomong sama dia. Rasanya sampai kaku lidahku”
“Ah Bibi ini ada ada saja. Kalau Bibi tidak mau kasih nasehat. Lantas siapa lagi?”
“Iulah masalahnya, Pak Guru !. Amran kan dulu sekolah sini. Dulu kan Pak Hadi yang paling dekat denganya. Maka tolonglah Bibi ini. Nasehati si Amran itu !”
“Baiklah kalau begitu, Bi !. Tunggulah beberapa hari. Nantikan dia ketemu aku di kegiatan karang taruna. Aku akan nasehati dia”
“Ah trimakasih sebelumya, siapa lagi kalau tidak sama kau Pag Guru, untung desa ini punya guru seperti kamu. Maka carilah gadis desa sini supaya kau betah tinggal di sini. Jadilah penduduk sini, kau akan merasa damai, Jangan cari gadis kota !. Mereka pintar dan cantik tapi suka berani sama suami”
“Ah Bibi ada ada saja. Trimakasih nasehatnya ya Bi”
“Aku pamit dulu, gampang lain waktu kita sambung lagi”

Nur Hadipun menjadi geli hatinya, tentang peran dia di tengah masyarakat desa ini yang masih lugu dan pasrah. Jauh berbeda dengan Jogja tempat kelahirnya, yang jauh di sebrang lauan dari tempat dia mengajar kini. Beruntung pula bagi Nur Hadi yang memiliki tabiat ramah, suka menolong dan supel bergaul. Maka meski kehadiran dia di Jambi belum beberapa lama, namun hamper semua warga di Kecamatan Hidup Baru Kota Jambi telah mengenalnya.

Matahari telah melewati sepenggalah langit, teriknya sudah mulai memenuhi semua halaman sekolah yang sederhana itu. Semua siswa kini berteriak kegirangan lantaran mereka hanya setengah hari bersekolah. Nur Hadipun segera menuju perjalan pulang melewati jalan yang terik dan berdebu. Gemerisik daun jagung di tiup angin padang terdengar sepanjang kanan kiri jalan desa. Senyum wanita desapun tak ketinggalan ikut mengantar sepanjang perjalanan guru muda terebut, Termasuk Restu Priastuti, putra Pak Priadi yang telah lama tinggal di pinggiran Kota Jambi. Pak Priadi sendiri befrasal dari Kab. Purbalingga Banyumas.

Untuk gadis Jambi yang satu ini memang Nur Hadi merasakan sesuatu yang lain. Selama dia menggapai masa depanya dengan menjelajah banyak tempat, belum pernah kata hatinya bergejolak seperti ini, dari mulai pandangan pertama saat mereka bertemu di pertandingan voley antar desa, mereka berdua sudah saling tertarik.
Nur Hadi segera menepikan motornya kala melihat Restu gadis pujaanya, sedang membantu ayahnya membersihkan lahan tanaman jagungnya dari rumput dan gulma lainnya. Mereka akhirnya sudah terlibat dalam canda ria saling melepas tawa, sambil sebentar sebentar berpadu pandang. Kala ini terjadi, merahlah pipi Restu namun tidak mengurangi keanggunan gadis desa ini. Nur Hadi segera saja melepas sepatunya dan ikut membantu tambatan hatinya dalam mengolah lahan jagung itu, meski seragam batik PGRI menjadi berlepotan tanah.
“Kok nggak sekalian pulang dulu Kak?”
“Di rumah juga mau ngapain cuma bengong. Mendingan melihat di sini, bisa melihat Nawang Wulan di sawah”
“Siapa itu Nawang Wulan, pacarmu dari Jawa ya Kak ?” . Nur Hadi tersenyum gelid an membuat Restu tambah penasaran
“Ayo dong Kak. Siapa Nawang Wulan. Kayaknya di desa ini nggak ada yang bernama Nawang Wualan”. Karena desakan yang terus menerus Nur Hadipun akhirnya bercerita tentang legenda Jawa tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan. Restupun menjadi berbingar wajahnya dan memerah pipinya dan kini hanya tertunduk lesu setelah tahu maksud hati sang guru yang masih perjaka itu/
“Tapi aku bukan bidadari lho kak”
“Ah bagiku kamu adalah bidadariku” jawab Nur Hadi kala mereka telah berdua duduk di bawah rerimbunana tanaman jagung yang sudah agak tua.
“Kan masih banyak bidadari di Jawa kaka?”
“Aku sudah jadi PNS dan berniat tinggal di sini. Lagian di Jawa aku tidak punya siapa siapa hanya bapak dan ibu serta adiku. Untuk apa aku ke Jawa lagi”
“Tapi banyak guru negeri yang balik lagi ke Jawa, kamu apa nggak seperti mereka?”
“ Nggak Res, aku dah betah disini, kelak kalau kita bersama membentuk maghligai, akan aku pindahkan saja bapak ibuku ke sini. Orang sini baik baik semua sama aku Res ?”
“Gimana ya kaka, kebanyakan pria memang suka menebar janji, aku nggak tahu kak?”
“Aku seorang pendidik Res !. aku punya moral. Dan bagi seorang pendidik, yang telah bertekad menjadi pegawai negeri tentunya akan memiliki moralitas untuk membangun lingkunganya. Barangkali kita bsa pulang ke Jawa setelah aku pensiun. Dan untuk itu telah berulang aku sampaikan padamu untuk bersama menggapai kehidupan kita bersama”. Restu hanya menundukan wajahnya, sama sekali dia tidak mampu menjawab setuju. Maka kini Nur Hadi menjadi berbunga hatinya. Tembang merdu dalam hatinya terus saja ia dendangkan sepanjang perjalanan pulang mengantar Restu ke rumahnya.
Sepanjang perjalanan semua warga desapun melempar senyum dan lambaian tangan. Seakan mereka telah menobatkan mereka berdua sebagai Abang dan Nona Desa Kembang Arum. Nur Hadi kinipun larut dalam belaian cinta bersama Restu pujaan hatinya.(PONDOK SASTRA HASTI SEMARANG)