Siapa bilang hanya para pahlawan
bersimbah darah yang tersungkur tubuhnya di tanah tercinta ini, karena di
terjang peluru anjing NICA adalah sosok paling berjasa terhadap
berdirinya negara dan bangsa ini. Atau sang maestro perancang gedung
pencangkar langit, berangka baja dan berlantai pualam yang mahal harganya
disebut sebagai pahlawan negara. Bukankah pengendara sepeda motor yang
melengkapi kendaraanya dan keselamatan dirinya, yang juga patuh pada rambu lalu
lintas juga disebut sebagai pahlawan. Bahkan seorang figur yang tak pernah
mengaku dirinya phlawan, padahal sekeping hidup yang dimiliki, berajut menit
demi menit untuk mengasuh tunas tunas muda yang bukan anak kandungnya sendiri
adalah sebenarnya seorang pahlawan.
Pagi ini dia berdandan Pakaian Dinas
Harian, tanah liat yang menjadi jalan desa yang dilalui masih basah
dengan tetesan hujan semalam. Terasa berat langkah kaki lelaki
separoh baya itu berjalan di atas jalan yang belum kering benar. Sepatu hitam
model perlente, terpaksa harus menjadi kusam warnanya karena dia harus menyibak
genangan air di sepanjang jalan itu. Namun keluh kesah yang kadang
terlontar begitu saja dari mulutnya, sama sekali tak dihiraukan
tebing tebing berimbun ilalang dan pohon pinus di kanan kiri jalan itu.
Meski dia harus menyibak embun pagi yang masih terasa men
ggigit kulitnya, namun kedua kakinya terus saja diayunkan. Entah sampai kapan kaki ini masih setia menuruti kehendaknya, meski kadang kadang penyakit reumatik yang dideritanya usil menggelitik hatinya agar rebah saja di kamar tidurnya. Namun pagi yang datang menyapanya kali ini, adalah pagi yang masih bersahabat denganya. Meski setelah Sholat Subuh dia harus menyisir jalan berkelok, naik turun dan memutari kaki Gunung Ungaran untuk sampai ke sekolahanya.
Jalan yang dilalui sudah mulai agar
terang, karena satu dua berkas sinar matahari mampu menyelinap di balik
rerimbunan pohon pinus. Satu dua kali dia mulai bertemu dengan penduduk desa
yang bergegas menyambung hidup dengan membawa keranjang sayur untuk dijual ke
pasar.
“Istirahat dulu !, Pak Andreas !. Tidak
usah terburu-buru, kan hari masih pagi !” sebuah permintaan dari Kartono
, pedagang sayur yang hampir tiap hari berpapasan dengan dia di
jalan desa tanah liat yang licin itu. Andreaspun menghentikan langkahnya sambil
mengatur nafasnya kembali. Sementara Kartonopun merasa mendapatkan teman
ngobrol di tengah hutan pinus itu, lantas dia menurunkan dua keranjangnya yang
berisi sayuran.
“Sampai kapan kita harus begini,
Pak Karto ?” seru guru yang sudah memucat wajahnya karena kecapaian. Perjalanan
yang harus dilalui memang cukup berat, karena jalan setapak yang memutari bukit
itu cukup jauh. Semenjak putusnya jembatan utama karena diterjang derasnya kali
Sumowono, Januari silam.
“Iya Pak, gimana lagi !, kita tunggu
pemerintah untuk menyambung jembatan itu lagi. Selama ini kami rugi besar
P ak !,
karena tidak bisa menjual sayur ke Semarang”
“Aku juga kasihan pada anak anaku yang
harus berjalan menyisir jalan memutar ini. Mereka kini setiap hari kesiangan,
kadang tidak ke sekolah. Meski pelajaran dimulai jam 8 pagi “.
Kartono sudah mulai mampu mengatur nafasnya, maka diapun bergegas untuk
melanjutkan menjemput matahari, menjemput pembelajaran anak anaknya yang lugu,
jauh dari kehidupan seperti anak kota yang serba tercukupi. Namun keterbatasan
segalanya, tidak mampu membungkam degup jantung Andreas yang
bergurat kemanusiaan. Mereka adalah anak anak manusia, yang harus mendapatkan
kasih sayang.
***
Jarum kecil jam dinding sekolah yang
lusuh menunjukan angka 7 lewat sedikit, namun dinding sekolah dasar itu masih
kelihatan samar tertutup kabut pagi. Beberapa anak desa berpakaian putih kumal
sudah mulai datang di sekolah, mereka menyeringai senyuman sambil mengucapkan
salam kepada guru separo baya itu.
“Lho, yang lain mana ?, yang datang cuma
ini ?” sapa Pak Andreas.
“Kami tidak tahu pak !, hanya tadi teman
teman banyak yang pergi bersama ibunya ke puskesmas ?”
“Sakit apa mereka ?”
“Kata ibuku, semalam banyak anak
tetangga yang batuk pilek dan badanya panas”
Meski dengan getir, Andreas mencoba
tetap mengusung senyum pada mereka. Meski tembok tembok kusam dan banyak yang
retak, kaca kaca jendela yang berdebu tebal telah mencibirkan senyumanya itu.
Apalagi ternit atap kelas yang sudah mulai banyak yang retak bahkan koyak di
sana sini, seakan mengusir Andreas agar meninggalkan sekolahan ini. Tapi semua
hipnotis yang menyelinap di sisi lain jantungnya dia tepiskan kuat-kuat.
Andreaspun segera mengambil tongkat besi dan dipukulkan pada potongan rel baja
kereta api yang menggelantung di depan kantornya, sebagai pertanda
waktunya bagi anak anak untuk mulai belajar. Meski pandangan mata kosongnya dia
arahkan pada sederetan ruang kelas yang hanya berisi tidak lebih dari sepuluh.
Sementara sejak Bulan Januari silam, sebagian guru lainnya sering datang
terlambat dan kadang pula tidak hadir, lantaran halangan alam yang
demekian kencangnya merenggut mereka dan anak anaknya. Terbesit
dalam hatinya, terkadang diapun berniat ingin sama seperti mereka. Namun sebuah
pembelajaran yang pernah dia sodorkan suatu hari kepada anak anaknya mampu
demikian kuatnya terpatri dalam lubuk hatinya.
“Inilah badai matahari yang menerjang
bumi kita !” Andreas memegang peraga bumi di tangan kananya, yang didekatkan
pada peraga matahari pada tangan kirinya, untuk member pelajaran IPA pada
mereka.
“Mengapa bumi tidak terbang melayang,
pak guru ?, padahal terkena badai. Apa kalau bumi terkena badai matahari kita
semua akan mati, pak guru ?” tanya Susianti dengan polosnya.
“Itulah hebatnya bumi, Susi !, Bumi
tidak pernah berhenti berputar, apalagi kabur karena badai matahari. Sebab
kalau bumi berhenti atau terbang melayang, kita semua akan mati !” jawab
Andreas dengan derai tawa menghiasi wajahnya.
“Beruntung sekali, kita hidup di atas
bumi yang berhati baik. Aku ingin seperti bumi, pak guru !”. Tanya
Hendrawan.
“Oh bagus sekali cita citamu Hendrawan
!, sifat bumi itu bisa kita tiru. Kita sebaiknya tetap berbuat baik
kepada orang lain, meskipun kita sedang berhadapan dengan penderitaan, sama
seperti bumi. Bumi tetap berputar, memberikan kita siang dan malam, menumbuhkan
padi dan sayuran meskipun dia diserang badai matahari. Nah kalau kita bisa
meniru bumi, maka kamu nantinya bisa menjadi manusia yang baik “.
Solar Fire tidak hanya menyerang bumi
saja tapi kini menyerang sekolahnya, dengan banyaknya tebing di seputar wilayah
Sumowono yang longsor, apalagi dengan putusnya jembatan utama. Namun bukan
berarti pembelajaran pada anak anak desa yang lugu dan kebanyakan putra petani
miskin itu, menjadi terhenti menerima pembelajaran. Bumilah yang mengilhami
Andreas agar dia mampu bersifat seperti itu. Mengapa dia harus kalah dengan
cita cita murni Hendrawan anaknya.
***
Sayup terdengar suara beberapa orang
mendekati ruang kelas VI, Andreaspun bergegas menyambut mereka yang datang
bertiga dengan setelan kemeja PSH. Peluh membasahi wajah dan tangan ke tiga
tamu itu yang kelelahan.
“Bapak dari mana ?”
“Oh ya !, Bapak yang bernama Pak Andreas
?” jawab salah seorang dari mereka.
“Betul, pak !, ada yang bisa saya bantu
?”
“Kami tim survey dari pemkot, kami hanya
berniat survey di wilayah ini. Terutama laporan beberapa media tentang
lumpuhnya pendidikan di sini karena hujan deras kemarin. Setelah selesai kami
survey, secepatnya kami akan membantu mengatasi lumpuhnya wilayah Sumowono”
Andreas saat ini mampu berperan sebagai
nara sumber dari masalah kemanusian. Bukan hanya nasib sekolah anak-anaknya,
tapi juga kebutuhan kelancaran transportasi bagi petani sayur di wilayah itu.
“Lantas apa ide bapak ?” pinta ketua tim
survey, setelah mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang
penderitaan hidup warga Sumowono.
“Saran kami, dahulukan tersambungnya
Jembatan Sumowono, lantas bersihkan longsoran tebing yang banyak menutupi jalan
itu. Misalkan pemerintah daerah belum mampu menyambung Jembatan Sumowono,
gunakan dahulu jembatan darurat militer !”
Wajah wajah optimis kini menghiasi meeka
semua. Andreas melepas kepergian mereka semua dengan harapan yang bulat, agar
pembelajaran kepada anak anaknya tidak pernah retak apalagi patah***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar