Kamis, 29 Maret 2012

T O M C A T


SENJA sudah mulai menggelapi rumah sederhana, yang berlantai semen dan berdinding setengah bata. Atap rumah sederhana yang  terbuat dari genteng  merah sederhana itu, masih menyimpan hangat terkaman sinar matahari yang seharian penuh tadi mengakrabinya. Angin pancaroba  yang seharian  menerbangkan debu debu dari arah bentangan sawah  di sebelah  mulai lelah, berganti dengan langkahnya yang semilir. Sehingga semua daun pisang di halaman belakang, hanya mampu tertunduk lesu.

Seperti biasa tiap senja menyelinap pekarangan rumahnya,  Sukoco  mulai memutar-mutar lampu neon lusuh 10 Watt di halaman depan agar mampu menyala. Meski sinarnya sudah mulai surut, namun lampu neonya mampu menerangi jalan tanah yang ada di depan rumahnya. Sehingga lubang lubang jalan yang dilindas roda pedati kini dapat terlihat jelas. Terdengar batuk batuk kecil Sukoco menyelinap dinantara kelengangan desanya yang sedang dirundung sebuah kegetiran. Batuknya semakin melengking saat ,  semilir angin senja mulai membalut tubuh Sukoco yang kurus kering itu. Namun lelaki yang menghabiskan seluruh hidupnya di sawah ladang itu, lebih memilih menghangatkan tubuhnya dengan menutup rapat rapat  dengan sarungnya yang  kumal.  

Sukoco segera beranjak dari duduknya, setelah beberapa serangga tomcat beterbangan dan hinggap di dinding  beranda rumahnya, segera dia berkelit kesana kemari, mirip Pendekar Rajawali dalam serial silat mandarin “Return of The Condor Hero” yang mahir memainkan pedangnya. Sarungnya yang tadinya membungkus tubuhnya kini berganti digunakan untuk menyambar setiap tomcat yang terbang di seputar tubuhnya. Rupanya tomcat itu kembali menyatroni rumah papanya dan kini nampaknya semakin bertambah banyak jumlahnya. Rasa kesal Sukoco kembali mengisi seluruh hatinya seperti malam malam sebelumnya. Padahal kemarin malam sudah cukup banyak serangga itu bergelimpangan di lantai semen setiap penjuru rumahnya,  setelah dia semprot dengan obat serangga  sisa dari musim tanam kemarin.

Namun kawanan  tomcat itu tidak menggubrisnya, seakan akan mereka tahu bahwa  Sukoco dan teman-temanya yang mengusik ketentraman hidup mereka, petani desa itulah yang membunuh wereng yang menjadi santapan mereka setiap hari, ditambah dengan bau obat serangga  yang merambah setiap jengkal sawah mereka, yang telah membuat mereka mual perutnya dan memeningkan kepalanya. Bahkan tidak sedikit  teman mereka yang tersungkur menghembuskan nafas.

“Tomcat sialan, ayo maju rasakan sarungku !!!’. Setelah beberapa puluh tomcat bergelimpangan, Sukoco segera kembali siaga dengan kuda-kudanya mirip pendekar

2
sakti yang menantang musuhnya. Mendengar teriakan Sukoco yang memecahkan keheningan senja di tengah perkampungan petani yang dibelit kesusahan hidup. Beberapa
tetangganya segera merangsek mendekati Sukoco, yang kini mengerahkan semua jurus silatnya dari mulai aliran mandarin hingga jurus Betawi untuk mengalahkan tomcat.

“Pak !, jangan seperti orang gila !, malu dilihat tetangga !!” teriak istrinya yang mengambil langkah seribu keluar rumah setelah mendengar kegaduhan yang dibuat suaminya.

“Biar saja !, biar semua tomcat ini mampus !, aku sudah semprot dengan oabt serangga, tetapi mereka tidak mati !” Sukoco sudah menepikan akal sehatnya, memang dia telah kesal dengan tomcat-tomcat durjana yang nekad menyebar di rumahnya dan sebagian menyerang gabah yang baru saja dipanenya.

“Tapi jangan seperti orang gila !”. Lengkingan Ponirah membentur dinding bambu rumah tetangganya yang berjajar di jalan tanah berlapis batu kali yang berhamburan di atasnya.

“Yang gila aku apa tomcat, Pon ?” teriakan Sukoco dibarengi kedua matanya yang melotot pada Ponirah istrinya.

“Kalau yang gila tomcatnya!, apa kita akan menirunya ?” kembali Ponirah mengajukan protes keras.

“Iya!, kalau perlu !, lihat tuh Pon!. Semua tetangga kita sekarang jadi edan memburu tomcat sialan ini. Jelas ini kemarahan sang penunggu sawah-sawah kita. Sehingga tomcat ini menjadi berani dengan kita “ Kedua kaki Sukoco kini berhenti berjingkrakan yang tadinya mirip Jacko yang asyik menyanyikan lagu “Black and White”. Kini sarungnya dikalungkan ke lehernya, mulutnya mulai berkomat kamit menghujamkan mantra sakti pada kawanan tomcat yang kini masih beterbangan kesana kemari di dalam dan pekarangan rumah papan Sukoco.

“Pak, kamu tambah memalukan. Ingat Pak !, tetangga kita mulai berdatangan menontonmu, Pak ingat,Pak !!!!!”.

“Edan kamu !, tomcat itu tidak sembarangan hewan, tidak seperti biasanya mereka berani dengan kita. Mesti ini karena sihir penunggu sawah kita. Sekarang diam kamu !”

Kerumunan tetangga Sukoco bertambah rapat, beberapa diantaranya juga ikut berkomat

3
kamit mulutnya, wajah wajah mereka tengadah ke langit hitam. Mereka kini semua berniat mengajukan protes pada siluman siluman di langit sana yang menggembalakan tomcat yang liar dan ganas. Terlebih lebih Sukoco yang merasa menjadi pusat perhatian tetangganya menjadi semakin liar dan tak tahu malu. Seluruh tubuhnya kini mengginggil, dan dari mulutnya terdengar suara melengking.

“Hei, sang penunggu Desa  Gondang Manis!, Hentikan kemarahanmu !, bawa pulang kembali tomcat kamu semua !“ seru Sukoco.

“Sukoco !!!!”, panggil Langgeng Budarjo yang memecahkan konsentrasi Sukoco yang berdiri di tengah kerumunan lengkap dengan pasang aksi yang berhasil menghipnotis tetangganya yang meyakini kekonyolan Sukoco. Laki laki kurus kering itu segera menghentikan mulutnya yang komat-kamit, dan segera menyapu sorot mata tajam pada lelaki tua beruban yang kini berdiri di depanya.

“Ada apa, paman !”

“Kamu sudah edan !” bentak Langgeng Budarjo yang seusia ayah Sukoco.

“Jangan usil dengan niat saya, paman !, ini demi ketentraman desa kita. Lihat paman !, banyak tetangga tetanggaku yang ikut mengusir tomcat dengan caraku !”

“Anak edan !, sampai satu bulanpun kamu berjingkrakan seperti itu tidak akan berhasil mengusir tomcat “

“Maksud paman, bagaimana ?”

“Mereka seperti kita, apabila rumah dan makanan mereka telah terusikpun mereka akan mecari rumah lainnya “

“Tapi mereka telah menggigit tetangga kita ?”

“Mereka tewas ?”

“Tidak ?”

“Berapa tomcat yang kau bunuh ?” bentakan Langgeng Budarjo kian menggema memecah pekatnya malam.

4
“Sudah banyak, paman !” jawab Sukoco jujur.

“Itu perlakuan tidak adil namanya !” seru Langgeng.

“Merekakan hanya serangga  !!!! “ Sukoco mulai tersudut dengan

“Mengapa kamu komat kamit dan berteirak teriak menggegerkan kampung, kalau mereka hanya binatang ?”

“Paman !, mereka semua pasti dikerahkan kekuatan gaib yang marah kepada kita. Mereka sepertinya telah bertindak diluar wajar “

“Apa mereka mampu mendengar permintaanmu ?”

“Aku minta kepada sang penunggu desa kita , yang mengerahkan tomcat itu ?”

“Sukoco !, tomcat bukan saja menyerang desa kita. Tapi sudah menyerang ke wilayah lainya di negara kita. Apa sang penunngu itu menyebarkan tomcatnya  ke seluruh wilayah negara kita. Pakailah nalar, Sukoco. Aku juga warga desa sini yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi aku pakai nalar “

“Paman, seperti juga ulat bulu tahun kemarin, mereka juga menyerang desa kita !” sahut Sukoco.

“Mengapa tidak kau pintakan pada sang penunggu desa ini, akhirnya mereka hilang sendiri kan ?”

“Apa salah saya berdoa kalau kita kena musibah ?” tanya Sukoco.

“Kalau berdoa dilarang, jelas menyalahi ajaran leluhur kita. Tapi berdoalah kepada Tuhan Yang Kuasa bukan dengan cara seperti orang kesurupan ?” jawab Langgeng dengan penuh bijaksana. Kini terlihatlah sorot mata Sukoco yang sudah tak seliar tadi.

“Baiklah , paman !. Terserah apa maunya  paman “

“Baiklah Sukoco !, dan semua saudara saudaraku. Serangan Tomcat seperti ini tidak akan bis dihentikan dengan cara apapun. Yang pertama mereka sudah kehilangan banyak wereng yang menjadi makanan mereka, karena obat serangga. Disamping itu juga musim di wilayah kita sudah rusak, sehingga kehidupan merekapun sudah diluar kewajaran
alam. Mereka akan hilang sendiri jika musim kembali normal. Kalian semua jangan tersihir tomcat tomcat ini. Mereka tidak akan menggigit kita, mereka juga bukan hewan berbisa. Jadi tutuplah semua pintu dan jendela rumah kita kalau malam tiba. Matikan lampu sebelah dalam, biarka lampu diluar rumah menyala. Ini bukan kemarahan sang penunggu desa ini “

Kerumunan warga desa itu menjadi bubar, masing masing warga berjalan dengan muka tetunduk. Terlebih lebih Sukoco yang tanpa pamit meninggalkan kerumunan itu dan mengunci pintunya rapat-rapat. Tinggalah Langgeng Budarjo yang termangu di tengah pekarangan rumah Sukoco terpagut dinginya udara malam desa Gondang Manis yang masih hijau lestari. Dalam hatinya kini terselip rasa syukur yang dalam, karena saudara saudaranya tidak terjerumus dalam kepercayaan yang sesat***

Rabu, 21 Maret 2012

dengarkan teriakanku



untuk saudara, karib......
geram, gundah dan jalang
apalagi nyanyian busuk, masih kau julurkan
kita dalam batas, samar kau tetap
memalingkan wajah

dimanakah telingamu…
meski sekumpulan rumpun belukar telah menembus
sisi empat penjuru langit
meneriakan lengkingan menjerat lehernya sendiri,
untuk mendulang permata, hiasan anak cucu kita
menerjang dengan teriakan panjang,
menembus benak dan tempurung otaknya
kita dalam nyanyian sengau, tak semerdu alunan Gurindam 12
saat nenek menidurkan cucunya

kita sekali lagi, hanya orang-orangan sawah
tak mau menyimpan bara dalam sekam
saat jalanan panjang hanya menggeliat noda darah
atau sebuah tatapan nanar hati yang sempit
kita hanya pantas berbulan madu di tepi “Danau Toba”
ibarat pengantin baru berseloroh dengan “Anggrek Bulan”
menyunting dalam rajutan benang halus pualam negeri
agar rumah gubug tetap berumbai kesyahduan
terbitnya matahari dari rengkuhan Jaya Wijaya

teriakan panjang sang belukar
jangan sampai hinggap sebatas dilumat geraman
srigala pongah, bermata juling di tengah hari bolong
saat panas mentari membakar sekeping tekadnya
atau rayuan yang menunjam hati
dibarengi liur busuk moralitas petinggi  yang
bermantel kain beludru bulu-bulu serigala
sekali kau acungkan taringmu
belukar merebah, tak tentu arah

sekali sekali jinakan telingamu
kau sedukan teh  hangat dengan wajah pagi
hingga angin prahara menjadi penyejuk udara kala senja
akan kita jemput bersama bintang kejora, berwajah
perawan desa,  menyeringai membawa keranjang bambu
berisi padi dan palawija terasa ringan dijinjing
lesung pipinya, adalah kala kita selorohkan
dengan anggunya negeri pantai berdaun nyiur 

mengapa kita dalam syak wasangka
dalam lipatan jubah iblis kelam, berwajah bengis
menepis nyanyian tanah perekat sisi langit
terpingit dalam bilik berpagar sembilu
sehingga anarkis menjadi dongeng malam hari
untuk anak anak kita yang lelah berkejaran
di padang gersang berkerumun belalang

tak bisakah kau urungkan ,
 melipat angin bara, dalam ketiakmu
dengan menorehkan pada bait hati
semua teriakanku

(Semarang, 22 Maret 2012)


Senin, 05 Maret 2012

Koruptor dan Ilalang lima jaman


Terdengar suara benturan antara piring dan mangkok, serta benda kaca lainya yang terus saja terdengar di pangkalan pedagang mi ayam milik pengusaha  Soebroto sepanjang siang ini. Gerobag-gerobag mi ayam sudah mulai terisi dengan mi seduhan serta lobak dan bawang goreng. Tawa yang lepas dari belasan pedagang mi ayam juga terkadang sesekali terdengar. Sehingga lengkap sudah kebisingan di pangkalan itu sepanjang hari ini.
Ada ada saja perangai pedagang mi ayam tersebut, sebagian dari mereka layaknya anggota dewan yang asyik mengomentari situasi politik negeri berwajah sembab ini, seraya mempersiapkan dagangan mi ayam untuk sore nanti. Sebagian lagi masih mengusung sikap moralis menurut kemampuan pedagang mi ayam itu, yang hanya berpendidikan paling tinggi SMP. Tetapi hanya satu dua yang kerap membisu dan hanya menjadi pendengar setia.
Beberapa kertas harian cetak bekas bungkus belanja tergolek di meja dapur yang sudah kelihatan lusuh dan beberapa diantaranya sudah sobek, sesekali diantara mereka membaca edisi beberapa hari sebelumnya, untuk sekedar menimba pengetahuan tentang situasi politik, perseteruan para petinggi negeri berwajah sembab ini dan kehidupan artis yang puyeng-puyengan. Narto tak segan-segan meneluangkan waktunya untuk membaca kasus Angelina Sondakh, Gayus Tambunan dan beberapa topik yang hangat di masyarakat.
“Narto !, beli koran yang hari ini saja, kan  katanya Gayus sudah divonis ?” Kang Dirman berkomentar dengan wajah yang tertekuk cemberut,  karena rasa lelah disekitar tubuhnya yang belum hilang. Meski pagi tadi tenggorokanya sudah dibasahi minuman suplemen.
“He..eh Mas, aku dengar di TV sudah divonis 6 tahun, jadi vonisnya sekarang menjadi 28 tahun “
“Kok lama ya!, salahnya apa saja ? ” seru Kang Dirman
“Ya pokonya korupsi lah !, aku juga tidak tahu masalahnya apa !”
“Kadang kadang aku juga heran ! “ Kang Dirman sementara menunda pekerjaanya untuk mencuci daging  ayamnya, dia meletakan ember berisi daging ayam tersebut dan duduk di samping Narto yang beberapa tahun lebih muda.
“Kok pake heran segala, sih ?” tanya Narto.
“Apa mereka yang korupsi milyaran tidak pernah jalan-jalan ke desa tempat keluarga kita tinggal ?.”
“Untuk apa repot-repot koruptor  jauh-jauh meninjau kampung kita. Enakan di Jakarta yang apa saja tersedia dengan mudah” sanggah Amran yang asyik meneguk kopi panasnya dan mulai gabung dengan teman teman sekampungnya yang berdiskusi dengan seloroh dan santai.
“Nggak gitu Mran !, mereka kita harapkan mau mengembalikan uang yang dikorup untuk membangun kembali sekolah SD anak anak kita yang rusak. Atau mereka mau melunasi SPP anak anak kita yang kadang kadang disuruh pulang karena belum lunas SPP”
“Itu namanya bukan koruptor . Mana ada koruptor seperti itu ?. Tukas Hamidi

2
“Mengapa ?. Bukankah koruptor itu manusia ?”.Kang Dirman tidak mau kalah dengan jawaban Hamidi, yang baru saja selesai mandi pagi dengan piring dipenuhi sarapan nasi hangat dan mi instan rebus di kedua tanganya.
“Ya tentunya manusia. Cuma kalau kita bicara masalah koruptor, jangan kita bicara masalah dosa atau tidak. Tapi tanyalah kita punya kesempatan korupsi atau tidak ?”. Jawab Hamidi dengan mulut yang mulai mengunyah nasi hangat sarapanya.
“Maksudnya gimana, Pak De ? ” tanya Amran.
“Kita semua gampang dan bisa melakukan korupsi  di negara ini “ Meskipun Hamidi belum selesai sarapan paginya. Namun dia tetap memberikan paparanya dengan semangat.
“Mengapa, Pak De ? ” sekarang giliran Narto yang bertanya.
“Bukan masalah mengapa ? Petanyaanmu salah, Narto ?. Harusnya kamu bertanya mengapa kita tidak korupsi ?”
Lha !, yang mau dikorupsi apa, wong kita cuma pedagang mi ayam “ Jawab Dirman
“Itulah masalahnya Dirman !. Kalau kita pejabat kitapun gampang melakukan korupsi. Iya kan ?. Kamu pingin kaya kan ?. Untuk apa jualan mi ayam kalau kamu  sudah kaya !”
“Tapi masalahnya buat apa kita kaya, bila harus masuk penjara “ Kembali Kang Dirman menyanggah pendapat Pak De Hamidi.
“Nah, sikap seperti itulah yang seharusnya dimiliki  oknum pemimpin kita. Mereka tidak lagi melakukan korupsi karena beratnya hukuman yang harus mereka terima “
“Tapi nyatanya !,  penjara saja tidak membuat para koruptor lainnya jera. Coba bayangkan beberapa koruptor telah dijerat dengan pasal korupsi, tapi nyatanya masih terus kita baca dari koran dan melihat TV  tentang kasus korupsi” Kang Dirman mulai bersemangat mengusung pendapatnya.
Mereka kini seakan-akan bukan lagi pedagang mi ayam, tapi bagaikan para pakar hukum dan anggota dewan yang sedang berkiat menepis korupsi di negara yang terpuruk ini. Meski mereka hanya tamatan SD dan SMP, tapi mereka juga masih memeliki sebersit harapan untuk sebuah keadilan dinegeri archipelago ini. Sehingga mereka tak lagi dihantui biaya untuk menyekolahkan anak mereka yang setinggi langit, tak ada lagi kenaikan BBM yang menyulut kenaikan harga lainnya.
Meski hari semakin merambat siang, matahari hampir mencapai ubun-ubun mereka. Namun inilah diskusi ala kadarnya bagi sang ilalang yang tak memiliki  hari besok untuk menyandarkan hidupnya demi sesuap nasi dan sekolah anak-anak mereka. Kang Dirman, Narto dan Amran masih bersungut-sungut wajahnya, seakan tidak sabar lagi untuk menyaksikan negeri ini bernafas tanpa korupsi dan koruptor yang memang telah mendarah daging di tiap sendi kehidupan semua masyaakat kita.
“Huuh, memang rumit membicarakan korupsi di negeri ini. Aku sendiri tidak mengerti bagaimana awalnya kok banyak korupsi di negara ini. Sementara kita mencari uang 40 ribu sehari saja payahnya bukan main. Sementara yang disana, enak saja melakukan korupsi uang negara bermilyar milyar rupiah” Amran memulai lagi diskusi yang beberapa saat tadi terhenti, karena semua peserta diskusi hanya mampu membisukan hatinya masing-masing.
3
“Betul katamu, Mran !. Kita hanya pedagang mi ayam, kita ini apa ?” seru Narto
“Apa yang boleh berbicara masalah korupsi harus orang gedongan. Apa kita tidak boleh bicara masalah korupsi ?” seru Kang Dirman.
“Hehehe…tidak ada salahnya kita ngrumpi tentang korupsi. Kita ambil manfaatnya saja “ Hamidi berusaha untuk menghangatkan kembali diskusi itu. Sarapan nasi hangat kini sudah semuanya masuk ke perutnya, yang kelihatanya sudah agak buncit. Memang berbicara masalah korupsi dan koruptor,  pedagang mi ayam ini yang paling getol unjuk pendapat. Meski seluruh rambutnya sudah putih semua, karena usianya telah mencapai usia 70 tahun-an. Tetapi fisiknya masih kelihatan tegap dan bugar. Pedagang mi ayam ini termasuk manusia Indonesia yang hidup dalam lima jaman, lengkap sudah dia mengenyam kehidupan negara kita dalam era penjajahan Belanda, Jepang dan Jaman Revolusi Fisik di bawah pimpinan Soekarno, Orde Baru dan Reformasi sekarang ini. Maka wajar saja semangat nasionalisme pada dirinya masih begitu kuatnya.
Buah hasil dari kehidupan lintas jaman yang dia lalui, adalah sikap antipasti pada korupsi dan koruptor, yang sangat gigih dibrantas sejak era Penjajahan Belanda hingga sekarang.
“Manfaat yag bagaimana, Pak De ?” tanya Kang Dirman yang baru berusia setaraf anaknya.
“Kita bisa member keteladanan pada anak cucu kita, agar mereka semua bersikap jujur dan semeleh “ jawab Hamidi dengan suara datar meski pelan tetapi mampu menghipnotis semua pedagang mi ayam yang berkumpul di forum diskusi non formal, meski hanya diskusi asal-asalan yang tidak memiliki dasar dan fakta.
“Hmm..memang  tidak masuk akal jika kita ingin mengembalikan kehidupan rakyat kita seperti jaman jaman sebelum ini. Jaman dahulu, para petinggi kita sama sekali tidak berani korupsi demi nama baik partai. Mereka memang rakyat Indonesia yang betul betul mendarah daging cintanya terhadap partai dan negara. Bilamana perlu nyawapun dikorbankan demi keyakinan politik mereka “ Jawab Hamidi di tengah peserta diskusi yang hanya diam membisu.
“Pak De dahulu masuk partai apa ?” tanya Narto
“Aku masih kecil, aku belum tahu apa-apa “
“Tapi Pak De kok tahu mereka sangat mencintai negara ini ?”
“Setiap kali aku berkumpul di depan rumuh saat udara malam cerah,  bapaku sering bercerita tentang teman-temanya yang berjuang di partainya “
“Sekarang banyak oknum pejabat korupsi karena budaya, ya Pak De “ tanya Kang Dirman.
“Ah, mungkin karena hukumanya terlalu ringan. Kalau di Cina malah ditembak mati” jawab Narto.
“Ya begitulah, kita sekarang juga lagi korupsi lho “
“Lho, korupsi apa ?” jawab mereka serentak
“Kita korupsi waktu, kita korupsi pada anak istri kita “
“Ah, Pak De ini gimana sih ?” jawab Narto penasaran.
4
“Kita jauh jauh datang dari desa untuk bekerja menafkahi anak istri kita. Tidak ngrumpi seperti ini, hehehe..Ini namanya di mangkok mi ayam kita juga ada koruptor, yaitu kita sendiri. Ayo lanjutkan kerja kita hahaha “
“Hahahahaha” semua peserta diskusipun menjadi geli mendengar seloroh pedagang mi ayam yang masih tinggi nasionalisme yang ada di dadanya. Semua kini ngeloyor menuju kompor minyak, gerobag, penggorengan dan peralatan masing-masing***

Jumat, 02 Maret 2012

Pak Guru


+kau tetap ada,  meski di pinggiran jaman
meski  telah penat dalam kerlingan mata,
siapa saja yang tak sepi dari haru biru ornamen hidup.
Jalan panjang tetap menunggumu, untuk menggapai
Menyemai sekumpulan daun padan di taman hati

jangan kau sedu kedua tanganmu,  demi……
bocah-bocah bermata kosong, yang berkemas dalam
hidup di jaman tak tentu arah
merekapun tak mampu memilih “jendela langit”
karena tertutup  awan yang terhempas liuk jaman
kau jinjing sebelah tangan mereka ke arahnya.

Sedangkan tangan lainya, kau gurati
dengan nilai hidup dan pelipur lara
kala kedua mata mereka terbelalak
dalam lakon dunia yang sarat tipu daya
Selamat Pagi Pak Guru

(Semarang, 2 Maret 2012)

Kamis, 01 Maret 2012

Protes Daun Akasia pada UN


Meski jarak pandang mereka dengan Pak Guru Hananto cukup jauh, tetapi sorot mata mereka seakan enggan lepas dari tubuh guru penuh kasih itu. Pagi itu memang hari pertama pelaksanaan UN yang mendebarkan bahkan mampu memungut rasa percaya diri dari sanubari mereka semua. Terbukti tiada satupun dari mereka yang berwajah ceria, “Enjoying always” seperti pada hari-hari biasa.

Siska yang genit, Bra yang selalu kelihatan renyam senyum, Sylvie yang berbibir tipis dan tak kerap diam membisu. Kini semuanya terdiam dalam hipnotis pohon Akasia yang memayungi halaman sekolah mereka. Entah apa hari ini bumi seakan akan menghisap dalam-dalam ke dua kaki mereka.Sementara itu dengan egonya daun daun Akasia berguguran meski merelakan dirinya berjatuhan di bumi, untuk digantikan dengan pucuk yang semi.

“Inilah hidup anak-anaku “ seru sebuah daun pada manusia manusia belia yang dipagut gelisah. Daun itu belum kelihatan  kering benar, tapi dia merelakan dihisap gravitasi bumi.

“Jangan kau usung pepatah seperti itu pada manusia ! “ jawab daun lainnya yang lama tergeletak dan membiarkan dirinya bergelimpangan diterpa angin awal musim kemarau.

“Apa alsanmu ?”

“Hanya kita yang mampu berbuat demikian. Mereka manusia yang beribu pengharapan selalu mereka pinta, agar mampu hidup seribu tahun lagi “

“Dari mana kau tahu ?” tanya daun lainya yang kini mulai berkumpul dalam keranjang bambu di halaman sekolah.

“Lihat saja mereka hari ini gelisah!, mereka enggan menghadapi tantangan sekecil apapun. Berlainan dengan kita yang hanya pasrah dikibas angin pancaroba. Kita hanya mampu meliukan badan kekanan dan kekiri. Tapi ketika  bumi menyelingkuhi kita, kitapun tetap tenang” seru daun tadi yang baru saja menggeletak di bumi.

Tak satupun dari siswa itu yang memperdulikan ocehan daun-daun yang selalu berbahagia di kala pagi dan sore, ataupun siang dan malam. Mereka para siswa hanya mampu membiarkan degup jantung yang memburu jarum waktu yang terus bergerak detik demi detik menunggu monster yang dipanggil UN.

“Ah..apakah mereka sedang menunggu datangnya monster garang ?” seru daun muda yang belum kering, tetapi  karena hempasan angin beliung beberapa hari silam dia jatuh di bumi ini.

“Betul kawanku, entah apa bentuk monster itu, apakah bertaring  ?, bersayap lebar ?, wajah penuh luka atau apa ?” seru sebuah daun yang sudah mulai pongah tubuhnya dimakan rintik hujan.

“Bukankah manusia sudah mampu menggapai atmosfer yang paling tinggi, mampu mendatangkan hujan bahkan mampu merobohkan rumah istana kita. Tapi mengapa manusia-manusia muda itu kelihatan takut sekali ?”

“Entahlah !!!! “ jawab sebuah daun.

“Kapan mereka merasa puas ?” seru daun yang ada di dasar keranjang bambu.

“Mereka memang makhluk yang ego, dahulu daerah ini penuh rumah istana kita. Tetapi entah dengan egonya mereka mencabut dan dibawa kemana aku tak tahu ! “. Daun yang paling tua diantara mereka mencoba memaparkan sifat  manusia.

Tidak beberapa lama terdengar suara “Teeeeet….Teeet…Teeet”. Semua daun Akasia itu menolehkan wajahnya ke arah manusia manusia muda itu yang memasuki ruangan dengan terbungkam seribu bahasa, diantara mereka ada yang berkeringat dahinya, sebagian menundukan wajahnya, sebagian lain memucat wajahnya. Sebagian kecil hanya meluruskan sorot padang mereka lurus ke depan dengan tatapan yang kosong.
***
“Tidak perlu UN ini dijadikan momok bagi kalian !” seru Pak Hananto di suatu pagi di depan kelas XII yang sedang diberi pengarahan.

“Tapi, saya sudah belajar banyak. Selalu saja saya merasa kesulitan menyelesaikan latihan UN Pak ?” tanya seorang siswa.

“Semuanya ada di diri kamu sendiri Prima ?” jawab Pak Hananto dengan senyuman masih tersungging di bibirnya.

“Maksud bapak ?”

“Ya !, karena kamu selalu beranggapan bahwa UN adalah hanya syarat untuk lulus kamu dari sekolah ini “

 “Kan memang seperti itu, Pak ?” tanya Albert Sitomorang, yang belum tahu betul alasan guru penuh kepedulian pada anak-anaknya.

“He..he…he…inilah kesalahan kalian semua !”

“Yang benar yang mana tho, pak ?” Keane bertambah penasaran dengan seloroh guru ganteng itu. Diapun mencoba menggoda guru muda yang menjadi pujaan hatinya itu.

“Keane, Prima, Albert dan anak anaku semua !, apakah setelah lulus UN kalian tidak memiliki tantangan lagi ?. Apakah setelah lulus UN kalian akan dengan mudah mencapai kesuksesan berikutnya ?. UN hanyalah sebuah tantangan kecil, bagai butir pasir di gurun pasir. Masih ada tantangan lainnya yang menghadang kalian semua”

“Tapi semua manusia kan mesti harus memiliki tantangan, Pak !”. Ilham menyela pembicaraan Pak Hananto, guru itupun masih menghiasi bibirnya dengan senyuman manis.

“Betul, dan salah satunya adalah UN. Kalau kalian memahami ini!,  tentunya kalian akan menghadapi dengan hati lapang. Lihatlah daun daun Akasia di halaman itu. Mereka sama sekali tak memiliki tantangan. Mereka semi, tumbuh, dihempas angin kemudian jatuh dan bepindah paling jauh ke tempat sampah” kelaspun terbungkam seribu bahasa.

Daun daun Akasia yang mendengarkan celoteh Pak Hananto hanya melempar senym kecil mereka. Namun diantara mereka tetap saja terdapat beberapa daun yang mengajukan protes.

“ Tapi, apa beda mereka dengan kita?. Merekapun hanya mampu melangkah di garis kodrat” salah satu daun mencibirkan perkataan pak guru itu.

“Apa mereka mampu hidup lagi setelah ditelan bumi ?” daun lainya mengajukan protes.

“Mereka hanya mampu merusak alam ini, huuuuh…seandainya bumi ini tidak dipenuhi manusia, kita bisa hidup dengan bebas “ entah dari daun mana protes itu diajukan.

“Sudahlah teman-temanku semua!, memang begitulah manusia yang diciptakan berbeda dengan kita. Meski hanya beberapa saja manusia yang berusaha peduli dengan kita serta hehijauan lainya. Merekapun bila diberi pencerahan tentang manfaat kita. Merekapun akan bersatu dengan kita.Cobalah bila mereka kepanasan, mereka pasti akan berlindung di bawah kita” seru daun yang sudah renta dan melekat kuat di pohon Akasia, tapi belum mendapatkan giliran untuk menyatu dengan bumi.


“Tetapi mengapa mereka sekarang melempar sorot mata ke kita ?” seru daun muda

“Mungkin mereka iri dengan kita “ seru daun renta itu.

“Iri ?, apa kelebihan kita dibanding mereka ?” entah daun yang mana mengajukan protes seperti itu.

“Ah. ..ada ada saja kau daun tua ?” daun lainya berusaha gabung dengan diskusi antara daun Akasia.

“Mesti ada, karena yang menciptakan kita dan manusia selalu member kelebihan dan kekurangan diantaranya ?” sahut daun renta.

“Yang aku btuhkan adalah kelebihan kita dibanding mereka ?” beberapa daun muda berusaha mendapatkan jawaban pertanyaan mereka.

“Kita tidak pernah ragu dan bersedih bila harus berakhir warna hijau pada tubuh kita. Tak ada satupun upaya kita untuk lepas dari kenyataan ini “

“Betul juga katamu, daun tua !. Mereka kini sedang banyak mengalami kebimbangan”

“Bahkan sepertinya mereka sedang ketakutan !” silih berganti daun muda berusaha menguak perbedaan mereka dengan manusia.

“He…daun tua. Mengapa hari ini manusia muda itu ketakutan ?”

“Mereka beberapa hari mendatang akan mengikuti UN “ sahut daun renta itu.

“UN ?, kapan kita akan mengikuti UN ?” seloroh salah satu daun muda.

“Besok, ha…ha…ha..” daun renta tertawa lepas.

“Hahahaha…hahha…hahaha…” semua daun Akasia, baik yang tua atau muda, besar kecil , yang masih hijau ataupun telah mongering pilu tertawa lepas yang tidak pernah dapat didengar siswa siswa itu ***