Minggu, 23 Oktober 2011

Puisi untuk Indonesiaku


Indonesia Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun masih kentara, menghitami
hamparan sawah ladang, dan menenggelamkan
kuning permadani padi, dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah perut  mereka yang meradang
seakan menggenggam hasrat, untuk membelah
dinding perut mereka sendiri.....
di tengah mereka itulah Indonesiaku berdiri kokoh

Telah beberapa lama pagi itu, mereka
yang bertopi “caping” dan bercelana kumal
telah lalai membenahi  pagi, dengan sarapan nasi hangat
dan sajian teh manis.

Namun mereka malah bersikokoh untuk
menghempaskan pagi dan memaksa ilalang lemah
menelan ludah mereka mentah mentah
bukankah gubug bambu, yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat bersemayam ilalang
yang ada di  Ibu Pertiwi

Mengapa atap rumbai rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan “Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan “Timika” bersatu dalam seduhan
cincin api....lantas akan kau ubah
menjadi naga-naga bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja korban”  dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris bulu kuduk.....

Saat  relung  waktu masih  melilit perjalanan panjang kita
hingga berada tepat  di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun masih  menggapai kedua tanganya
lantaran  atmosfer  di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah garang, tanpa berdandan ramah
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Meniti Awan- Awan Hitam

Kita rapikan awan- awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak berselingkuh dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang gendang telinga
pada lidah lidah kelu,  yang berkerah putih
dan bersepatu “pantofel” dengan senyum “perlente”

Di tengah perhelatan sumbang
dari anak negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata menghadap rumah berarsitek
negeri impian, mereka sempat bergumam
biar saja sang abang becak menghangus diterkam
panasnya mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam kubangan lumpur menghitam


Kita adalah anak negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari di hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada “Puncak Jaya Wijaya”
namun kita harus  tetap mentautkan benang sutra titian
menuju cakrawala yang ditengahnya berdiri
rumah sederhana namun kokoh
tempat bermain anak anak kita..

Jangan kita  surutkan apa yang kita miliki
hanya karena  awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita terpagut pada asa yang samar
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Takan Pernah Usai

Bergeraklah dan terus bergerak
daun nyiur di tepi pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai, pada muara sungai sungai
bening beraroma khatulistiwa

Teruslah melejit seperti anak panah
pergantian arah angin muson
karena dari sinilah, kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah mengusung teriakan panjang
yang tak pernah membusung dada kita

kita takan pernah berhenti......
menghembuskan iklim sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di sawah ladang,
tanpa prahara dan suara burung sumbang.
(Semarang, 23 Oktober, 2011).

Jumat, 21 Oktober 2011

Butir Hujan Di Pegunungan Padas


Arah  angin belum menunjukan arah yang ramah, hanya terlihat daun daun kering Akasia yang beterbangan di tiup angin kemelut di padang bukit padas Rowosari. Sebuah desa yang dilingkungi bukit bukit padas gersang, berpagar hijaun yang meranggas. Mata para penambang batu padas saling membanting sorot mata mereka masing-masing, lantaran mereka menjadi tanpa peduli dengan nasib semua yang ada disekelilingnya.

Matahari siang ini kembali menelan mereka hidup hidup, tanpa mengenal kasihan pada kulit yang telah melegam gelap. Namun mereka semua harus mengakrabi dengan sinar matahari yang tajam menghunjam tubuh mereka. Meski sebagian mereka berkali kali menyeka keringat  yang membasahi kening dan kedua mata mereka. Bahkan  kayu jambu kusam pegangan cangkul mereka kinipun telah basah, entah telah beberapa kali cangkul mereka menunjam bukit cadas, dan berkejaran dengan jarum waktu agar mampu menelan semua bukit padas Rowosari, yang menghidupi mereka.

Bledeg dan kilat berkejaram  muncul hampir sepanjang tadi malam. Sudah saatnya minggu minggu ini, bukit padas menjadi basah.” Dari dalam gua padas yang digempurnya, Karmo berteriak nyaring dengan nafas tersengal. Suatau ungkapan yang terlontar dan menggema ke seluruh dinding gua padas. Namun mereka semua masih nampak terdiam, yang tinggal  hanyalah  mereka berusaha untuk mengatur nafas, agar hidup yang ditopang dengan nafas mereka yang panjang masih mampu direngkuhnya. Sebentur sebentur terdengar dengusan nafas panjang, lantaran cangkul dandang mereka kerap membentur batu padas yang keras.

“Hei, Karmo, bukan hujan yang menjadi perhatian kita, tapi jalan jalan di desa kita yang berubah menjadi “kubangan kerbau” bila hujan turun, itulah yang harus kita pecahkan bersama.  Jangan seperti di  musim hujan tahun kemarin ,  kita semua harus melangkah surut”. Kasno sengaja mencuri waktu untuk memunguti nafasnya kembali, yang telah dibuangnya sejak pagi tadi. Dandang yang menjadi saksi semangat hidupnya, kini dia letakan di sampingnya. Tidak berapa lama mengepulah asap tembakau racikan yang memenuhi mulut gua.

Kini semua penambang itu menjadi tergelitik hatinya untuk gabung. Awan hitam mulai berdatangan dari arah barat, asap tembakau yang terbakar mulai menusuk hidung mereka masing, isapan demi isapan tak terasa terus menjadi karib mereka dalam menguntai cocktale party antara mereka yang menyelipkan hidup di tengah tebing bukit padas yang curam.

“Kalau bisa tahun ini kita tidak usah melangkah surut lagi” Tegas Kasan ditengah kerumunan penambang padas, yang asik melakukan konferensi kecil kecilan, demi sehelai nafkah mereka yang tidak ditebas rusaknya jalan tanah yang melintang di tengah Desa Rowosari itu.

“Ah, tapi apa daya kita, San !, hanya sekumpulan ilalang yang tidak punya tulang untuk berdiri”. Memelas di raut wajah Rofi’i terlihat jelas di tengah guratan wajahnya yang sudah uzur, namun dia masih membiayai sekolah beberapa anaknya.

“Ya, gimana lagi Kang Rofi.i, upaya kita hanya bisa menyampaikan pada Pak Lurah. Pak Lurahpun hanya bisa menyampaikan pada Pak Bupati”. Mereka semua sekarang menjadi anggota konferensi yang hanya mampu saling pandang, setelah mendengar penuturan Kasan.

“Yang jelas aku sudah tidak mau lagi merantau ke Jakarta, disana nasibku juga tidak lebih baik dibanding di desa ini. Berapa sih penghasilan penambang pasir di kota yang kejam itu?”.   lenguh nafas panjang dari Kasmo mencabik semua jantung penambang padas yang hadir di tengah hari itu, lantaran mereka juga bernasib sama dengan Kasmo, yang berusaha menundukan kekejaman hidup mereka. Keluhan itu juga melenting menyergap beberapa penambang padas yang sedang menciut hatinya, menghadapi rusaknya jalan desa bila hujan kembali mencabik jalan desa itu.


2
“SPP untuk anak kita serta kebutuhan lainnya, tidak mengenal hujan dan kemarau. Apa mereka semua mengerti nasib kita?. Apa bupati, pak lurah atau pimpinan partai mengerti nasib kita ?, yang bergantung dengan jalan desa ini?”. Hamzah berteriak dengan membanting banting dandangnya pada dinding gua padas.

“Sudahlah, Hamzah !. Percuma saja kamu mengutuk nasibmu sendiri. Yang penting bagaimana kita bisa menemukan cara untuk mengaspal jalan Rowosari ini. Sehingga dumptruck bisa masuk ke bukit ini, meskipun di tengah musih hujan “

“Lantas, bagaimana cara kita ?” sahut Kasno.

Mendung hitam tambah menyelimuti langit bukit padas Rowosari, tapi mereka semua tidak terpengaruh dengan datangnya mendung itu,Mereka kini mulai memeras otak demi sebuah langkah. Langkah mereka yang berusaha menimbun kerikil pada lobang kubangan kerbaupun sia-sia diterpa butir hujan tahun kemarin. Kubangan kerbau itupun semakin hari semakin luas, padahal hujan pada tahun kemarin tidak mau tahu nasib ilalang yang tumbuh di bukit padas. Butir butir hujan satu tahun penuh telah meluluhlantakan harapan.Merekapun hanya mampu melangkah surut, melihat jalan itu bagai ladang ditumbuhi belukar. Hingga akhirnya mereka hanya menggantungkan dandang dengan wajah pucat dan lidah kelu.

***
Jarum detik tanpa mau menoleh ke belakang terus memagut jam, hari dan minggu. Butir hujan masih malu untuk menelanjangi wajah bukit padas Rowosari, tiap hari masih banyak dumptruk yang mengantarkan sesuap nasi bagi ilalang bukit padas itu, meski dumptruk itu mulai terseok ditelan beberapa kubangan yang mulai menganga. Konferensi penambang padaspun sudah digelar tiap hari, saat mereka melepas lelah sembari menghabiskan bekal makan siang yang sederhana. Namun keluh hati merekapun belum bisa menembus gendang telinga pejabat daerah ataupun petinggi partai. Meski mereka kesal namun merekapun sadar, bahwa tidak selamanya hidup yang mereka usung  semata ditentukan oleh dandang mereka sendiri.

            Sekali sekali mereka harus menautkan bilah ilalang itu satu sama lainnya demi berputarnya cakrawala kehidupan mereka sendiri. Hingga akhirnya merekapun kini bisa menghadirkan pak lurah dengan staf  kecamatan untuk bersama membungkam kubangan kerbau.

            “Semua keluh kesah sudah bertahun aku dengar, maka sayapun berkali menanyakan pada Pak Bupati untuk segera mengalokasikan dana. Nampaknya hingga saat ini belum ada kepastian pengerasan jalan” tutur Pak Luah dengan suara berat tetapi datar, suatu tanda bahwa diapun sudah cukup lelah dalam memperjuangkan nasib warganya.

            Semua penembang pasir yang hadir hanya mampu melempar sorot mata kepada Pak Lurah, sebagian lagi hanya menggeserkan tempat duduk mereka karena menyimpan kegalauan hati yang mendalam.

            “Pak Lurah !, apa kami harus menganggur selama hujan terus mendera desa kita ?. Untuk kerja di Kota Semarang atau Jakarta kamipun tidak punya ketrampilan apapun?”
           
            ‘”Sabar, Kang Rofi’i !, kita masih punya cara lain asal saudara saudara setuju”
            “Maksud Pak Lurah bagaimana ?” Kasan menukas ucapan Pak Lurah
            “Kita harus mampu melakukan pengerasan jalan dengan swadana, bagaimana bapak bapak ? , setuju ????“. Wajah Pak Lurah mulai dihiasi dengan senyuman yang ramah.
            “Kami semua warga yang tidak mampu, tentunya program Pak Lurah memerlukan dana yang besar, terus terang saja kami tidak mampu” sahut Kasno.
            “Untuk makan saban hari saja kami kelimpungan” Kasmo meneruskan
            “Biaya program itu memang besar, tapi dana itu tidak kami ambilkan langsung dari kantong  bapak  bapak. Oleh karena itu  program ini memerlukan tempo yang lama. Bapak bapak harus sabar, tegar dan tetap bergotong royong, baik tenaga, waktu dan pikiran” Pak Lurah kembali lagi menyakinkan mereka semua.

3

            “Ah, Pak Lurah jadi nggak serius ?” Kasan mencoba untuk mengerti lebih jelas ucapan Pak Luah.
            “Lantas kami harus bagaimana, Pak Lurah ?” jawab Hamzah.
            “Terus terang saja, Pak !. Agar kami mengerti maksud Pak Lurah” sahut Kasmo.
            “Sebentar lagi musim hujan Pak !, kami sudah tidak main main lagi” potong Hamzah. !. Agar kami mengerti maksud Pak Lurah"us mengangkat tanganya agar semua [eserta konferensi ilalalng buki

Mereka saling celoteh seperti celoteh jalak, kutilang, derkuku di pasar burung. Sehingga Pak Lurahpun harus menghentikan pidatonya, sambil terus mengangkat tanganya agar semua peserta konferensi ilalang bukit padas mau menahan diri.

            “Kalau bapak bapak tidak bersedia sabar, gimana saya bisa menyelesaikan ini semua. Sabar dulu tho, pak !. Maksud swadana itu, bapak bapak bisa mendapatkan dana dengan cara menurunkan harga padas. Bila biasanya 1 drumtruk padas kita hargai seratus lima puluh ribu, cobalah diturunkan menjadi seratus empat puluh ribu, dengan catatan yang sepulur ribu dimasukan kas”

            “Wah..wah..wah..betul juga Pak Lurah “
            “Wow…mengapa tidak dari dulu Pak Lurah tidak mengusulkan demikian !”
            “Pak Karmo !, dulu kita kan dijanjikan Pak Bupati kala dia kampanye nyalon bupati, sekarang setelah jadi, mana janjinya !!!”.
            “Ya… sudahlah, kalau masalah janji bukan hanya pak bupati saja, banyak caleg yang kala itu juga berjanji membantu nasib kami. Tetapi setelah 2 tahun mereka duduk di dewan, mana janjinya ?. Yang penting segera saja Pak Lurah mulai menyiapkan ini semua. Kami semua orang tidak makan bangku sekolah, jadi kami tidak bisa banyak berbuat” seru Kasan.
            “Tapi program ini akan makan waktu lama, Pak Lurah !. Padahal minggu minggu depan  hujan  mulai deras. Terus bagaimana ini ?” Tanya Kang Rofi’I kepada semua anggota konferensi.
            “Kang Rofi’I, dana yang sudah masuk, langsung kita gunakan untuk menyemen jalan yang berlubang, secara bergantian  terus menerus akhirnya kita akan memiliki jalan desa permanen dengan semenisasi “
            “Kapan ini dimulai , Pak Luah ?”
            “Secepatnya, Pak Kasno !, kita kan harus mengedarkan surat pemberitahuan pada semua sopir dumptruk, proposal pada Pak Camat dan menyiapkan tenaga penarikan restribusi dari kelurahan. Pokoknya dalam minggu minggu ini, program kita bisa dimulai,  saya janji !”
           
Wajah beringas, lusuh dan bertatap mata dingin, kini telah berubah menjadi wajah yang sejuk setelah mereka semua menyepakati, berdiri di kaki sendiri untuk mencari secercah pengharapan di bukit padas Rowosari. Butir hujan yang selama ini meluluhlantkan jalan desa satu satunya , kini tidak lagi mereka takuti.

Jumat, 07 Oktober 2011

Akhir Musim Kemarau

Semak belukar di lingkungan rumah Hardian kini terlihat kuning meranggas. Sejauh mata memandang hanya terlihat permadani kuning yang tergelar luas. Pemandangan ini disebabkan musim kemarau yang panjang, dengan diselingi tiupan angin kemarau yang kencang dan kering serta tidak membawa uap air. Musim kemarau yang kering ini di[perparah dengan mengeringnya sumur dan sungai yang mengalir di desa Hardian.

Siang hari itu, usai Hardian dan teman temanya seusai makan siang, mereka berkumpul dan bermain di sawah yang telah mengering tidak jauh dari rumah Hardian. Sawah itu kini telah ditumbuhi ilalang yang tinggi dan mengering, sehingga sebagian ilalang tersebut telah roboh dan sebagian lain masih berdiri tegak. Hanya sebentar sebentar terlihat beberapa burung jalak, kutilang dan kenari yang hinggap di pucuk ilalang, untuk mencari makan semut atau serangga lainnya yang berada di pucuk ilalang. Hardian dan beberapa temanya sangat ceria bermain bola di sawah yang kini menjadi padang gersang. Meski panas kemarau masih terasa menyengat kulit mereka, tapi semua tidak diperdulikan. Barangkali mereka semua adalah anak desa yang terbiasa dengan sengatan matahari.

Permainan bola yang mengasikan itu, mendadak terhenti kala mereka menyaksikan beberapa kawanan burung telah terbang berarak menteberangi langit dari arah timur ke barat. Bahkan terlihat pula kawanan burung yang trebang dari arah tenggara menuju barat laut. Sontak mereka berlarian menemui Pak Wiji, yang sedang membersihkan ilalang dan membakarnya di petak sawah sebelah mereka bermain. Mereka tidak takut dan malu dengan Pak Wiji yang mengajar kelas VI di sekolah mereka. Pak Wijipun menyambut mereka dengan ramah dan senyum menanggapi pertanyaan mereka.

“Pak Wiji apa ada kebakaran hutan?. Burung burung itu beterbangan bersama sama menujuke arah barat dan utara”. Tanya Bisri pada guru mereka yang kini duduk di tikar bambu di tengah padang gersang.
“Iya, Pak. Aku takut bila kebakaran itu juga menerjang desa kita”. Hardian mencoba mencurahkan kekhawatiran pada guru yang ramah itu.

“Ha..ha..ha, apabila terjadi kebakaran hutan di sebelah selatan, maka burung burung itu tidak terbang menuju ke barat laut. Tetapi mereka akan hinggap di pohon pohon di desa kita untuk mengungsi “
“Apa sebabnya, Pak ?” . Kukuh tidak mau kalah dengan teman temanya untuk mencari tahu penyebab kejadian itu. “Kejadian yang kamu lihat di langit ini adalah kejadian yang dinamakan migrasi kawanan burung” seru Hamzah.
“Migrasi itu artinya apa, Pak ? Dan mengapa burung tersebut melakukanya ?”
“Migrasi itu artinya perpindahan dari tempat satu ke tempat lainnya. Hamzah !, mereka berpindah tempat mencari daerah baru yang sudah memasuki musim hujan. Tujuanya adalah untuk mencari makanan, karena bila musim hujan tiba, alam menyediakan makanan yang berlimpah bagi burung burung tersebut.
“Mengapa mereka bisa mengetahui daerah yang sudah memasuki musim hujan” Kukuh kembali lagi mengajukan pertanyaan, karena dia masih penasaran dengan kejadian perpindahan burung burung tersebut. “Itulah naluri mereka , Kukuh !” “Naluri?, apa saya juga memiliki naluri, Pak?” seru Hamzah
“Kamu semua adalah makhluk yang paling sempurna, yang memiliki akal. Sehingga dengan akal yang ada manusia bisa mengetahui cuaca tanpa menggunakan naluri. Naluri diberikan Tuhan yang Kuasa kepada hewan, karena mereka tidak memiliki akal”
“Pak Wiji, mengapa di desa kita belum turun hujan. Padahal di daerah lain sudah hujan ?” Kembali Hardian menyerukan sebuah pertanyaan.
“Barangkali sebentar lagi, Hardian !. Biasanya kalau terlihat gejala alam seperti ini, tidak lama lagi desa kita akan diguyur hujan” jawab Pak Wiji dengan senyum yang lebar.
“Ah…mengapa datangnya musim hujan tidak serempak, ya Pak” Kukuh menyela pembicaraan mereka dengan kembali bertanya.
“Kamu semuakan sudah belajar bahan ajar Kepedulian Diri Pada Lingkungan. Pada pembelajaran itu, kamu diajar guru kamu bahwa alam sekitar kita telah rusak akibat ulah kita semua. Zat Ozon yang ada di atmosfer kita telahbanyak yang rusak, selain itu atmosfer sudah banyak dicemari bahan bahan buangan. Ini semua mengakibatkan “effek rumah kaca”, sehingga musim sekarang telah kacau.
“Pak, Pak Wiji, boleh aku bertanya?” Tanya Ningrum yang mulai tertarik dengan pembicaraan mereka di tengah sawah. “Oh, silakan Ningrum !”
“Bagaimana cara Ningrum, agar bisa mempercepat datangnya musim hujan ?”
“Ningrum !, tidak ada yang bisa kamu lakukan, yang penting bagi kamu belajar yang rajin bahan ajar Kepedeulian Lingkungan dan IPA.

Dan nanti di rumah kamu bersihkan sampah sampah yang ada di saluran air agar tidak mampat menyebabkan banjir dan jangan jajan di sembarang tempat, karena pada awal musim hujan biasanya akan berjangkit penyakit diare dan disentri, ya !. Sekarang hari sudah sore sebentar lagi gelap, kalian mandi yang bersih dan belajar ya ?” “Ya, Pak Wiji “ semua menjawab dengan serentak tanpa ada yang menuruhnya. Sementara itu langit di atas desa mereka sudah mulai gelap. Suara petir silih berganti disusul kemudian munculnya kilat yang menyambar desa mereka. Tidak lama kemudian 3 datanglah hujan yang pertama kali, yang sudah lama mereka tunggu.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Puisi Tentang Bangsaku

Ranting Cemara Yang Meranggas

semua gurat pelangi melontarkan berkas warna di ufuk,
kala Mahapatih Gajah Mada berdiri dan menggelar tepian kanvas lukisan wajah ayu sang permaisuri di gendongan nina bobok Archipelago,
warna biru langit telah memenuhi semua pelupuk sang empu,
yang koyak pakaian mereka, namun masih mengais kepalan tanganya di pucuk palma,
berisi limpahan tinta emas untuk mengukir Kemurahan Sang Pencipta Hidup.

warna merah yang lama terbiuskan tari bidadari bertaring tajam.
dengan kuku menghitam, siap merobek bilik jantung yang berdegap gegap.
namun mereka tetap tegar, menuai bulir padi yang menguning, mengayunkan prosa negeri di jalan jalan penuh kemunafikan.
beberapa kerumunan bocah bertelanjang dada dari tengah padang,
yang telah meranggas semua belukarnya,
dengan hiasan rumbai jerami untuk mengatapi rumah bambu
berhias tajamnya sorot mata yang nanar,
sehingga pohon pisang yang pernah tumbuhpun terhempaskan,
karena badai kepedulian sesama telah memilitkan puting beliung.
lantaran, nafas Merapi melontarkan setiap asa pada tebing tebing berhias ilalang

apakah akan ada lagi batu nisan bertulis nama yang bertinta emas
di pusara bermandi kembang kagum dari anak cucu,
bermandikan air keruh modernisasi,
yang bernafas busuk dan bersitegang
pada bahu bahunya yang hitam melegam.
namun mengapa mereka dengan sigap menyergap,
beranda Archipelago yang dahulunya tempat mandi bidadari penghuni Indraloka,

ataukah memang mereka semua telah dipinang jaman,
yang berhias asap mesiu, korupsi dan hantu penghisap darah
ataukah panorama di tepian telaga
yang menghitam dengan suara parau dan sumbang burung camar,
kutilang, nuri dan derkuku
mereka dahulu bercanda dengan kidung Asmarandhana
di tiap sudut pohon cemara yang menjulang tinggi, menitipkan prosa kehidupan
pada Sang Pencipta.
tidak ada lagi kini, tebing,
padang dan lembah untuk sekedar cemara mengukuhkan selorohnya,

mereka dililit angin prahara,
lantaran bulu bulu warna warni
dari monster monster sang penunggang reformasi
yang telah meradang kiblatnya hingga tak selembar daunpun
yang tersisa untuk mensuapi cicit anak anak burung sang penunggu pagi.

Semarang, 30 September 2011.  

Bulan Terpingit 

bulan demikian bersedih,
kala tepian telaga tak mampu lagi menjadi cermin baginya,
meski roda roda bumi terus menjinjing sang pedang waktu,
lantas mereka biarkan kepulan asap mengerang
dan rajutan keranjang santun, milik penghuni Swargaloka.

wajah bulan berubah di malam purnama,
yang berenda rajutan kain sutra,
mengubah wajahnya bertepi pohon kamboja
apakah bulan juga mengulum pesan tentang perjalananya
di tanah bergaris katulistiwa

ataukah lantaran bulan menjadi saksi dari senyum hambar
penari Ramayana di plataran Prambanan
atau mungkin rajutan keranjang santun telah terkoyak,
menebarkan bisa bisa mematikan bagi “sang ilalang”
yang sedang berbulan madu dengan cakrawala
di ufuk pagi. atau pula bulan menjelma
wajah lelaki separo baya berwajah keriput,
yang tersayat hatinya,
kala mendengar nada sumbang '[
dari peniup seruling pada pagelaran “uyon-uyon” gamelan jawa.

entahlah bulan yang terpingitpun terus menyodorkan ketidaktahuan.

Semarang, 30 September 2011  

Merindukan Sang Ufuk 
mari kita benahi, bilik kamar tempat kita merebah,
menghitung selaksa pagi dan senja
yang berkejaran melintang dan terbujur
di kungkungan bola langit kita rindukan bersama
dalam langkah yang sepadan meski tenggorokan telah kering
pembuluh darah telah bosan tersumbat denyut prahara
mata memandang sesekali pada rumah mungil
di tengah ufuk -yang kabarnya hanya terbawa cicit burung kenari-rumah
dengan cawan berisi air mawar menepis hari hari panjang yang banyak
disulam pelacur pelacur jaman

jangan lagi kita semai rerimbunan
di sebidang tanah kehidupan,
hanya jalan berdebu agar kitapun sempat mewarnai
atap rumah ufuk dengan anyelir,
kenanga dan melati untuk merias wajah bidadari

Semarang, 30 September 2011  

Sepenggal Doa
kita tatap sejenak,
pada bening sorot mata
yang mengarah saat kita tanpa
sehelai benang menghisap aroma ILLAHI
tepat ke bilik jantung dalam genggamaNYA,

tak mampupun kita
menggerakan tiap benak dan otak
kita sandarkan perjalanan anak anak negeri
yang menyambut mempelai agar terpasung
di singasana pelaminan tanpa nafas nafas busuk
dan lidah menabur gejolak
di tengah kebimbangan debu debu
yang menyesak dada hingga tulang igapun bergemerisik
menopang hasrat yang menusuk hari di balik cakrawala fajar

Yang Disana Kitapun tetap menjulurkan niat untuk
”bersyahwat” dengaNYA
agar sepenggal doa kita tidak terpelanting

Semarang, 30 September 2011