Minggu, 17 Januari 2010

KEPRIHATINAN NURANI SEBAGAI ANAK BANGSA

Sungguh merdu terdengar di telinga kita, kala kita mendengar lagu rayuan pulau kelapa. Dalam syairnya menyiratkan setiap keindahan yang kita miliki selama bernaung di bumi katulistiwa ini. Tergambar di dalamnya kehidupan setiap anak bangsa yang tentram dan damai. Penuh dengan kekayaan alam yang mampu menopang setiap kehidupan kita

Namun apa daya sekarang panasnya lahar yang dimuntahkan gunung api atau panasnya hutan yang terbakar, akan terasa lebih dingin dibanding dengan panasnya para pemimpin nasional / mantan pemimpin nasional yang sekarang sedang berseteru di depan Pansus Hak Angket DPR untuk kasus Bang Centuri , yang saling menyalahkan satu dengan lainnya dan tiada henti – hentinya mendera wajah politik , ekonomi dan sosial dari bangsa dan negara ini di beranda Tahun 2010. Ditambah lagi stimulus-stimulus elite politik / petualang politik yang pandai mengambil kesempatan di tengah suasana panas tersebut

Belum lagi kekisruhan Bang Century terlarutkan dengan temuan siapa dalang yang paling bertanggung jawab terhadap dana bailout sebesar 6 , 7 trilyun Rupiah, kita dikagetkan dengan temuan simbol kekisruhan tatanan moral dan sosial kita , yang menyangkut moral para oknum pejabat kita. Betapa tidak seorang wanita pengusaha sukses yang berstatus narapidana bisa bergaya hidup layaknya tinggal di hotel berbintang , padahal hotel berbintang tersebut adalah kamar LP Pondok Bambu di lantai III. Menurut para saksi mata yang ada, wanita itu di dalam kamar tahanan juga mampu memimpin rapat perusahaannya yang memliki ± 70 ribu karyawan. Wanita itu tidak lain adalah Atalyta Suryani.

Menyikapi fenomena sosial tersebut, terbesitlah dalam benak kita siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan. Lepas dari siapa yang bertangung jawab dengan kasus sepert itu, ada baiknya bila kita menggunakan logika yang mapan, mengapa hal ini perlu kita pertanyakan, karena masalah tersebut adalah mungkin kasus yang kebetulan bisa kita temui. Barangkali di luar masalah ini , masih bisa kita temukan kasus kasus yang lain yang sekali lagi menyangkut masalah kejujuran moral oknum pejabat dan lihainya konglomerat / pengusaha sukses yang bergelimang uang untuk membeli moral para okmum pejabat kita.

Masih dalam koridor perilaku para oknum pejabat kita diatas, sebagai anak bangsa kita bertambah menangsis pilu ketika mendengar laporan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang telah menyerahkan data –data para makelar kasus di Komisi Pemberantasan Hukum lengkap dengan nama, tempat transaksi, kuitansi, tanda terima, alamat dan anak siapa ke Satgas Pembrantasan Hukum , Rabu 13 Januari 2010. Lebih lanjut Beliau juga melaporkan bahwa keterlibatan oknum pejabat di KPK tidak tanggung – tanggung dilakukan oleh jajaran aparat KPK dari mulai deputi hingga ke jajaran di bawahnya.

Lantas apabila kita menghaapi kondisi semacam ini bagaimana bisa tercipta iklim Supremasi Hukum yang kita damba-dambakan bersama. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa hukum adalah Lembaga Regulatif yang berfungsi multiguna dalam menciptakan kestabilan sosial, politik, ekonomi dan setiap unsur kehidupan lainnya yang bernaung dalam suatu kesatuan negara. Apabila hal ini telah nodai hanya untuk kepentingan
pribadi, maka tentu saja akan tumpul pranata hukum tersebut, yang pada giliranya akan melumpuhkan setiap dinamika Bangsa Indonesia di dalam perjalanan menuju era masa depan yang kita damba-dambakan.

Lumpuhnya sebuah negara besar, yang memiliki wlayah geografis dari Sabang hingga Merauke, yang memiliki pulau sebanyak 17.504 buah, memiliki luas wilayah ± 5. 250. 053 km 2 ( Wikipedia, 2004 ) dan
berpenduduk lebih dari 200 juta penduduk serta memiliki suku bangsa sejumlah 316 suku bangsa yang hidup saling berdampingan mesra, tentunya akan sama dengan lumpuhnya suatu Raksasa.

Bukankah dalam sejarah perkembangan bangsa ini selalu dihadapkan pada kebesaranya sejak jaman Majapahit hingga jaman Soekarno, yang disegani oleh bangsa- bangsa di Asia. Namun kebalikan dengan kenyataan yang aa di era sekarang, berdasarkan data yang diperleh dari survey Dirjen Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan melaporkan bahwa sebanyak 70 juta penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Kondisi ini bisa kita jadkan suatu barometer analisis sosial masyarakat kita, bahwa untuk kebutuhan yang vital saja kita masih jauh dari sejahtera.

Sementara itu para oknum pejabat baik tingkat mentri / mantan menteri hingga bupati dan walikota kepala daerah banyak yang terlah terbukti menggasak uang negara hingga milyaran rupiah. Tentu saja kesenjangan semacam ini akan menghambat hjubungan serasi antar klas sosial sebagai modal dasar untuk menyeragamkan sinergi dalam menggapai masa depan yang kita inginkan.

Namun marilah kita bersama mengambil tindakan yang sigap, bijak dan jernih dalam mengurai satu demi satu krisis multidimensional yang menghanyutkan kita hingga menjadi tertinggal jauh dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita beri kesempatan kepada setiap insttusi yang berwenang menyelesaikan permasalahnya secara porposional dan profesional, sehingga satu demi satu krisis yang ada tidak meluas hingga terjadinya social conflict yang parah. Sehingga perlahan lahan daun pohon nyiur yang berdiri di sepanjang garis pantai sejauh 54.700 Km akan melambai lagi. Kembali terdengar lagu merdu Rayuan Pulau Kelapa.