Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Jumat, 06 Agustus 2021

Sebuah Kesabaran yang Terpuji

 


Kanko terhuyung kebelakang, saat “Maharaja Prabu Matswopati Raja Kerajaan Besar Wiroto” memukulkan alas permainan dadu yang terbuat dari kayu jati tepat dikeningnya. Darah segarpun  menetes dari keningya yang putih bersih. Melihat kejadian yang menyayat hati itu, “Emban Sarindri” yang cantik jelita, segera mengambil “Bokor Kencana” yang terletak disamping singasana agung Prabu Matswopati. Bokor kencana tersebut digunakan untuk menampung darah segar Kanko, agar tidak menodai permadani yang tergelar di “Pisowanan Agung” itu .

 

Kedua mata Prabu Matswopati, terbelalak matanya mencermati kejadian itu, betapa tidak Emban Sarindri, yang selama ini tidak memiliki sangkut paut hubungan antara dirinya dengan “Lurah Pasar” Kanko, sekarang  menjadi penuh perhatian, dengan melakukan hal semacam itu.

 

            “Hei..Sarindri,  untuk apa kamu melakukan hal semacam ini ?”

 

            “Ampun paduka, mohon maaf atas kelakuan “abdi dalemu” yang lancang ini”

 

            “Aku belum mengerti, Sarindri ?. Mengapa kamu menampung darah segar Kanko dengan bokor ini. Jelaskan Sarindri ?”

 

            “Ampun tuanku, “Sinuwun“ adalah “Senopati Agung” sekaligus Maharaja di Wiroto, yang memiliki pantangan meneteskan darah  hamba Paduka, yang harus sinuwun “ayomi”, kecuali di tengah pertempuran bela Negara. Apabila darah ini menetes ke bumi Wiroto, akan menyebabkan murkanya para dewa, dan hancurlah Kerajaan Besar Wiroto”

 

            “Sarindri, ternyata kamu adalah “embanku” yang berbeda jauh dengan emban lainya. Meski derajatmu hanya “sudra”, tetapi “kawruh lan kepinteranmu” luas. Meski aku selama ini belum tahu persis siapa dan dari mana kamu sebenarnya, tapi aku merasa mendapat “kawruh dan ilmu” darimu “

 

            “Ampun tuanku “Sinuwun Wiroto”!, hamba memang emban yang “kabur kanginan”, lantaran bagi kami siapa aku sebenarnya tidaklah penting, yang penting adalah niatan kami untuk “Ngawula lahir batin” di Negara Wiroto”

 

            “Sungguh luar biasa pengabdianmu, Sarindri !”

 

            “Maturnuwun sinuwun, hanya saja bolehkah abdi dalem yang tiada berguna ini bertanya kepada paduka ?”

 

            “Apa lagi Sarindri ?. Aku harap kamu tidak lancang kepadaku, seperti Lurah Pasar Kanko itu ”

 

            “Mengapa sinuwun tega menganiaya abdi Kanko, apa salahnya ?”

 


            “Sarindri, ketahuilah kelancangan Kanko sungguh terlalu. dia seenaknya memperolok kesaktian Seto putraku, yang dituduh tidak becus  mengusir barisan kurawa. Kanko menganggap bahwa sang kusir putraku yang berhasil menghancurkan barisan kurawa. Seberapa kesaktian guru tari anaku itu?, yang bersikap seperti waria. Sekarang kalian berdua keluarlah, aku tidak mau melihat kalian berdua di bumi Wiroto ini. Keluarlah dan pergi jauh jauh dariku !!!!”

 

Sarindri dan Kanko hanya menundukan wajahnya, dengan tidak menunggu waktu lagi mereka berdua segera mengangkat tubuh mereka dan keluar dari pisowanan agung itu.

 

***

 

Sementara itu pisowanan menjadi geger, lantaran di luar semua abdi dan prajurit mengelu-elukan kedatangan Senotapi Wiroto Seto, putra Prabu Matswopati yang berhasil, mengusir ratusan ribu prajurit Hastinapura, yang hendak melibas Kerajaan

Wiroto dari arah Utara.  Meski pasukan itu dipimpin langsung oleh “Prabu Duryudono”, dengan senopati pengapit “Dah Yang Durna”,  “Adipati Awangga Sinuwun Karno”,:”Resi Krepo “ dan “Sang Resi Woro Bisma”.

 

Mencermati kekuatan besar bala prajurit Hastina tersebut, tidak mungkin bagi Putra Mahkota Wiroto Seto, mampu mengalahkan mereka semua, yang pada kenyataan lari tunggang langgang. Hal ini karena kesaktian Senopati Seto masih dalam tataran biasa –biasa saja. Lantas rahasia apa yang terselip di balik kemenangan gemilang itu. Rahasia itu terkuak, setelah beberapa prajurit yang menjadi saksi mengatakan bahwa kemenagan itu karena jasa kusir kereta perang sang senopati, yang bernama Wrihatnolo. Meski Wrihatnolo hanya “batur” sang senopati, tapi memiliki kesaktian yang luar biasa dan  di atas para senopati Hastina, Wrihatnolo memiliki  senjata sakti yaitu panah Pasopati pemberian Dewa Siwa. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama “Dewadatta”, yang berarti "anugerah Dewa".

 


Dengan semula hanya sebatang anak panah Pasopati yang menebas udara Wiroto, yang kemudian melipatgandakan jumlahnya  hingga ribuan, “wadya bala” Prabu Duryudono yang  beribu ribu jumlahnya menjadi  terbelah leher mereka hingga tewas . Menyaksikan banyak rekan mereka yang “gemlundung mustakanya” prajurit yang selamat menjadi “miris” hatinya dan lari tunggang langgang. Disusul kemudian sekali tiupan sangkakala sakti Dewadratta, semua bala prajurit termasuk para senopati Hastinapura yang tersisa menjadi berterbangan ke angkasa terhempas daya sakti Dewadratta.

 

Prabu Duryudono menjadi kecut hatinya melihat kenyataan yang terjadi, lantaran beribu prajutitnya “segelar sepapan” lengkap dengan brigade panah, tombak, pedang dan kavaleri dibuat tak berdaya menghadapi kusir senopati, yang berpenampilan seperti waria. Namun apa daya, yang hanya bisa dilakukan oleh dia hanyalah menarik pasukanya , karena tiada satupun senopati pengapitnya yang pilih tanding, mampu mengalahkan Wrihatnolo. Hanya Dah Yang Durna saja yang memiliki keyakinan bahwa Wrihatnolo yang sakti itu tdak lain adalah Raden Arjuna murid kesayanganya, yang selama 12 tahun bersembunyi.

 

Rasa heran yang sangat kini memenuhi sanubari Sang Senopati Seto, melihat kenyataan yang ada di depanya. Mengapa Wrihatnolo hanya seorang kusir kereta, tapi memiliki “daya linuwih” yang demikian tingginya, diapun yakin kini bahwa Wrihatnolo adalah bukan “sudra” sembarangan, pasti dia adalah ksatria pilih tanding. Rasa heran itu tanpa ragu ragu dikemukakan pada kusirnya itu, dengan hati hati.

 

            “Wrihatnolo !”

 

            “Daulat, sinuwun !, saya “nyadong dawuh” tugas apa lagi yang akan diberikan kepada saya!”

 

            “Ketahuilah !, baru kali ini aku menyaksikan kejadian yang luar biasa, siapa sebenarnya kamu Wrihatnolo ?”

 

            “Ampun tuanku, saya adalah Wrihatnolo kusir kereta perang sinuwun”

 

            “Tapi engkau memiliki kesaktian yang luar biasa, ksatria dari mana kamu ?”

 

            “Mohon tuanku tidak mempermasalakan tentang hamba, sudah menjadi kewajiban hamba untuk mengabdi Negara hamba, yang sedang genting diserang musuh”

 

            “Aku tidak percaya, Wrihatnolo ?, mengaku saja siapa sebenarnya kamu. Akan aku “sowankan” dirimu kehadapan “kanjeng romo”. Akan engkau dapatkan hadiah apa saja yang kamu inginkan “.

 

 “Mohon maaf sinuwun, hadiah yang saya harapkan adalah dari Yang Maha Kuasa, bukan hadiah dari Sinuwun Prabu Matswopati, Bagi kami ketentraman dan kedamaian Negara Wiroto adalah menjadi kewajiban hamba”

 

            “Oh, Wrihatnolo, aku bertambah kagum terhadap kamu, semakin yakin pula aku, bahwa kamu adalah bukan sudra seperti batur lainnya. Mengakulah Wrihatnolo ?;

 

            “Saya adalah manusia “titah sawantah”, yang sekedar menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa?”

 

            “Ha…ha…ha..aku tahu memang bagi ksatria yang sudah tinggi tataran hidupnya, pantang untuk menonjolkan “bahu bektinya”. Oleh karena itu, bila engkau memang semata mengharapkan “idi pangestu” dari Yang Maha Kuasa, mengaku sajalah Wrihatnoloa Aku ini “pepundenmu”, menuruti perintah pepunden bagi seorang ksatria, adalah hal yang wajib “

 

            “Baiklah, sinuwun. Aku akan mengaku sebenarnya siapa aku. Tetapi nohon sinuwun berkenan merahasiakan masalah ini”

 

            “Baiklah Wrihatnolo, aku adalah Putra Mahkota Negera Wiroto, yang harus memiliki sifat “tan keno walak walik” di setiap kebijakan dan perkataan aku. Maka segeralah mengaku, siapa sebenarnya kamu ?”

 

            “Perhatikan sinuwun, pusaja pusaka yang aku bawa ?”

 

            “Ya, pusaka pusaka itu milik “Panengahing Pendawa, Raden Permadi.lantas apa

hubungan kamu dengan pusaka itu ?”

 

            “Akulah pemilik pusaka itu, Sinuwun. Akulah Permadi “

 

            “Aduuh, ngger putraku !, aku tidak percaya. Apa betul engkau putraku..ngger !”

 

            “Duh paman, akulah arjuna yang telah menjalani pembuangan 12 tahun dan penyamaran selama satu tahun di negeri Wiroto ini, hingga sampai akhir waktu penyamaran ini,  Pandawa akan memohon Kangmas Duryudono untuk mengembalikan Negeri Indraprasta sajajahanya dan Negeri Hastina “sigar semongko “

 

            “Baiklah ngger Permadi !, sang paman hanya berdoa kepada Hyang Maha Kuasa agar Pandawa mampu meraih kemulyaan hidup, meski melewati tingkatan kesabaran yang bukan main tinggiya. Namun apabila engkau semua mampu mengendalikan nafsu nafsu yang hinggap di sekujur sanubarimu, kemuliaan itu akan dengan mudah kamu raih, Permadi !”

 

            “Kasinggihan, paman Seto !, putra paduka Permadi ini, masih harus banyak belajar tentang nafsu yang paman maksudkan “

 

            “Ngger Permadi, keempat nafsu yang harus kamu kendalikan dengan segala “Roso lan Rumongso” adalah :

            1.Nafsu Mutmainah, bercahaya putih, adalah raja yang berwatak sabar, welas asih tulus dan suci. 2.Nafsu Amarah, bercahaya merah, berwatak serakah dan ‘panasten.’ 3,Nafsu Aluamah, berwarna hitam, mempunyai kesenangan makan yang berlebihan sehingga menjadi pelupa dan 4.Nafsu Supiyah, raja wanita, bercahaya kuning, senang pada keindahan, sikapnya selalu berubah, tidak dapat menepati janji. Selanjutnya gunakanlah nafsu “Mutmainah” untuk menjaga ketiga nafsu tersebut, ibarat nafsu “sang mbarep” yang membimbing adik adiknya, terutama ” nafsu ragil” yang berujud nafsu “amarah.Jika kamu mengendalikan nafsu itu, maka telah sempurna tingkat kesabaranmu, ngger !, engkau akan merasakan “sworgaloka” yang turun di “mercopodo”.

            “Seperti tersirahkan air embun pagi hari, yang mampu menyejukan hati kami, Paman Seto “

            “Yo, ngger, “tak kanti” sekarang juga, ngger Permadi ikut sowan kehadapan Romo Prabu Matswopati”

            “Ampun Paman, bila waktunya tiba kami semua “kadang” Pandawa pasti sowan kehadapan Romo Prabu”.

***


Wajah yang cerah dan berseri kini menghiasi semua “warongko projo Wirata” yang ikut dalam pisowanan hari itu, terlebih lebih wajah Maharaja Matswopati yang selalu dihiasi senyum kecerian. Apalagi mendengar kabar yang baru saja didapat tentang kemenangan gilang gemilang putranya dalam mengusir wadya bala Hastinapura tanpa menemui kesulitan.

Silih berganti gambaran tentang kemenangan putranya yang diluar nalar dan gambaran keperkasaan baturnya Jagal Abilawa yang baru saja menyelamatkan dirinya dari tindak pendzoliman dan penistaan yang dilakukan Raja Trigatra Susarman terhadap dirinya, kedua gambaran itu terus saja memenuhi seluruh beranda sanubarinya. Sang Prabu Matswopati menjadi bahagia sekaligus menyalahkan dirinya sendiri, mengapa kesaktian Jagal Abilawa yang dengan mudah meringkus Prabu Susarman yang sombong itu baru kali ini dia temui.

Baru kali ini dia menjumpai, abdi seperti Bilawa. Karena  hanya abdi jagal sapi, tetapi  memiliki kesaktian pilih tanding. Meski penampilan Abilawa ini mengerikan mirip gendruwa, yang tinggi besar dengan rambut acak acakan sebatas pinggang dan sangat bau, dia juga tidak bisa bertutur kata dengan bahasa santun di hadapan “piyayi agung “ seperti Sinuwun Prabu Matswopati. Namun Abilawa lauaknuya seorang abdi yang telah mati hati nuraninya. Terbukti Bilawa  menolak mentah\menth pemberian hadiah berupa emas, intan, mutiara, tanah lengkap dengan bangunan istananya,

            “Angger, Seto putraku!, entah aku sendiri tidak tahu. Betapa banyak limpahan Rahmat dan Pertolongan dari Tuhan Yang Kuasa kepada kita hari ini. Bala tentara lengkap Hastinapura dari sisi Utara telah hancur berantakan.Sedangkan dari arah selatan, kesaktian Susarman belum berarti apa apa dibanding dengan Abilawa, yag selama ini hanya jagal sapi di dapur istana. Hampir saja aku berpisah denganmu, ngger !, tapi beruntunglah Tuhan yang Kuasa masih memberi pertolongan kepadaku, dengan menghadirkan Abilawa, yang dengan mudah memotong leher raja sombong itu “

            “Abilawa, romo ?. Siapa Abilawa itu ?”

            “Dia tidak mau mengaku darimana asalnya, tapi aku sangat bahagia sekali memiliki batur seperti Abilawa ini. Dia sangat rndah hati dan menolong “pepundenya” dengan ikhlas dan tanpa pamrih barang sesdkitpun”

            “Lantas orangnya seperti apa, romo ?”

            “Aku hingga kini masih merasa ngeri bila melihatnya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya dibiarkan menutupi pinggangnya tanpa disisir, dia berpakaian denga kulit macan dan ular, dia sama sekali tidak bisa bahasa “kromo inggil “ denganku. Tapi dibalik “praupan” yang mengerikan itu, tersembunyi jiwa ksatria yang halus, tak pernah merasa takut dengan sesama, halus kepedulian terhadap sesame dan berjuang tanpa pamrih”

Senopati Seto tak kaget barang sedikitpun, karena dia telah menduga bahwa Abilawa tidak lain adalah Bimaseno atau Raden Werkudoro Panegaking Pandawa, seorang ksatria putra Prabu Pandu Dewanata yang tersohor itu. Semua kehidupanya mulai dari kecih hingga sekarang telah bergrlimang dengan kebaikan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dia dan saudara saudaranya.

            “Ada apa Seto ?, apa kamu kenal dengan Abilawa ?

            “Ampun romo, baru kali ini Seto mendengarnya. …..Mohon maaf romo !,emban Pinto telah memberi tahu ananda, bahwa diluar ada Bibi Kunti dan Prabu Drupada yang berniat menghadap Romo Prabu “

            “Kunti, anaku dan Ngger Prabu Drupada !, jangan biarkan mereka telalu lama di luar, segera mereka “diaturi sowan” di depanku. Oh, Tuhan Yang Kuasa, semoga kehadiran mereka membawa kebaikan untuk Wirata “

Kunti telah sembab matanya, demikian juga Prabu Drupada yang berkaca kaca matanya, diikuti para “kadang Pendawa”, yang kini duduk bersimpuh di depanya. Sebuah pelukan kasih sayang antara Kuni dan Pamanda Kanjeng Sinuwun Matswopati mengharu birukan pertemuan nesar di Pendopo Siti Hinggil Wiroto. Rasa haru kedua saudara yang berpuluih tahun tidak bertemu itu, berhasil membungkam hadirin “piaowanan agung” itu. Kecuali Pandawa yang hanya duduk dengan muka tertunduk.

            “Kunti mengapa kehadiranmu bersama dengan Sarindri, Kanko, Abilalawa, Wrihatnolo, mereka itu baturmu yang mlarikan diri ?, lho mengapa mereka berpakaian seperti ksatria, Kunti mengapa ?”

            “Sebelim dan sesudah limpahkan maaf yang sebesar besarnya padaku, karena mereka sebenarnya…..” Kunthi tak mampu meneruskan perkataanya, air matanya kini bertambah deras, air mata beribu makna dari mulai ketabahan putra putra  pendawa dan air mata kebahagian karena pertemuan dia dengan putra putranya. Air mata yang berderai karena selama ini, putra putranya yang sudah kehilangan segala galanya, namun masih bisa “ngugemi dharma”.

            “Kunti, tabahkan hati kamu, ceritakan dengan tenang. Aku tahu engkau putraku yang sudah kenyang dengan cobaan hidup. Maka tabahkan sebagaimana ketabahan suamimu atau keponakanku Pandu yang arif dan bijak”

            “Paman Prabu, setelah 12 tahun anaku anaku bersembunyi di hutan. Tiba saatnya selama 1 tahun mereka harus menyamar. Agar tidak ketahuan “telik sandi” Kurawa, mereka cucu cucumu memilih melakukan penyamaran di Wirata, agar memperoleh pengayoman sang eyang “

            “Jadi abdi abdiku itu, Kanko, Sarindri dan …adalah cucu cucuku Pandawa ?”

            “Betul Paman Prabu !, mereka adalah cucu Pandawa. Kanko adalah putraku Yudistira, Abilawa tidak lain adalah Werkudoro, sedangkan Wrihatnolo guru tari dewi Utari adalah Arjuna. Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Drupadi menjadi Sarindri sebagai dayang istana”

            “Oh Jagad Dewa Batara. Kunti aku harus bekata apa. ?. Sampaikan maaf saua kepada putra putramu, mengapa aku memperlakukan mereka demikian buruknya, padahal mereka adalah cucuku. Oh Tuhan, cabut saja nyawa aku, aku rela Tuhan. Aku punya kesalahan yang besar terhadap mereka.”

            “Mohon maaf Eyang Prabu, kami memang sengaja menyembunyikan kami semua.Sehingga kami tidak pernah menganggap eyang bersalah terhadap kami”

            “Oh cucuku Pandawa!, demikian besarnya cobaan yang kalian alami. Tapi demikian besar kesabaran yang kalian miliki. Ngger cucuku, kesabaran seperti inilah yang dibutuhkan ksatria yang bisa memeangkan Bharatayudha kelak.

 

Selasa, 27 Desember 2011

Sugeng Warso Enggal 2012

my family
Wis jamak lumrahe menawi margi ingkang diambah awake dewek saben dinane, mung arupi oro - oro kebak ri. Margi inkang jarang tinemu panggonan kangge ngiyub, sinaoso mung saklebeting netro. Margi ingkan kados mekaten, minongko prolampito lelampahan gesang wonten arcopodo.

Wonten kolomongsone ugi, ambah-ambahane aweke dewek gantos margi ingkang alus, umpamonipun arupi dalan aspal hotmix garapanipun sederek saking monco-negoro. Meniko ingkang kulo panjenengan gayuh amrih rahayuning gesang sesami. 

Menawi kulo panjenengan saestu nglampahi gesang ingkang mulio lahir terusing batos, wilujeng kalis sing sambikolo dalah dowo yuswo. sregep manembah. Sedoyo meniko saged dipun gambaren lumampah margi ingkang alus. Ananging kuciwonipun katah sederek ingkang kagungan kesaenan ingkang kasebat wau, malah leno ing kaprayitnan. Bebasan sugih nikmat ingkang diparingi Gusti Ingkang Moho Welas Asih,, namung kulo panjenengan uwal elingipun. Tansah tebih saking caos dahar munjuk atur dumateng Ngerso Dalem Gusti ingkang Makaryo Jagad miturut ageman piyambak – piyambak.

Tulodo ingkang kasebat wonten inggil meniko, saged dados koco benggolonipun kulo panjenengan sami. Mbokmenowo langkung prayogi menawi sagung kanikmatan ingkang lumeber kulo panjenengan sedoyo, saged dipun wastani pasinaunan manah ingkang gumantung awak kulo panjengan, anggenipun nggulawentah amrih rahayuning gesang. Kosok wangsulipun tembung oro – oro kebak ri, mengku suraos samubarang ingkang mboten mrenaning penggalih sinten mawon ingkang nglampahi, menawi tembung oro – oro kebak ri panci trep kalian gesang kawula panjenengan sedoyo.

Ingkang baku sameniko, mboten usah nggagas margnine agesang. Lelampahan ingkang kados menopo werninipun, mbokmenowi panci sampun katitah Panjenenganipun Gusti Allah Ingkang Ndamel Gesang. Ing semu gesang wonten mercopodo saged dipunwastani kebak cobo, rekoso, lan abot. Nanging meniko sedoyo namung gegambaran semu kewolo. Mestinipun meniko sedoyo mengku prolampito ingkan hakekat. Kabukti miturut wewalere poro sepuh, eyang sepuh lan aji sepuh ingkang wasis babakan laku lampah batos, ingkang saged dados panutane agesang, menawi kulo panjengenan kasinungan cobo arupi dunyo - brono. Estunipun Gusti Ingkang Moho Kuoso, taksih kerso paring sagung welas asih ingkang lumeber kulo panjenengan sedoyo.

Menawi seserepan saking poro winasis meniko estu – estu saged dados panutane manah poro kadang sedoyo, mbok menowo sedoyo ingkang agesang wonten mercopodo, saged nuwuhaken manah ingkang sabar. lan tansah tumungkul nyuwun supados Gusti Sesembahan kaulo panjenengan sedoyo tansah pinaringan kawilujengan lahir lan batos. Langkung - langkung mlebet warso candakipun, mboten sanes inggih Th 2012. Mugi warso candakipun meniko, saged dados warso ingkang kebak paedah tumrapipun kawula panjenengan sedoyo.

Liripun warso ingkang sampun kepengker saged diwastani warso keblinger tumrap saperangan sederek ingkang lenggah wonten Bumi Nusantara.. Ingkang nggadahi watak trapsilo lan chianat dumateng bangsa lan negorone piyambak. Ugi saged kawastanan warso kepengker kebak maneko warno bebendu, ingkang sejatosipun bebendu kolo wau, namung tetenger kito sedoyo, supodos langkung prayitno anggenipun ngugemi sandangan berbangsa lan bernegara.

Sinten mawon ingkang tumindak awon sajroning warso kepengker, kalebet nerak wewalering paugeran negara, bangsa lan agama, mboten usah nggadahi raos kagol lan sumelang, Awit sedoyo wau namung kembange agesang. Milo mboten usah tido – tido lan nolah – noleh malih babakan ngudi basuki, kalawan mejahi lelampahan awon sajroning warso kepengker. Awit warso ingkang candakipun wau sampun mincip – mincip rawuh wonten ngarso kulo panjenengan.

anerjicerpenpuisi.blogsot.combambang-sukmadji.blogspot.combangsuk51.blogspot.com
Warso enggal meniko sampun sumedyo bakal awor dados setunggal kalian kito sedoyo, sehingga kedah dipapag katih manah ingkang ganep. Sajroning warso enggal meniko, sedoyo sandangan ingkang mboten trep kalian bener lan pener, kedah diicali digantos kalian lelampahan ingkang adiluhulung. Gesang ingkang kemrungsung, mboten kagungan tuntunan manah, digantos klawan gesang ingkang manfaati liyan.

Sehingga Bumi Pertiwi meniko klakon tanggon, anggenipun ngadepi rubedo arupi degradasi moral sederek sebangsa lan setanah air tuwin rubedo saking monco negoro. Awit mirsani kahanan Ibu Pertiwi ingkang sampun klampah isen-isene namung usrek lan podo tumindak sakarepe piyambak-piyambak Meniko ingkan ndadosaken tangise Ibu Pertiwi.

Awake dewek niku kedah anggadahi raos sumelang jumbo kalian kahanan ingkang kados mengaten. Sampun ngantos ical kaprayitnan ingkang ndadosaken Negara lan Bangsa niki ngalami disintegrasi lan, langkung tebih malih menawi anak bangsa sami geger genjik mboten kantenan, mboten lintu mung awake dewek ingkang pikantuk kapitunan. Bebasan mapak warso candakipun meniko kedah dilampahi kanti ulat ingkang sumeh, adem manahipun lan berbakti budi laksono.

Milo mapak warso enggal warso 2012 meniko mboten sanes among monggo sami-sami priatos nggayuh, rahayu lan basuli tumpraping sedoyo kadang sentono, sederek sebangsa lan setanah air. Sehinnga Bangsa Indosesia klampah dados bangsa ingkang ageng, waluyaning jati ngantos akhire zaman. Amin......

Rabu, 21 Desember 2011

Kumbokarno Simbol Nasionalisme Tulen


Kumbakarno, Sumber : Google
Tersebutlah sebuah kerajaan besar bernama Alengka yang tergelar disebuah kepulauan yang luas. Kerajaan ini tergelar di atas lembah (plato ) yang dibatasi tiga gunung yang semuanya disebut dengan Gunung Trikuta. Kerajaan Alengka dipimpin oleh  maharaja raksasa yang sakti mandraguna bergelar Prabu Rahwana Raja Tiga Dunia (raja para dewa, manusia dan raksasa serta machluk halus). Karena kesaktianya itu, maka jadilah Raja Rahwana sebagai raja yang sombong, tamak dan pilih tanding. Tidak ada satupun rakyat di Alengka yang mampu menandingi kesaktiannya.

Kesaktian Rahwana yang tiada duanya diperoleh dari “tapa-brata “ dirinya untuk menyembah kepada Dewa Brahma selama bertahun-tahun. Hingga dia mendapat anugerah dari Dewa Brahwa sebuah kesaktian yang menyebabkan dia kebal terhadap segala ilmu, sihir, tenung, santet yang dimiliki oleh raksasa, genderuwo, machluk halus lainnya,  bahkan Rahwana juga kebal terhadap ilmu para dewa.

Bukan hanya kepada Brahma, kepada Dewa Siwa Rahwanapun melakukan penyembahan dan puja – puji  yang dilakukan selama bertahun-tahun pula. Bahkan penyembahan Rahwana kepada Siwa dilakukan dengan sebuah tarian yang dikenal dengan nama Shiva Tandava Stotra. Karena ketekunanya, Dewa Siwa akhirnya menghadiahkan kepada Rahwana sebuah pedang yang berkekuatan dahsyat yang dinamakan Chandrahasa (Pedang Bulan). Lengkap sudah kesaktian raksasa Rahwana, sehingga dia termasuk raja yang ditakuti oleh semua manusia, raksasa dan machluk halus.  Diantara seabreg sifat sombong yang dimiliki raja lalim ini, salah satu diantaranya  adalah sikap yang meremehkan terhadap ras manusia. Ternyata sikap meremehkan manusia ini kelak kemudian hari menjadi petaka baginya.

Karena manusia dipandang rendah olehnya, maka Rahwana tidak tanggung-tanggung memperistri wanita wanita cantik seantero Bumi Alengka, tidak perduli dia masih lajang atau telah bersuami. Termasuk juga hasratnya untuk memperistri wanita “luhur budi bahasanya dan cantik jelita”, yang bernama Dewi Shinta (Sita), meskipun dia tahu bahwa Shinta telah bersuami  Raden Rama Wijaya.

·         Sikap Gunawan Wibisono

Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, Wibisana (Sanskerta: विभीषण, VibhÄ«shaṇa) adalah nama seorang tokoh protagonis dalam wiracarita Ramayana. Ia adalah adik kandung Rahwana yang menyeberang ke pihak Sri Rama. Dalam perang besar antara bangsa Rakshasa melawan Wanara, Wibisana banyak berjasa membocorkan kelemahan kaumnya, sehingga pihak Wanara yang dipimpin Rama memperoleh kemenangan. Sepeninggal Rahwana, Wibisana menjadi raja Alengka. Ia dianggap sebagai salah satu Chiranjiwin, yaitu makhluk abadi selamanya.
Kumbakarno Sumber : Indonesia Travelled. Com
Selanjutnya Wikipedia menjelaskan bahwa Wibisana sebagai adik kandung Rahwana atau putra bungsu pasutri Wisrawa dan Kaikesi.  Sedangkan  menurut versi Mahabarata,  Wibisana adalah putra pasutri Wisrawa dan Malini. Sehingga dia adalah adik tiri Rahwana. Sementara itu Rahwana dan Kumbokarno adalah saudara sekandung.

Meskipun Wibisono adalah seorang raksasa, tetapi dia memiliki kepribadian yang berbeda jauh dengan raksasa lainya, yang sering menebarkan kedholiman dan angkara murka di dunia ini. Wibisono memiliki karakter yang lembut, adil,bijaksana, peduli terhadap sesama dan selalu “Ngrungkebi Dharmaning Satria”.  Sejak muda dia sudah tekun menyembah Dewa Whisnu dan Dewa Brahma seperti kakaknya Rahwana dan Kumbokarno. 

Wibisono-Google
Baik Dewa Brahma maupun Wisnu suatu ketika berniat memberikan limpahan anugerah pada Gunawan Wibisono atas “gentur tapa” yang dilakukan dirinya. Oleh kedua dewa tersebut Wibisana diberi pilihan alternatif anugerah yang bakal diterimanya, yaitu opsi Kasekten (kesaktian ), Kayekten (keluhuran derajat sosial di masyarakat) dan Kamuktin (kekayaan duniawi). Tetapi tidak satupun opsi yang ditawarkan kedua dewa tersebut diterima, Wibisana hanya meminta anugerah berupa bimbingan hati dan jiwanya menuju kebenaran.

Sudah barang tentu Wibisono sangat menentang keras perbuatan kakak sulungnya Rahwana yang menulik Dewi Shinta dan mendesak agar kakaknya segera mengembalikan Dewi Shinta ke Prabu Sri Rama yang paling berhak memiliki  Dewi Shinta. Menanggapi desakan adik bungsunya, Rahwana menjadi murka dan saat itu juga mengusir Wibisono pergi dari Negara Alengka.

·         Nasionalisme Kumbokarno

Dalam kehidupan manusia modern yang  telah mengenal Kisah Ramayana dan Mahabarata, sosok Kumbokarno selalu disertakan pada sikap nasionalisme tulen. Sosok dan karakter tersebut yang saling melekat sering digunakan sebagai icon para  aparatur negara di Asia Timur. Meskipun wujud lahiriah satria raksasa ini sangat mengerikan, tinggi besar dengan kedua biji mata yang melotot keluar. Namun wujud lahiriah dengan jiwanya sangat bersebrangan.

Betapa tidak, Kumbokarno adalah sosok prajurit sejati yang berani mati dengan mengusung pemeo right or wrong is my country, tetapi sikap ini tidak dilangsungkan dengan mata gelap.

Karena sebelum Kumbokarno “Madeg ing PALAGAN” dia terlebih dahulu menyadarkan kakak kandungnya sekaligus rajanya untuk kembali ke jalan yang benar, dengan mengembalikan Dewi Shinta. Namun berlainan dengan Wibisono yang bergabung dengan pasukan Sri Rama, Kumbokarno memilih untuk melindungi tanah airnya dari invasi kekuatan asing atas perintah rajanya.

Menghadapi situasi yang kritis di ibukota kerajaan, tanpa berpikir panjang dia segera menyongsong ribuan pasukan wanara yang dipimpin langsung oleh Prabu Sri Rama. Kedua tangan dan kakinya  dengan sigapnya berhasil membunuh ribuan prajurit kera. Sehingga satu persatu anggota badanya itu  harus segera dilumpuhkan oleh panah Sri Rama. Sri Rama sengaja melumpuhkan satu persatu anggota tubuh Kumbokarno untuk menghindari ribuan prajuritnya yang menjadi korban serta menunggu pengampunan yang disodorkan oleh Kumbokarno. Tetapi Kumbokarno bersikeras untuk menjadi pejuang berani mati membela negaranya.
Gugurnya Jatayu

Akhirnya dengan terpaksa dan untuk mengurangi penderitaan Kumbokarno, Sang Sri Rama mengarahkan panah saktinya ke leher Kumbokarno yang berakhir dengan berpisahnya kepala Kumbokarno dengan badanya. Sri Ramapun memberikan penghargaan yang tinggi terhadap sikap nasionisme tulen Resi Kumbokarno.

Gugurnya pejuang sejati Kumbokarno sudah selayaknya ditiru oleh siapa saja yang memiliki keberanian, niatan dan dan semangat para penyelenggara negara di manapun, kapanpun dan siapapun ***

Kamis, 15 Desember 2011

Arjuna dan Petinggi Bangsa

Semar mengucapkan mantra sakti Aji Pemeling, untuk melentingkan  getaran – getaran halus melewati atmosfer Negeri Amarta, menembus puncak gunung, telaga, dusun serta lembah menuju tirai hati Raden Arjuna yang sedang bergumul sejuta kemesraan dengan Dewi Banowati  dalam kamar pribadi Kedaton Negeri Hastina pura.
 
Getaran sakti mantra semar, meliuk menyapu setiap sudut Kedaton tempat para dayang-dayang kraton yang megah itu mengusung seloroh menyambut datangnya pagi, secerah warna-warni bunga  yang melentangkan kelopaknya demi sepercik air segar pagi hari.    Sepercik demi sepercik air yang telah ditumpahkan para dayang, semata demi sang bunga  untuk menyongsong sebuah hidup di hari ini.
Sang mantera Semarpun tertegun dan sesaat mmengatur nafasnya tak lupa kemudian berseloroh dengan bunga-bunga taman milik Sang Dewi Banowati

‘Sang bendoro telah melupakan darmaning satria, sesuatu yang tak pantas “
“aku bunga, hanya tahu tentang gejolak hati manusia yang sedang meradang rindu dan mengencangnya denyut nadi asmara “

Sang mantra melototkan kedua matanya, tubuhnya yang ringan dibanting dan dihempaskan hingga menjelajah atmosfer negeri Hastina, yang sedang terpagut sepi di pagi itu. Kemudian dengan kecepatan secepat cahaya dia menukikan untukkembali menyapa sang bunga dengan hardikan yang keras.
“Ketahuilah hei bunga-bunga di taman Hastina !!!, Sesuatu telah membuat engkau memincingkan matanya. Janganlah dahulu terkesima dengan Janoko dan kehalusan Dewi Banowati. Sekarang mereka berdua ibarat sepasang  remaja yang hanya mengerti melampiaskan rindu dan saling membelai dengan membaranya nafsu durjana “
“Engkau tidak berhak bicara di sini, apalagi dengan nada tinggi dan menampakan roman kemarahan. Bukankah itu hak setiap insan remaja di Mercopodo ini hai, Sang Samar ?”
“ Hak !,kau bicara hak  remaja !. Lantas bagimana dengan  keutamaan Satria Panengahing Pandawa dan Keluhuran Prabu Salya dan Nini Ratu Setyowati,putri tunggal Bagawan Banaspati dari Argabelah !, kau bilang hak setiap insan remaja ?”
“Memang engkau Sang Samar,yang akan terus hadir di jaman yang samar “.
***
Dialah getar sakti Dewa Ismoyo, yang mampu menembus batas waktu dan dinding beton Kraton Hastina yang kokoh dan tahan gempuran seribu meriam. Mantra sakti Semar mulai mendengar dengus nafas Kekasih Hatinya dan derai tawa sang Permaisuri Negeri Hastina.  Halusnya serat sutra mantra sakti itu,kini mulai menjalari tepi hati sang satria yang telah berusaha sekuat hati menepiskan kehadiran bisik mantra. Getar jantungnya tidak mampu membangunkan raganya untuk segera melejit menghadap sumber frekuensi mantra tersebut.
Sang Arjuna telah tahu pesis, siapakah yang menebar jala sutra di hatinya.
Namun pesona hasrat telah berhasil membawanya ke tiap penjuru laut biru,hingga keringat dingin bercucuran di setiap jengkal tubuhnya.
“Hai,Sang Satria bangkitlah dan pasanglah layar lebar-lebar agardirimu mampu menepikan perahu”
“Aku sudah terlanjur, menguntai canda dengan riak gelombang”
“Tugas suci menyemai bunga-bunga di halaman Boulevard di Puncak Mahameru telah menunggumu. Tahukah kau tahu, semua pancra inderamu sedang lari dari lembutnya wewaler sang suci tentang Dharmaning Satria ?”

Arjuna sementara mengunci panca inderanya dalam hening yang kosong. Sementar ombak lautan kembali berdebur,  menggeliatkan eksotisnya,meregangkan semua pundaknya dan kembali sang satriapun larut dalam manis manja ombak di laut.

Sang Mantra saat itu, harus menunjukan dirinya sebagai Sang  Hyang Ismoyo yang disegani semua dewa. Dengan kekuatan semegah Puncak Mount Everest dan luasnya ilu melebihi batas Atlantik dan Pacifik, namun sehalus kelopak bunga mawar, lantas mencengkeram leher sang satria yang tidak bisa berkutik sedikitpun. Dengan diiringi angin pasat Tenggara, sang Arjuna kini telah hadir di depan Semar di tengah Hutan Amarta.

“Betulkah kau masih Arjuna ?”
“Aku malu Ki Lurah ?”
“Seharusnya seorang satria mampu tahan uji setiap godaan, baik itu wanita, korupsi, money loundry, atau menyalahkan jabatan.  Apabila engkau masih mau melakukan itu, maka bagaimana kelakuan para petinggi di negeri ini kelak ?”
“Mohon maaf Ki Lurah, aku khilaf !!!”
“Jangan kau ulangi lagi, nggerrr !. Berilah teladan yang  baik untuk petinggi negeri ini kelak ! “
“Baik Ki Lurah !”
“Lantas apa tugasmu saat ini ?”
“Aku harus menyelamatkan saudara saudaraku yang berada di dalam sumur penuh bisa “

Tanpa menunggu bergantinya jarum detik,sang Semar segera melentinkan raga dan sukma sang satria untuk  menyelamatkan saudara-saudaranya yang kini terjebak dalam sumur yang dalam berisi bisa hewan-hewan ganas.

Arjuna dan semua saudaranya kini bisa tersenyum bahagia. Sang Semarpun kembali ke Karang Kedempel.***

Pondok Sastra HASTI Semarang

Sabtu, 28 Mei 2011

Lifeshow TV Yang Miskin Kepedulian Sosial


Persaingan tajam antara beberapa stasiun tv nasional demi memuaskan pemirsa dan meraup keuntungan komersial, nampaknya semakin menjadi jadi belakangan ini. Para tim kreatif dari beberapa stasiun tv tersebut, telah tidak tanggung tanggung merancang jenis tayangan “surprise”, road show, kompetisi “staying-home”, karnaval sejumlah artis beken nasional dan lain sebagainua, yang diselenggarakan di kota kota seluruh Indonesia, yang tentunya menghabiskan dan menghamburkan dana milyaran rupiah dari pihak sponsor..

Tentu saja kita dapau mengambil kesimpulan, bahwa memang demikian “life-style” masyarakat Indonesia modern, yang telah menjadi keranjingan terhadap type tayangan entertainmen yang glamour dan spectakuler, yang ditayang langsung dari siang hingga malam. Tidak tanggung tanggung lagi konsumen acara spectakuler inipun bervariasi dari para remaja anak kita hingga ibu runah tangga. Karuan saja rating acara acara komersial ini menjadi tinggi dan gayungpun bersambung. Pihak sponsorpun menjadi semakin berani merogoh kocek lebih dalam lagi demi sukses penjualan produk mereka. Tayangan entertainment komersialp[un semakin berani dan gila-gilaan.

Memang menjadi hak setiap pihak menajement stasiun tv swasta yang eksis untuk menyuguhkan tayangan mega glamour langsung, dari panggung hiburan itu, yang memang membutuhkan pasokan dana demi operasonal publikasinya. Namun seberkas gambaran refleksi di balik ini semua bisa kita dapatkan, yaitu sebuah refleksi berkurangnya sifat kepedulian social komunitas tersebut terhadap meradangnya sebagian besar masyarakat Indonesia yang dirundung kemiskinan.

Dalam suatu masyarakat super multicultural yang melekat pada sejumah kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia, kesenjangan yang terus melebar, karena tidak adanya konsep penanggulangan kesenjangan yang jitu, maka fragmentasi sosialpun bisa terjadi secara tajam dan mengkristal. Stimulus ini bakalan terus melaju sejakan dengan hedonisme yang terus menerjang masyarakat kita. Bukankah hal ini sering kita cermati di tayangan media tentang hedonisme para oknum koruptor.

Oleh karena itu, wajar saja bila tindak demo anarkis, angka krimaniltas dan perilaku abnormalitas masuarakat social terus terjadi. Lain halnya bila kita sepakati bersama malalui mediasi institusi penertiban siaran media elektronik, yang terus mengawal tv swasta untuk menyelipkan nilai moralitas dan kepedulian social bagi yang membutuhkan. Apalagi telah kita ketahui bersama bahwa dengan adanya kemampuan publikasi stasiun TV swasta yang menasional, maka tayangan super komersial itupun dapat dikonsumsi masyarakat di seluruh pelosok tanah air baik si kaya ataupun si miskin.

Tayangan semacam tersebut di atas, memang dengan mudah mampu mengumpilkan public dengan jumlah yang besar, ;angsung, spontan dan efektif Karena itu, acara yang dipublis menjadi road dan liveshow adalah acara yang banyak digunakan oleh banyak pemerintah daerah kota besar untuk memperingati HUT Kelahiran kota kota besar seantero nusantara. Lengkap dengan acara pendukungnya. Namun pemda kota setempat, telah menepiskan langkah strategis dan vital demi pengentasan si miskin yang signifikan. Mereka lebih mengedepankan glamour acara ulang tahun tersebut, dengan tentunya menonjolkan figure kepala daerahnya, agar lebih terpatri di hati rakyatnya,sehingga mampu terus eksis diterima masyarakatnya.

Akan lebih bijak lagi, bila tayangan super komersiil di kurangi frekuensinya, besar nya event dan acara acara pendukung yang sangat menyedot dana ratusan juta rupiah. Dana yang terhambur akan lebih berarti lagi untuk merekonstruksi dan merevitalisasikan infrastuktur strategis guna pembangunan ekonomi si kecil. Sehingga sedikit banyaknya msmpu mrnjadi obat hati bagi saudara saudara kita yang masih mederita dan terbelakang dalam segala hal dibanding dengan bangsa lain. Seperti kita ketahui, nahwa Human Development Indeks untuk orang Indonesia telah menempati urutan ke 161, di bawah Vietnam, yang medeka pada tahun 70-an.

Memang telalu pelik apabila kita korelasikan antara dunia megah megahan entertainment dengan kompetensi masyarakat Indonesia. Namun stmulir pergeseran social yang mengarah ke konsumsitifisme suatu masyarakat bisa dibendung dengan “dunia panggung hiburan” yang diredam lajunya, seingga terhindar dari gila gilaan. Aspek lain yang patut kita cermati, adalah interaksi semua komponen dalam masyarakay Indomesia yang
mengusung perilaku saling mengedepankan keopedulian sesama masyarakat Indonesia.

Maka suatu keputusan yang bijaksana bila kita selipkan setiap tayangan TV swasta yang memiliki rating tinggi dengan pencerahan moral untuk anak bangsa yang sedang mengalami krisis ideologis, daya beli, pendidikan, lapangan kerja, pencurangan terhadap uang Negara, kepedulian sesama dan lain sebagainya/


Pondok Sastra HASTI Semarang