Rabu, 30 Mei 2012

Pak Guru Santiago


“Jangan sekali- kali kamu kalah dengan ego kamu sendiri, sebab musuh yang paling halus dan melenakan, adalah ego kamu. Camkan itu, anaku sekalian…?”. Ruang kelas yang cukup luas itu serasa ditelan bumi, meski untuk sementara Pak Santiago hanya melemparkan sorot matanya kepada anak anaknya,  yang beberapa hari kemarin membuat hatinya getir. Maka wajar saja sudah cukup lama, guru yang terkenal bijak itu masih saja meradangkan amarah dan kekesalanya pada kelas itu.

Kadang suara Pak Santiago mampu menggetarkan kaca jendela kelas, kadang pula melembut disertai dengusan nafas panjang. Namun demikian semua anak anaknyapun mengakui bahwa guru wali kelasnya itu, adalah guru yang piawai dalam menyelami liku hati anak anak didiknya yang memasuki tahap remaja. Namun entah iblis apa yang menyelinap dalam benak anak anaknya, yang terus saja badung membuat ulah di sekolah mereka itu.

“Entah apa yang kamu banggakan dari diri kalian, aku tahu anak anaku !. Sebagian besar diri kalian adalah putra orang terpandang, pengusaha, pejabat. Namun bukan berarti pak guru terus diam membisu, bila ulah kalian sudah seperti ulah geng motor.Pak guru cukup terhenyak mendapat laporan diri beberapa pemilik Café di lingkungan sekolah kita“. Suara Pak Santiago bertambah lirih, karena kekesalanya yang mengguncangkan dadanya hingga seakan akan mampu menelan suaranya sendiri.

Setegar apapun hati putra putranya, saat itu menjadi luluh mendengar advise guru yang karismatik itu. Sebagian besar dari mereka yang badung, tidak mampu lagi untuk menatap sorot mata gurunya yang tajam itu, apalagi untuk membantah semua advisenya, padahal selama ini, mereka kerap membuat guru lain menjadi kesal dan hampir putus asa member pembelajaran pada mereka, selalu saja terdapat ulah yang tidak santun.

“Maaf, anaku..kalau kamu punya gaya hidp yang bebas seperti petualang, tidak ada
yang mampu mengarahkan kamu semua, silakan hengkang dari sekolah ini !”.
***
Bagi Rudi sama sekali dia tidak berani untuk berkilah apapun, karena hingga saat ini dia telah divonis oleh sekolah untuk segera meninggalkan sekolah favourit ini, apabila dia sekali lagi membuat ulah. Tapi karena rayuan dari beberapa teman badungnya, dia dan beberapa temanya beberapa hari silam asik nongkrong di Horizone Café dekat dengan sekolah mereka di jam jam sekolah. Justru di café inilah dia bisa bebas berkencan dengan Angelita dan Angelitapun ikut terhipnotis untuk bolos sekolah.dan  membuka kedua tanganya untuk menerima Rudy.

“Rudy..!” teriak Pak Santiago mengagetkan semua siswa  yang mendengar, langit langit kelaspun seakan akan hampir runtuh, semua hanya mampu diam membisu menghadapi kekesalan guru yang biasanya sangat sayang kepada mereka,  termasuk Rudy yang mulai berkeringat dingin setelah mendengar namanya dipanggil.

“Iya, pak !”
“Nampaknya aku harus rela melepasmu, meski dengan berat hati”
“Maaf, pak !. Rudy masih ingin sekolah disini !”

“Apa karena kamu sekelas dengan Angelita , kamu mau sekolah di sini terus !”Pak Santiago tahu persis bahwa anaknya yang paling badung ini, memang ngebet bukan kepalang dengan Angelita, putri seorang pengusaha mini market di kotanya. Apapun bisa dilakukan oleh Rudy, asal dia bisa berada di seputar Angelita.

Rudy tersudut tak mampu bicara apapun, sementara Angelitapun hanya mampu menundukan kepalanya karena perasaan malu mulai menggelitik hatinya, apalagi selama ini Pak Santiago tidak pernah usil ataupun peduli dengan persahabatan mereka berdua. Tetapi saat ini dengan kesal, wali kelas yang mereka sayangi itu telah mulai nyentil hubungan mereka berdua. Angelitapun tidak ingin guru kesayanganya itu menghempaskan dia begitu saja dari sekolah ini.
Betapa Angelita masih ingat betul satu tahun silam, saat pertama kali dia masuk sekolah ini, setelah beberapa sekolah sebelumnya telah mengeluarkan dia. Anggelita mulai merasakan kesejukan hatinya, dengan advise advise walikelasnya ini, yang hanya sekedar berbicara segala sesuatu yang perlu, namun sederetan kata katanya mampu membius Angelita yang sigap membenahi karakternya yang binal. Kata dan sikap Pak Santiago adalah mutiara bagi Anggelita yang mulai mampu menemukan dirinya sendiri.
Namun saat ini, dia menghadapi figure  yang tidak lebih dari singa yang lapar, yang siap mencabik dia dan beberapa sokibnya yang terus menerus melanggar aturan sekolah. Perasaan seperti ini nampaknya juga dirasakan oleh Rudy, kentara dari sorot mata yang sering dilemparkan pada Angelita.

”Sukseslah anak anaku, dengan apa saja yang kamu sukai, tanpa terhalang apapun, seperti angin yang bertiup tanpa beban. Hal itu bisa kamu dapatkan, bila kamu mampu mengalahkan egomu sendiri, go  go like the wind blow”. Kata kata bijak Pak Santiago masih sering diingat oleh Angelita dan beberapa teman lainnya.
***
“Aku sudah lelah menghadapi ulah kalian berdua” seru Pak Santiago di ruang guru, setelah usai jam sekolah. Rudy masih diam membisu, sementara air mata sejuta penyesalan telah mulai membasahi kedua mata Angelita. Suasana kantor guru menyerukan sebuah keheningan yang ikut serta mengajukan proetes pada dua sokib remaja yang menjadi biang membolosnya beberapa teman mereka selama satu minggu.

“Maaf, pak. Memang Angelita besalah !”
“Hmmm..Angelita!, ingat!, baik sekolah, orang tuamu dan saya pribadi memang selalu memaafkan diri kamu. Tapi itu bukan poko permasalahnya, masalah yang ada justru lebih pelik dari sekedar Pak Santiago memaafkan kamu berdua !, tahu Rud, ucapan pak guru ?”

“Rudy belum mengerti, pak !”
“Kamu tahu, Angel ?”
 “Angel juga belum tahu, pak !”
“Hari kemarin segenap guru talah memutuskan untuk segera mengeluarkan kamu berdua dari sekolah ini, dan untuk beberapa teman kamu hanya diminta mebuat pernyataan resmi. Jadi pak guru saat ini juga dengan berat hati akan membuatkan kalian surat pindah”.

Kedua bola mata Angelita kini benar benar dibasahi air mata, sedangkan Rudy hanya membantingkan sorot mata ke tiap sudut ruangan itu. Kedua remaja itu merasa, bahwa mereka berdua dan beberapa temanya telah mulai beradaptasi dengan sekolah ini. Setelah mereka bosan keluar masuk dari seolah satu ke sekolah lainnya. Terutama Rudy dan Angelita yang tidak tahu harus berbuat apa lagi.

“Pak Santiago !, boleh Angelita bicara ?”pinta Angelita dengan isak tangis yang masih terdengar.

“Oh tentu saja boleh, anaku , dan kau Rudy !, selalu aku luangkan waktu untuk kau !. Nah Rudy silahkan kamu juga bicara !”
“Ah, tidak pak !. Rudy tidak tahu harus bicara apa !”
“Baiklah Angelita, silakan bicara !”pinta Pak Santiago.
“Angelita khawatir, pak !”
“Khawatir tentang apa, anaku !”Sejuta penasaran kini hinggap di hati wali kelas mereka
“Angelita dan Rudy bisa kembali menjadi anak jalanan setelah dikeluarkan dari sekolah ini “

Giliran Pak Santiago kini yang terdiam seribu bahasa dengan mengsiratkan kekhawatiran dari sorot matanya. Dengan menderaikan senyum lepas pak guru itupan mengangkat ke dua tanganya.

“Kalau kamu merasa sudah mulai mebenahi diri kamu sendiri di sekolah ini, mengapa
kamu melanggar aturan sekolah dengan berpacaran di Horizone Café selama satu minggu di jam sekolah. Pelanggaran ini sangat memalukan nama sekolah, apalagi yang
malaporkan ulah kalian adalah warga sekitar sini  “.
“Pak Santiago !, Rudy minta maaf, dan ini yag terakhir kali “
“Bulan kemarin kamu juga berjanji seperti ini. Baiklah anaku berdua, aku hanya menjalankan tugas. Pak Santiago hanya mampu berdoa, semoga kalian berdua menemukan sekolah yang lebih baik dengan sekolah ini. Sehingga mampu membentuk kalian berdua menjadi remaja yang baik “

“Rudy, tidak mau, pak !” desak Rudy.
“Angel sekali ini saja  meminjam nama baik Pak Santiago, untuk yang terakhir “. Permintaan Angelita ini sempat mengagetkan wali kelasnya.

“Angel, Angel !, apa lagi !”Pak Santiago mengangkat kedua tanganya

“Angel akan membuktikan pada sekolah bahwa Angel bukan anak jalang, Angel akan buktikan bahwa Angel adalah anak yang berprestasi dan akan Angel buktikan dengan rangking rapot “Kedua sorot mata Angelita yang masih basah tajam menatap wajah Pak Santiago, yang mengusung sebuah harapan adanya kebijakan dari walikelasnya.

“Hehehe…ini baru putra bapak, lantas kalau kamu tidak masuk rangking ?”jawab Pak Santiago.

“Itu terserah Pak Santiago ?”
“Dan kau Rud !, sama seperti Angelita ?”
“Ya, pak !”
“Sungguh, Rud !”
“Sungguh pak !, Rudy janji !”

“Huuuh..aku tidak menyangka kalian berdua masih memiliki sikap dewasa. Tapi aku tidak janji, nanti pak guru akan mengajukan ke kepala sekolah, OK ! hari sudah siang,kalian berdua bisa pulang sekarang !”***

Minggu, 20 Mei 2012

Tersenyumlah Bidadariku


bila engkau tidak merapikan kebun sayur ini
di tahta para dewa, hingga wajah Negeri Kahyangan tidak lagi
menjinakan ombak Pantai Selatan, angin prahara
lebih sering bertegur sapa dengan rapinya kuning tanaman padi
aku berjaga di penjuru kebun sayur kita
agar kau menyisir hari, penuh rambut sutera
biru kelambu rindu kau suguhkan
akupun dalam sudut kamar, membentang mencuri hati
detik demi detik………

kala Akasia rebah, bersyahwat dengan prahara
adalah suatu isarat, bahwa Bunga SedapMalam merontang
menusukan mega mendung pada langit biru
aku memburu hunian penuh bunga di kahyangan milikmu…
aku terhenyak dengan tegur sapa para dewa
hanya karena senyumu, cakrawala lebih lantang berteriak
aku memang milikmu.

hari ini kita bercengkerama dalam pagi…
tak kudengar lantang belalang padang
tak kudengar lagi gemeretak ranting kering,
memang inilah milikmu dari balik awan senja
atau karena debu debu jalan telah aku punguti
namun aku hanya mampu berteriak

sabarlah, senyum bidadariku
aturlah nafas agar arah perahu lebih mampu melajukan
kembang setaman yang kau jinjing, untuk pantai kita
bertebar daun palma, bermanik mutiara mekar jingga
aku datang, meski telah kusimpan rembulan di balik bajuku
aku bentangkan, terselip dalam dedaunan alam,

kau sudahi saja
episode yang tak membawakan senyum bidadari

 (Semarang, 19 Mei 2012)
                                                   

Kamis, 17 Mei 2012

puisiku untuk Mei 12



Bersama sekumpulan burung merpati liar


merpati  merpati liar itu ……
menukikan sorot mata, melipatkan sayapnya
 panas dan garangnya atmosfer tak lagi mengirim seloroh
saat buaian panjang dari sisi langit
sempat melebarkan sayapnya yang berjanji takan mengoyak
sayap sayapnya yang ringan berbalut nyanyian suka
lantas kegalauan sang bagaskara, membuatnya lepuh semua sayapnya.

merpati di awal hari hari yang digulirkan bumi,
tak lagi merengkuh keranjang keranjang untuk menawan
angin tenggara, yang penuh rona ayu
dan bergurat lukisan dewa dewi dari negeri kahyangan
merpati membuang jauh jauh keranjang hanya menepis terkaman
kemarau kering dari perjalanan panjang

merpati menawarkan kicauan saat dia merajang kasmaran
namun terdengar parau, bentangan hidup di bumi
lebih beraut muka bengis dan durjana ketimbang “solar flare”
merpatipun mengepak sayap,
namun hanya satu dua makna hidup yang melintas
di benaknya yang berenda hitam putih, kemunafikan di antara pelangi
yang membentang pada tebing tebing menunduk wajahnya.

merpati tak tahu lagi garis bujur
yang membedakan episode tentang bumi ini, tapi terus lurus
menerjang batas yang dia tak tahu artinya
merpati, menjadi tersudut dalam ruang dan waktu bumi
jarum detik ikut menguliti semua nanar matanya
rembulanpun hanya memberkasi sinarnya di balik awan

merpati hanya ingin bernaung….
pada gelak tawa tak ada dusta di pesta bulan purnama
seperti di Indrakila berhalaman pagi bunga setaman
kala bening embun pagi, membagi harinya
menyodorkan ssecangkir cinta pada kekasihnya
namun hanya legam yang membalut sayapnya,

merpati kini merentang sayap
terbang tinggi menuju istana di balik awan
tak menyisakan lagi galau

(Semarang, 15 Mei 2012)


 lantas sebuah  harap kau berikan


pada gugusan bintang gemintang
pada sekumpulan lampion kertas warna warni ; menghantarkan
dirimu menuju “altar suci” untuk sebuah ikrar; senja tak lagi merebah
menuangkan sisi hatinya pada perahu layar; yang selalu mengencang
sorot matanya; ombak ombak berdesis bisa
yang melumpuhkan lambung perahu; kau jaga tautan perjalanan
pada empat penjuru langit, di sana aku mengayuh angin
merapikan pematang sawah

kau masih menyisakan suara sayup
gamelan jawa yang memantul dari sisi cakrawala tentang
tembang tembang kasmaran milik penghuni  di balik awan
awan putih bersih,
akupun hanya merasa sengau; namun aku biarkan
semuanya bermatomorfosis dengan ikatan bunga dan bulan

(Semarang 16 Mei 2012).

Supermoon Cinta

jangan kau tumpahkan tinta hidup
pada alunan warna warni pelangi di belahan langit
tak pernah burung burung menghardik
mega mega ceria di esok nanti,
kau berikan ruang hatimu dengan supermoon
hingga pelataran rumah masa depan kau dan aku
berseri memetik sinar mentari,

pada uraian rambutmu,
supermoon merebah,  tentang kelembutan yang hidup
selama bumi berputar,
tak kan pernah usai bidadari bernyanyi lagu merdu
kita menyisir  malam demi malam…
hingga kau tautkan kereta berkuda putih elok
bagaikan pangeran dari negeri kaca,

aku harumi gaun  malam dengan pernik pernik
yang melekat kokoh dan memantulkan
sinar supermoonmu dengan tujuh warna
kau degap dengan derai senyum
aku suguhkan dengan kereta biru senja
perlahan menghempaskan liar degup jantung
ke atmosfer malam, supermoon menyeringai….

kita tak pernah kehilangan jarum waktu
meski menembus kawanan mega hitam
atau rengkuhan  taupan bergigi tajam
kita  terlepas dari rasa saling menyelinap…
kita bebas liar memetik rambut malam
kita menukik memungut nukilan hidup
atau kita terbang bebas,
menjenguk supermoonmu
kita dalam bebas….

Semarang 12 Mei 2012


Saat aku berulang tahun hari ini


kau sajikan hidangan malam,
berdiri kokoh di pelataran tempat harap bersanding
engkau telusuri getar  dan denyut nadi,
sementara daun pandan di depan rumah
menyimpan egonya dan meluruhkan semua senyumnya
bintang menumpahkan salam,
rembulan menerpakan pandangnya
tak mampu lagi berkawan dengan rasa cemburu

boulevardmu masih menyimpan bulir bulir yang semi
di hati, nadi jantung dan rambut hitamku
aku harumkan dalam keranjang bulanku
sehingga kau mampu menerangi malam ini
aku gapai tepi malam bergurat mawar jingga
kau tangkap satu bintang
dan kau suguhkan pada halaman depan boulevardmu

kau tesenyum,
aku menyelusuri bahumu
kau bagaikan bintang yang liar
akupu bulan yang meredup, karena hypnotism
malam masih menghadang kita

selorohpun tehenti..sepi

(Semarang, 9 Mei 2012)

Malam sepi

malamku yang sepi ini
bagai malam milik sang pejaka,
kala menyelipkan kembang tujuh warna,
pada daun telinga perawan desa,
yang bergelora dalam kelambu sutra biru
bintang gemintang melentingkan seluruh sinarnya
hingga hinggap di lazuardi bertatap nakal

malam bertambah sepi…
ilalang bertambah merapat…
angin kemarau bertambah garang
berpusar menampakan tajamnya
gigi taring, wajah menyeringainya
membuang jauh jauh
semua babak manusia,
akupun bertambah berani…..

aku berkelana setiap sudut waktu
fajarpun hanya berhias senyum bintang kejora
aku  kencangkan perahu malam, sang rembulan….
bertambah binar  bedak gincunya
sesekali aku berikan bait prosa
tentang hidup, tentang drama dari negeri kaca
untuk menjemputmu sang kekasih

kita dalam lakon di atas pohon pisang
kala “blencong” kita punguti sinarnya
kita kembalikan dalam realita hidup,
kaulah sang lakon perjalanan denting waktu
aku hanya diam dalam rajutan sutra biru
aku berhias seribu bintang

(Di suatu malam 5 Mei 2012)

Kasihku

Terbanglah tinggi
menyusun awan,
aturlah nafasmu
agar langit tetap berlingkung
pagar rumah kita
halaman depan bersemi bunga
kau dalam gayutan
aku dalam senyum

(Di suatu malam 5 Mei 2012)




Rabu, 09 Mei 2012

Debu dan Prahara


Jalan peninggalan Gubernur Jenderal  Herman Willem  Daendels yang melintang di pantai Utara Pulau Jawa dipenuhi debu debu liar dan tak berdaya. Jalan yang peeuh dengan kanvas lukisan sejarah dari jaman ke jaman itu ikut diam membisu meski sinar matahari  siang itu menerkamnya   tanpa ampun. Sama seperti beberapa puluh tahun silam ketika Anjing NICA  menggerus jalan itu untuk terus melaju, menghentakan roda roda besi untuk menghancurkan rumah rumah  beratap rumbai ilalang milik inlander inlander bermata cekung, bertubuh kurus kering dan bersorot mata menantang. Apalagi kedatangan gemuruh roda besi dan pesawat tempur cocor merah justru terjadi setelah Soekarno Hatta meneriakan sebuah kemerdekaan anak bangsa yang hidup dengan separo nafas.

Jalan yang terlihat coklat kehitaman itu terus saja menampakan raut wajahnya yang kelam, meski anjing NICA telah menyelinap menembus Samudra Hindia untuk pulang ke negeri Bunga Tulip itu. Jalan yang melintang di setiap kota di pantai utara itu, sepertinya masih mengaduh kesakitan, entah karena tangan tangan kotor saudagar VOC atau karena gigi taring tajam anak negeri yang menghisap darah darah dari bilik jantung orang orang kecil di negeri ini.Atau karena jalan jalan itu sudah tidak mendengar lagi lolongan Water Mantel 12,7 atau senapan otomatis Thomson milik pejuang yang memberangus anjing penjajah, atau memberangus kebodohan serta dinginya sorot mata mata anak negeri terhadap kepincangan, ketidakpedulian, ketidakadilan dan tabiat kejahatan kerah putih.

Debu debu sepanjang Jalan Daendles di saat ini berceria, renyah tersenyum dan berterbangan ringan dan liar berhamburan dihempas angin kemarau, ditelikung panasnya sinar mentari, tapi tetap tunduk pada kodrat gravitasi yang mencengkeramnya. Meskipun roda roda garang dari beribu tronton, bis dan kendaraan berat lainnya menghempaskanya ke tiap arah. Sebagian lagi hinggap di celana dan baju waita wanita super elit yang hilir mudik menghamburkan uang di mall mall yang menjamur. Sehingga kulit mereka yang sawo matang terlihat bertambah kusam.

Berbeda dengan jaman Herman Willem  Daendels kala masih bercokol di negeri ini. Noni Noni Belanda dengan andong yang ditarik sepasang kuda hilir mudik untuk menghamburkan gulden di rumah rumah makan eksotis dan berarsitektur kincir angin sekedar mengenyangkan perut mereka dengan santapan Huzaren Sla,  Holland Kroket Bitter Ballen atau Stamppot Met Wosrt. Beberapa gelas Netherland Beverage telah mereka reguk dengan tangan tangan usil mereka mengibaskan kipas artistic berbalut kain sutera.Sama sekali mereka tidak memperdulikan perempuan inlander yang menawarkan panganan dari ketan, ubi, singkong rebus, getuk dan panganan inlander lainnya. Meski roda delman yang ditumpanginya telah melindas debu debu jalan milik kaum inlander yang tertunduk lesu, lunglai lengan lenganya dan kosong sorot matanya.
***
2
Tapi itulah jaman, haru biru, prahara yang dilahirkan selalu saja  menyudutkan debu  jalan  Daendels untuk menjadi saksi, entah debu yang merona merah darah lantaran percikan darah dari korban jaman yang saling diberingasi manusia manusia yang menuntut kebenaran, mengencangkan egonya serta mengalahkan lainnya. Termasuk juga tetesan darah pejuang yang tersungkur ditebas peluru anjing NICA. Mereka terus menerbangkan debu Perang Diponegoro, Perang Kemerdekaan I dan II. Bahkan beruang merah yang berniat mencengkeram lengan lengan rapuh dari anak bangsa yang baru saja bangun dari tidurnya setelah 350 tahun bermimpi, ikut pula memerahkan debu debu jaman di negeri tempat mandi bidadari.

Namun kawanan debu kini lebih merapatkan satu sama lain, bukan lantaran “global warming” atau “solar flare “ bahkan bukan pula karena “Supermoon”. Meski cuaca ekstrim telah menambah mereka untuk lebih ringan menempel ke setiap titik tujuan dan menyampaikan pengaduan tentang nasib mereka dan sebuah keluh kesah  tentang birama kehidupan ini. Kawanan debu menjadi bingung tujuh keliling, lantaran mereka terhempas oleh manusia manusia yang berkulit sama, yaitu sawo matang, berhidung pesek serta berbicara denga bahasa sama.

Debu debu jalan Daendels itu sempat memasang telinga mereka dan menyelipkan tubuhnya pada roda becak, kaca gerobag mi ayam, dan tempat terselip lainya untuk mengetahui teriakan nyaring manusia manusia yang terhipnotis untuk berseteru dengan  lainya yang  terus saja menghamburkan enerji dan amarah kepada kawanan manusia lain yang serupa dan diikrarkan menjadi musuh mereka. Musuh yang saling tidak mengetahui satu sama lainnya, mengapa mereka lupa akan makna persahabatan.

“Bakar rumah mereka, bakar apa saja milik mereka “ teriak salah satu manusia yang bermata garang, sambil mengepalkan tinjunya serta berdiri di posisi paling depan. Sementara manusia manusia lainya yang berdiri di belakangnya terus saja melempar apa yang dimiliki ke arah manusia manusia lainya yang bergerombol di sebrang jalan.

“Ayo maju terus..ayo sergap mereka dan usir mereka” sebuah teriakan lantang terdengar.

“Majulah kau manusia laknat, kami tidak takut !” jawab salah satu manusia lain di sebrang jalan, yang bersembunyi di balik barikade dari batang pohon Akasia yang dirobohkan, bangkai mobil yang terbakar. Sementara di atas barikade beterbangan bom molotov dari dua arah. Semua batu dari bebagai ukuran telah mereka usung untuk meliampiaskan kebencian dan kekecewaan pada manusia lainnya yang dianggap jahanam dan durjana, entah dari sisi yang mana, mereka sendiri tidak tahu. Hitam kelam warna
3
wajah mereka semua hampir sama dengan debu debu jalan  Daendels  yang tak pernah diam dan selalu larut dalam prahara yang ditebar manusia, dari jaman Majapahit hingga kini.

Debu debu jalan Daendels  serentak bersama melemparkan pandang ke arah  beberapa manusia yang berseragam sama, yaitu bekemeja coklat muda dan bercelana coklat tua dengan mengibarkan bendera putih, di belakang mereka berjalan perlahan mobil yang memuntahkan suara sirene memekakan telinga. Terdengar suara lantang dari megaphone yang dijinjing manusia yang berdiri di tengah.

“Hentikan, hentikan semuanya saudaraku “

Satu dua bom molotov berjatuhan tidak jauh dari kerumunan orang berbaju coklat itu.
Namun beberapa saat kemudian suasana mencekam menjadi meluruh.

“Kami minta saudara jangan menyerang kami, kami hanya mengajak saudara semua untuk berunding. Majulah ke depanku siapa yang menjadi pemimpin kalian”

Untuk beberapa saat hujan batu dan benda lainya berhenti, hanya teriakan dan pekikan memecah atmosfir siang hari itu. Debu debupun kini mengendap di sembarang tempat dengan tetap memasang telinga mereka. Debu debu jalanan  kini mulai berdiri tegak lantaran telah kembali lagi nyali mereka,  yang sekian lama terpagut prahara yang ditebar dua kelompok manusia.

“Lihat, peperangan ini telah selesai” pekik salah satu debu.

“Belum tentu, mereka tak segampang itu “ jawab debu lainnya.

“He,..darimana kamu tahu ?”

“Aku lihat wajah mereka masih merah merona”  jawab debu yang tadi.

“Ah, sudahlah apa arti debu seperki kita yang terhempas kesana kemari tak punya daya” tutur debu yang berada di tumpukan paling bawah.

Tak lama kemudian semua debu debu jalanan yang mengusung seribu kebimbangan itu menjadi terbungkam seribu kata, tatkala sekelompok manusia dari arah sebelah kiri jalan  mendatangi manusia manusia berseragam coklat, seraya mengibaskan bendera putih. Namun debu debu itupun menjadi tercengang  tatkala pula menyaksikan sekumpulan kepala manusia muncul dari balik barikade yang digelar di sebelah kanan jalan. Mereka kini malah berdiri dengan sorot mata yang masih memendam rasa amarah dan curiga kepada manusia manusia yang muncul dari sebrang jalan mereka. Suasana kembali mencekam dan masih menghantui jalan kota yang meradang bara permusuhan,  terutama bagi  debu debu yang memusari jalan itu.

Detik dan detik terus berlari menembus atmosfer kota yang panas itu, sepanas dua kelompok manusia yang kini berhadapan untuk saling mengumpat, memaki atau bahkan saling menyalahkan tanpa adanya hasrat untuk bersama mencari titik temu, meski matahari telah mulai condong ke barat. Biru langit mulai sedikit gelap, lampu lampu kota telah mulai menyala di sepanjang jalan yang lengang bagai jalan kota mati. Namun kedua kelompok itu masih terus menggulirkan nafsu amarah, meski semua benda keras yang tergenggam di kedua tangan mereka telah mereka serahkan kepada sang juru damai antara mereka. Namun entahlah, hanya matahari fajar esok hari saja yang akan menjadi saksi esok pagi, apa mereka masih menyabung nyawa dengan saudaranya sendiri ataukah mereka akan memulai  kehidpan ini dengan damai, sedamai debu debu jalanan yang sudah tak bertenaga lagi, lunglai dan nestapa di sepanjang jalan mati itu***

Senin, 07 Mei 2012

episode tentang Ketep dan Parangtritis


pesta lampu sang mentari terlipat di balik awan
kelambu kabut hitam kelabu, menyisir  wajah sang Merapi
aku berlari, menyambangi butir demi butir kabut itu
sementara senyumu menerbangkan aku lebih jauh lagi,
untuk singgah di puncak Merapi
untuk menata bilah demi bilah rajutan hari
kau tetap dalam senyum

di Ketep hingga Parangtritis, hari hari itu memingitku
tetap kau hidangkan secawan kasih, bergula ceria
meski tebing tebing Parangtritis membisu angkuh
ombak Laut Selatan tak henti menerkamku
namun mereka hanya mampu bersambang  di bali pasir pantai
aku tetap mengembangkan sayap,
untuk menjenguk cakrawala lembut di balik
bilik jantung
tentang kau dan aku

kau dalam selimut ceria
kau selipkan kembang tujuh warna di telingamu
kau tak  harap istana pasir terpagut ombak
kau hanya bertabur ornamen kasmaran
dalam rengkuhan langit Laut Kidul, dalam nyanyian suka
bocah bertelanjang dada mengejar ombak,

di Ketep kau menggambar latar Merapi
di Parangtritis kau tundukan ombak lautan

(Parangtritis, 6 Mei 2012)