Minggu, 20 November 2011

Impian Tentang NegeriKU


Sang Baghaskara”, kala mengintip dengan malu
Pada tiap penjuru “Negeri dengan dandanan sulaman
beludru biru”. Menapaki “Tanah tanah legam Papua
dan sebentar membasuh wajahya, di “ Pemandian Arafuru”

Kita mengulum senyum, dengan bola mata
menyisir setiap “ Lekuk tubuh Borneo dan Minahasa”.

Dalam telanjangnya nafas ,
dan sejauh kita mampu meluruskan pandang mata,
Sejauh itu pula, bersolek bukit, lembah dan pematang sawah,
dengan bedak dari halimun
dari celah bukit dan puncak puncak gunung.
Bibir gincu perawan desa, adalah apa yang harus kita
saksikan. Dari eksotis tiap ramahnya padang dan sawah.

Apakah masih ada, sebuah keluh dari sepotong peluh
Hingga merontanya tangan kita, yang telah kosong  dari
guratan-giratan petuah nenek moyang kita
ataukah kita hanya ingin menjadi “tiupan prahara
yang merontangkan tiap bunga bunga persembahan
sang pengantin baru.

Lantas sepi, hanya asap kedurjanaan.

Kita bentangkan tudung saji berkain biru,
Melengkung dari dua samudra lepas
Mengait pada “Laut Kidul” dan “Laut China Selatan”
Agar “Sang Atmosfer” di atas sana
Tidak menyeruakan lagi tentang kabar sumbang
Tentang ngarai yang hijau
di pinggir permadani kuning padi padi yang masak.

Puncak Mahameru”, tak kan mungkin goyah
Untuk sebuah tambatan, dari hati yang menerjangkan
Bara api.
Kita jaga bersama
Agar sawah dan ngarai
Terus hadir dalam mimpi kita  (Semarang, 21 Nopember 2011)


Nurlela

Nurlela mengecup pagi ini,
Lantaran hanya itu yang dia miliki,
Berjajar beribu bunga menjadi pagar rumahnya
Dan sebuah basuhan air embun
Nurlela berikan tiap, mentari di Timur.
Karena hanyalah hidup damai yang dia
impikan.

Nurlela sejenak menyambangi cermin miliknya
Di dinding bambu rumah panggung
Keriput dan lipatan wajahnya
Kini lebih kentara
Apa karena ini gambaran hidupnya ?
Dari apa yang pernah ia dengar
tentang dandanan seronok kehidupan ini.

Nurlela,
Lebih memilih, merapikan tiap pagi
Yang hadir, pada tiap sendi tulangnya
Ketimbang menikam hidup
ini menjadi “pecahan kaca yang tajam” ….(Semarang, 21 Nopember 2011)




Jumat, 18 November 2011

Puguh


Dahulu kala terdapatlah sebuah sekolah  yang terletak di lereng Gunung Merapi. Meskipun letak sekolah tersebut sangat terpencil, namun sekolah itu cukup dikenal baik dikalangan raja-raja  Jawa ataupun rakyat jelata. Namun anehnya siswa yang menuntut ilmu di sekolah tersebut adalah putra- putri dari berbagai kalangan, baik putra bangsawan serta raja yang terpandang ataupun putra-putra rakyat jelata. Mereka semua diberi pembelajaran langsung oleh guru yang sudah kesohor seantero Pulau Jawa, karena kearifanya, bijaksana dan berhati mulia. Dalam pembelajaran sehari hari “sang guru“ tidak pernah mebeda-bedakan siswanya. Guru yang tersohor tersebut bergelar Resi Kaloko.

Tidak semua pembelajaran yang diberikan sang resi dilakukan di dalam kelas, kerap kali sang resi mengajak para siswa belajar di tengah alam. Bahkan dalam satu bulan tidak kurang dari tiga kali semua siswanya diajak menyelusuri alam sekitar atau mendaki bukit yang berdiri kokoh di belakang lingkungan sekolah dan asrama mereka. Demikian juga hari ini, Resi Kaloko merencanakan  mengajak semua siswanya berjalan mengelilingi Lembah Tasikmadu, yang hijau asri dan berhawa sejuk.
***
Pagi pagi benar mereka telah berkumpul di halaman sekolah lengkap dengan bekal dan air minum secukupnya. Setelah mereka sarapan secukupnya mereka diberi pengarahan oleh Resi Kalopo tentang rencana dan tujuan kegiatan mereka. 

Semua siswa yang berkumpul di halaman itu terlihat berseri  wajahnya,  apalagi di cuaca pagi yang cerah dengan kuning sinar mentari mengakrabi mereka. Mereka semua nampak akrab dan tak ada sedikitpun perbedaan antara mereka berkat pembelajaran yang diberikan oleh Resi Kaloko. 

Terlebih lebih bagi Bagus Prayogo putra ndoro Bupati Boyolali yang selalu dekat dengan Puguh, putra tukang rumput kuda milik sang resi, yang selalu ada disamping Bagus Prayogo  layaknya kakak beradik yang tidak ada yang mampu memisahkan mereka. Meskipun mereka berdua termasuk anak  yang baru gede, namun badan mereka mirip dengan pemuda yang telah dewasa, karena gemblengan “lahir batin” di tengah alam oleh sang resi.

Dengan penuh santun semua siswa berbaris rapi di depan sang resi untuk mendengarkan nasehat dan pengarahanya. Dengan jelas dan lantang sang resi berpesan: “Anak anaku banyak pelajaran yang dapat kita petik dari perjalanan kalian menyelusuri lembah Tasikmadu ini, jangan pernah merusak alam yang ada disekitar kamu, jadilah manusia yang peduli sesama meskipun kalian masih anak anak. Tolonglah teman temanmu dengan ikhlas apabila mereka menemui kesulitan. Mengerti anak- anaku ?”.
***
Tak beberapa lama mereka kini telah benar-benar di tengah alam, disela para petani yang mengolah sawah yang bertanam sayur. Sementara di depan mereka menjulang Gunung Merapi yang kini tersenyum ramah. Dari sela petani yang bermandi keringat di terpa terik sang surya, berlarian seorang petani yang rambutnya ditumbuhi uban dengan badan kurus kering

dan berwajah pucat.  Petani itu Nampak tergopoh gopoh mendekati Bagus Prayoga dan Puguf, yang berjalan paling belakang. Tak berapa lama kini petani tua itu telah berada di depan mereka.

“Aduh anakku, berilah kakek beberapa suap nasi.  Sudah beberapa hari ini kakek tidak makan karena kakek sudah tidak punya apa- apa lagi “, rintihan petani itu sangat memilukan bagi siapa yang  mendengarkan. Bagus Prayogo dan Puguh hanya bisa saling pandang.

“Kakek !, perjalanan kami menyusuri lembah ini masih jauh, sedangkan bekal kami hanya cukup untuk makan siang nanti. Kalau nasi bekal ini kami berikan pada kakek, kami akan kelaparan nanti  dan tidak ada yang mampu menolong kami “ jawab Bagus Prayogo.

“Ah, kami sama sekali tidak akan memaksamu, tolonglah aku nak !, hanya mengurangi sedikit bekalmu tidak akan membuat kamu kelaparan !” Kini giliran Puguh yang dimintai pertolongan kakek tua misterius itu.

“Kakek !, ambilah separo nasi dan lauk saya !, sedangkan sisanya sisihkan untuk makan siang  saya” Puguh segera menyodorkan keranjang bekal pada kakek itu. Dengan perlahan kakek itu mebuka keranjang dan daun pisang yang membungkus nasi itu. Namun petani tua itu hanya mengambil  beberapa suap nasi untuk dimasukan ke mulutnya. Sehingga rasa heran pada Puguh kini memenuhi hatinya.

“Kakek!, kenapa malu ?. Ambilah nasiku lagi !. Inikan belum separo ?” 

“Sudah cukup anaku !, kakek mengambil sekedarnya hanya untuk megganjal perut kakek saja. Terimakasih atas kebaikanmu, silakan meneruskan perjalanan anaku !, semoga engkau berhasil “.Puguh bertambah bengong, ketika kakek misterius itu berlalu begitu saja dari hadapanya dan kini sudah berada di tengah petani yang bekerja di lahan mereka.

“Puguh !, kenapa kamu memberikan jatah nasimu ?. Lihat saja tadi !, dia hanya mempermainkan kamu kan ? Untuk apa kamu memberi kebaikan pada orang yang mempermainkanmu?.”Dengan muka  merah padam Bagus Prayogo melampiaskan kemarahan atas sikap kakek misterius itu.

“Ah, sudahlah Bagus !, aku hanya sekedar menolong kakek miskin itu” jawab Puguh.

“Tapi jangan sekali-kali kamu berani minta jatah dariku !”

“Bagus !, yang diambil kakek itu kan hanya beberapa suap, sama sekali tidak mengurangi jatah makanku. Kejadia seperti itu juga sring menimpa keluargaku bila bapak dan emaku tidak punya apa-apa”

Bagus Prayogo tidak menjawabnya, seketika itu juga dia menarik tangan kanan Puguh untuk meneruskan pejalanan, menikmati pemandangan hijau lereng Gunung Merapi. Hingga mentaripun sudah mulai bosan menyinari bumi, kini giliran sang rembulan yang menggantung di langit Gunung Merapi
***


“Anak anaku sekalian !, kemarin kalian sudah belajar mengenal, menjaga dan menghormati alam sekitar serta saling menghormati sesama makhluk hidup yang ada di lembah Tasik Madu ini. Hanya kepedulian sesama kita, masih belum bisa kalian lakukan” Suara Resi Kaloka cukup lantang hingga terdengar sampai penjuru dan belakang  kelas yang cukup besar.

“Puguh !, Aku sangat terkesan dengan budi baikmu !, sikap sepeti itulah yang dibutuhkan setiap pemimpin. Kamu mengerti maksudku, Puguh ?” .

“Mengeri Guru !”

“Bagus, anaku tersayang ?. Jangan kamu ulangi perilakumu yang kemarin. Begitu banyaknya orang orang di sekitar kita, yang butuh kepedulian kita bersama. Kepedulian pada orang lain juga dibutuhkan oleh seorang pemimipin. Mengerti, Bagus anaku ?”

“Tapi guru, kita mengadakan perjalanan yang jauh kemarin, bila sampai kita kehabisan bekal dan kelaparan. Apa kita bisa kembali  ke sini, Guru ?”

“Jangan kuatirkan itu anaku !. Bila kamu ringan tangan menolong sesama, pasti teman kamu lainnya pun akan ringan menolongmu. Bukankah aku sudah berpesan kepada kalian semua sebelum kalian menjelajah , untuk belajar peduli kepada orang lain dan ringan tangan menolong sesama. Mengerti, Bagus !!!”
“Eh, iya Guru !. Tapi guru tahu dari mana ?”

“Hehehe….kakek misterius di tengah lahan kemarin,  adalah orang desa yang aku suruh untuk menguji kalian semua. Baiklah anaku semua,  minggu depan kita  mencoba berjalan ke Kota Jogjakarta dengan pedati,  agar kalian bisa lebih peduli sesame kita dan mengenal kehidupan saudara saudara kita “

‘ Setuju guru ” semua siswa memberikan jawaban yang sama, di tengah keasyikan mereka belajar berhitung, menuis dan membaca.  Mereka semua kini sudah tidak sabar ingin cepat menjelajahi Kota Jogjakarta.

Kamis, 10 November 2011

Indonesia dalam Sepotong Puisi


Indonesia dalam “Sepotong Kata di Penghujung Tahun 2011”


Lusuh


Dalam kungkungan langit biru,
aku suarakan, sebuah titian waktu, dalam bulan....dalam
hitungan akhir.....
hasrat untuk menuai “rumah bambu” di balik menjulang
tinggi Puncak Swargaloka...
dari sebuah “Bangsa Santun”, yang tergolek lemas
lantaran dipagut bisa-bisa taringnya sendiri

Nafas yang dikemas dalam tenggorokanya sendiri...
telah mengering, meranggaskan mentimun, labu
dan padi , di sawah yang bertebaran kebohongan
Mana akan kau semai palawija,untuk
anak cucu kita yang bernafas atmosfer “tak pasti”
yang melajukan deru- deru pertikaian
antara penghuni istana dan gedung berlantai marmer,
namun berdinding rajutan ilalang
yang bermata sembab,lantaran telah mengering
air mata mereka.

Makian panjang, sumpah serapah dan hujatan
senyaring serigala yang menyergap sesama
Telah menyesakan dada “Anak Krakatau”,hingga
melomjak dalam berang, menggetarkan peraduanya
Meradangkan banjir Padang, yang tadinya
bersolek ceria dalam bibir gincu Andalas.

Kita masih dalam kemasan menyatukan langkah
Dalam alunan perguliran waktu,
namun kita telah merasa usai
karena congkaknya perut-perut buncit, yang
berniat berlalu dengan sebelah mata
atau menikam “ulu hati”, jerami yang mengering
di pinggiran sawah ladang yang tergolek
rebah dimakan penzholiman jaman

Mari kita usung sebait puisi indah
Untuk anak cucukita yang bertelanjang dada (Semarang, 11 Nopember 2011)

 Angin Kembara
 
Angin- angin kembara yang bermata juling
Telah memenuhi tepian Bumi Perkasa
yang berdiri kokoh di atas batu-batu pualam
menyebar diantara Selat Malaka dan Bumi Papua

Angin kembara kini menoleh ke tiap penjuru
negeri dan dusun, menyelorohkan dongeng tamak
berbau busuk, menebar duri
menghempaskan perilaku santun, hingga
anak- anak negeri  melempar kaca ke tiap jalanan
dengan tangan terkepal,  dengan dandanan beringas
dan menjinjing parang, yang melengking nyaring

Angin kembara, yang bertuan dajal,
entah apa yang kau pinta dari kami
yang hanya mampu menahan lapar
lantaran hanya tahu sebuah sarapan pagi
dari sepotong ubi rebus dan ...
segelas kopi yang bergula aren           (Semarang, 11 Nopember 2011)


Air Mata
Nanti juga akan sirna kanvas kelam
yang berlari menyusul angin badai
hingga menebarkan tikus-tikus busuk
yang merantaskan batang-batang padi
dan merobohkan gubug bambu milik pak tani

Nanti juga akan sirna, maka keringkanlah
air mata kita semua..air mata Ibu Pertiwi
usaplah dengan kain sutra, bersulam indahnya
negeri sorga, dengan bocah-bocah lucu
berhias pakaian warna warni
meski berseklah di gedung-gedung SD
yang hampir roboh, berornamen kepalsuan

Keringkanlah air mata kita,
Gantilah dengan semai semilir angin Muson
yang membawa butir hujan
untuk telaga hidup kita yang lembut
dan berpantai keranjang harap             (Semarang, 11 Nopember 2011)


Pantai Biru

Masihkah kita saksikan
Kala pantai berbuih putih,
Bertebaran ubur-ubur yang  jinak
Kitapun mampu sejenak menghirup udara
yang berumah di Pasifik dan Atlantik

Masihkah kita mampu melabuhkan biduk
yang berlayar centang-perentang, tentag buaian hidup...
jangan kita menjadi tersipu malu,
meski pantai negeri sebrang
lebih biru dan masih berpagar nyiur

Jangan kita urungkan biduk yang
telah melaju,meski dengan sisi yang yang
merapuh....
Namun biduk ini adalah milik anak cucu
Yang mereka usung dalam dongeng tidur mereka      (Semarang, 11 Nopember 2011)

Kamis, 03 November 2011

Hantu


Sedikit banyaknya Pak RT sudah beberapa kali menyambangi pria paruh baya itu, yang berambut lurus, berperawankan ceking, cekung matanya menjorok ke dalam, tapi sorot matanya sangat tajam. Seakan berhasrat menguliti siapa saja yang dipandangya.
Pagi itu kembali lagi Pak RT menyempatkan diri untuk bertemu denganya, agar mampu menyakinkan pria yang setengah gila itu. Pak RT sengaja mengajak beberapa pengurus RT untuk mendampinginya. Meski matahari sudah setinggi daun kelapa, namun rumah separo papan itu masih senyap. Apalagi di awal musim hujan ini, ketika hampir semalam hujan membius bumi, semua yang ada dalam rumah menjadi bertekuk lutut, menyerah dalam selimut mereka masing-masing. Termasuk Pak Diran, yang tidak tahu atau pura pura tidak tahu kedatangan Pak RT.
Hanya tiga kali Pak RT dan pengurusnya mengetok daun pintu dari triplek yang sudah mulai mengelupas sambil mengucapkan salam, kemudian diam membisu dengan raut muka yang bersungut. Lantaran rumah  pria misterius itu sama sekali tidak bernafas. Tak beberapa lama pengurus RT itu kini hanya duduk saja di serambi rumah Pak Diran yang lusuh, berdebu dan  dipenuhi daun daun Akasia yang kering berserakan. Kentara sejak akhir musim kemarau silam, pria itu tidak berinisiatif untuk menyapunya.
“Sungguh malang Pak Diran !” Suara Pak RT memecahkan keheningan beranda rumah tua itu.
“Ah, karena dianya sendiri yang tidak mau berbuat baik” Jawab sekretaris RT.
Kembali mereka bertiga dibius  dinginya pagi itu. Hanya angan mereka bertiga yang memenuhi hati mereka masing-masing. Meski angan mereka satu sama lain tidak jauh berbeda, semata menyayangkan nasib pria setengah gila itu, yang mencampak dirinya sendiri dlam perjalanan hidup yang suram.
Mereka bertiga adalah pengurus RT yang tergolong muda usianya dibanding usia Pak Diran. Maka mereka bisa menyaksikan sendiri, betapa pria misterius itu mengalami perubahan hidup yang tragis,  lima tahun silam Pak Diran menempati rumah mewah di tepi jalan protokol yang necis, bersih dan terpandang. Karena dia adalah kontraktor sukses di kota ini. Istrinya yang masih kelihatan cantik, meski sudah  berumur  hampir separuh baya selalu setia mendampinginya, mereka bersama membesarkan ketiga putri Pak Diran yang tergolong cantik dan cerdas.
Namun meski Pak Diran sudah berpijak di istana kebagiaan, namun dia tidak pernah mampu untuk mengendalikan suara hantu hantu yang bergentayangan di jantungnya. Hantu itu terus saja memberontak dan menelikung angan Pak Diran, agar  laki laki malang itu menaburkan uang yang bermilyar milyar jumlahnya untuk menebarkan kepuasan hatinya.
Maka mulailah Pak Diran selalu pulang larut malam, untuk menghabiskan bendel demi bendel uang ratusan ribu rupiah, untuk tersenyum lepas di hantu wanita, yang bermata juling, berkuku tajam dan hitam, berkulit bagaikan boneka lilin. Namun dari sorot matanya mampu menyihir siapa saja laki laki yang berduit.
 “Ayolah papa kita habiskan malam ini, agar tidak berwarna kelabu. Jangan takut, papa mampu membeli kota ini, mampu membeli segalanya. Oh aku belum merasa puas, bila aku belum memiliki Jaguar dan Bungalow indah di kaki Gunung Slamet. Ayolah papiku, keluarkan uangmu. Minggu depan kita harus sudah melampiaskan hati kita dalam bahtera yang lembut, penuh pesona, bahagia, asal kita sudah berada di bungalow baru…hik…hik…hik”  Dari taringnya yang panjang dan tajam, keluarlah mantera mantera sakti untuk membius laki laki berduit itu. Seperti bius Cleopatra, yang berhasrat menaklukan Kaisar Agustinus.
Tangan kanan laki laki itu memeluk pinggang “kuntilanak” yang berkemas bidadari malam, sementara tangan kirinya memegang mesra leher sang putri. Namun sama sekali bulu kuduk laki laki itu tidak meregang. Pertanda dia sangat akrab dengan hantu “kuntilanak” itu, atau memang Pak Diran adalah juga hantu berbadan kokoh, tegar dan mampu menundukan hantu siapa saja dari seluruh penjuru alam hantu.
Tak lama hantu kuntilanak yang hinggap di bungalow yang mewah dan di halaman rumahnya berdiri asri mobil Jaguar seharga 1 milyar Rupiah, ditinggalkan oleh hantu petualang itu. Lantaran dia sudah tidak mempan lagi dengan mantra mantra sakti  “sang kuntilanak”. Hantu kuntilanak itu sudah tidak berkemas “bidadari malam” lagi , dengan jerat di sayapnya sudah tidak kokoh lagi, kini hantu kuntilanak itu sudah berubah wujud menjadi nenek tua keriput, berjalan pincang dengan bau anyir di seluruh tubuhnya.
***
Kini telah beberapa bulan hantu petualang itu menjelajah semua puncak gunung, lembah, lautan dan hutan, untuk sejenak melepas dahaga di kuku kuku tajam hantu kuntilanak lainnya. Meski bidadari  penghuni rumahnya telah lama dia tinggalkan. Sementara ke tiga putrinyapun telah berbahagia dengan suami setianya masing masing. Sang bidadari setianya, yang sejak muda dengan setia mengarungi samudra kehidupan Pak Diran, kini hanya terpagut sepi, berlinang air mata. Berkali kali tanganya memegang pisau tajam untuk mengakhiri hidupnya, namun selama ini selalu gagal, lantaran bisik dari bayangan putih yang berkelebat di kamar pengantinya selalu mencegahnya.
“Tahukah kamu, hai Novia !, keluhuran dan tingginya derajat kaum wanita adalah mengasuh putra putranya hingga berhasil dan bersabar mendampingi suami suaminya yang telah berbuat gila. Janganlah pernah berputus asa, demi masa depan anak anakmu”. Seketika itu jatuhlah pisau tajam di tangan kanan Novia.
“Tapi kali ini dia sungguh keterlaluan, apakah ini memang salahku ?. Karena sudah tidak bisa membahagian dia lagi ?”
“Sama sekali tidak Novia !, kebagian yang telah dia dapatkan dari kamu sudah terpenuhi. Hanya hantu hantu genit saja yang sering bersemayam di bilik hatinya”
“Aku sudah tidak tahan lagi, akhir akhir ini dia malah mengusirku dan berniat menjual rumah dan mobil hadiah darinya, demi membahagiakan simpananya”.
“Kuatkan hatimu, jangan pernah berhenti mencintaimu, kecuali engkau sudah berkalang tanah, meski tidak dengan pisau itu. Berikan saja rumah dan mobil itu, pergilah bersama anak anakmu, mereka bertiga masih sanggup menyayangimu”
Novia yang berdandan bidadari malam yang jelita dan berhati sejuk itu, memang harus meninggalkan rumah hantu yang sekarang berdebu, tidak bedanya dengan kuburan. Sepasang gelas kaca, bertangkai  artistik “romawi” kerap bersanding di meja makan rumah tua itu, saat saat seperti itulah Novia kerap berseloroh romantis dengan Diran Prasojo. Sepasang gelas itu pula diharapkan Novia , agar dirinya  mampu menggayutkan pada “sayap sayap malaikat malam” yang membawanya berkelana ke tepi malam. Dia berharap mampu menggandeng lengan kokoh kuat milik Diran Prasojo, yang dahulu mampu membalikan arah putaran bumi.
Namun ketika malam yang pekat dan lancung itu, tak lagi mampu menyodorkan kenangan lama, Noviapun segera melipat sayap sayapnya dan jatuh di kamar pengantinya yang sunyi. Hingga akhirnya Novia memilih untuk bersatu dengan ke tiga putrinya untuk hidup di bawah kasih mesra, sebagai pengganti sesuatu yang hilang. Berkali kali bayangan suaminya menjenguknya, dengan raut muka yang mengerikan, bertaring tajam dan tak pernah bersatu dengan tegur sapa. Pertanda  bahwa memang dia sudah tidak menghendaki pertemuan denganya lagi.
Namun Novia kini pun menjadi kurus kering dengan dada nyeri  ditusuk sembilu jerat yang dipasang hantu petualang itu. Mungkin dengan menghadap yang Kuasa bagi Novia adalah jalan yang dipilih oleh Sang Khalik, dari pada hidup berkubang bara. Kini wanita yang malang itu hanya meninggalkan tubuh yang kaku dan dingin, yang terbujur di depan anak anaknya. Tanpa disaksikan suaminya yang kini telah berpetualang dari pelukan hantu hantu kuntilanak yang menemani dalam petualangan panjang.
***
Malam  semakin mengunci dan memencilkan dirinya dari rayuan Pak Diran, yang masih belum merindukan kehadiran istrinya. Diapun tidak tahu dimana istrinya berada. Sedangkan alamat ketiga putrinyapun belum dia ketahui. Warna dinding kamar pengantinya yang dulu menggerlapkan hidup bersama Novia,  kini kusam dan retak. Namun sama sekali dia tak memperdulikan karena rumah itu sudah bukan miliknya lagi.  Padahal seluruh tulang persendian dan ototnya, sudah tidak mampu lagi untuk terbang melawan angin muson, untuk bertualang dari penjuru ke penjuru bumi ini. Semua harta kekayaan kini telah musnah. Dunia hantu dan petualangan telah mencampaikan dia di tempat yang terakhir ini.
Padang ilalang di sekeliling rumah setengah papan itu menjadi saksi, betapa menderitanya dia dalam memunguti lagi jarum waktu yang pernah dia tinggalkan. Setiap kali dia ingin merentangkan sayapnya, setiap kali itu pula Novia hadir dengan dandanan “ratu malam” yang jelita bagai bidadari. Kerap dia berhasrat berdiri  mendampinginya, namun belum genap langkah dia torehkan, punggawa punggawa di seliling ratu malam itu melototkan sorot mata hendak melemparnya jauh jauh.
Lantas bagaimana kehidupan ketiga putrinya yang sama sekali jauh dari rengkuhanya, apakah aku sudah memiliki cucu atau mereka semua telah meinggal, tapi di mana kubur mereka. Apakah laki laki durjana seperti aku, tidak boleh hanya memandang ketiga putri putriku yang dulu cantik dan jelita. Apakah aku harus terbujur kaku tanpa kehadiran mereka. Bisik hati hantu petualang yang telah pongah itu tal hentinya melekat di jarum waktu.
***
Suara batu batuk kecil tapi dalam terdengar dari dalam rumah, Pak RT dan temanya itu segera beranjak dan menghampiri pintu yang telah separo terbuka, senyum tipis yang mengguratkan pipi yang lapuk dan menampakan gigi menghitam, menyambut kedatangan mereka bertiga.
“Beginilah nasib saya, Pak RT. Aku hanya ingin bertemu istri dan ketiga anaku !” Pak Diran perlahan membuka pembicaraan mereka berenpat di tikar bambu yang sudah mulai banyak berlubang.
“Maaf, Pak Diran !. Kami dan semua warga sudah berusaha melacak ke sana kemari, tapi hasilnya masih nihil”. Jawaban Pak RT menyentakan hati Pak Diran yang sudah lemah tak berdaya.
“Ah, tidak apa apa, semua ini memang salah saya, Pak RT !”
“Tapi kami tidak putus asa, Pak Diran !. Tolong berikan kami semua alamat saudara Bu Novia di mana saja, kami akan berusaha menghubunginya”

Sepotong kertas kumal denga tangan gemetar diberikan Pak Diran kepada Pak RT, meski bibir keriput itu sudah tidak sanggup lagi berkata. Hanya senyum hambar dan sedikit tundukan kepala melepas kepergian Pak RT.
Padang ilalang kembali gersang terpagut sepi, gerimis mulai membasahi beranda rumah tua, yang hanya satu satunya milik Pak Diran yang masih tersisa bersama dengan angan dan harapanya, untuk kembali berbahagia dengan Novia