Sabtu, 07 Agustus 2021

Debu Merapi



Tangan tangan mereka lepas saja sambil berjalan, lantaran tidak menjinjing bekal apapun kala menyusuri jalan desa yang memutih tertutup abu. Nafas mereka kelihatan tersengal saat menelusuri jalan terjal. Namun tetap saja mereka berjalan menerbangkan abu halus yang liar berkejaran. Nampaknya rasa rindu pada kampung halaman mereka melebihi penderitaan apapun yang tak jauh memusari.

 

Tidak beberapa lama sampailah mereka pada dataran tinggi yang memutari lembah kampung halaman mereka, yaitu Turgo, suatu lembah kehidupan mereka di lereng Merapi. Mereka semua kini berkumpul dengan tatapan mata kosong, beberapa ibu melepaskan gendongan anak anaknya yang merengek kelaparan. Kaki mereka yang melegam menyimpan sisa sisa terkaman sinar matahari, kini seakan berat melangkah menuruni bukit menuju lembah kehidupanya.

 

Dari atas sudah tidak nampak lagi lautan Kolonjoyo, yang biasanya terhampar bagi permadani hijau untuk pakan sapi sapi mereka, lembah itu kini hanya menyisakan tumpukan abu amarah Merapi. Dari kejauhan pula mereka hanya menyaksikan puing puing rumah mereka yang hangus diterpa awan panas muntahan Merapi. Lasmini kini lebih merapatkan ke tempat suaminya berdiri, yang masih kokoh menggendong Indra putra semata wayangnya.

 

“Ya, Tuhan, ampuni hambamu ini yang banyak berdosa” dari mulut Lasmini tanpa disadari terlontar desah ampunan dosa kepada Sang Pencipta, kala menyaksikan Turgo menjadi luluh lantak bagaikan kampung hantu.

 


“Berilah kami kekuatan, Ya Tuhan untuk memulai kehidupan kami “. Tangan kanan Sumitro masih terus saja menggendong Indra sedangkan tangan kirinya memeluk sang istri yang sama sama merasakan kegetiran hidup ini.

 

‘Gimana, kita sekarang, Mas ?” Lasmini menengadahkan wajahnya yang memucat itu ke arah suaminya yang tetap bersikap tenang.

 

“Bencana ini datangnya dari Yang Kuasa, maka Yang Kuasa pula yang akan memberi jalan unutk kehidupan kita semua. Bersabarlah !, kita tempati  saja rumah kita, semoga rumah kita  masih kokoh berdiri, sambil mulai besok aku akan membersihkan ladang kita dari abu.”

 

“Apa kita balik ke barak pengungsi saja, Pak ?”, pinta Lasmini, merengek seperti anak kecil  yang kehilangan mainanya.

 

“Kita disana juga tidak kalah menderitanya dibanding di sini. Cobalah kita atasi dulu semua kesulitan ini. Oh ya Lasmi, apa kamu lihat sapi sapi kita ?”. Sambil memutar melihat ke seluruh arah, Sumitro masih berharap agar sapi sapi yang dilepas sebelum mengungsi masih bisa bertahan hidup, karena tinggal sapi sapi itulah Sumitro dan Lasmini menyandarkan hidup mereka.

2

 

“Mana aku tahu, Mas ?”

 

“Ya sudahlah, nanti tugas kamu mencari sapi kita. Semoga saja mereka bisa terhindar dari awan panas. Aku akan membenahi rumah kita dan membersihkan sendang di belakang rumah, semoga  masih bisa kita manfaatkan”.

 

Pasangan suami istri muda itupun kini menuruni bukit perlahan, tangan Indrapun semakin merapat memeluk tubuh ayahnya. Sumitro berusaha menyembunyikan kegetira hatinya, da berusaha sekuat tenaga agar tetap tenang semata mata demi Lasmini agar mampu lebih berani menapaki penderitaan yang menyayat hati. Namun belum jauh mereka menuruni bukit itu, terdengar nyaring Santoso memanggil mereka berdua.

 

“ Tro,  tunggu dulu !, kau mau ke mana ?”

“Aku tetap mau pulang, aku tidak tahan di pengungsian terus.”

“Tapi keadaan kampung kita seperti ini ?”

“Habis gimana lagi “

“Tapi, Merapi masih berbahaya, Tro ?”

 

Mereka semua hanya diam membisu, apalagi Sumitro yang mencoba untuk menguatkan hatinya. Demikian juga Lasmini yang hanya mampu melempar sorot matanya hanya ke  arah suaminya itu.

 

“Ya, bagaimana lagi San. Merapi sudah tenang lagi. Sedangkan rencana relokasi masih belum jelas. Sambil menunggu kita direlokasikan. Lebih baik aku akan lanjutkan menanam sayur dan memerah sapi. Kita tidak mungkin terus terusan di barak, kau bagaimana San ?”

 

“Huh, entahlah Tro. Aku sendiri belum tahu. Aku juga sebenarnya pengin bertani lagi. Tapi, huh aku mau menunggu saja Merapi benar benar tenag. Aku sungguh bingung Tro, aku bagaimana pemerintah saja“

 


“Ya, itu terserah kamu saja. Mereka di belakang menunggu apa lagi, mengapa tidak segera turun ?”

 

“Sebagian mereka nekad mau pulang seperti kamu. Sedangkan sebagian lagi masih ragu-ragu, setelah melihat kampong kita rata dengan tanah “.

 

Rupanya pembicaraan Santoso dan Sumitro menarik perhatian lainya yang diselumuti kebimbungan yang terselip di tengah kegetiran hati mereka.  Maka tanpa membuang waktu lagi mereka berduyun melangkahkan kakinya menuruni bukit itu, untuk gabung dengan mereka bertiga. Kebimbangan demi kebimbangan terus mereka alami, tanpa mampu memutuskan langkah apa yang ditapaki guna menggapai masa depan mereka yang ditikam kemarahan Merapi. Sawah dan ladang mereka kini tidak serta merta dapat segera ditanami sayur, sedangkan hidup di reokasi seperti yang  dijanjkan pemerintahpun

3

tentu saja bakal menuai masalah baru. Sementara itu hingga saat ini Merapi belum menunjukan keramahan seperti biasanya.

 

“Tro, apa kamu nekad mau pulang ?” Tanya Ngatijan.

 

“Aku tidak punya pilihan lain ! “ .

 

“Mbok nanti dulu Tro, tunggu Merapi tenang kembali “ pinta Tarsono, yang sebenarnya juga sangat nerindukan Turgo dibuka lagi untuk mereka.

 

“Habis, dipengungsian  juga kita tak punya harapan apa apa lagi. Tempat untuk relokasi juga belum ditentukan dimana, Padahal butuh waktu berbulan bulan. Di pengungsian untuk makan saja kita harus berebut “.

 

“Lantas, kalau  kamu di sini juga mau makan apa, Tro ?” . Kembali Santoso mencoba untuk menemukan jalan keluar .

 

“Kita coba saja membuka dapur umum di sini, nanti untk bahan makanan sementara kita minta bantuan relawan. Musibah ini bukan kita saja yang menanggung, tapi seluruh rakyat Indonesia “

 

“Masalahnya bukan itu, Tro !. Tapi kita tidak tahu apa Merapi masih bisa meletus, atau sudah tenang kembali ?”

 

“Kalau masalah itu aku tidak tahu, Kang Sawijan !. Tapi kita mengenal Merapi kan sudah puluhan tahun. Bahkan Kang Sawijan kan lebih tahu dari saya “

 

“Betul juga pendapat Sumitro, kita masih punya waktu untuk meninggalkan Turgo,bila Merapi garang lagi “.  Perlahan lahan Santoso mulai menemukan hatinya kembali, yang sejak kemarin memang bimbang. Kini diapun sependapat dengan Sumitro.

 

“Tapi aku bukan ahli gunung,  jangan mengikuti langkahku. Sebaiknya saudara saudara minta pertimbangan Pak Lurah. Aku hanya menuruti lata hatiku saja, meski aku lihat banyak saudara saydara kita yang sekarang nekad pulang ke rumahnya “

 

Tutur kata Sumitro sedikit banyaknya membuat mereka harus berpikir lebih jernih lagi untuk memutuskan kembali ke barak atau mengikuti Sumitro, Sebagian dari mereka menjadi tertunduk lesu, sebagian lainya hanya mampu menarik nafas panjang. Hanya Santoso saja yang lebih berani lagi mengikuti langkah Sumitro. Bagi mereka berdua telah yakin bahwa Merapi telah kembali ramah,  entah apa yang melatarbelakangi keyakinan itu. Tapi memang mereka telah bertahun tahun mengenal watak Merapi, yang memasuk tahap membangun material kembali untuk letusan berikutnya.

 

 

 

4

 

Dari kejauhan nampak debu mengepul diterjang roda roda beberapa mobil menuju mereka, semakin dekat semakin nyata bahwa mereka adalah dari satuan TNI, relawan, wartawan dan pejabat daerah yang membawa beberapa bahan makanan dan perlengkapan dapur umum untuk warga yang berbondong pulang ke Turgo.

 

Seorang dari mereka kemudian mendekati kerumunan Warga Turgo tersebut sambil menuturkan bahwa Merapi benar benar sudah bersahabat lagi dengan mereka, dan mereka semua diperbolehkan untuk memulai kehidupan mereka di desa yang meradang pilu itu, tetapi hanya untuk sementara hingga benar benar pemerintah siap merelokasi mereka. Mulai hari ini sebuah team relawan siap membantu utuk menyediakan kebutuhan hidup mereka semua.

 

Air mata kebahagiaan Sumitro benar benar telah membasahi pipinya kini, sebuah pelukan erat dia rasakan dari istrinya yang tadinya lunglai tak berdaya menghadapi kehidupan yang getir ini. Peluk cium mereka lakukan sepuas puasnya pada Indra buah hati mereka

 

Kota Yang Kumuh











KOTA ini menjadi bertambah pengap, setiap kali anak anak muda yang berstatus mahasiswa berkumpul di jalan dan segera disergap polisi, lengkap dengan letusan pistol ke udara, lengkingan sirene yang seakan berniat merobohkan kios kios dari papan di sepanjang pinggir  jalan yang pengap itu. Yang pasti debu debu musim kemarau berterbangan menyesakan dada. Kejar kejaran antara polisi dan anak muda yang selalu tak kunjung menyurutkan langkah, hampir setiap hari terjadi. Debu yang liar itu menjadi bertambah sigap dan ringan beterbangan. Karena seringnya jalan aspal yang berlobang di sana sini itu, digunakan untuk semua yang bersitegang menuntut suatu kebenaran.

 

Belum lagi suara klakson mobil aneka merek, dari yang jadul hingga mobil keluaran terbaru , yang meneriaki semuanya  yang ada di depanya untuk minggir. Suara lolongan anjing kudis yang kurus kering karena selama berhari hari tidak makan menambah seram dan pengap jalanan kota itu.

 

Panas mentari ikut juga membakar aspal dan atap asbes kios papan di pinggir jalan. Sementara suara denting benda benda kaca yang saling bersentuhan dari warung bakso, mi ayam , warung tegal , teriakan ilalang kecil yang berebut order parkir, tidak kunjung reda. Sesekali suara sirene ambulan kematian di siang hari bolong menusuk panasnya jalan itu, namun semua tak mengambil peduli dengan nasib manusia yang terbujur kaku di ambulan itu.

 

Semua yang menambah kepengapan kota itu sekejap menjadi terbius diam, saat beberapa mulut lantang meneriakan slogan “ Turunkan BBM…turunkan TDL!!!, turunkan harga sembako !!!, bantai semua koruptor di negeri pelacur ini !!! ”, bertubi-tubi teriakan itu melecut membakar udara siang itu. Kembali debu debu kotor dan pengap ikut pula menyampaikan kabar adanya demo mahasiswa kepada debu lainnya di setiap sudut jalan pengap itu.

 

“Tutup saja warung kita !!!” teriak Sukiman kepada istrinya  yang berlarian kecil mengemas semua peralatan warung mi ayamnya. Padahal asap masih mengepul di kuah ayam yang ada di dandang besar. Hari ini sekali lagi penghidupan Sukimin dan ke empat anaknya menjadi tergerus pengap dan  membaranya jalan di kota pengap itu.

 

“Iya, pak aku matikan kompornya dulu, nanti sore kalau demo sialan itu sudah rampung, kita buka lagi , tho mas !”. Suaminya hanya mengangguk, sementara ke empat anaknya tidak ada satupun yang membantunya, karena semuanya sedang aktif bersekolah.

2

***

“Dooor….door…dor “ tak urung dalam hitungan menit, suara tembakan peringatan polisi sudah mengangkasa, beberapa diantaranya merontokan satu dua daun Akasia yang ada di pinggir jalan membara itu. Tembakan beberapa pistol polisi itu sama sekali tak menyurutkan niat para anak muda yang mengusung berbagai atribut di bajunya. Bahkan letusan mesiu itu malah menyulutkan batu-batu yang bersayap untuk terbang kesana kemari.

 

Beberapa diantaranya mengenai tameng fiber beberapa polisi, sementara sebagian lagi menghantam atap asbes dan seng warung potong rambut, kios mie ayam, warung bakso dan lain sebagainya. Lolongan anjing tua dan lunglai yang tadinya ganas dan melengking, kini merengek ketakutan.

 

“Kok tiap hari begini, ya Bang Dul “ seru Kang Dirman si tukang becak yang sedari pagi nongkrong di troktoar. Padahal sedari pagi belum ada satu penumpangpun yang mengorder dirinya. Wajah si tukang becak itu menjadi terlipat, lantaran dadanya yang sesak tidak berhasil mengeluarkan isi hatinya kepada siapaun. Hanya pada Abdullah, Orang Padang yang membuka warung makan nasi padang kecil-kecilan.

 

“Ah, gimana aku mau dapat duit, bang !” Sekali lagi lelaki tua yang berasal dari pinggiran kota itu mengeluh pada Abdullah.

 

“Masih mending kamu Kang Dirman !, coba dari jam 5 pagi aku sudah ke pasar belanja sayur. Eh baru satu dua piring makananku terjual, demo datag lagi, datang lagi, sampai kapan selesainya !”. Bang Abdullahpun segera menutup warungnya, meski Kang Dirman sudah mengayuh becaknya untuk ngeloyor pergi.

 


Kini hanya beberapa puluh meter jarak antara kawanan pendemo dengan tameng fiber pak polisi, sesekali satuan  polisi itu melangkah surut,  namun tak berapa lama terdengar perintah komandan polisi untuk segera maju membubarkan pendemo. Sementara debu jalanan yang kering kerontang menjadi bertambah liar membumbung ke angkasa.

 

“Kami tidak melarang saudara-saudaraku untuk berdemo, tap lakukan dengan tertib, maka sekarang bubar, !!!, bubar !!! bubar !!! “ Megaphone yang terjinjing di salah satu pundak perwira itu dihadapkan kesana kemari, agar semua peserta demo dan ilalang yang menjadi penonton bisa mendengarkan.  Meski suara megaphonenya mampu menyalak, menggetarkan gendang telinga yang berkumpul di jalan kota pengap itu, namun genderang perang di hati pendemo tetap saja tersulut.

 

3

“Majuuuu, jangan takut !!!!  “ entah siapa yang menarik tali pelatuk komando itu, yang jelas ratusan pendemo itu merangsek maju menerjang tameng fiber polisi anti huru hara. Sementara lainnya di belakang mulai melempar bom Molotov ke arah satuan polisi yang bersigap menghadang terjangan pendemo, yang telah nanar matanya, meradang dadanya dan memerah amarahnya.

 

“Jangan halangi kami !, kami suara rakyat !. Kalau BBM tetap dinaikan akan ada ribuan mahasiswa dan rakyat yang akan berdemo !!!“ seru seorang pendemo yang berada di lapisan paling depan.

 

“Kami tidak melarang kamu untuk demo !, kami hanya bermaksud menertibkan kamu semua, supaya tidak merusak kepentingan umum!”. Namun entah mengapa, apakah di negara pengap ini semua warganya sudah tidak memiliki telinga lagi, atau karena mata hati mereka semua sudah terhempas angin kembara dan entah sekarang hinggap di mana. Kedua belah pihak kini sudah tidak mampu mendengarkan teriakan satu sama lain. Mereka hanya bergumul dengan amarah mereka untuk merobohkan yang ada di depan mereka. Debu semakin kering dan begabung dengan angin kemarau, tetesan darah sudah mulai menjadi saksi atas episode yang menggetirkan hati setiap penghuni kota pengap itu.

 

Semua kendaran mulai menepi memnuhi semua ruas jalan pengap itu dalam antrian yang “semrawut”, sirene mobil polisi kini bertambah nyaring, menyeruak kemacetan berbagai kendaraan yang malang melintang tak tentu arah. Semua pedagang asongan sudah meletakan asonganya di tempat yang teduh dan aman.Kawanan ilalang yang mengusung penderitaaan hidup dan menggantungkan hidupnya pada keramaian jalan di kota pengap itu mulai berkumpul di seputar pertikaian antar kedua kubu. Jerit tangis wanita dan anak anak malah kini ikut mencekamkan jalan itu.

 

***

 

Ilalang yang menonton demo di pinggir jalan menjadi terbelalak matanya, dada mereka berguncang hebat, pembuluh nadi serasa berhenti berdenyut. Sebagian lagi berlarian kesana kemari. Teriakan kekhawatiran terdengar disana sini, sementara beberapa tubuh mulai terlihat terbujur di tengah jalan itu. Tetapi kedua kubu belum ada yang mau mengalah, bahkan mahasiswa pendemo itu semakin brutal dan bertambah besar jumlahnya yang kini merangsek maju menuju Pom BBM di pertigaan jalan pengap itu.

 

“Jo, mereka akan membakar pom bensin !” teriak  Dirman pada Warjo tukang tambal ban, yang membiarkan begitu saja kompresornya di pinggir jalan.

4

“Kita cegah mereka !!!” pinta Warjo

 

“Jangan, kita tidak bisa. Itu tugas polisi, kita menyelamatkan saja warung warung kita” jawab  Dirman.

 

“Tapi kita tidak boleh tinggal diam !” seru Warjp

 

“Kita harus bagaimana ?” tanya Kanapi

 

“Kita hanya bisa menolong korban korban itu” jawab Warjo

 

“Oh, itu  tindakan yang baik, kita angkat saja korban yang pinsan, kita bawa ke sini !” usul Santoso.

 

“Wah !, tapi bahaya kita nanti bisa kena lemparan batu “ jawab Warjo.

 

“Ha, aku punya ide baik, bagaimana kalau kita membuat bendera dari kain apa saja, kita kibaskan  ke tengah mereka, sementara lainya mengangkat korban yang terkapar, gimana ?” usul Kanapi kepada mereka yang ikut merasa prihatin dengan tragedy yang mengeaskan itu.

 

Merekakun berlarian kesana kemari, guna mencari kain apa adanya untuk mebuat bendera. Kini mereka telah berada di tengah dua kubu yang bertikai, bahu, lengan dan baju mereka berlepotan noda darah dari para korban yang terkapar  di tengah aspal yang membara. Sementara sinar matahari bertambah ganas memagut episode duka nestapa antara anak negeri.

 

Kini belasan korban telah berjejer di bawah pohon akasia, sebagian mereka merintih kesakitan, sebagian mereka masih diam terbujur dan beberapa diantaranya sudah mampu duduk kembali dengan mulut yang merintih kesakitan. Para ilalang itu dengan kendaraan apa saja kini bahu membahu membawa mereka ke rumah sakit.

 

Sementara matahari mulai condong ke barat, asap masih mengepul dari pompa bensin yang terbakar. Pecahan kaca, batu, kayu dan lain sebagainya masih berserakan  disana sini.  Tetasan darah masih belumkering dihisap debu debu jalan, berpuluh petugas polisi masih berjaga di sepanjang jalan itu. Suasana kini menjadi lengang, belum ada kendaraan yang melewati jalan itu. Ilalangpun kini menyandarkan tubuh mereka di warung warung mereka yang berantakan. Entah besok masih ada hari untuk mereka di kota pengap ini ?.***

 

Pena Yang Kokoh

 







Siapa bilang hanya para pahlawan bersimbah darah yang tersungkur tubuhnya di tanah tercinta ini, karena di terjang peluru anjing NICA adalah sosok  paling berjasa terhadap berdirinya negara dan  bangsa ini. Atau sang maestro perancang gedung pencangkar langit, berangka baja dan berlantai pualam yang mahal harganya disebut sebagai pahlawan negara. Bukankah pengendara sepeda motor yang melengkapi kendaraanya dan keselamatan dirinya, yang juga patuh pada rambu lalu lintas juga disebut sebagai pahlawan. Bahkan seorang figur yang tak pernah mengaku dirinya phlawan, padahal sekeping hidup yang dimiliki, berajut menit demi menit untuk mengasuh tunas tunas muda yang bukan anak kandungnya sendiri adalah sebenarnya seorang pahlawan.

 

Pagi ini dia berdandan Pakaian Dinas Harian, tanah liat yang menjadi  jalan desa yang dilalui masih basah dengan tetesan hujan semalam.  Terasa berat langkah kaki lelaki separoh baya itu berjalan di atas jalan yang belum kering benar. Sepatu hitam model perlente, terpaksa harus menjadi kusam warnanya karena dia harus menyibak genangan air di sepanjang  jalan itu. Namun keluh kesah yang kadang terlontar begitu saja dari mulutnya,  sama sekali tak dihiraukan tebing tebing berimbun ilalang dan pohon pinus di kanan kiri jalan itu.

 

Meski dia harus menyibak embun pagi yang masih terasa men


ggigit kulitnya, namun kedua kakinya terus saja diayunkan. Entah sampai kapan kaki ini masih setia menuruti kehendaknya, meski kadang kadang penyakit reumatik yang dideritanya usil menggelitik hatinya agar rebah saja di kamar tidurnya. Namun pagi yang datang menyapanya kali ini, adalah pagi yang masih bersahabat denganya. Meski setelah Sholat  Subuh dia harus menyisir jalan berkelok, naik turun dan memutari kaki Gunung  Ungaran untuk sampai ke sekolahanya.

 

Jalan yang dilalui sudah mulai agar terang, karena satu dua berkas sinar matahari mampu menyelinap di balik rerimbunan pohon pinus. Satu dua kali dia mulai bertemu dengan penduduk desa yang bergegas menyambung hidup dengan membawa keranjang sayur untuk dijual ke pasar.

 

“Istirahat dulu !, Pak Andreas !. Tidak usah terburu-buru, kan hari masih pagi !” sebuah permintaan dari Kartono ,  pedagang sayur yang hampir tiap hari berpapasan dengan dia di jalan desa tanah liat yang licin itu. Andreaspun menghentikan langkahnya sambil mengatur nafasnya kembali. Sementara Kartonopun merasa mendapatkan teman ngobrol di tengah hutan pinus itu, lantas dia menurunkan dua keranjangnya yang berisi sayuran.

 

 “Sampai kapan kita harus begini, Pak Karto ?” seru guru yang sudah memucat wajahnya karena kecapaian. Perjalanan yang harus dilalui memang cukup berat, karena jalan setapak yang memutari bukit itu cukup jauh. Semenjak putusnya jembatan utama karena diterjang derasnya kali Sumowono, Januari silam.

 

“Iya Pak, gimana lagi !, kita tunggu pemerintah untuk menyambung jembatan itu lagi. Selama ini kami rugi besar P            ak !, karena tidak bisa menjual sayur ke Semarang”

 

“Aku juga kasihan pada anak anaku yang harus  berjalan menyisir jalan memutar ini. Mereka kini setiap hari kesiangan, kadang tidak ke sekolah. Meski pelajaran dimulai jam 8  pagi “. Kartono sudah mulai mampu mengatur nafasnya, maka diapun bergegas untuk melanjutkan menjemput matahari, menjemput pembelajaran anak anaknya yang lugu, jauh dari kehidupan seperti anak kota yang serba tercukupi. Namun keterbatasan segalanya, tidak mampu membungkam degup jantung Andreas  yang bergurat kemanusiaan. Mereka adalah anak anak manusia, yang harus mendapatkan kasih sayang.

***

Jarum kecil jam dinding sekolah yang lusuh menunjukan angka 7 lewat sedikit, namun dinding sekolah dasar itu masih kelihatan samar tertutup kabut pagi. Beberapa anak desa berpakaian putih kumal sudah mulai datang di sekolah, mereka menyeringai senyuman sambil mengucapkan salam kepada guru separo baya itu.

 


“Lho, yang lain mana ?, yang datang cuma ini ?” sapa Pak Andreas.

 

“Kami tidak tahu pak !, hanya tadi teman teman banyak yang pergi bersama ibunya ke puskesmas ?”

 

“Sakit apa mereka ?”

 

“Kata ibuku, semalam banyak anak tetangga yang batuk pilek dan badanya panas”

 

Meski dengan getir, Andreas mencoba tetap mengusung senyum pada mereka. Meski tembok tembok kusam dan banyak yang retak, kaca kaca jendela yang berdebu tebal telah mencibirkan senyumanya itu. Apalagi ternit atap kelas yang sudah mulai banyak yang retak bahkan koyak di sana sini, seakan mengusir Andreas agar meninggalkan sekolahan ini. Tapi semua hipnotis yang menyelinap di sisi lain jantungnya dia tepiskan kuat-kuat. Andreaspun segera mengambil tongkat besi dan dipukulkan pada potongan rel baja kereta  api yang menggelantung di depan kantornya, sebagai pertanda waktunya bagi anak anak untuk mulai belajar. Meski pandangan mata kosongnya dia arahkan pada sederetan ruang kelas yang hanya berisi tidak lebih dari sepuluh. Sementara sejak Bulan Januari silam, sebagian guru lainnya sering datang terlambat dan kadang pula tidak hadir, lantaran halangan alam yang demekian  kencangnya merenggut mereka dan anak anaknya. Terbesit dalam hatinya, terkadang diapun berniat ingin sama seperti mereka. Namun sebuah pembelajaran yang pernah dia sodorkan suatu hari kepada anak anaknya mampu demikian kuatnya terpatri dalam lubuk hatinya.

 

“Inilah badai matahari yang menerjang bumi kita !” Andreas memegang peraga bumi di tangan kananya, yang didekatkan pada peraga matahari pada tangan kirinya, untuk member pelajaran IPA pada mereka.

 

“Mengapa bumi tidak terbang melayang, pak guru ?, padahal terkena badai. Apa kalau bumi terkena badai matahari kita semua akan mati, pak guru ?” tanya Susianti dengan polosnya.

 

“Itulah hebatnya bumi, Susi !, Bumi tidak pernah berhenti berputar, apalagi kabur karena badai matahari. Sebab kalau bumi berhenti atau terbang melayang, kita semua akan mati !” jawab Andreas dengan derai tawa menghiasi wajahnya.

 

“Beruntung sekali, kita hidup di atas bumi  yang berhati baik. Aku ingin seperti bumi, pak guru !”. Tanya Hendrawan.

 

“Oh bagus sekali cita citamu Hendrawan !, sifat bumi  itu bisa kita tiru. Kita sebaiknya tetap berbuat baik kepada orang lain, meskipun kita sedang berhadapan dengan penderitaan, sama seperti bumi. Bumi tetap berputar, memberikan kita siang dan malam, menumbuhkan padi dan sayuran meskipun dia diserang badai matahari. Nah kalau kita bisa meniru bumi, maka kamu nantinya bisa menjadi manusia yang baik “.

 

Solar Fire tidak hanya menyerang bumi saja tapi kini menyerang sekolahnya, dengan banyaknya tebing di seputar wilayah Sumowono yang longsor, apalagi dengan putusnya jembatan utama. Namun bukan berarti pembelajaran pada anak anak desa yang lugu dan kebanyakan putra petani miskin itu, menjadi terhenti menerima pembelajaran. Bumilah yang mengilhami Andreas agar dia mampu bersifat seperti itu. Mengapa dia harus kalah dengan cita cita murni Hendrawan anaknya.

 

***

Sayup terdengar suara beberapa orang mendekati ruang kelas VI, Andreaspun bergegas menyambut mereka yang datang bertiga dengan setelan kemeja PSH. Peluh membasahi wajah dan tangan ke tiga tamu itu yang kelelahan.

 

“Bapak dari mana ?”

 

“Oh ya !, Bapak yang bernama Pak Andreas ?” jawab salah seorang dari mereka.

 

“Betul, pak !, ada yang bisa saya bantu ?”

 

“Kami tim survey dari pemkot, kami hanya berniat survey di wilayah ini. Terutama laporan beberapa media tentang lumpuhnya pendidikan di sini karena hujan deras kemarin. Setelah selesai kami survey, secepatnya kami akan membantu mengatasi lumpuhnya wilayah Sumowono”

 

Andreas saat ini mampu berperan sebagai nara sumber dari masalah kemanusian. Bukan hanya nasib sekolah anak-anaknya, tapi juga kebutuhan kelancaran transportasi bagi petani sayur di wilayah itu.

 

“Lantas apa ide bapak ?” pinta ketua tim survey, setelah mereka melihat dengan mata kepala mereka sendiri tentang penderitaan hidup warga Sumowono.

 

“Saran kami, dahulukan tersambungnya Jembatan Sumowono, lantas bersihkan longsoran tebing yang banyak menutupi jalan itu. Misalkan pemerintah daerah belum mampu menyambung Jembatan Sumowono, gunakan dahulu jembatan darurat militer !”

 

Wajah wajah optimis kini menghiasi meeka semua. Andreas melepas kepergian mereka semua dengan harapan yang bulat, agar pembelajaran kepada anak anaknya tidak pernah retak apalagi patah***