Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL LEPAS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label ARTIKEL LEPAS. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 September 2010

INDONESIA DI TENGAH TABIR KEPALSUAN

Tak henti hentinya air mata Bangsa Indonesia tertumpah kala mendengar meninggalnya Bilqis putra kita semua, meninggalnya sejumlah anggota Satpol PP di Koja Jakarta Utara , sejumlah oknum pemimpin yang mendholimi uang negara (Gayusmania), karena semua halaman media cetak dan layar televisi lagi lagi menayangkan adu kepentingan yang terwujud dalam benturan fisik. Apakah kita sama sekali tidak pernah mendapatkan pembelajaran dari nenek moyang kita tentang makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi, ataukah ini hanya sebuah gejala keberpihakan sejumlah oknum komponen bangsa hanya pada kepentingan pribadinya saja. Apabila kondisi ini tetap eksis hari demi hari hingga waktu tak tentu, maka jadilah Indonesia sebagai negri yang berada dalam „Tabir Kepalsuan“.

Kembali ke nilai – nilai lama, kala kita bersatu mengikat diri dengan tali nasionalisme, hingga terbentuknya Bangsa dan Negara Indonesia, adalah langkah yang paling baik untuk mengakhiri carut marutnya kekisruhan politik yang subur bagai jamur di musim hujan, hingga tersingkaplah „Tabir Kepalsuan“ yang selama ini mengungkungi kita bersama. Mengapa para pemeran sandiwara politik yang elit, dengan kapasitas mereka sebagai cendekiawan / pemimpin bangsa / tokoh nasional / pejabat dan mantan pejabat nasional , cenderung tidak perduli dengan nilai ketentraman wong cilik.. Bukankah dengan stabilitas yang mantap dan terkendali akan menstimulir iklim usaha yang kondusif.

Mengingat sesuatu yang terjadi di masa-masa silam, adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi bila kejadian tersebut akrab dengan hidup kita sehari – hari. Tentunya kita masih ingat kala di era Tahun 80 – an, kehidupan sosial masyarakat Indonesia tidak pernah terusik dengan berbagai konflik sosial politik yang menjangkiti masyarakat. Meski kala itu kita dipimpin oleh seorang negarawan yang sering kita caci, negarawan tersebut adalah Soeharto. Apabila kita mau mengakui dengan jujur kelebihan rezim Soeharto dalam memerintah negeri ini.

Kita tentunya merasa bahagia, menjadi anak bangsa yang hidup di jaman reformasi, yang mengedepankan transparasi, supremasi hukum, kebebasan pers, penegakan HAM, persamaan hak politik dan hukum serta seabreg nilai tambah lainnya. Seharusnya dengan fenomena sosial- politik seperti itu kita akan bertambah hidup nyaman. Wong cilik mampu untuk memperbaiki nasibnya tanpa dirusuhi dengan carut marutnya multidimensional. Meski dikanan kiri telah kita lihat berbagi orasi, perseteruan, koalisi ataupun manuver politik lainnya. 

Mengedepankan proses hukum yang transparan, adil dan proposional adalah salah satu sarat mutlak guna menepis stereotype yang muncul di semua sendi kehidupan bangsa ini yang melelahkan. Sementara itu stereotype itu sendiri sudah menjalar di setiap oknum individu petinggi negara ini dengan membuat pusaran yang menyeret institusinya. Sehingga tak urung lagi institusi seperti Polri, Kejaksaan, KPK, institusi kementrian dan parlemen negara kitapun ikut terjerambat dalam pusaran konflik. 

Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap konflik sosial antar dan inter kelompok sosial, pemimpin dan institusinya pastilah mewujudkan stereotype satu dengan lainnya. Meski telah banyak gagasan dari berbagai media yang menginspirasikan persatuan dan kesatuan namun tetap saja stereotype ini masih bergayut seperti mendung tebal tadi. Stereotype tersebut sebaiknya diakhiri dengan munculnya niatan baik untuk saling berpelukan antara kelompok yang saling bersebrangan dan melakukan khitah, seperti saat semula kita bahu membahu merebut kemerdekaan. Bukankah stereotype tadi akan sirna berkeping bila kita sadar akan tujuan hakiki dari pembentukan bangsa dan negara ini.

Namun hingga kini apa yang diharapkan dari wong cilik tidak kunjung selesai, bahkan terus menghimpit membentuk lingkaran setan yang tiada berujung . Padahal jurang ketertinggalan kita dengan bangsa lain semakin melebar dan dalam. Kekhawatiran tentang disintegrasi dan robohnya ketahanan nasionalpun menjadi semakin menguat, dan menimbulkan persepsi publik bahwa Indonesia dewasa ini dalam sebuah ”Tabir Kepalsuan”.

Kalau toh ini terjadi maka perlu kami ketengahkan sebuah sindiran tajam, bahwa untuk penyusunan APBN Tahun anggaran ke depan perlu adanya alokasi dana khusus untuk biaya perseteruan politik, yang besarnya melebihi anggaran pendidikan, infrastruktur dan alutsista. Tentunya berbagai pihak yang membaca alokasi dana tersebut pastilah tidak setuju, demikian pula pasti akan tidak setuju pula bila kita akan terus berlarut arut dengan perseteruan politik. 

Sudah sewajarnya bahwa kita sebagai anak bangsa yang masih dihinggapi nasionalisme yang kuat, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk membawa bangsa dan negara ini menggeliat dari keterpurukan. Sarana untuk berbuat kebajikan tersebut adalah hanya berbuat menurut kapasitasnya dengan jiwa merah putih, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari rakyat. Karena kita telah mendapatkan titipan dari Tuhan yang Maha Kuasa berupa bangsa dan negara ini, semata-mata untuk mensejahterakan anak cucu kita, bukan untuk menjadikan pandai berorasi politik saja. Sehingga setiap kandungan hayati dan nonhayati , budaya, kesantunan dan sikap hidup tepo-sliro dari Bumi Pertiwi ini betul betul bisa membawa kita hidup adil dan makmur, bukan terus dirundung dalam ”Tabir Kepalsuan”

Senin, 07 Juni 2010

Cukup Hanya "SAY HALLO"

Inilah yang dinamakan hidup, bila hati inipun harus selalu berada diantara apa harus aku gapai, atau sebaliknya apa yang harus aku jinjing meski suatu kehampaan, Maka malam selalu aku biarkan agar bertaut dengan kokohnya bibir langit.
Kala bintangpun mencoba untuk melihat buku harian di sudut hatiku, namun aku tengahi dengan sorot mata yang mampu merobohkan ketegaran penjuru langit. Deru dan debu perjalanan hidup ini telah aku sampaikan kepada semua yang masih menyimpan hati, lantaran pula jiwa ini harus meniti pada kodrat yang tergambar di tangan, dan pada seribu ilalang yang memekikan kegetiran ini.
Meski aku ganti dengan gambaran yang berhias kembang warna-warni. Namun tetap saja jiwa ini harus mereguk hasrat. Ketika aku lukiskan dengan tinta yang menggambar suatu kebisuan hanyalah ada gambar wajah manis, yang berkulum ketidak-tahuanku, sempat aku paduka wajah itu dengan renda warna jingga, agar kokoh menghiasi dipinggir kanvas.
Namun wajah itupun menukik dan terbang menembus pekat malam. Sejak saat itu akupun tak berani lagi melihat malam, yang sering kusaksikan bersama dengan badai, deru angin malam yang akan menghempaskanku ke pinggir kegelapan malam. Namun wajah manis masih aku saksikan ketika ruang dadaka meradang yang ingin merindukan isi dunia ini.
“Pras, aku sendiri tak tahu harus berkata apa!”. Satu demi satu kata masih aku ingat, apa yang memang harus terlontar dari mulutnya,
“Hanya sebatas apa yang tersimpan di hatimu, itu saja sudah cukup Tyas !”. Aku jadi bertambah tidak mengerti mengapa ini pula yang aku sampaikan pada Roro Tyas di sebuah senja di tepi padang ilalang, di sudut desa.
“Tapi, aku memang tidak tahu, apakah harus seperti itu Pras ?’
“Tyas !, aku Prasetyo, aku bukan laki-laki yang sembarangan melangkah, apa yang harus aku rengkuh”
Tak ada lagi, jawaban yang datang dari mulut Roro Tyas, demikian pula mulutku ini bagaikan dibelenggu besi baja, hanya diam yang mampu aku lakukan,
Roro Tyaspun hanya mengamati jalan desa yang ada didepanya, sambil mengajaku pulang ke rumah, karena senja telah menapaki wajah langit. Semilir angin gunung mulai menerpa tubuh kami berdua, langkahpun menjadi bertambah cepat. Meski aku menginginkan pertemuan ini terus saja hingga di penghujung malam.
Haripun berlari menyongsong datangnya bulan, dan bulanpun menautkan pada tahun, hingga pada suatu pagi mentari kembali menampakan keceriaanya, menghangatkan sawah yang menguning, kerbau dan sapi yang melenguh, gemercik air sungai di pinggiran rumah. Aku sambut pagi ini dengan asa masih tergenggam di tangan, untuk mengeti lebih jauh hati Roro Tyas,
Sementara tegarnya Bukit Barisan sebatas mata memandang, meninggalkan kesan mencibirkan hatiku yang tidak sekokoh bukit itu. Namun aku tak perduli mesti Tyas harus berkata apa. Inilah kehidupan, yang harus dihadapi dengan kelapangan dada.
“Tyas, coba kamu lihat sebentar lagi kita akan panen raya, semua petani di tanah Minang ini akan berhasil musim ini” aku sodorkan wajahku dengan senyum ceria, agar Tyas juga mampu sepertiku. Bersatu dengan keceriaan pagi di tanah Minang. Keceriaan sepanjang hari di tengah menguningnya padi, hingga terasa mentaripun mulai condong ke barat.
“Tapi aku nggak suka panen ini, Pras !”
“Ah…kau bercanda, Tyas.
“Sungguh, Pras !, Aku serius, keinginan Bapak sudah nggak bisa ditahan lagi” “Keinginan tentang apa? Aku harap tidak ada hubungan dengan cinta kita, Tyas!”
Jantung yang ada di dalam dada ini terasa ditimpa beban yang berat, sehingga terasa sesak. Rasa was was kini menyelmuti hati, seiring dengan denyut nadiku yang menderu tidak teratur.
Pandanganku mulai nanar, melihat wajah Roro Tyas yang menegang, berhias kegelisahan hati dan sorot mata yang hampa, tentu saja memberikan isarat bahwa sesuatu akan menimpa tali hati yag selama ini lembut, penuh gambaran kehalusan insani. Mestikah harus direnggut oleh sesuatu.
“Itulah yang selama ini aku takutkan, Pras!”
“Takut, takut tentang apa, Tyas?, Serahkan pada aku!”
“Ini menyangkut tentang bakti anak kepada ortu, bukan masalah yang harus kamu tangani. Aku sendiri tidak tahu, harus berbuat apa”
“Aku harap kau mau jujur padaku, Tyas”. Lama kedua mata remaja yang memiliki dunia itupun hanya saling pandang, hanya saja mata Tyas mulai basah, pertanda diapun berniat melontarkan kata hatinya pada Prasetyo, pemuda desa yang lama dia kenal, yang hanya memiliki segenggam asa, untuk menapaki kehidupan mereka berdua kelak. “Bapak menyuruhku segera ke Jakarta, untuk melanjutkan studi di Jakarta, aku harus kuliah Pras. Bapak juga berniat mempertemukan semua saudara bapak Ibu yang sekarang masih di Jawa. Entahlah Pras aku tidak berdaya lagi.
Memang sudah lama Bapak rindu dengan saudara saudaranya di Jawa. Kamu kan tahu bahwa Bapak dan Ibuku brasal dari Tanah Jawa”
“Lantas aku harus bagaimana, padahal waktu panen tinggal beberapa hari?” suarakupun mulai tersendat, Sementara angin tenggara mulai bertambah kencang menimbulkan suara daun padi yang semakin nyaring bergesek.
“Biarkan saja aku yang menangis, Pras, kamu kan laki-laki. Aku sudah tahu persis tentang ketabahan kamu”
“Tapi apa yang dapat aku lakukan di sini tanpa kamu”
“Tapi juga aku harus bagaimana?, kita remaja desa yang biasa berbakti pada ortu, yang biasa hidup diatas apa yang kita miliki. Aku harap engkau bersikap dewasa, sama seperti sikap kamu pada adik-adikmu”
“Tapi, ini masalah lain, Tyas”
“Aku yakin pada diri Prasetyo masih sanggup untuk menghadapi ini semua, meski betapa menderitanya sebuah penantian, akupun akan kembali pulang setelah selesai kuliahku”
“Aku percaya sama kamu Tyas, aku belum pernah menjumpai kamu berbohong, yah…sudahlah, kita hanya sesuatu yang belum memiliki apa-apa, meski berat rasa hatiku bila harus jauh dari kamu”.
“Apa aku juga tahan menerima ini semua, Pras !. Aku seorang wanita, Pras!, yang memiliki hati yang lemah. Tapi masih terbesit di hatiku untuk menyongsong masa depan di jaman sekarang. Pras, dewasalah, tunggulah aku sampai aku pulang”.
Suara Roro Tyaspun melemah, pipinya sudah terbasahi air mata. Kini wajah ayu itu telah terbenam pada Pras, yang tiada seberapa kokohnya.
“Pasti, Tyas !, aku hanya pemuda desa, hanya mengerti sawah dan lading, hanya sepintas punya harapan untuk merangkai masa depan bersamamu, namun kini kau pergi”
“Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, aku hanya sementara di Jakarta”
“Tapi bagiku sama saja?”
“Kenapa Pras ?”
“Tentunya Bapak Ibumu akan melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya menyekolahkanmu ke universitas “
“Aku harap tidak, Pras. Aku akan bersikeras agar Bapak Ibu mau menerimamu”
“Ah…itu masalah nanti, perjalanan hidup kita masih panjang. Sudahlah, kita pulang saja, hari mulai gelap”.
Kedua remaja itu melewati pematang sawah dengan tangan mereka saling melekat. Yang jelas dunia dan isinya telah mencatat, adanya sepasang remaja desa yang telah memberanikan diri mencoba mendayung perahu kehidupan di tengah badai yang tak pernah peduli nasib mereka.
Sang waktulah yang kemudian menenggelamkan mereka berdua, pada kodrat-iradat yang telah ditentukan Tuhan yang Kuasa. Hingga tidak terasa sepuluh tahun sudah Prasetyo berpisah dengan Roro Tyas, dengan penantian yang mencekam, karena tanpa selembar suratpun dia terima dari Roro Tyas, yang kini kuliah di fakultas kedokteran di Jakarta.
Namun inilah hidup, pertemuan dan penantian ataupun perpisahan adalah suatu suratan takdir yang mengakrabi kehidupan setiap insan, seperti yang dialami mereka berdua, meski sempat menyisakan kegetiran di kehidupan pemuda desa ini yang sarat dengan kesengsaraan hidup, maka Prasetyopun kini hanya mampu menyandarkan segalanya pada Tuhan yang Diatas.
Barangkali saja Tuhan yang Kuasa berkehendak mempertemukan mereka kembali, saat gempa yang cukup dasyat mengoncang Bumi Minang hingga meluluh-lantakan semua yang ada di atasnya. Pertemuan antara keduanya kinipun tidak bisa dihindari, sama seperti dikala Tyas mengucapkan perpisahan 10 tahun yang lalu, saat Tyas mengucapkan janji untuk sebuah penantian mereka berdua.
Prasetyo kinipun hanya mampu memandang Tyas, dengan segumpal kekecewaan hati. Tyas kini telah menjadi dokter ahli bedah dan bersanding dengan temen kuliah di kedokteran, untuk menguntai jalan hidup bersama.
Prasetyo hanya mampu mengawali dan mengakhiri pertemuan mereka kembali hanya dengan kata “say hallo” dari pemuda desa, yang akrab dengan sawah, padi, kerbau tetapi masih menyisakan keteguhan hati dan jiwa. Yang mengorbankan segalanya demi sebuah ikatan janji, yang dipinta Tyas.
Langit Bumi Minang terus dikungkungi mendung hitam kepriatinan, terlebih bagi Prasetyo yang telah mencoba menemukan hatinya kembali di tengah luluh lantak rumahnya.

Senin, 01 Februari 2010

KEMBANG ARUM DI UJUNG MALAM

Aku belum merasakan  dada yang terbuka
Untuk kau mampu menyelinap dan menyusun mimpimu
Pada jauh hiasan seberkas bunga rampai
Kala warna biru telah kau urai
Menusuk jauh ke jantung yang tiada bersapa lagi

Lalu akupun berganti melapangkan
Setiap rona warna yang aku siapkan
Pada  apa yang aku  tebarkan
Pada gemercik air penyejuk di beranda
Kata hatimu yang selalu saja menembus kekosongan ini

Aku berteriak pada setiapsudut dindingkamarku
Agar engkau mau menapakan lebih kuat lagi
lentik jemarimu pada setia berkas nafas
Yang ingin melambung di ujung pagi

Minggu, 17 Januari 2010

KEPRIHATINAN NURANI SEBAGAI ANAK BANGSA

Sungguh merdu terdengar di telinga kita, kala kita mendengar lagu rayuan pulau kelapa. Dalam syairnya menyiratkan setiap keindahan yang kita miliki selama bernaung di bumi katulistiwa ini. Tergambar di dalamnya kehidupan setiap anak bangsa yang tentram dan damai. Penuh dengan kekayaan alam yang mampu menopang setiap kehidupan kita

Namun apa daya sekarang panasnya lahar yang dimuntahkan gunung api atau panasnya hutan yang terbakar, akan terasa lebih dingin dibanding dengan panasnya para pemimpin nasional / mantan pemimpin nasional yang sekarang sedang berseteru di depan Pansus Hak Angket DPR untuk kasus Bang Centuri , yang saling menyalahkan satu dengan lainnya dan tiada henti – hentinya mendera wajah politik , ekonomi dan sosial dari bangsa dan negara ini di beranda Tahun 2010. Ditambah lagi stimulus-stimulus elite politik / petualang politik yang pandai mengambil kesempatan di tengah suasana panas tersebut

Belum lagi kekisruhan Bang Century terlarutkan dengan temuan siapa dalang yang paling bertanggung jawab terhadap dana bailout sebesar 6 , 7 trilyun Rupiah, kita dikagetkan dengan temuan simbol kekisruhan tatanan moral dan sosial kita , yang menyangkut moral para oknum pejabat kita. Betapa tidak seorang wanita pengusaha sukses yang berstatus narapidana bisa bergaya hidup layaknya tinggal di hotel berbintang , padahal hotel berbintang tersebut adalah kamar LP Pondok Bambu di lantai III. Menurut para saksi mata yang ada, wanita itu di dalam kamar tahanan juga mampu memimpin rapat perusahaannya yang memliki ± 70 ribu karyawan. Wanita itu tidak lain adalah Atalyta Suryani.

Menyikapi fenomena sosial tersebut, terbesitlah dalam benak kita siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan. Lepas dari siapa yang bertangung jawab dengan kasus sepert itu, ada baiknya bila kita menggunakan logika yang mapan, mengapa hal ini perlu kita pertanyakan, karena masalah tersebut adalah mungkin kasus yang kebetulan bisa kita temui. Barangkali di luar masalah ini , masih bisa kita temukan kasus kasus yang lain yang sekali lagi menyangkut masalah kejujuran moral oknum pejabat dan lihainya konglomerat / pengusaha sukses yang bergelimang uang untuk membeli moral para okmum pejabat kita.

Masih dalam koridor perilaku para oknum pejabat kita diatas, sebagai anak bangsa kita bertambah menangsis pilu ketika mendengar laporan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang telah menyerahkan data –data para makelar kasus di Komisi Pemberantasan Hukum lengkap dengan nama, tempat transaksi, kuitansi, tanda terima, alamat dan anak siapa ke Satgas Pembrantasan Hukum , Rabu 13 Januari 2010. Lebih lanjut Beliau juga melaporkan bahwa keterlibatan oknum pejabat di KPK tidak tanggung – tanggung dilakukan oleh jajaran aparat KPK dari mulai deputi hingga ke jajaran di bawahnya.

Lantas apabila kita menghaapi kondisi semacam ini bagaimana bisa tercipta iklim Supremasi Hukum yang kita damba-dambakan bersama. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa hukum adalah Lembaga Regulatif yang berfungsi multiguna dalam menciptakan kestabilan sosial, politik, ekonomi dan setiap unsur kehidupan lainnya yang bernaung dalam suatu kesatuan negara. Apabila hal ini telah nodai hanya untuk kepentingan
pribadi, maka tentu saja akan tumpul pranata hukum tersebut, yang pada giliranya akan melumpuhkan setiap dinamika Bangsa Indonesia di dalam perjalanan menuju era masa depan yang kita damba-dambakan.

Lumpuhnya sebuah negara besar, yang memiliki wlayah geografis dari Sabang hingga Merauke, yang memiliki pulau sebanyak 17.504 buah, memiliki luas wilayah ± 5. 250. 053 km 2 ( Wikipedia, 2004 ) dan
berpenduduk lebih dari 200 juta penduduk serta memiliki suku bangsa sejumlah 316 suku bangsa yang hidup saling berdampingan mesra, tentunya akan sama dengan lumpuhnya suatu Raksasa.

Bukankah dalam sejarah perkembangan bangsa ini selalu dihadapkan pada kebesaranya sejak jaman Majapahit hingga jaman Soekarno, yang disegani oleh bangsa- bangsa di Asia. Namun kebalikan dengan kenyataan yang aa di era sekarang, berdasarkan data yang diperleh dari survey Dirjen Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan melaporkan bahwa sebanyak 70 juta penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Kondisi ini bisa kita jadkan suatu barometer analisis sosial masyarakat kita, bahwa untuk kebutuhan yang vital saja kita masih jauh dari sejahtera.

Sementara itu para oknum pejabat baik tingkat mentri / mantan menteri hingga bupati dan walikota kepala daerah banyak yang terlah terbukti menggasak uang negara hingga milyaran rupiah. Tentu saja kesenjangan semacam ini akan menghambat hjubungan serasi antar klas sosial sebagai modal dasar untuk menyeragamkan sinergi dalam menggapai masa depan yang kita inginkan.

Namun marilah kita bersama mengambil tindakan yang sigap, bijak dan jernih dalam mengurai satu demi satu krisis multidimensional yang menghanyutkan kita hingga menjadi tertinggal jauh dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita beri kesempatan kepada setiap insttusi yang berwenang menyelesaikan permasalahnya secara porposional dan profesional, sehingga satu demi satu krisis yang ada tidak meluas hingga terjadinya social conflict yang parah. Sehingga perlahan lahan daun pohon nyiur yang berdiri di sepanjang garis pantai sejauh 54.700 Km akan melambai lagi. Kembali terdengar lagu merdu Rayuan Pulau Kelapa.

Rabu, 30 Desember 2009

MELIHAT PERANAN STRATEGIS GURU


Bermula dari membca Surat Pembaca pada Harian Umum Suara Merdeka pada tanggal 15 Desember 2009 lalu, yang ditulis Sdri Galih Annisa Hakiki Mahasiswa FMIPA Universita Negeri Jogjakarta, tentang himbauan kepada publik untuk lebih mengingat akan jasa guru, sebagai figur yang mampu menggantikan peran orang tua dikala peserta didik berada di sekolah dan tanggung jawab moral lainnya terhadap peserta didik. Timbulah inspirasi penulis untuk menggali lebih dalam lagi wacana tentang peran vital guru, tentunya terhadap kontribusi dalam Pembangunan Nasioanal kita.

Gambaran tentang peranan vital guru dalam ruang lingkup pembangunan nasional pernah digambarkan secara gamblang oleh team nara sumber pada Seminar Nasional Pendidikan Bernafas Agama dengan topic Reposisi dan Reorientasi Penddikan Bernafas Agama si Tengah Pluralitas, yang diselenggarakan di Semarang 13 Agustus 2003. Gambaran tersebut terungkap tatkala Kaisar Hirohita pada Tahun 1945 mendapat laporan dari para jenderalnya saat Nagasaki dan Hiroshima di jatuhi bom atom yang menewaskan ratusan ribu warga Jepang.

Mendengar laporan tersebut Kaisar Hirohito mmenyikapi dengan sedih dan pernyataan Belia yang pertama kali meluncur adalah menanyakan jumlah guru yang masih hidup, Beliau tidak memperdulikan jumlah tentara atau tenaga medis yang selamat. Hal ini tentu menyiratkan suatu fenomena, bahwa suatu bangsa boleh saja mengalami kejadian apa saja asalkan masih ada guru yang memiliki tugas moral yang luhur dalam meneruskan pembangunan nasional suatu bangsa.

Dengan demikian peran guru yang professional untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan nasional ini sangatlah mendesak untuk direalisasikan mengingat peran guru dalam mempersiapka n peserta didik yang m,ampu berperan sebagai generasi yang terlibat aktif dalam pembangunan nasional nantinya. Hal ini didasarkan pada Tugas dan Petranan guru menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa guru adalah tenaga pendidik, yang padanya melekat dimensi profesi mengajar dan mendidik.

Tugas mengajar seorang guru adalah berkaitan dengan profesionalisasi dalam ranah merancang, melaksanakan serta mengevaluasi pembelajaran yang bersumber pada kurikulum. Sedangkan mendidik erat kaitanya dengan meneruskan dan mengembangkan nilai – nilai hidup yang eksis di lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan nilai –nilai hidup yang terkonsep jelas secara pedagogis inilah diharapkan akan tercetak generasi penerus yang mampu membawa bangsa kita pada tahapan yang lebih maju ketimbang sekarang.

Terlebih lagi fungsi guru yang harus mampu menanamkan sikap mental peserta didik yang nantinya mampu menjadi generasi yang memiliki nilai – nilai luhur yang dibutuhkan masyarakat sekelilingnya. Karena aspek karakter man behind the gun untuk generasi mendatang tidak kalah pentingnya dengan aspek kompetensi peserta didik menurut bidangnya masing – masing.

Namun pada kenyataannya Fungsi dan Peranan Guru yang strategis tersebut di tanah air kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terbukti bahwa menurut survey yang dilakukan oleh Human Development Index melaporkan bahwa sebanyak 60 % guru SD, 40 % guru SMP, 43 % guru SMA dan 34 % guru SMK belum layak untuk mengajar di jenjangnya masing – masing, ditambah lagi bahwa sebanyak 17, 2 % guru atau sebanyak 69. 4 77 guru mengajar bukan di bidang studinya masing – masing. Bahkan lebih parah lagi kemampuan kompetensi Guru Indonesia menempati rangking ke 109 dari 179 negara yang disurvey.

Fenomena di ataspun makin bertambah mempriatinkan dengan kurangnya guru dalam menulis laporan ilmiah guna pengembangan profesionalnya. Hal ini terungkap dari pernyataan Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah Slamet Tri Hartanto.

Dengan penulisan ilmiah maka guru mampu secara ilmiah mengatasi kendala-kendala pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Disamping itu juga bila guru akan menerapkan metoda pembelajaran yang efektif, maka tentu penentuan itu harus dilandaskan pada PTK ( P enelitian Tindakan Kelas ).

Dengan kondisi dan realitas yang demikian mampukan peran guru bernila istrategis apalagi peranannya dalam kontribusi terhadap pembangunan nasonal yang kita harapkan. Kenyataan ini akan lebih pelik lagi bila kita melihat kesejahteraan guru yang tidak sepadan dengan tanggung jawab moralnya.

Beruntunglah untuk Guru PNS yang telah dinaikan kesejahteraanya pada jaman Pemerintahan Presiden Abdur Rahman Wakhid, namun siapakah yang akan memperdulikan nasib guru swasta yang menerima kesejahteraan hanya disesuaikan dengan jumlah jam mengajar per 4 kali hadir. Sungguh memilukan nasib guru swasta, maka wajar saja bahwa guru swasta ini tidak mampu mengembangkan kompetensinya, apalagi untuk memolesnya menjadi guru atau pendidik yang professional. Padahal aspek yang turut andil dalam mencetak generasi yang memadai, adalah kompetensi guru di bidang bahan ajar yan disodorkan kepada peserta didik.

Secercah harapan kini mulai tampak dengan dikeluarkannya program pelatihan professional guru, berdasarkan Undang Undang No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran adalah guru profesional dan harus memiliki standar akademik minimal S1 atau D IV. Guna merealisasikan pembenahan Sistim Pendidikan Nasional tersebut, Diknas telah membekali pendidik baik pendidik PNS maupun swasta untuk setiap jenjang dengan Pendidkan dan Latihan Profesi Guru ( P L P G ).

Dengan pembekalan professional guru tersebut, maka diharapkan guru mampu mengembangkan potensi profesionalisasinya, yang mencakup aspek pelayanan kemanusian ketimbang aspek pemenuhin kebutuhan pribadi, penguasaan bahan ajar yang mumpuni sebagai salah satu cirri guru dibanding individu lainnya dan memiliki wawasan intelktualitas yang memadai serta hak untuk memiliki standar kualifikasi yang dijamin oleh lembaga formal tertentu ( Chandler dan Sahertian 1994 : 27 ).,

Maka dengan pemenuhan aspek aspek tersebut di atas maka diharapkan guru mampu memegang memiliki kembali predikat sakral yang dikenal dengan digugu lan ditiru pada masa-masa mendatang sebagai suatu jaminan suksesnya sistem pendidikan yang kita miliki bersama.

Minggu, 06 Desember 2009

CARUT MARUT TATANAN Sosial



Adalah berita yang menggembirakan bagi kitya semua, setelah dikeluarkannya SKKP No. Tap 01 / 01 . 14 / FD.1 / 12 / 2009, tanggal 1 Desember, atas nama Chandra M. Hamzah dan Tap 02 / 01. 1 4 / FD. 1 / 12 / 2009 AN Bibit R. Riyanto oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan , yang merupakan pertanda bergulirnya angin kedamaian yang selama 3 bulan di penghujung tahun 2009, terjadi kisruh opini publik, perseteruan antara lembaga negara, serta memanasnya silang pendapat antara elit –elit politik.

Namun belum juga kita lega, baru saja kita mengipasi kegerahan fenomena sosial dan hukum atau mungkin juga muatan politik bagi pihak yang berkepentingan, kita dihadapkan lagi dengan kasus Bang Century yang bergulir berbarengan dengan kasus Bibit Chandra. Dan nampaknya Kasus Bang Century juga tidak kalah panasnya dengan kasus yang mendahuluinya. Bahkan ada suatu analisis dari media massa yang menyimpulkan, bahwa kasus Bibit Chandra telah mendomonir sorotan pers sebanyak 75 persen dan Bang Century sebanyak 25 persen, pada dekadi 3 bulan yang lalu, namun angka tersebut sekarang telah berubah sebaliknya.

Bahkan tidak tanggung –tanggung lagi permasalahan praktek money loundering di Bang Century inipun berkembang semakin melebar, apalagi penyimpangan pengucuran dana ini
disikapi dengan keteledoran lembaga autoritas moneter dengan melepas bail out sebesar 6, 7 trilyun rupiah. Meskipun menurut audit BPK , Bang Century tidak layak menerima dana talangan tersebut. Sebab kondisi bang tersebut memang tidak layak beroperasi, sesuai dengan advice dari BI.

Namun dengan alasan karena terjadi krisis perbangkan, sehingga Bang Century masih dibiarkan hidup, tetapi dengan naungan dan pengawasan Lembaga Penjamin Simpanan, yang ditunjuk pemerintah pada tanggal 21 November 2008. Meski dalam menjalankan fungsinya LPS ini pernah mengucurkan dana sebesar 4 trilyun pada Bang Century tanpa persetujuan DPR. Bukankah kebijakan ini akan menambah runyamnya kemelut di bang itu, yang dewasa itu berperan sebagai kendaraan pihak tertentu.

Nampaknya tidak hanya dengan penyelesaian kebijakan moneter saja terhadap kasus ini. Namun lembaga tinggi negarapun, yaitu DPR lebih peka dalam meneropong kasus ini, bahkan lebih jauh lagi memandang pada sisi yang lebih urgent lagi. Terbukti dengan lahirnya
2
Tim Sembilan dikalangan anggota DPA, yang berkiprah sebagai Tim Pengusung Hak Angket kasus Bang Century, yang berdiri sejak 22 Oktober 2004 itu.

Kita bisa berbangga hati, ternyata pengajuan Hak Angket di pembahasan Paripurn
DPR, pada tanggal 1 Desember lalu telah mendapat persetujuan dari 503 anggota dewan. Hal ini berarti praktek bail out t ersebut di atas akan bergulir menjadi tontonan politik publik yang menarik. Betapa tidak, karena setiap permasalahn hukum yang dimuati politik dan kriminalisasi suatu institusi yang dimuati politik jua, dewasa ini telah menjadi sarapan kedua bagi publik. Tentunya setiap permasalahn di atas tadi , jelaslah dilansir oleh semua media massa, baik cetak, elektonik dan dunia maya. Yang pada gilirannya nanti tentunya akan menginternalisasikan sikap mental skeptis dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Sebagai Lermbaga Tinggi Negara, DPR memang diberi kewenangan untuk mengevaluasi serta minitoring pemerintah dalam penerapan setiap regulasi yang telah disepakatii bersama dan dengan fasilitas Hak Angket inilah semoga saja lembaga ini mampu mengurai benang kusut, yang hingga kini belum bisa ditemukan bagian mana yang harus menjadi awal penyelesai konflik yang menggumpal ini.

Hanya saja sementara ini telah muncul keraguan publik tentang netralitas lembaga ini. Apabila keraguan ini benar terealisir di panggung kancah politik, yang mestinya bagi anggota lembaga ini lebih mementingan partainya. Maka penyelusuran dengan senjata Hak Angketpun akan menemui jalan buntu. Tetapi apabila mereka mendahulukan ikatan moral yang menjadi penghubung aspirasi rakyat, inilah yang kita harapkan.

Yang paling mengkhawatirkan kita semua sebagai anak bangsa yang mengimpikan tercapainya tatanan sosial- politik yang demokratis, serasi, mengedapankan supremasi hukum di Bumi Nusantara ini akan jauh panggang dari api, bila konflik sosial dan politik yang menerpa akan terus mendera para elit, pemimpin dan elemen – elemen pemerintah lainnya. Tentu lebih jauh lagi, kondisi seperti ini secara gradually akan membentuk sikap mental masyarakat yang pesimis, skeptis dan asusila terhadap nilai dan norma sosial yang seharusnya tertanam kuat di tiap kehidupan sosialnya.

Salah satu tanda akan terjadinya disintegrasi sosial yang akan mengancam keutuhan kehidupan berbangsa dan bernegara, adalah timbulnya konflik sosial yang berkepanjangan. Meski upaya yang intensif dan terintegrasi terus dilakukan oleh autoritas, namun bila akar

3
konflik yang berupa nation building statement telah meluruh dan tercabik-cabik, maka upaya itu akan percuma begitu saja.

Beberapa diantara ciri khas terjadinya gejala disintegrasi sosial yang terkuak dipermukaan adalah adanya perubahan tatanan sosial akibat diadopsinya nilai sosial yang menyimpang dari tatanan semula. Sementara itu terdapat komunitas sosial yang menentang pergeseran nilai ini. Adanya sebagian oknum pejabat yang memperkaya diri dengan memanipulir jabatan dan telah membudaya, jelas akan menciptakan jurang pemisah dengan lainnya, yang cenderung mempertahankan nilai sosial yang lama tertata.

Harapan kita satu –satunya adalah kembalinya pandangan moral bagi yang telah lepas kontrol dari pranata sosial yang kita miliki. Sebab tanpa adanya gerakan moral tersebut, maka akan terbukalah jurang pemisah antara nilai luhur yang banyak dianut, yang akan berhadapan
dengan nilai dan norma baru yang tidak kita harapkan. Sebagaimana kita ketahui dari meruaknya kasus korupsi dan manupulasi jabatan tersebut, nampaknya telah menjadi budaya yang merambah pada setiap lapisan. Fenomena tersebut diatas sudah barang tentu akan menampilkan social-disequilibrium atau juga merupakan gejala carut marutnya tatanan sosial

Ilustrasi tersebut diatas adalah contoh terjadinya pergeseran nilai sosial di tanah air kita yang bila terus melebar akan menciptakan disintegrasi social, bila semua pihak yang terlibat di dalamnya tidak segera membenahi diri. Minimal sebagai langkah awal adalah penerapan supremasi hukum pada pihak yang menciderai perasaan rakyat. Namun apakah supremasi hukum yang kita gembar-gemborkan dapat berhasil guna untuk melawan rapatnya mafia segala lini di kehidupan para elit atau hanyalah isopan jempol belaka.

Hal inilah yang telah mengaburkan pandangan kita semua, seperti yang disinyalir oleh Ketua Komisi Hukum Nasional, Prof, J,E, Sahetapy tentang pesimistisnya dalam menegakan hukum
melawan tindakan mafia hukum. Pernyataan itu tentunya memberi gambaran kepada kita, tentang beratnya gerakan tajam melawa mafioso hukum yang telah merusak tatanan sosial.

Telah diketahui bersama bahwa apabila suatu masyarakat sudah menampikan hukum yang menjadi social - control yang telah diakui dan diterima bersama, maka carut marut sosial yang kronis tinggal tunggu waktu saja. Ini berarti segala jerih payah anak bangsa dalam mengukir prestasi yang mencakup segala sektor akan lenyap begitu saja. Sebab bila telah terbentuk people power yang mengkristal, sama saja kita menghadapi suatu bola liar yang menggelinding liar tak tentu arah.
4

Bagaimana tidak, supremasi hukum yang digunakan sebagai senjata tajam untuk memotong praktek – praktek penodaan bangsa dan negara telah tumpul lantaran praktek – praktek asusila oknum pejabat yang seharusnya jadi teladan anak bangsa lainnya. Mereka gampang saja mendapatkan uang dalam hitungan milyaran dan tidak semua perangkat hukum berhasil membuat mereka jera. Sementara itu di masyarakat sosial lainnya telah mengalami perjuangan hidup mati untuk bisa sekedar hidup layak.

Oleh karena itu, sebelum nasi menjadi bubur, maka hendaklah kita melakukan self-control bersama-sama. Yang menjangkau lintas sektoral, status, jabatan dan lain sebagainya. Sehingga kita bisa dengan serasi bahu membahu mampu mewujudkan prestasi dalam mengejarkan ketinggalan dari negara – negara dalam semua hal. Sebelum timbulnya cultural lag yang akan menimbulkan disintergrasi bangsa.
































PENULIS
1. NAMA LENGKAP : Ir. BAMBANG SUKMADJI
2. TEMPAT/TGL. LAHIR : TEGAL, 19 SEPTEMBER 1962
3. ALAMAT : Jln. KETILENG I , RT O1/25
SENDANG MULYO
SEMARANG 5 0 2 7 2
4. ALAMAT KANTOR : MA FUTUHIYYAH – 1
JL. SUBURAN BARAT,
MRANGGEN DEMAK ,
TELP 024-6773289
Email : bangsuk51@gmail.com