Senin, 16 Agustus 2010

Kembang Layu Di Taman HATI

Aku perhatikan semakin ganjen saja Elsa bertingkah di depan cowok-cowok gaulnya, berpose layaknya artis sinetron menambah dunia dan seisinya maunya runtuh. Apalagi bila dia melempar sedikit senyum tipis, jantung yang aku tanam dalam dada ini semakin menderu, menyuruhku untuk segera memiliki kembang mekar ini. Guratan wajah Elsapun makin jelas saja tergambar di halaman kalbuku. Namun dia tetap saja Elsa, meski hati yang aku miliki tetap saja memberontak, untuk segera menikam keangkuhannya.

Ataukah hanya gaya hidup Elsa saja yang selangit, yang masih asing bagiku, yang bertolak belakang dengan gaya hidup aku yang dari kota kecil. Sejauh kalbu ini merenung, akupun masih ingat betul teori Pak Burhan, dosen Pengantar Ekonomi yang suka bicara dari hati ke hati dengan semua mahasiswanya, “Gaya hidup modern bukannya berasal dari kota atau kampung, kaya atau miskin, tapi dari pola pikir intelektual. Kamu kamu semua kan komunitas intelektual. Apa nggak ada menteri lahir dari desa, hampir semua petinggi negara lahir di desa”. Sebuah kekuatan baru mulai tertetes di sanubariku yang mengering dikungkung kurangnya pd.

Sesaat semua mahasiswa bersorak ceria, mirip anak TK, kala diumumukan bahwa Pak Hardiman dosen statistik tidak hadir pada sore kali ini. Sementara Elsa di tengah keceriaannya terus saja didekati sama cowok cowok beken kampus, yang nota bene bertampang gaul, gedongan dan difasilitasi mobil untuk kuliah. Sedangkan aku hanya ingat pesan emak, tiap aku mau berangkat ke Jakarta, setelah mudik di Purwokerto, untuk tekun belajar sehingga bisa meraih sarjana ekonomi dan dapat kerjaan yang mapan, untuk membantu studi adiku-adiku.

Akupun menyadari semua itu, namun tetap saja hati, yang menggelindingkan ego yang tak tentu arahnya, menjerit untuk tetap memiliki Elsa. Meski hanya selintas beberapa saat hasrat itu menderu, karena aku tahu bahwa Elsa sebenarnya adalah mahasiswi yang santun, baik dan tekun belajar. Hanya aku saja yang tak mampu mendekati.
Semester demi semester aku selesaikan dengan prestasi nilai yang baik, karena tekun dan aktifnya aku belajar, emakpun bertambah senang. Namun semakin pula aku kehilangan akal untuk mendekati Elsa, yang tambah seronok dan menorehkan bunga kampus di tengah cowok yang berlabel high-class, hampir tiap hari setelah selesai kuliah Elsa tak ubahnya piala bergilir bagi temen-temenku, yang menyodorkan mobil mewah dan doku sekedar mejeng sepanjang warna warni lampu kota Jakarta.

Akupun menjerit pilu, semoga gadis baik dan santun itu segera mengukuhkan hatinya agar mampu membawa diri di tengah pergaulan kumbang kumbang kampus yang haus akan madu. Apakah dengan cara begini Elsa akan menemukan diri dan segera menjadi cewek dewasa, selalu saja kata hai seperti itu terselip dalam lubuk hatiku, ataukah karena aku saja yang tidak mampu membuat egonya Elsa menjadi runtuh. Namun tetap saja Elsa tidak mampu mengendalikan diri dan kehormatannya, bahkan sekarang menjadi buah bibir kampus, bahwa harga diri Elsa hanyalah sebatas mobil mewah dan pub bahkan hotel berbintang untuk bermalam beberapa hari. Pada siapa lagi aku harus berontak, meski amarahku telah menyetuh ujung kepala dan menyumbat tenggorokanku, namun kemana kepalan tangan aku tujukan.

Akupun mulai menelisik tentang Elsa, lewat Ivan yang hanya sekedar kenal saja meski telah menjadi temen kuliahku selama 4 tahun.
“Gokil mau apa kamu nanya tentang Elsa, apa mau booking. Ah kamu belajar saja yang rajin, biar jadi menteri”
“Nggak gitu Van, Elsa kan orangnya baikan sama aku, aku hanya kasihan, dia sekarang jarang aktif di kampus”
“Eh Rudi, kalau kamu kasihan sama Elsa, kamu nggak bakal mampu dekat dengannya, lagian Elsa nggak pernah tuh crita tentang kamu”
“Jelas dia nggak bakalan crita tentang aku, karena aku sama dia nggak ada apa-apa”
“Ya udah, kalau nggak ada apa-apa, ngapain kamu kasihan dan pake tanya-tanya segala !”
“Jangan gitu Van, aku memang anak katro, bukan gedongan kaya kamu, tapi aku juga temen Elsa, aku berhak tahu, karena dia dulu di semester satu dan dua, satu kelompok belajar sama aku. Toh dia nggak nolak buatin tugas-tugas dosen, bahkan dia yang sering nolong aku”
“Terus kamu mau nanyain apa?”
“Cuma sekarang dia kok jarang di kampus, ada apa? “
“Kamu kangen ya, udah deh nggak bakalan kamu bisa ndapetin dia, Tanya saja langsung sama Elsa, habis perkara !”
“Ya udahlah Van, terserah kamu mau ngomong apa”
“Ya udah sana pergi,”

Pantas saja Elsa terasa bukan Elsa yang dulu, karena gaul dengan cowok gedongan yang angkuh. Mudah-mudahan aku bisa merubahnya dan menyadarkan, karena Elsapun bisa menjadi Elsa yang baik seperti dulu, bila ada cowok yang mampu menjadi curhat hatinya. Aku semakin yakin kalau aku bakal meruntuhkan kebinalan hatinya. Toh aku tidak lama lagi lulus dari kampus ini, sementara Elsa masih memiliki mata kuliah yang belum lulus, semoga waktu yang sempit ini bisa aku manfaatkan untuk mengembalikan Elsa yang ingin aku miliki, demikian kata hatiku terus saja membara di tengah jantung hatiku.

Sore hari Jakarta diguyur gerimis sejak pagi, maka tak biasanya kota besar ini menjadi agak lengang. Mungkin sebagian besar warganya memilihj untuk tinggal di rumah ketimbang menghabiskan hari Minggu harus menembus dinginya gerimis ini. Hanya aku saja yang memang memiliki tekad untuk meluncur ke tempat kos Elsa, semoga saja dia belum mudik ke Bandung.

Pintu kamarnya belum tertutup rapat, sehingga aku tidak repot repot untuk mengetuknya, sementara dari dalam kamarnya aku dengar senandung kecil yang dinyanyikan Elsa sempat membuat aku tak kuasa melangkah lebih dekat lagi kea rah pintu kamarnya. Beruntung Elsa telah mengetahui kedatanganku, Elsa menyambutnya dengan roman muka kaget dan masam, lantaran hanya aku yang datang. Pipinya memerah, sorot matanya tidak berani lagi memandangiku. Hanya sebuah ucapan kecil saja yang dia ucapkan, yang menyuruhku duduk di ruang tamu.

“Kamu nggak mudik, Rud”
“Ah enggak, aku mau nyiapin ujian srkipsi minggu depan “
“Selamat ya Rud, kamu hampir lulus, moga-moga aja berhasil”
“Ya harapan ortuku di kampung kaya gitu”
“Kok kaya dikejar hantu aja, kamu hujan- hujan gini meluncur ke sini, Rud”
“Kamu masih nyimpen file tugas kelompok kita yang dulu enggak, Els!, aku lupa naruh dimana. Lu kan dulu rajin ngeprint. Kalau bisa aku pinjam filenya”
“Nggak tahu di mana Rud, aku nggak pernah lagi punya file-file kaya gitu”
“Di komputermu ?”
“Entah Rud, aku jarang buka laptopku?”
“Tapi ada kan?, coba kamu buka ?”
“Nggak tahu tuh, Rina,,dah beberapa bulan ini pinjem laptopku, coba dong di laptopmu ?”
“Aku nggak punya laptop, aku pinjam kampus kalau butuh computer?”
“Maafin ya Rud, kamu jauh-jauh ke sini nggak bawa hasil”
“Kamu nggak punya salah kok Els, aku masih punya buku di rumah”
“Oh ya kamu mau minum apa?”
“Kok repo-repot , nggak usahlah aku cuma sebentar, Kamu masih baikan sama aku ya Els, kok kamu jarang datang ke kampus lagi”
“Nggak tahu tuh Rud, aku sekarang malas untuk kuliah”
“Ah kamu bohong sama aku, aku yakin lantaran kamu sekarang banyak bergaul dengan temen-temen gedongan yang norak itu, kan ?”
“Apa aku salah bergaul dengan mereka Rud”
“Kamu udah tahu jawabanmu dari dalam hatimu sendiri, maafin aku Els, aku nggak mau nyampuri privasimu, tapi aku cuma kasihan melihatmu”
“Emangnya ada apa denganku, Rud !, aku baik baik saja kok Rud”

“Ya sukurlah kalau kamu baik-baik saja, makanya paling tidak kamu bisa wisuda bareng aku, kalau kamu serius belajar. Aku Cuma menyayangkan lho Els, dulu kamu satu kelompok belajar denganku. Di perpustakaan kamu paling aktif, sampai nilaimu lebih baik dari aku. Aku mengakui kamu lebih segalanya dibanding temen cewek lainnya, tapi sekarang kamu kedodoran. Maafin aku ya Els, ini hanya sekedar saran dari temen kamu”
“Ah nggak apa-apa Rud, aku nggak marah. Sebenarnya aku juga sering ditanya papa dan mama, kapan aku wisuda, tapi karena aku punya kesibukan lain”
“Yah orang memang punya kesibukan sendiri-sendiri Els, aku juga nggak nyalahin sama kamu. Udahlah Els, aku tak pulang dulu”
“Kamu punya acara penting kok buru-buru !”
“Nggak,, aku Cuma mau pinjam tugas kita yang dulu dan aku Cuma pengin nulung kamu, kalau bisa kita wisuda bareng sama seperti kita dulu d perpus aktif bareng”
“Ya tunggu sebentar to Rud, aku pengin curhat sama kamu, siapa lagi temenku yang peduli sama aku”
“Tapi kamu banyak acara kan?”
“Ya banyak”
“Itulah yang aku takuti Els, aku takut ngganggu acara kamu”
“Kamu mau kan ngantar aku jalan jalan hari ini ke mana aja. Please Rud !”
“Aku nggak bawa kendaraan, Els, aku naik bis kota tadi “
“Pakai motor aku aja, kita pergi entah kemana terserah kamu aja”
“Kok tumben, apa something wrong Els”
“Yah begitulah, Rud. Aku mulai panik, temen-temenku udah mau wisuda, padahal, kreditku masih banyak yang belum aku selesaikan”
“Nah itu baru Elsa, yooo kita berangkat”
Aku cuma menuruti selera Elsa saja kala dia minta kita ngobrol di rumah makan khusus bakso kesukaan dia, tempatnya sungguh romantis. Cocok buat curhat si Kembang Wangi tambatan hatiku, yang selama ini aku hanya bertemu dengan Elsa di episode mimpi hidupku.
Aku tahu pasti, bahwa Elsa adalah bunga layu, yang telah direguk sari madunya oleh banyak kumbang liar. Namun Elsa tetap elsa, aku tidak perduli apapun keadaanya. Karena dia juga manusia, toh yang penting dia mau menyadari masa lalunya dan masih memiliki niatan yang baik untuk menggapai masa depan dia entah dengan siapa dia melangkah.

Sepatah demi sepatah kata curhat dari mulut Elsa mengalir bagitu saja, tapi aku sama sekali tidak mendengarkan, karena aku tahu semua sebelumnya, dan menyadari semua penderitaan hatinya. Hanyalah harapan yang begitu besar untuk memiliki yang membuat Elsa tanpa sedikitpun noda di depanku.

“Mungkin saja kamu muak mendengar curhatku,,,atau kamu telah mendengar tentang aku dari temen temen kampus, Rud”
“Nggak tahu Elsa, bagiku kamu curhat apa nggak itu sama aja”
“Maksu kamu”
“Kamu masih tetap Elsa yang dulu, temenku yang sering nulungku, kamu sering ngeprinkan tugas untuk aku dan banyak kebaikan lainnya, karena aku nggak punya computer, karena aku mahasiswa dekil dari udik yang nggak punya apa-apa, kamulah yang paling tahu keadaan ini. Sekarang kalau kamu seperti ini, akupun tidak memandang lain tentang kamu”

“Ah yang bener aja Rud, jarang aku temui pria seprtimu, aku kehilangan kau Rud, kalau kau wisuda dan kembali ke Purwokerto “ Elsa menyampaikan kepediahan hatinya sembari bergayut di pundaku.
“Tapi masih ada yang kurang Els”
“Apa itu Rud”
“Kamu nggak bisa aku miliki, nggak mungkin kamu mau dengan cowok dekil kaya gini”
Elsapun hanya meredupkan matanya, wajahnya disodorkan di hadapakanku, dan sebuah ciuman kecil aku dapatkan. Mesti selintas namun berarti bagiku, inilah Elsa yang bertahun aku dambakan. Aku bisikan ke telinganya “ Els, aku sayang….Belum sempat aku selesaikan, Elsapun membalasnya dengan ciuman yang lebih bergairah.

Kamis, 12 Agustus 2010

BOULEVARD CINTA Di Batas Kota

Puspa prasasti aji
Mestinya aku biarkan saja semua yang menimpaku berlalu begitu saja, tanpa singgah barang sedikitpun di sudut hati. Sehingga jadilah aku manusia yang terbang bebas kesana kemari, sebebas angin kemarau menerjang siapa saja yang dihadapannya. Bahkan tak akan kulepaskan sayap ini hingga kudapatkan penggantimu. Tanpa adanya sedikitpun bayang Angelina yang selalu saja mencuri hatiku. Apalagi kini sebuah penantian memagutku tak berdaya. 

Aku sendiri tak menyadari, bila Angelina selalu saja bersembunyi di balik kekagumanku. Hingga sebuah kenyataan yang ada didepanku terasa sungguh sulit kuterima. Masih saja ada tatapan harap yang selalu membentur semunya batas pandang. Angelinapun pergi entah kemana. Lantas apa yang dia miliki dalam hatinya, apakah hanya bunga sedap malam, ataukah aku yang dungu , yang hanya mampu terbujur di keputusasaan.

Tahun pertama sebuah perpisahan terasa belum seberapa lama, sebuah kado ultah Angelina yang ke 23 pun sempat aku beli dan kuterbangkan hingga ke Ujung Pandang menyusuri kenangan bersama dia, kala dia mengajaku berliburan di rumah Tante Rosa. Kembali aku merasakan kedua kakipun terasa telah terjerambab ke dasar bumi, kala Tante Rosa mengabari bahwa Angelina telah pindah ke Sidney , merengkuh bahagia bersama pria bule.

Tapi memang dialah Angelina, yang memang pantas menerima kebahagiaan seperti itu.Menapaki maghligai bahagia dengan pria yang mampu membahagiakan dia segalanya. Semoga saja Angelina mampu memiliki dunia ini dengan segala kekurangannya. Atau kekurangan apapun yang dia terima, mampu disikapi dengan kelapangan hatinya yang seluas dunia.

Moga saja Tom suaminya mau menerima Angelina apa adanya, menerima sesuatu yang dimiliki Angelina dengan segala kekurangannya, dibalik kecantikanya. Karena hanya aku saja yang selama ini mampu menerima kekurangan Angelina, karena sebuah janji sempat aku torehkan didepanya dengan saksi air matanya yang membasahi bahuku. Kala dia menerima hasil diagnose dokter yang menemukan adanya kanker ganas yang bersemayam di organ dalamnya.

“Marcell, aku harus mengucapkan selamat tinggal untukmu”. Kalimat darinya masih saja menghuni telingaku, meski telah satu tahun lamanya.
“Tenanglah dulu, Lia !. Jangan berkata kaya gitu”

“Aku harus ngomong gimana, bacalah hasil lab PA ini. Oh Tuhan kenapa begini !”
Sebuah pelukan lebih hangat dan rapat membuat akupun tidak ingin kehilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.

‘Oh Marcell, bagaimana ini ?”
sekar kusuma aji
“Kamu harus bersabar Lia, tentu saja yang mampu menyembuhkan adalah ketegaran kamu sendiri “. Dadaku terasa sesak saat Angelina menumpahkan kesedihan dan kegetiran hatinya dengan memeluku erat. Sementara seluruh tubuhnya tergoncang, lantaran Angelina belum mampu menerima kenyataan ini. Sekarang telah lima tahun berselang, aku telah berusaha menambatkan bahtera hidupku dengan gadis pilihanku yang mampu menyirnakan bayang kehadiran Angelina, namun selalu kandas dan berakhir dengan perpisahan. Selalu saja kekelaman aku dapatkan sama seperti yangh ditorehkan Angelina. 

Memang tak semestinya aku terus ditelikung bayang Angelina, aku laki laki yang sudah sepantasnya menggenggam dunia dengan ketegaran hati dan kekokohan langkah. Hari demi hari baying Angelinapun tertinggal jauh, Sebuah langkah percaya diri dan gentle kembali aku dapatkan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.

Hingga datanglah Rully, yang membuatku kembali lagi terbangun setelah lima tahun mengalami mimpi buruk terpasung Angelina. Sebuah rumah mungil di pinggir Kota Semarang telah menjadi saksi bahwa bahtera yang aku miliki telah menambatkan diri di tepi pelabuhan hati Rulli. Berbagai suka dan dukapun menjadi saling berbagi. Layaknya saling bergantinya temaram senja dan fajar di ufuk timur. Meski kebahagiaan Rully dan aku belum lengkap tanpa kehadiran seorang putrapun.

Rullylah yang paling merasakan kekurangan ini. Begitu besar kerinduan dirinya akan kehadiran seorang putra. Bahkan kerinduan ini semakin lama semakin menggrogoti hatinya. Hingga pada akhirnya diapun meminta sebuah perpisahan. Mungkin saja Tuhan berkenan menciptakan hambanya yang memang sanggup menerima cobaan yang tiada kunjung reda. Disaat sisa umurku yang menipis sebuah perpisahanpun masih saja melekat dalam hidupku. Namun sebuah kodratlah yang menginginkan perpisahan ini, karena merawat benih dalam kandungan, melahirkan dan mengasuh anak hingga dewasa adalah dambaan tiap wanita. Akupun melepas kepergian Rully dengan sebuah keinginan agar hatiku mampu setegar karang dilautan.

Rumah mungil di batas kota itupun kini lengang, berisi sebuah episode tentang sketsa hidup seorang manusia, yang berdinding putih kelabu, beratap asa yang tiada bertepi dan berlantai sebuah kekokohan yang terukir selangkah demi selangkah. Namun biarlah rumah mungil di batas kota ini nantinya aku harapkan masih bisa menjadi saksi perpisahan diriku dengan dunia yang penuh kepalsuan. Entah sam[pai kapan waktunya.