Minggu, 28 Oktober 2012

Amelia


Hari hari bagi Amelia adalahhari dalam kehidupanya. yang tak perna dihiasi dengan hasratmelangkah surut dalam hal apapun. Bagaikan angin kemarau yang melesat tak bisa dibendung sepanjang garis titian hidupnya, yang penuh dengan kesahajaan dan kegigihan bersama dengan bapa dan emaknya dalam mengayuh biduk kehidupan mereka. Meski Amelia dan keluarganya, hanya bersandar pada biduk yang lapuk dengan layar yang bertebar sayatan koyak, lantaran tertikam ganas dan kejinya kehidupan ini.


Amelia tumbuh menjadi remaja yang lebih sahaja dibanding   ABG lainnya di sekolah tempat dia serius menuntut ilmu. Amelia tidak pernah mengenal manis manja dan ceria seperti anak pejabat atau saudagar kaya dengan rengkuhan materi yang berkecukupan. Sehingga mereka seperti kupu kupu kertas warna warni,yang lepas bebas terbang ke tiap penjuru langit, saat hujan menghadang mereka, maka luruhlah kedua sayap yang tak seberapa kokohnya.

Padahal Amelia saat fajar merekah, dia sudah sibuk membantu emaknya untuk belanja sayur ke pasar pagi, untuk sekedar menyambung separo nafasnya. Dia rela bergumul dengan kabut pagi yang dingin, debu pasar yang berceria ditiup angin gunung atau peluh emak emak tua yang berebut mendapatkan sayur sayuran yang masih segar. Meski kadang disertai rasa kantuk,  lantara Amelia sering sampai larut malam membantu emaknya di warung nasi depan rumahnya. Sementara adik adiknya sudah mendengkur menguntai mimpi indah,tak peduli emak dan kakak sulungnya, mengais sesuap dua suap nafkah. 

Itulah Amelia, dia harus menikam bisu hari hari indahnya sebagai ABG yang sebenarnya berwajah cantik, berkulit kuning. Apalagi bila dia berdandan seperti ABG lainnya,bercelana jeans ketat, kaos T shirt yang keren dan asesoris gaul lainnya.Maka tampaklah selibritis yang siap bercasting di depan kamera tv swasta, setiap liuk tubuhnya yang sintal menggeliat seperti ular kobra, maka sorot mata cowok cowok jalangpun akan terus membidiknya. Maka wajar saja,  bila setiap sekolahnya mengadakan perhelatan seni Amelia selalu menjadi bidikan sokib sokibnya untuk mencurahkan multitalentanya. Meski dengan sorot matanya yang  sedingin salju lantaran kehidupanya yang mengalami keterpurukan, kadang kadang juga liar dan tajam pertanda dari dalam dirinya terpendam potensi sebagai ABG multitalenta.

***
“Kau tidak pernah sedikitpun memberi aku harapan,Amel ?” bisik Rudy yang sedari pagi terus menempel Amelia, yang berpakaian seragam sudah agak kusam, karena lamaAmelia  tidak mampu membeli yang baru. Amelia hanya tersenyum tipis dan tetap saja dia menyimpan salju di kedua sorot matanya. Rudypun terus saja hingga hari ini masih menyimpan sejuta penasaran, andaikan cewek ini mampu berbinar seperti ABG lainnya yang ceria, maka tidak ada perbedaan antara selebritis dengan Amelia seberkas benangpun. Namun Amelia hanya “keeping silent”, tanpa memandang serius apa yang selalu dia curahkan kepada dia.
“Kau tak keberatan kan ?,bila aku selalu memintamu untuk menjawab ?”

“Rudy ?, apa sih beratnya menjawab apa yang kamu pinta !. Tapi Rud !, aku bukan cewek seperti itu.Kehidupanku dan emak memang lagi terpuruk, bapak jarang pulang karena banyak mengejar borongan di Jakarta, aku nggak bisa sekolah dan berpacaran seperti cewek lainnya. Maafkan aku Rud !” Amelia tetap saja menyedot es jeruknya di kantin, di tengah klasmeeting sehabis UTS.Kedua sorot matanya,hanya asik menelisik larinya air jeruk yang turun naik sepanjang sedotan. Namun justru Rudi semakin dibuat ngap ngapan dengan ulah dingin “The Ice Girl”, yang terbujur bisu di depannya.

“Tapi kau kan jomblo,Amel ?”
“Ya, tepatnya The Silent Jomblo !, tapi itulah aku Rud !, aku nggak peduli. Aku nggak mau setiap sokibku ikut larut dalam penderitaanku. Aku terbiasa hidup gigih di tengah turun naiknya kehidupanku. Aku dhdapkan dengan bagaimana aku dapat membantu emak dan bapaku yang setengah mati menggayutkan hidup ini. Kau tidak biasa dengan keadaan seperti ini,kan Rud !. Kasihanilah diri kamu sendiri, Ru!” hanya sekali ini dia mendengar suara Amelia yang nyaring, dengan mata yang datar namun siap menundukan hati siapa saja yang ada di depanya.
Rudipun hanya sekilas menguliti perjalanan hidupnya, yang diseputari materi yang berlimpah. Mobil hiam mulus dari negeri Eropa selalu mengantarkan dia kemanapun pergi, doku yang diberikan mama papanya selau ludes untuk terbang dari cakrawala manja tawa satu ke lainnya. Apapun mampu dia beli, namun membeli sberkas cinta dari Amelia, ternyata dia tidak mampu sama sekali.
“Aku siap menerimamu apa adanya !”

“Jangan konyol, Rud !, kamu tidak akan mampu berbuat apapun menghadapi peliknya hidup ini. Kau hanya menuruti emosi hati  saja. Sudahlah Rud !, apa salahnya sih !, kalau kita hanya berteman saja !, piss !” kali ini sebuah senyuman tipis menghiasi wajah putih alami Amelia.

Tapi bagi Rudy sebuah sayatan luka dihatinya mulai terasa pedih. Tidak ada satupun tebing yang kokoh yang mampu dijadikan curahan hatinya. Mama papanya apalagi, mereka hanya sibuk memutarkan bermilyar milyar uangnya demi sebuah kehidupan sang pemuja harta yang glamour. Sokib sokib yang selalu memusarinyapun tak akan mampu mencarikan kiat untuk bisa mendapatkan ABG yang cantik, flamboyan dan sahaja ini. Ruypun hanya mampu menyobek selembar kertas dari bukunya untuk sekedar menuangkan gejolak hatinya yang sedang dijauhi dewi asmara. Hanya itu yang mampu diperbuat Rudy, sementara Amelia hanya asik mencari uang recehan yang tersebar di kantong bajunya, untuk membayar es jeruknya itu.

“Amel!, bacalah puisiku !, inilah gambaran hatiku, “

Amelia
mampukah kau sejenak melepas....
tiap bilah guratan pedih yang menikam halaman hatimu
lantas kau ulurkan kelopak mawar menembus batas langit
dengan warna merah jingga,
akupun mampu membentangkan rindu,
kau mlempar senyum yang mampu meuntuhkan
puncak Mount Everest
kita bermandi di buih putih laut biru
aku dalam tabir cinta,
kau bersamaku menghitung hari....Rudy

“Apa artinya ini semua Rud ?” geliat tubuh Amelia, yang tadinya terbujur bisu kini nampak saat kedua tanganya membaca puisi Rudy, namun sorot mata The Silent Jomblo masih saja sedingin es.
“Sebuah penantian, Amel !, tetang kau, tentang isi hati ini” Tangan kanan Rudy terus saja menempel pada dadanya sendiri.
“So sorry !, Rud, puisimu tak berarti apa apa bagiku, maafkan aku ya Rud !”
***
“Bapak  !”
“Amel, anaku !” sebuah pelukan luapan kangen antara bapak dan putri sulungnya mengharukan pertemuan mereka di tengah malam, saat bapak Amelia tiba kembali di tengah mereka setelah 6 bulan mereka berpisah. Demikian sibuknya hingga Sanoso si tukang batu baru bisa kembali dari Jakarta. Lelaki setengah baya itu, sudah kelihatan tua dibanding dengan umurnya, lantaran dia hanya sebagai pekerja kasar yang memaksakan diri demi menghidupi anak istrinya.

“Bapak !, Amel minta bapak tidak usah ke Jakarta lagi. Warung kita sudah mampu menghidupi kita semua”
“Tapi kamu harus kuliah, Amel !,kamu harus bisa maju, tidak harus terus menerus di warung”
“Itu gampang, pak !, yang penting kita bisa berkumpul lagi, itu sudah cukup bagi Amel “
“Tapi, siapa pacar kamu, Amel ?”

“Amel belum memikirkan itu, Pak !, meskipun sudah banyak cowok yang mendekati aku “
“Jangan begitu Amel, keadaan kita ini adalah semua salah bapak !, kamu tidak boleh ikut menderita. Biarlah semua menjadi tanggung jawab bapak. Seandainya kamu mencintai pria yang kamu pilih, janganlah kau bunuh perasaanmu sendiri. Asal kamu mampu menjaga diri. Kamu kan sudah lulus SMA, kamu harus ceria sama seperti wanita lainnya “.

Amelia hanya tertunduk malu, dalam dirinya kini mulai terasa getaran aneh yang kemudian merambat ke semua sendi tulangnya. Sorot matanya kini mulai hidup, entahlah apa yang akan dilakukan oleh cewek ABG k ini***

Kamis, 11 Oktober 2012

Laki Laki Tua





Sunyi di batas kota demikian mencekamnya,  jalan yang terhampar di depanya masih menyisakan basah dari gerimis tadi malam, jejak air gerimis tadi terus saja berkawan dengan kabut dingin yang mencekam dan terus menebarkan dingin yang menggigit kulit dan tulang. Sebentar sebentar terdengar deru mobil bak terbuka yang mengangkut sayur, menerobos kabut pagi di remang jalan desa yang berkelok dan licin. 
 

Tetapi bagi lelaki tua itu,  hari hari yang bergurat apa saja tak pernah membuatnya surut kebelakang,  meski dia harus terus menyeret sebelah kakinya yang lama tertikam penyakit uzur. Dengan dibantu  bilah bambu yang menjadi kawan setianya, hari hari yang memusarinya terus saja ditundukan meski dengan tatapan mata yang penuh asa, tak peduli pada usianya, tak peduli penyakit yang merongrongnya apalagi menghadapi segenggam hidup yang mesti harus dia hadapi.

“Antarkan aku, hai sang waktu !, untuk segera  menghadap langit di ujung cakrawala !.Biarkan aku berkumpul kembali dengan istriku Suminah dan anaku-anaku di istanaMU !” , kerap kali getaran hati itu muncul di beranda jantungnya, apabila dia merasakan sebuah kerinduan yang dalam pada istri dan kedua anaknya yang terlebih dahulu meninggalkanya. Tapi bila sinar mentari mulai menyeruak lewat celah celah dinding papan rumahnya, lelaki tua itupun mulai terhenyak untuk memunguti liku hidupnya. Basuhan air dingin dari pancuran di belakang rumah selalu bisa menyegarkan tubuhnya. Diapun selalu mampu menepiskan bayang kebahagian masa lalunya yang kini sirna.

***
Hutan jati yang masih kelihatan gelap kini sudah tepat di depanya, terlihat semua pucuk  pohon jati yang tersebar berjejer di depanya masih belum semi, akibat pagutan kemarau ganas beberapa minggu kemarin. Karjo, lelaki tua itu mulai menyisir jalan tanah yang melintang di tengah hutan, sebentar sebentar dia menata kembali cangkul dan peralatan kerjanya yang dipanggulnya, nafas dari lelaki tua itu saling memburu, terengah tak beraturan. Namun lelaki yang berkawan sepi itu, terus saja mencari akar  dan tunggak jati sisa penebangan beberapa lama sebelumnya  yang terpendam ,  untuk dijadikan arang. Meski dia bisa saja menebang pohon jati yang kokoh di sekelilingnya, namun dia sama sekali tak pernah berniat melakukan pekerjaan biadab itu.

Wajahnya menyunggingkan senyum ceria, kala dia menemukan sisa batang yang agak besar setelah sekian kali dia mencangkul tanah yang basah di depanya, seketika itu  cangkulnyapun di letakan di pinggirnya dan diapun melipatkan kakinya untuk duduk beristirahat. Kala istrinya Suminah masih hidup, tanpa diminta olehnya Suminah segera menyodorkan teh hangat yang di bawanya dari rumah, terkadang bekal yang dibawanya dilengkapi pula dengan singkong rebus atau penganan dari ketan untuk sekedar mengganjal perutnya. 

Apalagi kala ke dua anaknya masih hidup, dia tidak perlu repot repot mengais sesuap nasi hingga ke tengah hutan jati. Karena Karmo, anaknya yang sulung dan Mardiyatun adiknya, tidak pernah duduk berpangku tangan mengais nafkah untuk sekedar menafkahi dia dan istrinya. Meski kedua putranya hanya menjadi seorang tukang becak dan buruh cucian di kota. Namun Karjopun berusaha sekuat tenaganya untuk melupakan masa indah dan bahagia miliknya, meski saat ini baginya hidup adalah sebuah perjuangan yang berat dan terkadang merayu dirinya sendiri untuk berputus asa dan berharap datangnya sebuah masa indah untuk berkumpul dengan keluarganya di langit susun tujuh.

Batuk batuk yang kering dan dalam terus saja menyeruak di tengah keheningan hutan jati, di saat dia lepas beristirahat dengan sebotol air dingin yang kerap kali dia reguk membasahi kerongkonganya. Di tengah keriput wajah yang agak memucat itu, seberkas fragmen kenangan memenuhi bilik hatinya, tentang kasih sayang Mardiyatun, anak sulungnya yang benar benar tulus kepadanya, meski dia belum pernah membahagiakan putrinya, bahkan mencarikan jodoh untuk putri kesayanganya itu. Namun bila lelaki tua itu tersungkur dengan demam penyakit malarianya, Mardiyatun segera memberikan pijitan  kecil di seluruh tubuhnya, membuatkan air jahe, memberikan obat anti demam dan bila perlu mengantarkan dia ke puskesmas.

Namun demam malaria yang menyerangnya beberapa hari yang lalu mebuatnya terkapar  dan tak berdaya di bilik bambunya yang sudah lapuk. Kehadiran Mardiyatun hanya dalam ilusinya saja, yang hadir di tengah demamnya yang tinggi. Untuk pergi ke dokter diapun sama sekali tidak mampu, hanya beberapa teguk air dingin saja yang menemaninya. Saat itu dia mengharap sebuah ajal menjemputnya, demi terobatinya sebuah rindu yang dalam dan menggigitnya sepanjang waktu. 

“Atun, bapak sakit ! Tolong Atun, berikan buatkan bapak air jahe dan obat, badan bapak dingin sekali “ Tak ada seberkas suarapun menjawab lengkingan darinya. Hanya gemeretak batang bambu yang menjadi dinding biliknya menjawab pertolongan dia.

“Atun, Atun..dimana kamu, bapak sudah lama tidak ketemu kamu !” berkali kali teriakan itu memenuhi biliknya, kembali lagi, tak ada satu suarapun menjawabnya.

Kini diapun terlelap dalam tidurnya, didalam tidurnya sesuatu telah membawanya bertemu dengan Suminah, Karmo dan Mardiyatun, yang kini berada di istana megah, bersanding dayang dayang dan punggawa kerajaan. Mereka berempat layaknya anak kecil yang ceria, bermain di bawah bulan purnama, saling berkejaran. 

“Bapak, pulanglah “
“Atun, bapak tidak mau pulang, bapak masih ingin bermain denganmu “
“Tidak bapak !, bapak harus pulang. Bukan disini tempat bapak !”
“Tapi Atun !, kapan kita bertemu lagi ?”

“Entahlah, pak.Atun tidak tahu. Sekarang bapak pulang saja. Besok masih ada waktu kita bertemu lagi, sekarang pulanglah !”
“Tapi berilah bapak janji, untuk ketemu kamu, abangmu dan emak !”
“Atun janji, pak !, tapi entah kapan Atun tidak tahu !”

Bayang putih  Atun, Kasmo dan istrinya kini meredup dan menghilang. Lelaki tua itupun  siuman kembali. Sebuah rasa sedih menyelimutinya. Dinding bambu biliknya kini terbujur sepi dan dingin. Keinginan berkumpul kembali dengan semua keluarganya kali ini sirna begitu saja, karena Tuhan yang Kuasa menghendaki lain, lelaki tua itu masih dikodratkan untuk menyisir hari harinya yang berat. Diapun sigap menjemputnya, dan di pagi ini diapun segera menjelajah hutan jati, untuk membuat arang kayu dan dijual ke tengkulak demi sesua nasi untuk beberapa hari ke depan.
***
Batang dan akar kayu jati yang lama terpendam di tanah dia sayat kulit luarnya hingga tinggalah batang yang bersih,  kemudian  dia bakar dengan membuat api dari  daun dan ranting jati yang berserakan di hutan jati. Setelah cukup bara api, batang dan akar yang terbakar itu dia tutup dengan tanah yang tipis. Batang dan akar yang menghangus itu dia biarkan beberapa hari di hutan jati.  

Setelah terlihat mentari condong ke barat,  lelaki tua itupun pulang untuk beristirahat di rumah selama beberapa hari, timbunan arang yang belum jadi dia tinggalkan begitu saja, entah ada  atau tidak makanan yang bisa untuk mengganjal perutnya di gubug bambunya. Sayup terdengar desiran angin pancaroba yang menerpa tubuhnya sepanjang perjalanan menuju gubug bambunya. Meski gejolak perutnya yang belum terisi makanan tidak kalah teriakanya ketimbang desir angin panvaroba.

Reman gubug bambunya, memaksanya untuk segera rebah di ranjang bambu berlapis kasur tua yang sudah mengeras, entah karena angin pancaroba yang menggigitnya atau karena kondisi tubuhnya yang sudah melemah, lelaki tua itupun tersungkur di atas kasur pengap. Seluruh tubuhnya terasa lemas,  semua sudut bilik bambunya terlihat kabur.

“Ya Tuhan, tolonglah aku !, ampunilah dosa dosa hambamu yang lemah ini !”, sepotong kalimat keluar dari bibirnya yang pecah dan keriput.
“Bapak, ada apa !”
“Atun, tolonglah bapakmu, bapak sudah tidak kuat lagi “
“Baik, pak !, rebahlah di pangkuan Atun ?”
“Atun, bapak di mana ?”
“Jangna sedih, pak !. Bapak akan Atun ajak pergi jauh menuju cakrawala di kaki langit untuk berkumpul dengan emak dan Kak Kasmo “
Wajah lelaki tua itupun berseri bahagia bersmaan dengan lepasnya nafas terakhir.

Selasa, 09 Oktober 2012

Seribu Keindahan di FaceBook-ku



aku lepas bebas...

seperti merpati putih..mencari kaki langit...
bersiul, gegap gemerisik daun sengon...
memberi tetabuhan untuk hati ini..
aku merentang sayap...satu dua lembah
meninggalkanku,

aku semakin tak peduli...
mentari merayap di bukit tanah merah...
gerims semalam...membasahi tenggorokanku
aku tambah lepas menghias senyum

di manakah Arjunaku ?...bila secawan
air tawar rindu aku berikan,
karena kaulah yang melentingkan sari ilalang
hingga tumbuh di lesung pipiku
aku mencarimu.....9 0kta 12





Baturaden

Beranda Cassanova di punggung Gunung Slamet..
dalam detik tak pernah kutahu...
menyimpan eksotis ornamen Romawi,
menyusul detik lainya, mengusung angin gunung
menikamkan sebuah yang kuduga, sepoi dan seberkas gerimis
lebih lantang..menyudutkanku ke sudut malam getir

masih ada simpul bertaut pada kabar..
tentang hati, seluruh yang naik menggapai pelangi
atau yang menusuk bumi, dalam kesah tertunduk pilu
atau roboh daun Pinus di Limpakuwus
yang berjajar menelusuri aku yang mengayuh
rindu.....

Baturaden dengan tangan tanganya merengkuhku
hingga aku surut, menerjang jalan di belakangku
yang kau kayuhkan langkah bersamaku
sedangkan jalan panjang masih di ketiak gunung itu
dipingit Raden Kamandaka di alam Dewa
aku hanya mampu menutup sebelah mata..

sedangkan sebelah mataku..
tak lebih dari rona pipi wajah Baturaden..
aku terkapar dalam rindu..
kau menerpakan angin, layar terbentang...9 Okt 12


Hujan dan seribu keindahan....
 
Hanya berteman hujan rintik semalam..
terik kemarau, bersembunyi di tirai musim...
dalam pergiliran hanya memandang..
jalan licin dan basah, mungkin menguntai beribu
kenangan...tak kupungkiri
kembali rindu pada bulan bundar bersinar ayu
seribu kudang terkadang mengencani lampu jalan...
seribu kenangan melilit dalam butir hujan
pesta kembang api alam, belum menggeliat..
biarkan sang pengantin baru
merenda mesra..
dalam dekapan kelambu biru...

hujan bertambah besar...
melempar jauh jauh daun kering..sisa kemarau
serangga malam mulai mencari pasangan
dalam cinta, yang mereka miliki
tak kenal perpisahan dan saling
menyayat hati dan luka
tak kenal cemburu, iri dengki dalam rindu
mereka hanya mampu menghitung butir hujan
di tengahnya adalah selaksa keindahan....... 8 0kt 12

Gundul...

"Gundul 2x...pancul..cul gembelengan"
"Nyunggi 2x wakul..kul...gembelengan"
"Wakul nyimpang...segane dadi sa latar"

podo gembelengan..barang wis dadi petinggi..
wusanane nyimpang...segane dadi sa latar "...muspro/sia sia ora kanggo nggawe..
mulane aja dumeh...aja sombong..aja kebangeten..
"Kolang Kaling diirisi...sopo sing Eling bakal Mukti"...

Selamat Pagi....

Indonesiaku dalam galau..
sepekat langit berkencan awan hitam
tapi kita masih punya dada yang kokoh
untuk mentautkan kembali tulang yang luruh
bersihkan duri tertanam di semak belukar
hingga semi sang beluntas di tanah retak
untuk Ibu Pertiwi yang tlah bermuram sembab...

mana tulang dagingmu
yang dibasuh para penghuni Indraloka
dari Borneo, Papua, Cellebes hingga Andalas
selamat pagi Indonesiaku....

lengang...              

tak mesti melekang...kan usai sudah..
jalanan panjang...mengekang
dan mengungkung aku... menepis terang...
gemintang bintang...masih telanjang
dalam haru biru hari yang mengekang

kasihku, aku melenting...
dalam buaian kata sayang
aku menjadi perawan yang riang
tak ada sorot mata garang

aku...sayang...(saat lebay di sabtu pagi, 6 okta 2012)


Minggu, 07 Oktober 2012

Puisi dan Facebooku



Kau tak segan...
sedu sedan...lantaran
aku tak mampu membelikan sedan...
aku hanya mampu membelikan dakocan..
meski, kau seharum daun pandan..
masihkah di malam jalang kita berkencan ?
dalam suka cita rumah papan..
kita menukilkan sebuah roman
bukan lagu lagu kesukaan setan..

akulah satu yang kau sebut si jantan
bukan dalam sajian sorotmu arogan
hingga semua tinggal serpihan
dalam rumah kaca berkemas kesombongan
hingga kau merasa dalam beban

7 Okt 12

Usai...
tak ada yang bertaut...
hanya serpihan..bahkan luka yang terrsayat...
saat melati ku tanam di semai cinta..
tapi kau ganti dengan kerontang
hari hari panjang...
ku tunggu nyanyi rindu sejak..
sang perahu menebar angin..
buih pantai terhenyak tak percaya...

aku habiskan isi hati
kau tersungging dalam senyum
yang asing bagiku...

Ku tunggu babak "Arjuna dan Supraba"...
yang ada hanya lakon ilalang lekang
sepanjang padang gersang,
usai sudah...
apa apa yang harus usai....7 Okt 12
 

RANDUGUNTING...

hamparan bumi, saat pertama
langit mengabari, tentang aku
yang lahir dari IBUNDA..suci
dalam belaian dan buaian halus lembut
berlapis beludru biru
aku tumbuh...sebagai laki laki
pemilik Taman Bunga milku sendiri

aku rindu...dalam ikatan
manis manja penuh selaksa tawa
mampukah pintaku membalikan pusaran bumi...?

sehingga, aku menjadi anak kecil
bertelanjang dada di bawah "padang Bulan"
di tanah lapang, berjkejaran...
dengan teman teman kecilku
memainkan sandiwara bertabuh pelepah pisang
aku rindu...7 Okt 12
 
Petualang
aku berpetualang....
menyelipkan diriku sendiri pada
belalang dan padang gersang, menghitung musim..
di hari ini aku kembali, menerpakan angin
menjenguk buku nasib..adakah diriku ?
yang mampu menjulangkan istanaku sendiri
di singasana cakrawala hidup

aku sendiri...tiada besepadu
dengan anyaman beluntas yang tergelar
berjajar di jalan lengang hidupku

bilakah...aku tiada kau sertakan
maka aku akan berkelebat menjaring
putus asa, meratap angan...
namun, kau tetap disisiku..menjalin keluh
padaNYA....kita menjadi kecil
di Samudra KebesaranNYA

DIA lah yang memiliki sketsa guratan kita
diriku dan kau, beribu angan menjulang...7 Okta 12
 
Cinta Seminggu
malam minggu,dia menunggu
malam senin, dia mengkhayal jadi pengantin
malam selasa, aku pegang realita
malam rabu, aku tak keburu
malam kamis. selalu optimis
malam jum'at, jangan berpikir sesaat
malam sabtu,...kita berpadu
6 Okt 12

Sayang.....

lengang...
tak mesti melekang...kan usai sudah..
jalanan panjang...mengekang
dan mengungkung aku... menepis terang...
gemintang bintang...masih telanjang
dalam haru biru hari yang mengekang

kasihku, aku melenting...
dalam buaian kata sayang
aku menjadi perawan yang riang
tak ada sorot mata garang

aku...sayang...(saat lebay di sabtu pagi, 6 okta 2012)