nyanyi kelu dari
lidah yang binal menyunting hari ...
peluh turut
melepaskan benak otaknya,
berkalang
ilalang, roda terbungkus karet kumal telah mengelupas
aspal jalan yang
mengelupas menusuk tajam
sederetan
onak semak dan paku
menjadi semakin
berani mendenguskan nafasnya
si abang tidak
kemana...
hanya dereten
kabut sutra merajamnya dalam dalam
si abang ingin
membungkusnya dalam kado hidup
untuk beberapa anak anaknya yang legam kulitnya
dan redup
matanya...mirip lampu jalan
di tengah
gerimis senja
“aku tak akan
usai dalam nyanyi putih bersih”
jalan aspal
masih merentang menelan bulat bulat roda becaknya
akan ada nyanyi
dari ujung langit....
diapun
menelantarkan roda roda berkarat merah coklat
(Semarang, 30 Agustus 2012)
simpang jalan
rumput hijau
berkalang senyum...
merambahkan laku
durjana , hijau mengusam
rembulan tak
berniat lagi berkemas dalam rambut sutra
matahari
menelantarkan dalam bara membara,
persimpangan
jalan telah gaduh mengaduh
debu, kerikil,
pekik dan umpatan menjadi ornamen dinding
deru liar menusuk kornea mata
nanar tak
sejengkal pohon sejuk meredup
di pinggiran
jalan kita menanti hari pengantin
disunting iba,
peduli dan asih ....(Semarang, 30 Agustus 2012)
di balik
rembulan
entah kapan
rembulan membalikan punggungnya
mungkin kala si
emak membenah panganan
di meja pasar berlantai kumuh dan pecah
dalam usungan
rapi, tanpa perhelatan lalat dan tikus
bulan belum
menampakan bundar dan api jingganya
saat si lengan
kecil terhempas “kereta reformasi”
berdebu pengap,
roda roda
besinya tajam menyeruakan tangis pilu
kita hanya
terpingit senja
gurita jaman
yang “nggegirisi” lebih kentara tajam
di cakrawala
bukit
kita dalam
perahu samar menjadi saksi
(Semarang,
30 Agustus 2012)
Sketsa
sketsa di atas
beludru biru...
tak mungkin hilang
walau telah
merapuh tersayat
belati jarum
detik...
mari kita hitung
warna warni sketsa..
dalam adonan
gemulai hulubalang negri
sketsa
bergambar gincu bibir perawan desa
kita
tunggu...hingga musim panen menjenguknya
(Semarang,
30 Agustus 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar