Sabtu, 24 November 2012
Jumat, 23 November 2012
Uzur
Dahulu
kau tergambar kekar di langit biru, selaksa hari telah menepi tertusuk detik
demi detik saat bercengkerama dengan gagah beraninya kau menghamburlan semburat
warna jingga dewi asmara. Lalang kunang malam, tergelincir ke tengah adonan
yang kau tuangkan dalam gelas manis tertoreh kata rindu.
Kini dalah hunian padang terbentang saat kau menyudahi lantang bintang gemintang, berganti rembulan bernyanyi parau, di bibir senja yang kau hardik dengan kerlingan mata yang mulai kabur.
Detik tak harus melangkah surut.....
sayap merpati di balik cakrawala senja menantimu.....
adakah yang mampu kau kemasi dalam bekal....
padang lengang bertabir putih....
saat kau bicara kepada kedua kaki dan tanganmu
adakah kau jinjing kelopak bunga ranum
untuk wewangi bocah kecil bertatap sendu
ataukah kau jinjing isarat tentang sorot mata malaikat yang garang menusuk tulang igamu, saat kau menyemai sari bunga lelayu lantas kau sudahi dengan hempasan debu debu yang mampu mengeringkan kebub bunga.
Kau akan mencari harimu sendiri
rembulanpun takan pernah nampak lagi...
lelaki tua yang uzur hanya mampu menguliti diri sendiri
lebih baik kau tawan seribu lidah basah
agar tenggorokan lebih longgar menghela nafas
benak dadamu leluasa menyimpan kain sutra halus
milik Sang Kuasa Penunggu Langit Tujuh Susunan...
uzur kini menikam jantungmu.....
(Semarang, 23 November 12)
Selasa, 06 November 2012
Aku Tetap Putra Indonesia
anjing
NICA mampu bertekuk lutut, terbungkam howitzer
dan
cocor merah yang melipat sayapnya, terbang menyelinap di awan
mengadu
kepada tabir langit, tentang gemetar tubuhnya...
ditelikung
bambu runcing rona merona
persetan
dengan petinggi berbaju perlente, bergaris eksotis
mengaburkan
pandang “Si Kecil “ mengais hari,
berselingkuh nasib
di
rumah kardus dengan nasi basi mengganjal perutnya
tanpa
upeti dermawan yang menjinjing peduli dan tangan halus
meski
legam tenggorokanya tertusuk panasnya nasib
bukan
hangus lantaran uang korupsi
persetan
dengan itu semua,
aku
putra tanah ini, aku menepis jauh jauh apa yang meluruhkan
sayap
sayapku yang mungil
tanpa
korupsi, akupun tegak membidik hari hariku
pergilah
jauh para koruptor dan penerima upeti
biarkan
kau terhempas atmosfer bernafas berang...hingga kau
hinggap
di tepian kubangan hitam kelam
jangan
kau menyanyikan lagi lagu rindu membiru
yang
menggeleparkan tiap nafas si kecil, berbaju kusam
biarkan
aku memberikanmu kado persetan bercampur ludahku...
agar
kau tertunduk malu dan menyunting hari harimu
di
jeruji besi, atau terbanglah ke sisi yang damai
bersama
para bidadari penghuni tanah yang nyaman
agar
kau tak lagi berkata dusta, karena telah terpotong ludahmu
sendiri......
pernahkah
kau sejenak menyusun prosa...?
berisi
bait tentang pengemis dan abang becak yang beroda aus
lantaran
menggigit jalan jalan kota berlobang yang kau
sayat
dengan durjanamu yang kelam dan sumbang...
atau
pengemis terkapar di bawah baliho di sudut kota
memeluk
perutnya sendiri, yang kosong
perut
yang menerbangkan protes jaman , tentang uang negara
yang
kau sajikan dalam adonan gula gula hedonisme
aku
isaratkan pada tanaman perdu, beluntas dan palma
di
halaman rumah bambuku, disaksikan melati
dan kenanga
tentang
dengus nafasku sendiri yang tak
berujung,
tentang
ini semua, tentang saudara saudaraku yang mengepalkan tangan
untuk
sebuah ketidakmengertian,
untuk
sebuah gegap gempita yang membuat
terjaganya
anak anak kita sendiri dari tidur siangnya...
lantaran
aroma mesiu persis kembang api
di
malam tahun baru, serta desingan batu batu jalanan
yang
kau terbangkan dengan gelora di hati
gemetar tubuhmu sendiri
mentari
masih bangkit dari Bumi Papua
hingga
terbenam di Serambi Aceh
melewati
Pegunungan Kidul yang membelah Pulau Jawa...
Negeri
Archipelago tak harus melinangkan air mata
tak
harus renggang bergandeng tangan saat penganten baru
duduk
di singasana berornamen kembang setaman
Semarang, November 2012
Senin, 05 November 2012
Demi Anak Kita
Seperti meniti tali yang terbentang dan dipenuhi duri tajam yang tak berujung dan harus dilalui. Sedangkan tautan kedua ujung tali itu. tak begitu kokoh bertambat dengan puncak tebing yang menghimpit tubuh Rakian dengan kokohnya. Namun Rakian harus terus menitinya. Entah sudah berapa kali Rakian melewatinya, entah ujung yang mana yang sudah dijamahnya. Sementara di sebelah kanan kiri tali itu, jurang menganga siap menyantap tubuhnya. Gentarpun harus disimpanya kuat kuat dalam lubuk hatinya. Apalagi rasa pasrah dan tertunduk lesu, dia buang jauh jauh hingga tak tampak lagi lakon hidup yang menyesakan dada.
Sesekali lakon hidup yang dilalui
terasa sangat menusuk jantungnya, sesekali pula timbul dalam hatinya, perasaan
pantang surut ke belakang demi Ardian dan Elly dua bocah laki laki dan
perempuan, sebagai buah hati perkawinan
dengan Russ Kania selama beberapa tahun.
Perkawinan yang sangat menjadi dambaan Rakian, sejak dia dan Russ benar benar
bertaut dalam pelukan mesra. Hingga lahirlah Ardian 4 tahun sesudah dia mulai
mengarungi bahtera sebagai suami dan
Elly 8 tahun kemudian. Tak ada sisi
gelap satupun dalam hidup yang berkelambu kemesraan dan kesetiaan yang pernah menusuk dalam dalam jantungnya di masa
lalu.
Masa masa indah mengawali kehidupan
mereka, meski dia hanya tenaga cleaning servis di perusahaan konsultan
konstruksi dan interior design yang cukup beken di kotanya. Saat itu bagi
Rakian, adalah yang hanya mampu diperbuat olehnya, yang hanya berijazah SMA. Peluh
dan sesekali kesah menjadi bagian
kesehariannya dalam hidup yang dimiliki, sedangkan bergulirnya jarum detik
terus memburunya, semakin lama detik itu menggigitnya dan semakin pula dia merasa
tersudut. Meskipun dengan jerih payahnya dia mampu membelikan Russ rumah mungil
di sudut kota, yang masih sepi dari taburan eksotis kota yang begitu liarnya.
Russ istrinya yang bergaya
selebritis muda, hanya menampakan wajah wajah gelapnya selama menempati rumah
mungil, berdinding batako dan beratap asbes. Bergaul dengan tetangga tetangga
yang dipandang Russ hanya sebagai masyarakat kelas bawahan, yang norak dan tak
berkelas. Sedangkan Russ selalu bergincu bibir mirip artis sinetron muda yang
kontraknya mencapai milyaran rupiah. Di bawah asbes yang sudah mulai rapuh dan berdebu
inilah Russ selalu menuntut Rakian demi sebuah hidup bergaya selebritis.
Rakian hanya tertunduk lesu bila
seharian Russ memberondongkan umpatan, tentang ketidakmampuan Rakian dalam
menuruti kemauan sang selebritis tinggi hati itu. Kedua anaknyapun seharian itu
pula menempel dan menggayutkan pada tubuhnya. Sama sekali rasa kasih sayang
pada kedua putranya tidak luntur sedikitpun, meski dia sering tersudut oleh impian
dan khayalan istrinya. Dengan raut muka polos dan bening mata yang indah kedua
anak anaknya tidak menghiraukan apa yang keluar dari mulut Russ ibunya,
Rakianpun sama seperti kedua anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan
serentetan tuntutan selebritis yang bagaikan sedang tidak punya order kontrakan
lagi. Meski sorot mata pria ganteng itu tidak mampu menyembunyikan perasaan
yang bercampur, pilu, marah, sedih dan bingung.
Apalagi bila Russ melihat tetangga
yang memusari dia terus saja merehab rumah mereka, dengan gaya rumah mpdern
bergaya romawi, berdinding batu alam dan berlantai keramik. Diapun bagaikan
macan lapar yang siap melahap tubuh Rakian yang tinggi. Entah iblis mana yang
merasuk dalam aliran darah Russ Kania, sehingga dia menjadi nanar matanya, tak
sehalus dan selembut saat awal awal pernikahan mereka. Russ saat itu tidak
memperdulikan dia tinggal di rumah apapun, derita yang paling menunjamkan
hatinya, diapun lega menerimanya. Tetapi kini jauh berbeda. Kelambu pengantinya
yang dulu dia sulam dari benang sutra, yang lembut dan halus, kini telah
meluruh menjadi kelambu penuh kepengapan.
_______________
“Hanya
kita saja, yang belum merehab rumah ini, Mas. Sedangkan tetangga kita sudah
berganti tembok , berdinding genteng, pakai keramik lagi lantainya. Sedangkan
kita membeli tv plat saja model sekarang tidak mampu” pagi-pagi sekali di Hari
Minggu Russ sudah memprovokasi suaminya, yang dulu dianggapnya Sang Arjuna,
yang mampu merobohkan jantung hatinya. Sementara Rakian seperti biasanya tidak
memperdulikan ocehan wanita yang sangat dicintainya, yang memberinya dia putra
dan putri, yang ganteng dan ayu mirip ibunya.
Rakian
hanya sibuk memandikan kedua putranya dengan seloroh yang lembut, penuh belaian
kasih sayang, berlainan dengan ibunya yang melipat wajahnya bagaikan nenek
lampir dari Gunung Merapi, meski sama sekali tidak terdapat guratan ketuaan di
kulit wajahnya yang putih mulus.
Namun
betapa penasaran hati Rakian pagi itu, karena tidak seperti biasanya Russ
berdandan sangat modis, dengan make up yang belum pernah dia belikan. Memakai
stelan underok yang minim dengan kaos yang ketat. Sementara rambutnya dibiarkan
terurai hingga pundaknya. Entah dari mana Russ mendapatkan sepatu yang berhak
agak tinggi, dengan warna kulit kemerahan. Kedua anaknyapun menyampaikan protes kepada Rakian bahkan
sempat memberontak menuntut untuk ikut ibunya, yang tak tahu entah kemana tujuan perginya. Namun protes
itupun menjadi surut kebelakang, setelah kedua mata ibunya yang bundar
memberikan sorot mata garang dan menghardiknya, supaya tidak usah ikut
denganya.
“Mereka
berdua kecewa tidak kamu ajak pergi, Russ ? ”. Rakian mencoba membujuk Russ
agar di Minggu pagi ini, Russ mengajak mereka untuk jalan jalan.
“Mengapa
kau memintaku seperti itu ?” jawab Russ.
“Kamu
kan ibunya, mereka butuh kamu, Russ ?”
“Mas
Rakian, aku ada janji dengan temanku “
“Kemana
? “ seribu rasa penasaran kini bersemayam di hati Rakian
“Apa
perlumu ?” Russ mejawab dengan sebuah bentakan yang melengking.
“Aku
kan suamimu, Russ ? “
Ruang
tamu yang sederhana beralas semen yang sudah banyak mengelupas kini lengang dan membisu. Rakian hanya tertunduk wajahnya
dengan kedua bahunya yang masih digayuti kedua putranya. Seakan akan Rakian
tidak mampu barang sedikitpun untuk menghalangi kemauan istrinya. Russpun
segera berlalu tanpa say goodbye, kedua sorot mata anaknya terus mengikuti
tubuh ibunya, yang tak lama menghilang di pertigaan ujung gang mereka yang
kumuh. Rakianpun tahu apa yang akan dilakukan istrinya itu, tapi tak pernah
mencoba untuk menahanya. Sebab bagaimanapun juga itu adalah hak istrinya untuk
menentukan sikap, sebagai rasa kecewa pada dirinya yang sudah bertahun tahun
menghinggapi kalbunya.
Rakian
kini dipersimpangan jalan, dilain sisi dia rela Russ menggapai kebahagiaan yang
dia butuhkan untuk lifestyle yang dikejarnya. Tetapi di lain pihak kedua
putranya membutuhkan belaian seorang ibu. Tapi bagaimanapun juga sebuah
langkahpun harus dia beranikan, justru demi kebahagian kedua sisi yang
melingkunginya. Russ sudah meluruhkan kasih sayangnya pada kedua belahan
jiwanya, demi hanya kehidupan glamour yang dibidiknya, tanpa memperdulikan
resiko apapun. Apabila Ardian dan Elly terus menemani kehidupan ibunya, maka
mereka berduapun terus menjadi sasaran kemarahan ibunya. Namun getaran hati
yang menggelora di beranda jantung Rakian, terus saja datang pergi silih
berganti, antara Russ dan kedua bocah mungilnya.
Sementara malam telah merambat
semakin larut, deru mesin kendaraan di gang depan rumahnya kini tidak terdengar
lagi. Sesekali terdengar suara dentingan pinggan si abang bakso yang memecahkan
kesunyian malam. Larutnya malam ini adalah saat yang paling memilukan, apalagi
sering terdengar rintihan Elly memanggil ibunya demi segelas air susu hangat.
Sementara Russ entah kemana menyelinap di tengah remang malam, atau mungkin
dipelukan laki laki jalang demi selembar uang. Tapi yang jelas Rakianpun harus
rebah keperaduan di samping kedua anaknya, yang telah merenda mimpi.
__________
“Sudah
kau pikir dalam dalam Russ, untuk meninggalkanku ?. Cobalah bersabar demi
Ardian dan Elly “ pinta Rakian, yang sudah mulai lapang hatinya menerima keputusan
yang diambil Russ, suatu keputusan yang diyakini sebelumnya bakal diminta Russ.
Kegetiran hatinya telah mulai tertepiskan lantaran sedikit demi sedikit hatinya
menjadi tabah saat menerima kenyataan ini. Rakian telah cukup lama merasakan
betapa beratnya menerima makian kasar, tuntutan dan seribu sikap Russ yang
menikam ulu hatinya.
“Aku
mengambil langkah ini justru demi mereka berdua yang masih butuh biaya.
Sudahlah Mas Rakian, suatu saat akupun akan di tengah mereka kembali “. Inikah
Russ Kania ?, wanita yang dulu justru mengejarnya untuk mendapatkan bilah
cintanya, yang berjanji bersama mengayuh biduk hidup di tengah keadaan apapun.
Tapi apakah ini sebuah lakon hidup yang harus dititi oleh manusia, yang bisa
saja berubah tak tentu arah.
Berkali
kali Rakian hanya mampu menelan ludahnya sendiri, dia masih terpaku berdiri di
serambi rumah mungil, menyakisikan Russ Kania pergi berlalu dengan sebuah mobil
mewah, meski terdengar dengkur kedua anaknya yang terlelap di tengah malam, setelah beberapa
saat sebelumnya Russ Kania menciumi pipi kedua anaknya. Bagi Rakian malam ini
memang malam tak berbintang gemintang, rembulan tertutup mega hitam. Tak lama
kemudian terdengarlah adzan subuh menggema di malam pilu itu. Sedikit kesegaran
dalam hatinya kini mulai ia dapatkan.
Langganan:
Postingan (Atom)