Ranting Cemara Yang Meranggas
semua gurat pelangi melontarkan berkas warna di ufuk,
kala Mahapatih Gajah Mada berdiri dan menggelar tepian kanvas lukisan wajah ayu
sang permaisuri di gendongan nina bobok Archipelago,
warna biru langit telah memenuhi semua pelupuk sang empu,
yang koyak pakaian mereka, namun masih mengais kepalan tanganya di pucuk palma,
berisi limpahan tinta emas
untuk mengukir Kemurahan Sang Pencipta Hidup.
warna merah
yang lama terbiuskan tari bidadari bertaring tajam.
dengan kuku menghitam, siap merobek bilik jantung yang berdegap gegap.
namun mereka tetap tegar, menuai bulir padi yang menguning,
mengayunkan prosa negeri di jalan jalan penuh kemunafikan.
beberapa kerumunan bocah bertelanjang dada
dari tengah padang,
yang telah meranggas semua belukarnya,
dengan hiasan rumbai jerami untuk mengatapi rumah bambu
berhias tajamnya sorot mata
yang nanar,
sehingga pohon pisang yang pernah tumbuhpun terhempaskan,
karena badai
kepedulian sesama telah memilitkan puting beliung.
lantaran, nafas Merapi melontarkan setiap asa pada tebing tebing berhias ilalang
apakah akan ada lagi batu nisan bertulis nama yang bertinta emas
di pusara bermandi
kembang kagum dari anak cucu,
bermandikan air keruh modernisasi,
yang bernafas busuk dan bersitegang
pada bahu
bahunya yang hitam melegam.
namun mengapa mereka dengan sigap menyergap,
beranda Archipelago yang dahulunya tempat mandi bidadari penghuni Indraloka,
ataukah memang mereka semua telah dipinang jaman,
yang berhias asap mesiu, korupsi
dan hantu penghisap darah
ataukah panorama di tepian telaga
yang menghitam dengan suara parau dan sumbang
burung camar,
kutilang, nuri dan derkuku
mereka dahulu bercanda dengan kidung Asmarandhana
di tiap sudut pohon cemara yang menjulang tinggi,
menitipkan prosa kehidupan
pada Sang Pencipta.
tidak ada lagi kini,
tebing,
padang dan lembah untuk sekedar cemara mengukuhkan selorohnya,
mereka dililit angin prahara,
lantaran bulu bulu warna warni
dari monster monster
sang penunggang reformasi
yang telah meradang kiblatnya
hingga tak selembar daunpun
yang tersisa untuk mensuapi cicit anak anak burung sang
penunggu pagi.
Semarang, 30 September 2011.
Bulan Terpingit
bulan demikian bersedih,
kala tepian telaga tak mampu lagi menjadi cermin baginya,
meski roda roda bumi terus menjinjing sang pedang waktu,
lantas mereka biarkan kepulan asap mengerang
dan rajutan keranjang santun,
milik penghuni Swargaloka.
wajah bulan berubah di malam purnama,
yang berenda rajutan kain sutra,
mengubah wajahnya bertepi pohon kamboja
apakah bulan juga mengulum pesan tentang perjalananya
di tanah bergaris katulistiwa
ataukah lantaran bulan menjadi saksi dari senyum hambar
penari Ramayana di plataran
Prambanan
atau mungkin rajutan keranjang santun telah terkoyak,
menebarkan bisa bisa mematikan bagi “sang ilalang”
yang sedang berbulan madu dengan
cakrawala
di ufuk pagi.
atau pula bulan menjelma
wajah lelaki separo baya berwajah keriput,
yang tersayat hatinya,
kala mendengar nada sumbang '[
dari peniup seruling pada pagelaran
“uyon-uyon” gamelan jawa.
entahlah bulan yang terpingitpun terus menyodorkan ketidaktahuan.
Semarang, 30 September 2011
Merindukan Sang Ufuk
mari kita benahi, bilik kamar tempat kita merebah,
menghitung selaksa pagi dan senja
yang berkejaran
melintang dan terbujur
di kungkungan bola langit
kita rindukan bersama
dalam langkah yang sepadan
meski tenggorokan telah kering
pembuluh darah telah bosan tersumbat denyut prahara
mata memandang sesekali pada rumah mungil
di tengah ufuk
-yang kabarnya hanya terbawa cicit burung kenari-rumah
dengan
cawan berisi air mawar menepis hari hari panjang
yang banyak
disulam pelacur pelacur jaman
jangan lagi kita semai rerimbunan
di sebidang tanah kehidupan,
hanya jalan berdebu
agar kitapun sempat mewarnai
atap rumah ufuk
dengan anyelir,
kenanga dan melati
untuk merias wajah bidadari
Semarang, 30 September 2011
Sepenggal Doa
kita tatap sejenak,
pada bening sorot mata
yang mengarah saat kita tanpa
sehelai benang
menghisap aroma ILLAHI
tepat ke bilik jantung
dalam genggamaNYA,
tak mampupun kita
menggerakan
tiap benak dan otak
kita sandarkan perjalanan anak anak negeri
yang menyambut mempelai agar terpasung
di singasana pelaminan
tanpa nafas nafas busuk
dan lidah menabur gejolak
di tengah kebimbangan debu debu
yang menyesak dada
hingga tulang igapun bergemerisik
menopang hasrat
yang menusuk hari di balik cakrawala fajar
Yang Disana
Kitapun tetap menjulurkan niat untuk
”bersyahwat” dengaNYA
agar sepenggal doa kita tidak terpelanting
Semarang, 30 September 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar