Semenjak beberapa bulan silam Sasmito ditinggal istrinya menghadap Illahi, lelaki muda itu terus saja mengunci mulutnya. Tiap
hari, pagi pagi benar dia sudah menyapu halaman rumahnya yang cukup luas dari
sampah plastik, daun mangga kering dan bungkus makanan anak anak yang dibuang
begitu saja oleh anak anak tetangganya. Dia
tetap mengunci mulut, sorot mata dan senyumnya.
Namun
belakangan ini, dia berubah sikapnya lantaran dia melihat semakin banyak sampah
yang menumpuk di halaman rumahnya. Maka
pagi hari ini lelaki muda itu menyapu
dengan agak membanting bantingkan tangkai sapu lidinya dan menjadi sering
memaki kepada banyak orang.
“Kamu
buang saja bungkus makananmu ke tempat sampah di sebrang jalan sana !” sesekali
lelaki tua itu menunjamkan keberanganya kepada anak anak tetangganya yang kerap
main di halaman rumahnya yang hanya beralas
tanah liat yang mengeras, dengan disana sini masih ditumbuhi ilalang yang
meranggas.
Tapi
memang dasar anak, betapapun lelaki kesepian itu dongkol dan marah, tetap saja mereka
masih anak anak. Mereka itu adalah sosok yang mampu menyerap segala sesuatu
dengan pembelajaran yang berkelanjutan dan sedikit demi sedikit.
***
“Apa
perlu aku buat papan pengumuman yang besar, agar semua anak anak itu tidak membuang
sampah di halaman rumah saya, Pak RT ?” . Suatu pagi, Pak RT mendapat giliran
menjadi sasaran makian , setelah beberapa hari lalu beberapa warganya sudah
kena getahnya.
“Ah,
tidak perlu repot repot Pak Sas !, hanya
masalah sepele seperti itu cukup dengan pendekatan kekeluargaan saja, agar
tidak menimbulkan dendam tetangga “
“Aku
sudah tak sabar lagi !”
“Jangan
emosi dulu Pak Sas!, semuakan bisa dirembug, mereka cuma anak anak !”
“Tapi
ini sungguh keterlaluan, mereka semakin berani saja dengan aku”
“Ini
hanya perasaan Pak Sasmito saja, mereka kan belum tahu kalau Pak Sas marah.
Lagian selama ini Pak Sas kan tidak pernah
menegur mereka. Pak Sas hanya diam membisu setiap kali di tengah mereka
dan tetangga kita semua”
Mata
lelaki muda itu perlahan meredup, jaket
lusuh yang kerap menutupi tubuhnya kini dilepas dan tak lama dia menyandarkan
seluruh punggungnya di sofa berkulit hijau di ruang tamu rumah Pak RT. Pak RT
masih terlihat menyunggingkan seberkas senyum di wajahnya yang sudah mulai
dipenuhi kulit yang melonggar. Sebuah
senyuman yang mampu menyihir wajah laki laki muda itu tidak seperti
semula, yang membara ditusuk bara api.
Serpihan
bara api kini sudah terlumat ditelikung angi pagi di Hari Minggu kala itu, Pak
RT segera mempersilakan Pak Sas untuk meneguk teh tawar hangat yang berada
persis di depanya. Singkong rebus berwarna agak keruh, lantaran sudah agak tua,
kini masih mengepulkan
asapnya, bersma dengan teh hangat tawar kini mampu menjadi kawan mereka . Kabut
pagi yang semula menyamarkan pandangan mereka kini berganti dengan kuning sinar
mentari. Namun dalam hati laki laki muda itu, masih saja terselip rasa rindu
yang berat pada istrinya yang kini sedang bermandi air bunga di cakrawala
senja.
“Pak
Sas, sedang galau karena rindu, kan ?” Sepotong
kalimat dari Pak RT meluncur begitu saja hingga jauh menunjam ke jantung Pak
Sas. Namun tiada sedikitpun Pak RT takut bila Pak Sas terluka hatinya dengan
pertanyaanya itu. Lantaran beberapa tahun silam dia juga pernah ditinggal
istrinya menghadap Illahi. Kala itu Pak RT ingin segera meruntuhkan langit biru
atau menghentikan perputaran bumi, agar semua manusia merasakan penderitaan
sama seperti dirinya.
“Pak
Sas, aku juga pernah merasakan seperti anda, dan kini rindu itu belum semuanya
sirna. Apalagi bila aku berada di tengah anak anaku. Tapi mau apa lagi kita,
hanya tulang dan daging yang tak berdaya menghadapi suratan takdir.
Sasmito
mulai menyemaikan bunga berseri di hatinya, ketimbang beberapa saat yang lalu,
hatinya hanya dipenuhi belukar yang mernggas. Diapun mulai menemukan kawan
curhat, untuk menyiram bara api rindu yang membakar dinding jantungnya, beberapa teguk teh hangat tawar
kini sudah memenuhi tenggorokanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar