Lelaki
tua itu telah redup sorot matanya,
mengais angin sejuk, menyisir
duka
di
pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki, berbaju compang camping
milik anak jaman
seorang
pengemis muda…
“aku
dulu mampu membungkam howitzer Anjing
NICA”
seru
laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis
muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya
dengan
mendengus nafas
pengemis
muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa
tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu
batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan
kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku
tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang
jasa”
di
pinggir jalan berumbai langit biru
adalah
milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak
segentar membungkam “Water Mantel”
di
genggaman “Gurkha” yang perkasa
semakin
perlahan dia menyusuri jalan itu
kini
sepi, dalam keranda tak berkemas
merah
hati namun berkibar di hatinya
dalam
keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk
di semai di halaman langit
(Semarang,
3 November 2011).
Sebuah
Epos Yang Hilang
Tidakah
kau pernah tahu ?
mereka
datang dari jauh hanya membawa bara
untuk menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang
Ibu Pertiwi, aku menggenggam pilu
Aku
mengencangkan urat nadi
2
tidakah
kau tahu pula, anak- anaku?
Kita
hanya memiliki
rembulan
dan matahari yang saling berkejaran
untuk
menguningkan padi dan tanaman jagung
agar
perut kita tak menghempaskan deru
Namun
mengapa mereka
menjaring
angin kembara dan mengaitkan
pada
sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita
tak akan melipatkan lengan
meski
kita hanya bertelanjang dada
namun
degup jantung mampu merobohkan tebing
yang
mereka kokohkan
sepanjang
Bukit Barisan hingga Cendrawasih
Anaku,
bila
kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi
berhias mentari, burung berpantun ria
dengan
bulu warna warni
berbicaralah
pada hari hari yang membisu
tentang
lengan lenganku yang menghilang
kala
memburu mentarimu, agar tetap terjaga
(Semarang,
4 November 2011).
Manifesto
Untuk Hantu Berkerah Putih
“Altar yang kau lebarkan hingga
menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil
menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu
terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak
langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam”
Pohon
perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu
laras untuk menunjam bumi, bila sang
Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun
berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang
hendak mengoyakan langit.
Dan mengusung awan hitam, bertepi racun, onak
bulu bambu.
Untuk
mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,
3
Jangan
kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga
melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar
kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau
boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk
menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi
Apakah
belum pernah kau dengar lagi,
Saat
ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka
bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan
angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di
sepanjang kebun penuh harap, sedangkan
atap sekolah mereka
selalu
bergoyang ditiup angin ketidaktahuan
Atau
kau lebih memilih
Bernyanyi
simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala
hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau
biar saja “wedus gembel” menjadi merah
membara
Menyodorkan
sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki
(Semarang, 4
November 2011).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar