Indonesia
Di Tengah Benang Waktu
Kala pagi halimun
masih kentara, menghitami
hamparan sawah ladang,
dan menenggelamkan
kuning permadani padi,
dan hijau kecoklatan
palawija. Belalang
belalang masih meneriaki makian
panjang, di tengah
perut mereka yang meradang
seakan menggenggam
hasrat, untuk membelah
dinding perut mereka
sendiri.....
di tengah mereka
itulah Indonesiaku berdiri kokoh
Telah beberapa lama
pagi itu, mereka
yang bertopi “caping”
dan bercelana kumal
telah lalai membenahi pagi, dengan sarapan nasi hangat
dan sajian teh manis.
Namun mereka malah
bersikokoh untuk
menghempaskan pagi dan
memaksa ilalang lemah
menelan ludah mereka
mentah mentah
bukankah gubug bambu,
yang berangin sejuk dan nyaman
adalah rumah tempat bersemayam
ilalang
yang ada di Ibu Pertiwi
Mengapa atap rumbai
rumah- rumah ilalang sepanjang
“Bukit Barisan” dan
“Pegunungan Kidul” yang tersambung dengan
“Waisor” dan “Timika”
bersatu dalam seduhan
cincin api....lantas
akan kau ubah
menjadi naga-naga
bertaring merah, penghisap darah...
di atas “meja korban” dalam tragedi kemanusian paling
pengap dan mengiris
bulu kuduk.....
Saat relung waktu masih melilit perjalanan panjang kita
hingga berada tepat di depan kaki kita yang melipat,
ilalang itupun masih menggapai kedua tanganya
lantaran atmosfer
di atas “Negeri Krakatau”
telah berwajah garang,
tanpa berdandan ramah
(Semarang, 23 Oktober, 2011).
Meniti Awan- Awan Hitam
Kita rapikan awan-
awan dalam rentang perjalanan kita
agar tidak berselingkuh
dengan gelap dan hitam
jangan kita pasang
gendang telinga
pada lidah lidah kelu, yang berkerah putih
dan bersepatu
“pantofel” dengan senyum “perlente”
Di tengah perhelatan
sumbang
dari anak
negeri...dengan kepalan tangan mengencang
tapi bersorot mata
menghadap rumah berarsitek
negeri impian, mereka sempat
bergumam
“biar saja sang abang becak menghangus diterkam
panasnya mentari...biar saja semua si miskin
terjerambab dalam kubangan lumpur menghitam”
Kita adalah anak
negri, yang bermandi kuning
sinar sang mentari di
hulu ”Sungai Kapuas, Mahakam dan Musi”
bertatap pada “Puncak
Jaya Wijaya”
namun kita harus tetap mentautkan benang sutra titian
menuju cakrawala yang
ditengahnya berdiri
rumah sederhana namun
kokoh
tempat bermain anak
anak kita..
Jangan kita surutkan apa yang kita miliki
hanya karena awan hitam yang menutup kening kita
serta membuat kita
terpagut pada asa yang samar
(Semarang, 23 Oktober, 2011).
Takan Pernah Usai
Bergeraklah dan terus
bergerak
daun nyiur di tepi
pantai,
agar angin kemarau,
mampu mengipasi
bidadari
yang melepas dahaga
di tepi pantai, pada
muara sungai sungai
bening beraroma
khatulistiwa
Teruslah melejit
seperti anak panah
pergantian arah angin
muson
karena dari sinilah,
kita menjadi “Negri Santun”
yang tak kan pernah mengusung
teriakan panjang
yang tak pernah
membusung dada kita
kita takan pernah
berhenti......
menghembuskan iklim
sejuk dan bij-i biji kering
agar bersemi, di sawah
ladang,
tanpa prahara dan
suara burung sumbang.
(Semarang, 23 Oktober, 2011).