Kamis, 01 Maret 2012

Protes Daun Akasia pada UN


Meski jarak pandang mereka dengan Pak Guru Hananto cukup jauh, tetapi sorot mata mereka seakan enggan lepas dari tubuh guru penuh kasih itu. Pagi itu memang hari pertama pelaksanaan UN yang mendebarkan bahkan mampu memungut rasa percaya diri dari sanubari mereka semua. Terbukti tiada satupun dari mereka yang berwajah ceria, “Enjoying always” seperti pada hari-hari biasa.

Siska yang genit, Bra yang selalu kelihatan renyam senyum, Sylvie yang berbibir tipis dan tak kerap diam membisu. Kini semuanya terdiam dalam hipnotis pohon Akasia yang memayungi halaman sekolah mereka. Entah apa hari ini bumi seakan akan menghisap dalam-dalam ke dua kaki mereka.Sementara itu dengan egonya daun daun Akasia berguguran meski merelakan dirinya berjatuhan di bumi, untuk digantikan dengan pucuk yang semi.

“Inilah hidup anak-anaku “ seru sebuah daun pada manusia manusia belia yang dipagut gelisah. Daun itu belum kelihatan  kering benar, tapi dia merelakan dihisap gravitasi bumi.

“Jangan kau usung pepatah seperti itu pada manusia ! “ jawab daun lainnya yang lama tergeletak dan membiarkan dirinya bergelimpangan diterpa angin awal musim kemarau.

“Apa alsanmu ?”

“Hanya kita yang mampu berbuat demikian. Mereka manusia yang beribu pengharapan selalu mereka pinta, agar mampu hidup seribu tahun lagi “

“Dari mana kau tahu ?” tanya daun lainya yang kini mulai berkumpul dalam keranjang bambu di halaman sekolah.

“Lihat saja mereka hari ini gelisah!, mereka enggan menghadapi tantangan sekecil apapun. Berlainan dengan kita yang hanya pasrah dikibas angin pancaroba. Kita hanya mampu meliukan badan kekanan dan kekiri. Tapi ketika  bumi menyelingkuhi kita, kitapun tetap tenang” seru daun tadi yang baru saja menggeletak di bumi.

Tak satupun dari siswa itu yang memperdulikan ocehan daun-daun yang selalu berbahagia di kala pagi dan sore, ataupun siang dan malam. Mereka para siswa hanya mampu membiarkan degup jantung yang memburu jarum waktu yang terus bergerak detik demi detik menunggu monster yang dipanggil UN.

“Ah..apakah mereka sedang menunggu datangnya monster garang ?” seru daun muda yang belum kering, tetapi  karena hempasan angin beliung beberapa hari silam dia jatuh di bumi ini.

“Betul kawanku, entah apa bentuk monster itu, apakah bertaring  ?, bersayap lebar ?, wajah penuh luka atau apa ?” seru sebuah daun yang sudah mulai pongah tubuhnya dimakan rintik hujan.

“Bukankah manusia sudah mampu menggapai atmosfer yang paling tinggi, mampu mendatangkan hujan bahkan mampu merobohkan rumah istana kita. Tapi mengapa manusia-manusia muda itu kelihatan takut sekali ?”

“Entahlah !!!! “ jawab sebuah daun.

“Kapan mereka merasa puas ?” seru daun yang ada di dasar keranjang bambu.

“Mereka memang makhluk yang ego, dahulu daerah ini penuh rumah istana kita. Tetapi entah dengan egonya mereka mencabut dan dibawa kemana aku tak tahu ! “. Daun yang paling tua diantara mereka mencoba memaparkan sifat  manusia.

Tidak beberapa lama terdengar suara “Teeeeet….Teeet…Teeet”. Semua daun Akasia itu menolehkan wajahnya ke arah manusia manusia muda itu yang memasuki ruangan dengan terbungkam seribu bahasa, diantara mereka ada yang berkeringat dahinya, sebagian menundukan wajahnya, sebagian lain memucat wajahnya. Sebagian kecil hanya meluruskan sorot padang mereka lurus ke depan dengan tatapan yang kosong.
***
“Tidak perlu UN ini dijadikan momok bagi kalian !” seru Pak Hananto di suatu pagi di depan kelas XII yang sedang diberi pengarahan.

“Tapi, saya sudah belajar banyak. Selalu saja saya merasa kesulitan menyelesaikan latihan UN Pak ?” tanya seorang siswa.

“Semuanya ada di diri kamu sendiri Prima ?” jawab Pak Hananto dengan senyuman masih tersungging di bibirnya.

“Maksud bapak ?”

“Ya !, karena kamu selalu beranggapan bahwa UN adalah hanya syarat untuk lulus kamu dari sekolah ini “

 “Kan memang seperti itu, Pak ?” tanya Albert Sitomorang, yang belum tahu betul alasan guru penuh kepedulian pada anak-anaknya.

“He..he…he…inilah kesalahan kalian semua !”

“Yang benar yang mana tho, pak ?” Keane bertambah penasaran dengan seloroh guru ganteng itu. Diapun mencoba menggoda guru muda yang menjadi pujaan hatinya itu.

“Keane, Prima, Albert dan anak anaku semua !, apakah setelah lulus UN kalian tidak memiliki tantangan lagi ?. Apakah setelah lulus UN kalian akan dengan mudah mencapai kesuksesan berikutnya ?. UN hanyalah sebuah tantangan kecil, bagai butir pasir di gurun pasir. Masih ada tantangan lainnya yang menghadang kalian semua”

“Tapi semua manusia kan mesti harus memiliki tantangan, Pak !”. Ilham menyela pembicaraan Pak Hananto, guru itupun masih menghiasi bibirnya dengan senyuman manis.

“Betul, dan salah satunya adalah UN. Kalau kalian memahami ini!,  tentunya kalian akan menghadapi dengan hati lapang. Lihatlah daun daun Akasia di halaman itu. Mereka sama sekali tak memiliki tantangan. Mereka semi, tumbuh, dihempas angin kemudian jatuh dan bepindah paling jauh ke tempat sampah” kelaspun terbungkam seribu bahasa.

Daun daun Akasia yang mendengarkan celoteh Pak Hananto hanya melempar senym kecil mereka. Namun diantara mereka tetap saja terdapat beberapa daun yang mengajukan protes.

“ Tapi, apa beda mereka dengan kita?. Merekapun hanya mampu melangkah di garis kodrat” salah satu daun mencibirkan perkataan pak guru itu.

“Apa mereka mampu hidup lagi setelah ditelan bumi ?” daun lainya mengajukan protes.

“Mereka hanya mampu merusak alam ini, huuuuh…seandainya bumi ini tidak dipenuhi manusia, kita bisa hidup dengan bebas “ entah dari daun mana protes itu diajukan.

“Sudahlah teman-temanku semua!, memang begitulah manusia yang diciptakan berbeda dengan kita. Meski hanya beberapa saja manusia yang berusaha peduli dengan kita serta hehijauan lainya. Merekapun bila diberi pencerahan tentang manfaat kita. Merekapun akan bersatu dengan kita.Cobalah bila mereka kepanasan, mereka pasti akan berlindung di bawah kita” seru daun yang sudah renta dan melekat kuat di pohon Akasia, tapi belum mendapatkan giliran untuk menyatu dengan bumi.


“Tetapi mengapa mereka sekarang melempar sorot mata ke kita ?” seru daun muda

“Mungkin mereka iri dengan kita “ seru daun renta itu.

“Iri ?, apa kelebihan kita dibanding mereka ?” entah daun yang mana mengajukan protes seperti itu.

“Ah. ..ada ada saja kau daun tua ?” daun lainya berusaha gabung dengan diskusi antara daun Akasia.

“Mesti ada, karena yang menciptakan kita dan manusia selalu member kelebihan dan kekurangan diantaranya ?” sahut daun renta.

“Yang aku btuhkan adalah kelebihan kita dibanding mereka ?” beberapa daun muda berusaha mendapatkan jawaban pertanyaan mereka.

“Kita tidak pernah ragu dan bersedih bila harus berakhir warna hijau pada tubuh kita. Tak ada satupun upaya kita untuk lepas dari kenyataan ini “

“Betul juga katamu, daun tua !. Mereka kini sedang banyak mengalami kebimbangan”

“Bahkan sepertinya mereka sedang ketakutan !” silih berganti daun muda berusaha menguak perbedaan mereka dengan manusia.

“He…daun tua. Mengapa hari ini manusia muda itu ketakutan ?”

“Mereka beberapa hari mendatang akan mengikuti UN “ sahut daun renta itu.

“UN ?, kapan kita akan mengikuti UN ?” seloroh salah satu daun muda.

“Besok, ha…ha…ha..” daun renta tertawa lepas.

“Hahahaha…hahha…hahaha…” semua daun Akasia, baik yang tua atau muda, besar kecil , yang masih hijau ataupun telah mongering pilu tertawa lepas yang tidak pernah dapat didengar siswa siswa itu ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar