Satu Dua Angin dari Katulistiwa
satu
dua ikatan angin dari kutub liar
tak mau meluruhkan sauh, atas kerlingan mata
semua
yang
tertelikung di bukit luas menjulang
menunggu
sang “Edelweis” dan ilalang menggelar permadani
mengatur
nafasnya, basah tenggorokan mereka.
beberapa
macam guratan indah, menawarkan sorga
di
atas nampan kayu jati, tetap beraroma anyir
diusung
hati yang membujurkan awan hitam
sedingin
bola salju dari Antartika
kita
jangan terus dibenamkan sepatu laras
berkulit
macan dengan gigi pongah
namun
menghardik dan menggeram
pada
lengan-lengan kecil berhias mahkota mawar merah
dengan
kelopak menghadap langit biru
demi
setetes embun dan sejuknya pagi hari
kita
bersama meratakan jalan licin tanah liat
menuju
kedua rongga mata mereka yang
bulat,jernih
dan mampu sigap melentingkan
tali
asih, menuju jendela langit
bukan
wedus gembel berwajah angkara
kita
sepadan dalam menundukan angin kutub
agar
mampu bersemayam di keranjang bambu
yang
hanya kita miliki, untuk senyum sang fajar
yang
menyelingkuhi kita sang pengantin baru
kita
dalam damai.....
(Semarang,
4 Pebruari 2012).
S e j u k
belum
juga kau datang
berkencan
dengan baju robek
semilir
angin
membelit
tulang iga kita
hingga
terbang semua
burung
pipit berkepak
menjinjing
kabar
kesejukan
di tanah lapang
sejuk
yang kita tunggu
masih
di halimun senja
kita
yang merindu bulan
terengah
di sudut jaman
dengan
terkaman mentari
menjulurkan
lidahnya
satu
dua bilah bambu
di
halam rumah
mengoyakan
nasionalisme
kita
benahi
hardikan
benang waktu
kita
satukan
meski
telah lepas
dipingit
kata hati
bertaring
tajam
dan
berkerah hedonisme
(Semarang,
4 Pebruari 2012).
Kelambu Biru
dalam
kata hati kita menepis
“solar
flare” dan adonan parau
dari
gumpalan awan beroman durjana
kita
masih dalam kelambu biru
bertepi
sang kata sakti
dan
menjulangkan hamparan beludru biru
kita
beratap kata seloroh hunian
Katulistiwa,
dengan pilar
sesejuk
padang luas berimbun
padi
dan palawija
(Semarang,
4 Pebruari 2012).
Koruptor
biarlah
sang koruptor
melenggang
dengan serampang dua belas
bertalu
genderang, layaknya VOC memburu hasrat
telah
menghitam panggung Ramayana
di
pelataran Prambanan
sang
koruptor dengan gontai memungut hari
senja
memburu secepat kilat
sementara
pagi mencibirkan bibirnya
telah
menyendiri nafas beraroma melati
kenanga
dan mawar....
(Semarang,
4 Pebruari 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar