yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan,
sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan
pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga
Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.
Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam
jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer
pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan
bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin
lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi
menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi
“Nasi yang bersorot Mesra”.
Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA” berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata
kosong
Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah”
meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela
langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik
air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama
sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.
Dalam hujan, basahi kita dalam damai
(Semarang, 5
Januari 2012 )
Galau Sang
Guru
Aku
dinginkan semua peluh tubuhku,
Meski hidup ini bukan miliku sendiri,
akulah sang pemburu,
tiap jengkall waktu..untuk merebah
dalam buaian halus menyelorohkan suka,
namun sepi,…..diterkam sang haus telaga
tinta,
Akulah yang beruntung,
tak pernah hirau badai, prahara apalagi
beliung
memincingkan mata untuk gerigi tajam sang
jaman
untuk merobek dan menerjang atmosfer
angan…..
“Jangan pernah menakar tepi dan luasnya jaman
! ”
Masih
basah lidah emak di telingaku, kala di kampung
memberikan goresan prosa dan “pitutur”
indah.
Seindah tidur sang permaisuri raja,
dalam
ayunan dan meliuknya benang globalisasi.
Tajamnya mantra dan sihir hidup dan
kehidupan
Menawarkan ketidakpastian dan menghimpit tulang iga
Akupun lelap
dalam semai “Mawar Bunga” ditiup,
angin lembut, menerbangkan benih ilalang tak
tentu arah
Aku hanya berkaca pada senja,
Kala daun-daun palma berhenti mengatur nafas
Tak ada lagi, angin pagi yang menyambangi.
Aku tak pernah terpelanting dalam magnet
hidup
Yang mengosongkan debar jantung,
dari daun daun kering meranggas, mereka
hanya
mampu berteriak menghardik ganasnya matahari
mereka tak memiliki lagi bahu- bahu legam
hanya lumpur hitam membenamkan
dalam dan galau…lahir pada rona wajah.
Pernahkah ada yang peduli ?.
Bila nyanyian jiwa telah parau, senyaring
burung hantu
bercengkerama di tengah gersangnya padang.
Akulah yang hadir dengan sekerat dada yang
lapang
Biarlah basah tubuhku karena peluh
Kucoba menepis “Panggung Hiburan Ronggeng”
yang dihinggari “Sinden Kuntilanak dan
Banaspati”
Apakah masih ada lagi nyanyian jaman ?
yang
mampu manja sendu dalam rindu
sang mempelai wanita menantikan pria pujaan
ataukah tepian telaga telah menyatu dengan
“Wedus Gembel”
yang tajam dan mewarnai kehidupan
dengan kedurjanaan.
Akulah sang guru,
Dalam remang “padang dolanan”
Akulah anak desa yang menepi …. (Semarang, 7 Desember 2011).
Di batas kota
Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan
Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri
Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit, menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua
(Semarang, 3 Januari 2012).
Bila Harus
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir
rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa
menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.
Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek
Bulan
Terasa parau, bila
telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat
luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah
hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja
Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu
Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan
Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang
(Semarang, 5
Januari 2012).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar