Kamis, 27 September 2012

Haydar








Haydar benar- benar merasa menjadi satu-satunya pemilik hari- harinya sendiri, yang memberikannya sebuah kebebasan untuk terbang layang menjelajah semua sisi atmosfer, dari sudut satu ke sudut lainnya, tanpa ada yang mampu mengekangnya. Dia adalah bagaikan sang elang
 yang bersayap kokoh, yang tak satupun angin musim mampu mengoyaknya. Di manapun kedua sayapnya merentang selalu saja dia mampu menemukan taman bunga yang mewangi, setiap kelopak bunga yang sudah matang selalu saja menjulurkan kelopaknya untuk remaja ganteng ini, entah apa yang dia inginkan selalu saja sang bunga dari taman yang ditemui, membalutnya dalam buaian asmara buta dan konyol.

Sang Elang liarpun tidak pernah memperdulikan kelopak kelopak bunga yang berguguran terpagut penyesalan, Haydar hanya terus membersihkan bulu bulunya yang putih bersih dan berhias warna warni di beberapa tempat tubuhnya. Kedua sorot matanya terus saja dingin tapi tajam menunggu arah angin yang menunjukan tempat taman bunga yang disukainya.

Don Juan Haydar tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dilakukan. Selalu saja langit biru menantangnya untuk terbang  jauh dan jauh, sang elangpun tidak sadar bahwa kadang angin lembut yang bergetar di bawah sayapnya, terkadang bisa menjadi angin prahara yang menghempaskan ke arah mana saja.


Saat sayapnya yang kokoh menjadi koyak,  Haydarpun menjadi terpuruk dan galau, tidak mampu lagi melukis sketsa hatinya dengan guratan wangi bunga yang biasanya liar, seliar angin prahara yang menghempaskanya. Kamar pribadinya di bungalownya di sudut kota, sekarang turut menjadi saksi bisu, akan galau hatinya yang terhenyak dengan realita yang ada, tentang kondisi tubuhnya yang mulai mengajukan protes,  sel-sel liar yang menggrogoti kerongkongan dan kedua paru-parunya tak mampu dilawan oleh Sang Elang  Putih yang ganteng ini. Bahkan kini mulai menginjak stadium IV. Maka wajar saja sang elang  kini terlihat pucat pasi wajahnya, kurus dan batuk kering yang dalam terus mengikuti kemana dia pergi.
***
“Penyakit yang bersarang di bandan putra bapak, bukan penyakit TBC atau Anemia, tetapi penyakit lainnya” komentar Dokter Rinjani menambah rasa penasaran mama papa Haydar, yang dipanggil ke ruang konsultasi, sementara Haydar masih terkapar tak berdaya di ruang ICU rumah sakit.
“Tolong dok !, kami  mengharap sekali anak kami bisa sembuh !, entah penyakit apa yang menyerangnya !. Kami tidak mau tahu seberat apapun penyakitnya !”.



“Bapak dan ibu mohon bersabar !, kami akan menjadwalkan putra ibu untuk operasi setelah keadaan fisiknya stabil. Kami hanya berusaha untuk mengangkat kanker yang tumbuh di paru parunya” seru  Dokter Rinjani dengan senyum renyah menghiasi wajahnya.
“Kanker !,  seberapa besar peluang hidup anaku, dokter ..!!! “ jerit mama Haydar yang sekujur tubuhnya terasa tersengat aliran listrik yang kuat, hatinya bergetar hebat. Mengapa anaknya  yang masih muda harus menerima kenyataan menghadapi cobaan hidup. Mengapa anak bungsunya itu harus menerima kenyataan antara hidup dan mati. Padahal setiap hari, sebelum batuk parah menyerangnya, dia selalu ceria. Apapun permintaan anaknya selalu dia turuti, termasuk sebuah mobil Fortuner merah metalic langsung ia belikan saat anak kesayanganya itu merengeknya.
“Ibu tidak usah kuatir, sekarang kanker bukan lagi monster yang menakutkan. Karena teknologi medis telah maju. Kami mohon doa dan kekuatan hati bapak ibu ! “
“Dok, kami minta tolong, kami punya sebuah permintaan !” rengek Steven Budiman dengan pandangan mata yang kosong,  meski sorot matanya mulai diakrabi air mata , wajahnya kini kelihatan pucak pasi dan kedua bibirnya bergetar pertanda dia kini mengalami goncangan yang hebat.
“Oh, tentu silakan !, apa permintaan bapak ?”

“Jangan sampai anaku tahu penyakitnya, kasihan dok !” pinta Steven Budiman.
“Baik Pak Budiman, akan saya jaga rahasia ini. Namun, pak !, suatu saat kita harus memberitahukan padanya, bila kondisi mentalnya sudah stabil. Sebab penyakit ini jelas membutuhkan kondisi psikologis yang mendukungnya, setuju Pak ?”
Steven Budiman hanya terpaku dalam kesedihan yang dalam, yang membuatnya hanya mampu menganggukan kepalanya. Padahal Steven Budiman ayah Sang Elang adalah pengusaha yang terkenal tangguh, tabah sekaligus tegas dalam menghadapi semua rintangan hidup ini, tetapi sekarang dia tidak lebih dari seorang bapak yang lebay menghadapi derita sang elang, putra bungsu kesayanganya, yang ganteng, gaul sekaligus cerdas.  Sang elang yang didambakan mampu menjadi perwujudan kasih sayang darinya kepada keluarganya, adalah  anak remaja yang mendapat kasih sayang yang berlebihan, terutama dari sisi duniawinya.  Hingga apapun yang dilakukan putranya itu, dia tidak pernah menilai dari sisi baik dan tidaknya. Inilah buah dari kerja kerasnya dalam menghadapi kehidupan duniawi yang memuaskan dirinya dan keluarganya.
***
“Apa kata dokter, pap ?” lirih suara Elang Don Juan menyeruak ke kamar ICU yang mewah, sementara berkali kali mamanya merapikan selang oksigen yang sering menjadi sasaran pelampiasan kemarahan don juan.
“Kamu sakit ringan, anaku !, hanya paru-paru basah, setelah cairan yang ada di paru-parumu dikeluarkan kamu akan sembuh !”
“Pap, aku ingin pulang !”
“Makanya kamu harus bisa menolong diri kamu sendiri !, kamu harus sabar, percaya diri dan berdoa. Itulah yang dibutuhkan mama dan papa. Sembuh, ya nak ! “
***
Tibalah penantian panjang sang elang untuk menghadapi pergulatan dirinya menghadapi sel-sel kanker yang ganas, meski beberapa kali dia menghadapi operasi pengangkatan sel kanker, belum lagi terapi kemoterapi yang dilakukan berkali kali. Hingga dia kini menjadi kurus kering. Kebebasan dan keceriaan terbang layang, menjangkau semua yang dia sukai kini tertepiskan oleh galau yang terus memburunya. Nyanyian lagu lagu cantik yang sering keluar dari mulutnya, kini menepi jauh jauh. Malam yang selalu menyergapnya dengan hiasan seribu kunang malam, kini sirna, hanya dinding bisu, mama dan papanya yang paling setia menemaninya.
Haydar terhenyak saat mendengar bel dari ruang tamu bungalownya, tidak beberapa lama Reiny kini sudah berada di depan springbednya tempat dia tergolek lesu.
“Hei, bro kamu masih terus terusan begini ?” seru sang jelita yang kini duduk di tepi springbednya.
“Maafin aku ya Ren !, klo aku pernah buat salah !” pinta sang elang yang sudah terlipat sayapnya.
“Eh, setiap orang pasti bisa berbuat salah, namun aku tidak pernah sakit hati pada kamu. Pintamu kok seperti mau meninggalkan aku selamanya, jangan gitu bro !, kamu harus yakin mampu menghentikan ini semua !”
“Bagaimana aku bisa yakinkan diri saya sendiri, Ren !”
“Coba dong kamu tampil seperti dulu lagi, sokibmu lama  nunggu kamu, sekarang ngeband anak gaul mulai ngetren lagi. Mereka lagi siap siap ngikut audisi tv, siapa tahu band kamu bisa tampil mantap, coba dong bangkit seperti dulu lagi !”
“Ah, untuk apa Ren, umurku tidak lama lagi !”
“Aduh bro, kaya anak kecil aja kamu, yang tahu umur kita kan Tuhan, darimana kamu tahu umur kamu ?”
Sang Elang hanya bungkam seribu bahasa, meski di hatinya mulai tumbuh semi untuk mengayuh langkah hidupnya lagi, meski tidak akan lagi terbang memunguti sari sari bunga lagi, seperti sikap garangnya dahulu. Mereka berdua kini hanya larut dalam canda ria dua sahabat sejati***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar