Haydar benar- benar merasa menjadi satu-satunya pemilik hari- harinya sendiri, yang memberikannya sebuah kebebasan untuk terbang layang menjelajah semua sisi atmosfer, dari sudut satu ke sudut lainnya, tanpa ada yang mampu mengekangnya. Dia adalah bagaikan sang elang yang bersayap kokoh, yang tak satupun angin musim mampu mengoyaknya. Di manapun kedua sayapnya merentang selalu saja dia mampu menemukan taman bunga yang mewangi, setiap kelopak bunga yang sudah matang selalu saja menjulurkan kelopaknya untuk remaja ganteng ini, entah apa yang dia inginkan selalu saja sang bunga dari taman yang ditemui, membalutnya dalam buaian asmara buta dan konyol.
Sang Elang liarpun
tidak pernah memperdulikan kelopak kelopak bunga yang berguguran terpagut
penyesalan, Haydar hanya terus membersihkan bulu bulunya yang putih bersih dan
berhias warna warni di beberapa tempat tubuhnya. Kedua sorot matanya terus saja
dingin tapi tajam menunggu arah angin yang menunjukan tempat taman bunga yang
disukainya.
Don Juan Haydar tidak
pernah merasa puas dengan apa yang telah dilakukan. Selalu saja langit biru
menantangnya untuk terbang jauh dan
jauh, sang elangpun tidak sadar bahwa kadang angin lembut yang bergetar di
bawah sayapnya, terkadang bisa menjadi angin prahara yang menghempaskan ke arah
mana saja.
Saat sayapnya yang
kokoh menjadi koyak, Haydarpun menjadi terpuruk
dan galau, tidak mampu lagi melukis sketsa hatinya dengan guratan wangi bunga
yang biasanya liar, seliar angin prahara yang menghempaskanya. Kamar pribadinya
di bungalownya di sudut kota, sekarang turut menjadi saksi bisu, akan galau
hatinya yang terhenyak dengan realita yang ada, tentang kondisi tubuhnya yang
mulai mengajukan protes, sel-sel liar
yang menggrogoti kerongkongan dan kedua paru-parunya tak mampu dilawan oleh
Sang Elang Putih yang ganteng ini.
Bahkan kini mulai menginjak stadium IV. Maka wajar saja sang elang kini terlihat pucat pasi wajahnya, kurus dan
batuk kering yang dalam terus mengikuti kemana dia pergi.
***
“Penyakit yang bersarang
di bandan putra bapak, bukan penyakit TBC atau Anemia, tetapi penyakit lainnya”
komentar Dokter Rinjani menambah rasa penasaran mama papa Haydar, yang
dipanggil ke ruang konsultasi, sementara Haydar masih terkapar tak berdaya di
ruang ICU rumah sakit.
“Tolong dok !,
kami mengharap sekali anak kami bisa
sembuh !, entah penyakit apa yang menyerangnya !. Kami tidak mau tahu seberat
apapun penyakitnya !”.
“Bapak dan ibu mohon
bersabar !, kami akan menjadwalkan putra ibu untuk operasi setelah keadaan fisiknya
stabil. Kami hanya berusaha untuk mengangkat kanker yang tumbuh di paru
parunya” seru Dokter Rinjani dengan
senyum renyah menghiasi wajahnya.
“Kanker !, seberapa besar peluang hidup anaku, dokter ..!!!
“ jerit mama Haydar yang sekujur tubuhnya terasa tersengat aliran listrik yang
kuat, hatinya bergetar hebat. Mengapa anaknya yang masih muda harus menerima kenyataan
menghadapi cobaan hidup. Mengapa anak bungsunya itu harus menerima kenyataan
antara hidup dan mati. Padahal setiap hari, sebelum batuk parah menyerangnya,
dia selalu ceria. Apapun permintaan anaknya selalu dia turuti, termasuk sebuah
mobil Fortuner merah metalic langsung ia belikan saat anak kesayanganya itu
merengeknya.
“Ibu tidak usah kuatir,
sekarang kanker bukan lagi monster yang menakutkan. Karena teknologi medis
telah maju. Kami mohon doa dan kekuatan hati bapak ibu ! “
“Dok, kami minta
tolong, kami punya sebuah permintaan !” rengek Steven Budiman dengan pandangan
mata yang kosong, meski sorot matanya
mulai diakrabi air mata , wajahnya kini kelihatan pucak pasi dan kedua bibirnya
bergetar pertanda dia kini mengalami goncangan yang hebat.
“Jangan sampai anaku
tahu penyakitnya, kasihan dok !” pinta Steven Budiman.
“Baik Pak Budiman, akan
saya jaga rahasia ini. Namun, pak !, suatu saat kita harus memberitahukan
padanya, bila kondisi mentalnya sudah stabil. Sebab penyakit ini jelas
membutuhkan kondisi psikologis yang mendukungnya, setuju Pak ?”
Steven Budiman hanya
terpaku dalam kesedihan yang dalam, yang membuatnya hanya mampu menganggukan
kepalanya. Padahal Steven Budiman ayah Sang Elang adalah pengusaha yang
terkenal tangguh, tabah sekaligus tegas dalam menghadapi semua rintangan hidup
ini, tetapi sekarang dia tidak lebih dari seorang bapak yang lebay menghadapi derita
sang elang, putra bungsu kesayanganya, yang ganteng, gaul sekaligus cerdas. Sang elang yang didambakan mampu menjadi
perwujudan kasih sayang darinya kepada keluarganya, adalah anak remaja yang mendapat kasih sayang yang
berlebihan, terutama dari sisi duniawinya.
Hingga apapun yang dilakukan putranya itu, dia tidak pernah menilai dari
sisi baik dan tidaknya. Inilah buah dari kerja kerasnya dalam menghadapi
kehidupan duniawi yang memuaskan dirinya dan keluarganya.
***
“Apa kata dokter, pap
?” lirih suara Elang Don Juan menyeruak ke kamar ICU yang mewah, sementara
berkali kali mamanya merapikan selang oksigen yang sering menjadi sasaran
pelampiasan kemarahan don juan.
“Kamu sakit ringan,
anaku !, hanya paru-paru basah, setelah cairan yang ada di paru-parumu
dikeluarkan kamu akan sembuh !”
“Pap, aku ingin pulang
!”
“Makanya kamu harus
bisa menolong diri kamu sendiri !, kamu harus sabar, percaya diri dan berdoa.
Itulah yang dibutuhkan mama dan papa. Sembuh, ya nak ! “
***
Tibalah penantian
panjang sang elang untuk menghadapi pergulatan dirinya menghadapi sel-sel
kanker yang ganas, meski beberapa kali dia menghadapi operasi pengangkatan sel
kanker, belum lagi terapi kemoterapi yang dilakukan berkali kali. Hingga dia
kini menjadi kurus kering. Kebebasan dan keceriaan terbang layang, menjangkau
semua yang dia sukai kini tertepiskan oleh galau yang terus memburunya.
Nyanyian lagu lagu cantik yang sering keluar dari mulutnya, kini menepi jauh
jauh. Malam yang selalu menyergapnya dengan hiasan seribu kunang malam, kini
sirna, hanya dinding bisu, mama dan papanya yang paling setia menemaninya.
Haydar terhenyak saat
mendengar bel dari ruang tamu bungalownya, tidak beberapa lama Reiny kini sudah
berada di depan springbednya tempat dia tergolek lesu.
“Hei, bro kamu masih
terus terusan begini ?” seru sang jelita yang kini duduk di tepi springbednya.
“Maafin aku ya Ren !,
klo aku pernah buat salah !” pinta sang elang yang sudah terlipat sayapnya.
“Eh, setiap orang pasti
bisa berbuat salah, namun aku tidak pernah sakit hati pada kamu. Pintamu kok
seperti mau meninggalkan aku selamanya, jangan gitu bro !, kamu harus yakin
mampu menghentikan ini semua !”
“Bagaimana aku bisa
yakinkan diri saya sendiri, Ren !”
“Coba dong kamu tampil
seperti dulu lagi, sokibmu lama nunggu
kamu, sekarang ngeband anak gaul mulai ngetren lagi. Mereka lagi siap siap
ngikut audisi tv, siapa tahu band kamu bisa tampil mantap, coba dong bangkit
seperti dulu lagi !”
“Ah, untuk apa Ren,
umurku tidak lama lagi !”
“Aduh bro, kaya anak
kecil aja kamu, yang tahu umur kita kan Tuhan, darimana kamu tahu umur kamu ?”
Sang Elang hanya
bungkam seribu bahasa, meski di hatinya mulai tumbuh semi untuk mengayuh
langkah hidupnya lagi, meski tidak akan lagi terbang memunguti sari sari bunga
lagi, seperti sikap garangnya dahulu. Mereka berdua kini hanya larut dalam
canda ria dua sahabat sejati***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar