Sunyi di batas kota demikian mencekamnya, jalan yang terhampar di depanya masih menyisakan basah dari gerimis tadi malam, jejak air gerimis tadi terus saja berkawan dengan kabut dingin yang mencekam dan terus menebarkan dingin yang menggigit kulit dan tulang. Sebentar sebentar terdengar deru mobil bak terbuka yang mengangkut sayur, menerobos kabut pagi di remang jalan desa yang berkelok dan licin.
Tetapi bagi lelaki tua
itu, hari hari yang bergurat apa saja tak
pernah membuatnya surut kebelakang, meski
dia harus terus menyeret sebelah kakinya yang lama tertikam penyakit uzur. Dengan
dibantu bilah bambu yang menjadi kawan
setianya, hari hari yang memusarinya terus saja ditundukan meski dengan tatapan
mata yang penuh asa, tak peduli pada usianya, tak peduli penyakit yang
merongrongnya apalagi menghadapi segenggam hidup yang mesti harus dia hadapi.
“Antarkan aku, hai sang
waktu !, untuk segera menghadap langit
di ujung cakrawala !.Biarkan aku berkumpul kembali dengan istriku Suminah dan
anaku-anaku di istanaMU !” , kerap kali getaran hati itu muncul di beranda
jantungnya, apabila dia merasakan sebuah kerinduan yang dalam pada istri dan
kedua anaknya yang terlebih dahulu meninggalkanya. Tapi bila sinar mentari
mulai menyeruak lewat celah celah dinding papan rumahnya, lelaki tua itupun
mulai terhenyak untuk memunguti liku hidupnya. Basuhan air dingin dari pancuran
di belakang rumah selalu bisa menyegarkan tubuhnya. Diapun selalu mampu menepiskan
bayang kebahagian masa lalunya yang kini sirna.
***
Hutan jati yang masih
kelihatan gelap kini sudah tepat di depanya, terlihat semua pucuk pohon jati yang tersebar berjejer di depanya
masih belum semi, akibat pagutan kemarau ganas beberapa minggu kemarin. Karjo,
lelaki tua itu mulai menyisir jalan tanah yang melintang di tengah hutan, sebentar
sebentar dia menata kembali cangkul dan peralatan kerjanya yang dipanggulnya,
nafas dari lelaki tua itu saling memburu, terengah tak beraturan. Namun lelaki
yang berkawan sepi itu, terus saja mencari akar dan tunggak jati sisa penebangan beberapa lama
sebelumnya yang terpendam , untuk dijadikan arang. Meski dia bisa saja
menebang pohon jati yang kokoh di sekelilingnya, namun dia sama sekali tak
pernah berniat melakukan pekerjaan biadab itu.
Wajahnya menyunggingkan
senyum ceria, kala dia menemukan sisa batang yang agak besar setelah sekian
kali dia mencangkul tanah yang basah di depanya, seketika itu cangkulnyapun di letakan di pinggirnya dan
diapun melipatkan kakinya untuk duduk beristirahat. Kala istrinya Suminah masih
hidup, tanpa diminta olehnya Suminah segera menyodorkan teh hangat yang di
bawanya dari rumah, terkadang bekal yang dibawanya dilengkapi pula dengan
singkong rebus atau penganan dari ketan untuk sekedar mengganjal perutnya.
Apalagi kala ke dua
anaknya masih hidup, dia tidak perlu repot repot mengais sesuap nasi hingga ke
tengah hutan jati. Karena Karmo, anaknya yang sulung dan Mardiyatun adiknya,
tidak pernah duduk berpangku tangan mengais nafkah untuk sekedar menafkahi dia
dan istrinya. Meski kedua putranya hanya menjadi seorang tukang becak dan buruh
cucian di kota. Namun Karjopun berusaha sekuat tenaganya untuk melupakan masa
indah dan bahagia miliknya, meski saat ini baginya hidup adalah sebuah
perjuangan yang berat dan terkadang merayu dirinya sendiri untuk berputus asa
dan berharap datangnya sebuah masa indah untuk berkumpul dengan keluarganya di
langit susun tujuh.
Batuk batuk yang kering
dan dalam terus saja menyeruak di tengah keheningan hutan jati, di saat dia
lepas beristirahat dengan sebotol air dingin yang kerap kali dia reguk
membasahi kerongkonganya. Di tengah keriput wajah yang agak memucat itu,
seberkas fragmen kenangan memenuhi bilik hatinya, tentang kasih sayang Mardiyatun,
anak sulungnya yang benar benar tulus kepadanya, meski dia belum pernah
membahagiakan putrinya, bahkan mencarikan jodoh untuk putri kesayanganya itu.
Namun bila lelaki tua itu tersungkur dengan demam penyakit malarianya,
Mardiyatun segera memberikan pijitan kecil di seluruh tubuhnya, membuatkan air
jahe, memberikan obat anti demam dan bila perlu mengantarkan dia ke puskesmas.
Namun demam malaria
yang menyerangnya beberapa hari yang lalu mebuatnya terkapar dan tak berdaya di bilik bambunya yang sudah
lapuk. Kehadiran Mardiyatun hanya dalam ilusinya saja, yang hadir di tengah
demamnya yang tinggi. Untuk pergi ke dokter diapun sama sekali tidak mampu,
hanya beberapa teguk air dingin saja yang menemaninya. Saat itu dia mengharap
sebuah ajal menjemputnya, demi terobatinya sebuah rindu yang dalam dan
menggigitnya sepanjang waktu.
“Atun, bapak sakit !
Tolong Atun, berikan buatkan bapak air jahe dan obat, badan bapak dingin sekali
“ Tak ada seberkas suarapun menjawab lengkingan darinya. Hanya gemeretak batang
bambu yang menjadi dinding biliknya menjawab pertolongan dia.
“Atun, Atun..dimana
kamu, bapak sudah lama tidak ketemu kamu !” berkali kali teriakan itu memenuhi
biliknya, kembali lagi, tak ada satu suarapun menjawabnya.
Kini diapun terlelap
dalam tidurnya, didalam tidurnya sesuatu telah membawanya bertemu dengan
Suminah, Karmo dan Mardiyatun, yang kini berada di istana megah, bersanding
dayang dayang dan punggawa kerajaan. Mereka berempat layaknya anak kecil yang
ceria, bermain di bawah bulan purnama, saling berkejaran.
“Bapak, pulanglah “
“Atun, bapak tidak mau
pulang, bapak masih ingin bermain denganmu “
“Tidak bapak !, bapak
harus pulang. Bukan disini tempat bapak !”
“Tapi Atun !, kapan
kita bertemu lagi ?”
“Entahlah, pak.Atun
tidak tahu. Sekarang bapak pulang saja. Besok masih ada waktu kita bertemu
lagi, sekarang pulanglah !”
“Tapi berilah bapak
janji, untuk ketemu kamu, abangmu dan emak !”
“Atun janji, pak !,
tapi entah kapan Atun tidak tahu !”
Bayang putih Atun, Kasmo dan istrinya kini meredup dan
menghilang. Lelaki tua itupun siuman
kembali. Sebuah rasa sedih menyelimutinya. Dinding bambu biliknya kini terbujur
sepi dan dingin. Keinginan berkumpul kembali dengan semua keluarganya kali ini
sirna begitu saja, karena Tuhan yang Kuasa menghendaki lain, lelaki tua itu
masih dikodratkan untuk menyisir hari harinya yang berat. Diapun sigap
menjemputnya, dan di pagi ini diapun segera menjelajah hutan jati, untuk
membuat arang kayu dan dijual ke tengkulak demi sesua nasi untuk beberapa hari
ke depan.
***
Batang dan akar kayu
jati yang lama terpendam di tanah dia sayat kulit luarnya hingga tinggalah
batang yang bersih, kemudian dia bakar dengan membuat api dari daun dan ranting jati yang berserakan di hutan
jati. Setelah cukup bara api, batang dan akar yang terbakar itu dia tutup
dengan tanah yang tipis. Batang dan akar yang menghangus itu dia biarkan
beberapa hari di hutan jati.
Setelah terlihat
mentari condong ke barat, lelaki tua
itupun pulang untuk beristirahat di rumah selama beberapa hari, timbunan arang
yang belum jadi dia tinggalkan begitu saja, entah ada atau tidak makanan yang bisa untuk mengganjal
perutnya di gubug bambunya. Sayup terdengar desiran angin pancaroba yang
menerpa tubuhnya sepanjang perjalanan menuju gubug bambunya. Meski gejolak
perutnya yang belum terisi makanan tidak kalah teriakanya ketimbang desir angin
panvaroba.
Reman gubug bambunya,
memaksanya untuk segera rebah di ranjang bambu berlapis kasur tua yang sudah
mengeras, entah karena angin pancaroba yang menggigitnya atau karena kondisi
tubuhnya yang sudah melemah, lelaki tua itupun tersungkur di atas kasur pengap.
Seluruh tubuhnya terasa lemas, semua
sudut bilik bambunya terlihat kabur.
“Ya Tuhan, tolonglah
aku !, ampunilah dosa dosa hambamu yang lemah ini !”, sepotong kalimat keluar dari
bibirnya yang pecah dan keriput.
“Bapak, ada apa !”
“Atun, tolonglah
bapakmu, bapak sudah tidak kuat lagi “
“Baik, pak !, rebahlah
di pangkuan Atun ?”
“Atun, bapak di mana ?”
“Jangna sedih, pak !.
Bapak akan Atun ajak pergi jauh menuju cakrawala di kaki langit untuk berkumpul
dengan emak dan Kak Kasmo “
Wajah lelaki tua itupun
berseri bahagia bersmaan dengan lepasnya nafas terakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar