Kamis, 05 Agustus 2021

Elsa

Aku perhatikan semakin ganjen saja Elsa bertingkah di depan cowok-cowok gaulnya, berpose layaknya artis sinetron menambah dunia dan seisinya maunya runtuh. 

 Apalagi bila dia melempar sedikit senyum tipis, jantung yang aku tanam dalam dada ini semakin menderu, menyuruhku untuk segera memiliki kembang mekar ini. Guratan wajah Elsapun makin jelas saja tergambar di halaman kalbuku. 

 Namun dia tetap saja Elsa, meski hati yang aku miliki tetap saja memberontak, untuk segera menikam keangkuhannya. Ataukah hanya gaya hidup Elsa saja yang selangit, yang masih asing bagiku, yang bertolak belakang dengan gaya hidup aku yang dari kota kecil. Sejauh kalbu ini merenung, akupun masih ingat betul teori Pak Burhan, dosen Pengantar Ekonomi yang suka bicara dari hati ke hati dengan semua mahasiswanya,
 “Gaya hidup modern bukannya berasal dari kota atau kampung, kaya atau miskin, tapi dari pola pikir intelektual. 

Kamu kamu semua kan komunitas intelektual. Apa nggak ada menteri lahir dari desa, hampir semua petinggi negara lahir di desa”. Sebuah kekuatan baru mulai tertetes di sanubariku yang mengering dikungkung kurangnya pd. Sesaat semua mahasiswa bersorak ceria, mirip anak TK, kala diumumukan bahwa Pak Hardiman dosen statistik tidak hadir pada sore kali ini. Sementara Elsa di tengah keceriaannya terus saja didekati sama cowok cowok beken kampus, yang nota bene bertampang gaul, gedongan dan difasilitasi mobil untuk kuliah. 

Sedangkan aku hanya ingat pesan emak, tiap aku mau berangkat ke Jakarta, setelah mudik di Purwokerto, untuk tekun belajar sehingga bisa meraih sarjana ekonomi dan dapat kerjaan yang mapan, untuk membantu studi adiku-adiku. Akupun menyadari semua itu, namun tetap saja hati, yang menggelindingkan ego yang tak tentu arahnya, menjerit untuk tetap memiliki Elsa. 

Meski hanya selintas beberapa saat hasrat itu menderu, karena aku tahu bahwa Elsa sebenarnya adalah mahasiswi yang santun, baik dan tekun belajar. Hanya aku saja yang tak mampu mendekati. Semester demi semester aku selesaikan dengan prestasi nilai yang baik, karena tekun dan aktifnya aku belajar, emakpun bertambah senang. 

Namun semakin pula aku kehilangan akal untuk mendekati Elsa, yang tambah seronok dan menorehkan bunga kampus di tengah cowok yang berlabel high-class, hampir tiap hari setelah selesai kuliah Elsa tak ubahnya piala bergilir bagi temen-temenku, yang menyodorkan mobil mewah dan doku sekedar mejeng sepanjang warna warni lampu kota Jakarta. 

Akupun menjerit pilu, semoga gadis baik dan santun itu segera mengukuhkan hatinya agar mampu membawa diri di tengah pergaulan kumbang kumbang kampus yang haus akan madu. Apakah dengan cara begini Elsa akan menemukan diri dan segera menjadi cewek dewasa, selalu saja kata hai seperti itu terselip dalam lubuk hatiku, ataukah karena aku saja yang tidak mampu membuat egonya Elsa menjadi runtuh. 

Namun tetap saja Elsa tidak mampu mengendalikan diri dan kehormatannya, bahkan sekarang menjadi buah bibir kampus, bahwa harga diri Elsa hanyalah sebatas mobil mewah dan pub bahkan hotel berbintang untuk bermalam beberapa hari. Pada siapa lagi aku harus berontak, meski amarahku telah menyetuh ujung kepala dan menyumbat tenggorokanku, namun kemana kepalan tangan aku tujukan. Akupun mulai menelisik tentang Elsa, lewat Ivan yang hanya sekedar kenal saja meski telah menjadi temen kuliahku selama 4 tahun. “Gokil mau apa kamu nanya tentang Elsa, apa mau booking. Ah kamu belajar saja yang rajin, biar jadi menteri” 
“Nggak gitu Van, Elsa kan orangnya baikan sama aku, aku hanya kasihan, dia sekarang jarang aktif di kampus” 
“Eh Rudi, kalau kamu kasihan sama Elsa, kamu nggak bakal mampu dekat dengannya, lagian Elsa nggak pernah tuh crita tentang kamu” “Jelas dia nggak bakalan crita tentang aku, karena aku sama dia nggak ada apa-apa”
 “Ya udah, ngapain kamu kasihan dan pake tanya-tanya segala !” “Jangan gitu Van, aku memang anak katro, bukan gedongan kaya kamu, tapi aku juga temen Elsa, aku berhak tahu, karena dia dulu di semester satu dan dua, satu kelompok belajar sama aku. Toh dia nggak nolak buatin tugas-tugas dosen, bahkan dia yang sering nolong aku” “Terus kamu mau nanyain apa?” “Cuma sekarang dia kok jarang di kampus, ada apa? “
 “Kamu kangen ya, udah deh nggak bakalan kamu bisa ndapetin dia, Tanya saja langsung sama Elsa, habis perkara !” 
“Ya udahlah Van, terserah kamu mau ngomong apa” “Ya udah sana pergi,”Pantas saja Elsa terasa bukan Elsa yang dulu, karena gaul dengan cowok gedongan yang angkuh. Mudah-mudahan aku bisa merubahnya dan menyadarkan, karena Elsapun bisa menjadi Elsa yang baik seperti dulu, bila ada cowok yang mampu menjadi curhat hatinya. Aku semakin yakin kalau aku bakal meruntuhkan kebinalan hatinya. Toh aku tidak lama lagi lulus dari kampus ini, sementara Elsa masih memiliki mata kuliah yang belum lulus, semoga waktu yang sempit ini bisa aku manfaatkan untuk mengembalikan Elsa yang ingin aku miliki, demikian kata hatiku terus saja membara di tengah jantung hatiku. Sore hari Jakarta diguyur gerimis sejak pagi, maka tak biasanya kota besar ini menjadi agak lengang. Mungkin sebagian besar warganya memilihj untuk tinggal di rumah ketimbang menghabiskan hari Minggu harus menembus dinginya gerimis ini. 

Hanya aku saja yang memang memiliki tekad untuk meluncur ke tempat kos Elsa, semoga saja dia belum mudik ke Bandung. Pintu kamarnya belum tertutup rapat, sehingga aku tidak repot repot untuk mengetuknya, sementara dari dalam kamarnya aku dengar senandung kecil yang dinyanyikan Elsa sempat membuat aku tak kuasa melangkah lebih dekat lagi kea rah pintu kamarnya. Beruntung Elsa telah mengetahui kedatanganku, Elsa menyambutnya dengan roman muka kaget dan masam, lantaran hanya aku yang datang. Pipinya memerah, sorot matanya tidak berani lagi memandangiku. Hanya sebuah ucapan kecil saja yang dia ucapkan, yang menyuruhku duduk di ruang tamu. “Kamu nggak mudik, Rud”

 “Ah enggak, aku mau nyiapin ujian srkipsi minggu depan “ “Selamat ya Rud, kamu hampir lulus, moga-moga aja berhasil” “Ya harapan ortuku di kampung kaya gitu” “Kok kaya dikejar hantu aja, kamu hujan- hujan gini meluncur ke sini, Rud” 

“Kamu masih nyimpen file tugas kelompok kita yang dulu enggak, Els!, aku lupa naruh dimana. Lu kan dulu rajin ngeprint. Kalau bisa aku pinjam filenya” 
“Nggak tahu di mana Rud, aku nggak pernah lagi punya file-file kaya gitu” 
“Di komputermu ?” “Entah Rud, aku jarang buka laptopku?” 
“Tapi ada kan?, coba kamu buka ?” “Nggak tahu , Rina,,dah beberapa bulan ini pinjem laptopku, coba dong di laptopmu ?”
 “Aku nggak punya laptop, aku pinjam kampus kalau butuh computer?” “Maafin ya Rud, kamu jauh-jauh ke sini nggak bawa hasil”
 “Kamu nggak punya salah kok Els, aku masih punya buku di rumah” “Oh ya kamu mau minum apa?” “Kok repo-repot , nggak usahlah aku cuma sebentar, Kamu masih baikan sama aku ya Els, kok kamu jarang datang ke kampus lagi” “Nggak tahu tuh Rud, aku sekarang malas untuk kuliah” “Ah kamu bohong sama aku, aku yakin lantaran kamu sekarang banyak bergaul dengan temen-temen gedongan yang norak itu, kan ?”

 “Apa aku salah bergaul dengan mereka Rud” “Kamu udah tahu jawabanmu dari dalam hatimu sendiri, maafin aku Els, aku nggak mau nyampuri privasimu, tapi aku cuma kasihan melihatmu” “Emangnya ada apa denganku, Rud !, aku baik baik saja kok Rud” 
“Ya sukurlah kalau kamu baik-baik saja, makanya paling tidak kamu bisa wisuda bareng aku, kalau kamu serius belajar. Aku Cuma menyayangkan lho Els, dulu kamu satu kelompok belajar denganku. Di perpustakaan kamu paling aktif, sampai nilaimu lebih baik dari aku. Aku mengakui kamu lebih segalanya dibanding temen cewek lainnya, tapi sekarang kamu kedodoran. Maafin aku ya Els, ini hanya sekedar saran dari temen kamu” 

“Ah nggak apa-apa Rud, aku nggak marah. Sebenarnya aku juga sering ditanya papa dan mama, kapan aku wisuda, tapi karena aku punya kesibukan lain” “Yah orang memang punya kesibukan sendiri-sendiri Els, aku juga nggak nyalahin sama kamu. Udahlah Els, aku tak pulang dulu” “Kamu punya acara penting kok buru-buru !”

 “Nggak,, aku Cuma mau pinjam tugas kita yang dulu dan aku Cuma pengin nulung kamu, kalau bisa kita wisuda bareng sama seperti kita dulu d perpus aktif bareng” “Ya tunggu sebentar to Rud, aku pengin curhat sama kamu, siapa lagi temenku yang peduli sama aku” “Tapi kamu banyak acara kan?” “Ya banyak” “Itulah yang aku takuti Els, aku takut ngganggu acara kamu” “Kamu mau kan ngantar aku jalan jalan hari ini ke mana aja. Please Rud !” 

“Aku nggak bawa kendaraan, Els, aku naik bis kota tadi “ “Pakai motor aku aja, kita pergi entah kemana terserah kamu aja” “Kok tumben, apa something wrong Els” “Yah begitulah, Rud. Aku mulai panik, temen-temenku udah mau wisuda, padahal, kreditku masih banyak yang belum aku selesaikan” “Nah itu baru Elsa, yooo kita berangkat” Aku cuma menuruti selera Elsa saja kala dia minta kita ngobrol di rumah makan khusus bakso kesukaan dia, tempatnya sungguh romantis. Cocok buat curhat si Kembang Wangi tambatan hatiku, yang selama ini aku hanya bertemu dengan Elsa di episode mimpi hidupku. Aku tahu pasti, bahwa Elsa adalah bunga layu, yang telah direguk sari madunya oleh banyak kumbang liar. 

Namun Elsa tetap elsa, aku tidak perduli apapun keadaanya. Karena dia juga manusia, toh yang penting dia mau menyadari masa lalunya dan masih memiliki niatan yang baik untuk menggapai masa depan dia entah dengan siapa dia melangkah. Sepatah demi sepatah kata curhat dari mulut Elsa mengalir bagitu saja, tapi aku sama sekali tidak mendengarkan, karena aku tahu semua sebelumnya, dan menyadari semua penderitaan hatinya. Hanyalah harapan yang begitu besar untuk memiliki yang membuat Elsa tanpa sedikitpun noda di depanku. 

“Mungkin saja kamu muak mendengar curhatku,,,atau kamu telah mendengar tentang aku dari temen temen kampus, Rud” “Nggak tahu Elsa, bagiku kamu curhat apa nggak itu sama aja” “Maksu kamu” “Kamu masih tetap Elsa yang dulu, temenku yang sering nulungku, kamu sering ngeprinkan tugas untuk aku dan banyak kebaikan lainnya, karena aku nggak punya computer, karena aku mahasiswa dekil dari udik yang nggak punya apa-apa, kamulah yang paling tahu keadaan ini. Sekarang kalau kamu seperti ini, akupun tidak memandang lain tentang kamu” 



“Ah yang bener aja Rud, jarang aku temui pria seprtimu, aku kehilangan kau Rud, kalau kau wisuda dan kembali ke Purwokerto “ Elsa menyampaikan kepediahan hatinya sembari bergayut di pundaku. “Tapi masih ada yang kurang Els” “Apa itu Rud” 

“Kamu nggak bisa aku miliki, nggak mungkin kamu mau dengan cowok dekil kaya gini” Elsapun hanya meredupkan matanya, wajahnya disodorkan di hadapakanku, dan sebuah ciuman kecil aku dapatkan. Mesti selintas namun berarti bagiku, inilah Elsa yang bertahun aku dambakan. Aku bisikan ke telinganya “ Els, aku sayang….Belum sempat aku selesaikan, Elsapun membalasnya dengan ciuman yang lebih bergairah.

Benang Sutra

Senja itu Lydia hanya sendiri di kamar, berteman sepi dan hanya menjaring sejuta angan dari penjuru benak hati yang satu ke penjuru benak hati lainya. Sesekali tiupan angin kencang bercampur titik air gerimis senja menerpa kamarnya. 

 Namun Lydia tidak memperdulikanya. sekali sekali sorot matanya diarahkan ke handpone warna biru muda, yang dia letakan begitu saja di atas seprei tempat tidurnya “Mengapa tak kau berikan teriakan nyaring, seperti yang sudah sudah dan mampu mengobati rasa rinduku pada Aldo, mengapa kamu keep silent ?

”. Sesekali pula Lydia membalik balikan Hpnya itu. Barangkali saja power anten hpnya yang rusak. Ataukah memang Aldo telah terbang dengan sejuta sayapnya dan hinggap di mawar lainya, yang segalanya lebih baik darinya. Berkali kali nomor Aldo telah genap tertera di screen handphonenya, namun pada akhirnya dia urungkan untuk mendapatkan obat rindunya. Mengapa pula dia harus terjepit dan terpagut sepi, kala Aldo dia “tawan dalam kain sutra”, yang halus namun kokoh. 

Padahal beberapa bulan lagi dia harus meninggalkan Jakarta untuk segera bertugas di Puskesmas Kecamatan Hidup Baru Bengkulu, sebagai dokter muda. Mengapa pula dia sendiri yang justru menghendaki perpisahan dan menepiskan kehadiran Aldo. Padahal dia sudah lama menunggu saat demi saat untuk Aldo, hingga Aldo mampu menjadi pria yang lebih dewasa dan mengerti. Lidiapun telah merasa cukup berkorban untuk Aldo. Tetapi bagaimanapun juga Lydia tetap seorang perempuan yang masih harus benyak belajar pada hidup ini. 

Seorang dokter muda yang ditantang mampu menyembuhkan berbagai penyakit pada pasienya di daerah terpencil nantinya, namun penyakit hati yang ada di dalam dirinya begitu asing dan mampu meradangkan setiap urat nadinya. 

Handhone dengan cassing biru muda itu kembali dia letakan di atas sprei tempat tidurnya. Diangkatnya seluruh tubuh yang melekat kuat di tempat tidur yang bersemangat menghisap tubuhnya yang dipenuhi rasa penat. Lydia tidak mau terjebak pada perangkap kasur tidurnya, dia lebih baik berdiri di jendela kamar tidurnya dengan membuka sedikit korden dan kaca nakonya, barangkali saja angin senja membawa salam dari Aldo untuk dirinya. Namun hanya gemerlap lampu jalan Kota Jakarta yang sama sekali tidak mau mendengarkan bisikan hatinya. Perlahan lahan Lydia menutup kaca nako dan korden, sementara dari kejauhan bising suara kedaraan bermotor masih menggetarkan gendang telinganya. Lydia masih 2 menjadi sosok yang diburu bayanganya sendiri, bayangan rasa sepi dan bayangan yang dia bangun sendiri. 
*** 
Ingin hatinya mengurungkan niatnya untuk bertugas ke Bengkulu. Untuk apa dia di daerah Bengkulu, bila rasa sepi yang menghantuinya tidak mampu dia tepis. Bahkan kini dia seperti anak ABG atau teenager yang lebay merindukan doinya. Namun pikiran itu dia buang jauh=jauh “Aku perempuan yang telah dewasa, aku harus menjadi Lidya yang tagguh. 

Bukankah kepergianya nanti ke Bengkulu adalah pilihanku yang semula ditolak tegas oleh mama dan papa” Bisik hati Lidya sendiri, kini menjadi karibnya sendiri. “Teeet…teeet..teet “ Dering handphone yang sejak sore tadi terbungkam dingin, kini membangunkan Lydia, yang sudah mulai terhisap pada setiap lekukan springbed bersprei merah jambu. “Hallo Lidya ! “, dari speaker hp-nya melenting begitu saja suara teman karibnya, yang serasa tahu betul apa yang hinggap di hati Lydia kini. “Oh Aya.! Syukurlah kamu ngebel aku, dalam kamar sejak sore tadi. Rasanya aku seperti lagi menunggu hukuman gantung ! “ 

“Ada apa Lidya ?. Kok kamu ngaco gitu, sih !” Teriak Soraya, temen yang ganjen dan sudah sejak SMA dulu menjadi karib sejati Lidya. “Nggak tahu aku Aya !. Sejak sore tadi aku gelisah, sebenarnya sih ingin enjoy!, tapi aku bingung harus bagaimana ?”. “Heeh, kamu kan bukan ABG lagi, kamu sekarang bu dokter muda, yang sebentar lagi bakal menangani pasien di daerah terpencil, terus kalau kamu galau kaya gitu, eh bisa-bisa seluruh pasienmu mati dong, Lidya!” “Ah ada aja kamu !, justru itu Aya !, setelah aku lulus koskap dan harus bertugas sebagai dokter, aku semakin merasakan arti hidup ini. Aku nggak akan terus seperti ini kan?, ah aku nggak tahu Aya !”

 “Lidya, mesti kamu lagi kesepian, iya kan ?. Kamu kangen sama Aldo ?, yang baru saja kau campakan !”. Ucapan Soraya dari balik speaker hp, layaknya sebuah anak panah yang tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung hati Lidya, Apakah diriku bersalah ? 3 bila diriku kini mengharapkan Aldo?, yang justru baru saja aku tepiskan segalanya. Hingga Aldo pria yang punya lifestyle suka hidup bebas, kini telah terbang entah ke mana, Lidyapun tidak tahu. Kenapa aku mengharapnya kini ?, seperti menawan Aldo dalam rajutan kain sutra.

 “Halloo…hallooo !, Lidya ..Lidya !, kamu lagi sensitif malam ini ?. OK Lidya sorry ya !!!” “Halo , Soraya !, nggak apa apa kok !. Aku hanya konyol saja malam ini ?” “Lidya !, seperti kataku dulu waktu kamu curhat sama aku. Aldo sebenarnya pria yang lembut dan dewasa, hanya dia memang susah diatur. Sebenarnya dia bisa kok menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi gimana lagi Lidya,! kamu harus kukuh dalam meniti karir sebagai dokter. Aku harap kamu mampu menjadi dokter sekaligus istri yang baik untuk suamimu nanti yang lebih baik dari Aldo “ 

“Makasih, ya Aya!. Kamu pernah jumpa Aldo belakangan ini ?” “Nggak pernah, Sudahlah Lidya !, sekarang lupakan saja dia, di depanmu kini menanti jalan karir yang panjang, OK deh Lidya lain waktu kita jumpa lagi. Met malam, ya !” Kamar tidur itu kembali lagi membius Lidya dalam dingin dan sepi, ornament yang melekat di dinding kamarnya yang penuh variasi warna dan bergurat gaya Italia kini tak mampu lagi menghidupkan hatinya. 

Di tengah kegalauannya, Lidya sebenarnya masih menyelipkan sebuah perasaan kodrati sebagai perempuan, yaitu sebuah hasrat membutuhkan kehadiran pendamping pria yang mampu melabuhkan perasaan kodrati itu. Sebagus apapun karirnya nanti dia tetap tidak mampu mengenyahkan perasaan itu. Kini semua yang dilihat dalam kamar menjadi samar dan menghilang, tinggalah kini Lidya yang direnggut mimpi mimpi indah. *** Pagi berkabut menyelimuti Kota Jakarta, setelah semalam dibasahi gerimis, batang batang perdupun menjadi terbujur dingin. Tak ada lagi nyanyian burung Pipit, Kenari dan Kutilang di kota yang garang dan beringas seperti Jakarta. 

Apalagi angin musim penghujan bertiup agak kencang dan menjinjing rasa dingin . Namun bagi manusia yang 4 masih memiliki sebilah nafas dan deru jantung, mereka tetap menjemput hidup ini meski di tengah cuaca yang tak ramah seperti pagi ini. Lidyapun bergegas menjemput hidup di pagi ini dengan wajah yang dilipat. 

Karena pagi ini dia harus mengurus berbagai surat ke Kementrian Kesehatan untuk tugasnya ke Bengkulu dalam waktu dekat. Apalagi wajah pagi kali inipun tidak mampu lagi mengusiknya untuk merajut senyum ceria, meski sarapan pagi untuknya telah siap dan telah lama menanti. Namun semua sarapan paginya kini hanya diterkam dengan sorot mata yang dingin, hanya beberapa teguk teh hangat manis yang membasahi kerongkonganya. 

Sementara hatinyapun terbang entah ke mana, hanya Lidya yang tahu. Perasaan aneh pada Lidyapun segera dapat dibaca oleh maminya yang sekarang duduk di depanya dan sekali sekali menyapu seluruh wajah Lidya yang pucat dengan pandangan yang lembut dan hasrat untuk menelisik perasaan putri sulungnya. “Lidya !, seharusnya kamu bahagia saat saat ini, kamu berhasil lulus menjadi dokter dan mampu meraih prestasi lulusan terbaik. Mama dan papa juga ikut senang. Apalagi kamu berhasil mendapat ikatan dinas menjadi dokter ASN  dan kamu mau menerimanya kan ?, meski harus ke Bengkulu. Tapi kamu beberapa hari ini kelihatan suntruk , ada apa Lidya ?”.

 “Ah, mami. Biarin saja mam !!, ini urusan Lidya kok dan Lidya bisa mengatasi sendiri “. Separo dari teh hangat kini sudah direguk oleh Lidya, namun sarapan yang ada di depanya masih dibiarkan Lidya hingga bertambah dingin. Lidyapun tidak mau maminya mengusik privasi yang ada di hatinya. 
 Apalagi bila maminya tahu bahwa yang mampu menghangatkan hatinya yang membujur kaku, hanyalah Aldo, bukanya Albert yang kehadiran di sisinya sangat diharapkan oleh mami dan papi Lidya. “Tapi, kamu kan sebentar lagi tugas di Bengkulu. Kalau kamu sakit, papa jelas tidak setuju !.” “Aku baik baik saja, mam ?” “Apa kamu kesepian ?. Setelah Aldo kamu putuskan !” “Mam !, Lidya bukan anak kecil lagi, mami hargai dong ! privasi Lidya !” 

 Suara batuk batuk kecil tapi agak dalam, terdengar hingga tiap sudut ruang makan. Suara batuk itu berasal dari Pramono, papi Lidya yang belum mampu meninggalkan kebiasaan merokoknya. Lelaki separo baya itu merasa keberatan bila Lidya harus tugas ke Bengkulu sebagai dokter puskesmas. Pramono lebih memilih Lidya segera membantu papinya dalam mengembangkan konglomerasi Pramono Group. Pramonopun berambisi menempatkan Lidya, putra sulungnya sebagai staf direksi untuk menekuni manajerial di perusahaan besar milik papinya. Tapi apa mau dikata Lidya lebih menyukai menjadi dokter di daerah terpencil, dengan alasan sebuah kepedulian dengan sesama dan ambisi untuk mendalami ilmu kedokteran. 

Dalam ambisinya yang mengental sekeras batu, Pramono akrab dengan Albert Harjo Wongso, direktur muda sekaligus putra mahkota Raja Baja Indonesia yang masih lajang. Meski Albert, seorang direktur yang usianya jauh di bawahnya, namun kemampuan dalam memanage perusahaan besarnya sungguh brillian. Terbukti dengan tangan diingin dan langkah strategis Albert mampu mengembangkan Wongso Group, yang bergerak di bidang jasa baja dari hilir hingga hulu. 

Dari ide ide cemerlang Albert inilah, Pramono memiliki ambisi untuk mengembangkan sayap Pramono Group, dan Lidya telah menjadi pilihan hatinya untuk menjadi central direksi di groupnya. Sebersit ide cemerlang telah menghantui Pramono dari waktu ke waktu, untuk mempertemukan Albert dengan putri sulungnya, guna melancarkan ambisinya sekaligus menyiapkan masa depan semua putra putranya. Namun hasrat itu telah sirna karena kehadiran Aldo, pria yang dianggapnya tidak punya visi hidup. Apalagi dengan rencana Lidya yang berambisi menjadi dokter puskesmas di Bengkulu. 

“Lidya !, kamu sakit ?”. Dengan penuh kelembutan papanya menyapa Lidya di pagi hari yang sudah mulai dipenuhi sinar kuning mentari. “Nggak pap !, Lidya hanya lagi tidak selera hari ini “ “Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?. Tuh lihat adik adikmu sarapan hari ini dengan penuh selera “. Papi Lidya berusaha menghibur Lidya, yang kini berada di tengah ke dua adiknya yang lahap menikmati sarapan paginya dengan nasi hangat dan ayam goreng yang dibumbui dengan saos tomat. “Sudah ada kabar!, kapan kamu berangkat ke Bengkulu ?’

 “Belum tahu pap, hari ini Lidya coba menanyakan surat tugasnya ke kementrian !” 6 “Kok belum selesai sih surat tugasnya ?” “Nggak tahu!, pap. Lidya juga bingung! “ “Lidya, mengapa mesti harus ke Bengkulu ?. Kalau kamu berambisi ingin jadi dokter yang sukses, mudah bagi papimu memasukan kamu ke Cipto sambil mengambil spesialis di UI. Pikirkan dulu, sebelum kamu ke Bengkulu “ “Iya, Lidya!, papi juga sependapat dengan mama. Kalau kamu tidak pengin membantu papa di perusahaan, ya OK lah !. Tapi mengapa harus ke Bengkulu ?”

 “Piss mam, jangan ungkit ungkit lagi masalah itu . Nanti juga ujung ujungnya ke Albert, Lidya jadi pusing !” “Lidya !, papa sama sekali tidak melarangmu ke Bengkulu, toh kalau naik pesawat dari Jakarta nggak ada 1 jam. Tapi apa kamu bisa tahan menghadapi tantangan di sana?. Kalau tugasmu di puskesmas daerah Jakarta papa tidak ambil pusing” 

“Papa mama inginkan punya putra putra yang mandiri ?. Maka itu papa!, Lidya hanya ingin belajar sebuah kemandirian dan makna hidup. Lidya masih ingat, sejak dari TK hingga sekarang Lidya berkubang dengan kecukupan apapun. Lidya ingin mandiri di tengah masyarakat desa yang terpencil, barangkali disanalah Lidya menemui makna hidup “ Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mama dan papanya, hanya peluk cium yang dia dapatkan dari kedua adik Lidya yang minta pamit berangkat sekolah. Lidyapun minta pamit pada mama dan papanya yang terkadang merasa kasihan sekaligus merasa kagum dengan visi hidup putra sulung mereka. Namun perasaan risau papanya masih saja bersemayam di dadanya. 

Mengapa perjodohan Albert dan putrinya belum menjadi kenyataan. 
*** 
Mobil sedan warna merah metalik masih menderukan mesinya dan tak lama kemudian membisu. Lidya keluar dari mobilnya yang diparkir di halaman Genius Café tempat dirinya mangkal bersama sokib sokib lainya saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Sudah agak lama Lidya tidak menjenguk café itu, namun beberapa bartendernya masih jelas mengenalinya. 7 “Non Lidya, sekarang bertambah cantik, tapi kok agak kurusan sedikit “ 

“Makasih Icca, bagaimana kabar kamu. Masih betah kerja di sini ?” “Aku baik baik Mba, ya habis mau kerja di mana lagi, mba. Ah disini juga lumayan mba ? bisa untuk membeli susu anaku “ “Oh kamu sudah marriage ya !. Selamat ya !” “Makasih mba, oh ya Aldo juga nasih sering ke sini mba ?’ Icca tabpa sengaja mengabarkan tentang Aldo. “Ngapain dia ke sini ?” “Aku nggak tahu, mba. Tapi maaf ya mba ?” “Ya ada apa ?” 

“Ah nanti mba Lidya tersinggung, benar nih ?” “Sure Icca !, aku nggak bakalan tersinggung. Aku dan Aldo kan sekarang hanya sahabat dekat saja “ “Aldo sekarang pacaran dengan Trisnani, katanya sih dia penyanyi. Tapi belakangan ini aku lihat Aldo nggak urakan seperti dulu, dan sebentar lagi katanya mereka mau marriage. Mba belum tahu kabar ini ?”

 “Belum, ya makasih infonya ya Icc, aku ikut bahagia jika Aldo marriage dengan eh siapa saja” Sesaat eksotis café di siang itu menjadi memudar bagi Lidya, setelah sebuah mobil Pajero warna hitam parkir di halaman depan. Mobil itu tidak lain adalah milik Aldo, yang tidak lama kemudian Aldo sudah berada di depan meja bartender, untuk memesan kopi dan Virgin Cake kesukaanya. Aldo pu terperanjat kaget melihat Lidya di sudut meja cafe itu dengan segelas besar air jeruk dan beberapa pengal roti untuk makan siangnya. “Lidya, kamu sudah lama, bagaimana kabarmu ?” “Baik baik saja Aldo, ngapain kamu disini. Bagaimana kabarmu Aldo?” 8 ‘Aku baik baik saja, aku ke sini hanya sekedar membunuh waktu saja. Karena aku belum kerja. Kamu juga ngapain di sini ?” “Aku mau ke kesehatan, tapi tadi lagi meeting, Jadi aku nunggu di sini” “Ngapain ke kesehatan, Lidya ?”

 “Aku mau mengambil surat tugas sekalian SK capeg. Aku ditugaskan di puskesmas terpencil di Bengkulu. Oh ya mumpung kita ketemu, aku pamit ke Bengkulu, sekaligius aku minta doamu semoga aku berhasil “ “Lidya, kamu memang sahabat yang baik hati. Tentu aku terus berdoa untuk sahabatku yang di Bengkulu. Lidya sering kabar kabar dong sa aku kalau ada apa apa ? Sama aku juga akan selalu memberi kabar sama kamu, mama dan papa” 

“Aldo, aku dengar katanya kamu mau marriage?” ‘Aku belum berani ngasih kabar sama kamu, nanti deh kalau semuanya sudah OK. Kamu tidak ganti nomor hp kan ?” Lidya hanya menggelengkan kepalanya, lantaran tidak mampu member jawaban degan lidah yang kelu, tenggorokan yang sesak dan seribu perasaan yang tidak menentu. 

Pria yang ada di depaya kini sama sekali tidak memberikan harapan baru lagi. Pria yang ditawan dalam tirai sutranya kini lepas bagaikan burung dmerpati yang lepas dari sangkarnya. Lidya tambah kokoh berniat pergi ke Bengkulu***

Senja

Bagi Elga tahun baru kali ini, hanya dihiasi sebah senyum sahaja. Tahun baru hanya sesuatu yang lewat begitu saja, seperti hari hari lainnya. Terompet yang bereksotis menggigit lampu lampu jalan hanya di cibir saja. 

Bagi Elga yang penting hanyalah sikapnya yang harus dibenahi demi sebuah interstnya pada studinya. Sebuah kenangan beberapa tahun lalu kini menyentuh jantungnya, tetapi hanya sesaat ditepis hingar bingarnya malam tahun baru. Malam yang begitu berkesan kala Rehas masih disampingnya. 
*** 
Rehas datang ke acara kumpul bareng sokib-sokib gaulnya di rumah Avda pada sore hari sesuai apoinmen mereka lewat Hp. Bukan siapa-siapa yang terselip di hatinya kala dia berambisi untuk gabung di rumah Avda, di awal tahun baru ini, bukan pula secangkirkopi dan sekerat roti yang dia buru. 
 Tapi kata hati, yang terus memberontak menusuk rongga dada, jantung dan urat nadinya. Avda segera menghamburkan diri ke beranda rumah, kala kelebat tubuh Rahas terlihat di pintu gerbang halaman rumahnya. Avda mengulurkan ke dua tangan, sedangkan Rahas hanya memperepat langkahnya sembari melempar senyum. Perjumpaan ini mirip dua orang 

“Knight dari Skandinavia” yang bertahun tidak berjumpa dalam kancah pperangan melawan Romawi. Bagi Rehas selama empat tahun tidak pernah bisa jumpa dengan beberapa sokib kentalnya sejak SMP, memang membuatnya dia ngebet ingin jumpa hari ini, di tengah libur panjangnya. “Rehas, kita jumpa lagi, sehatkan ?” kalimat pertama Avda yang lepas berderai tawa memenuhi beranda rumahnya yang hanya berlantai semen. 

“Avda !, aku nggak sangka kamu mau datang !. Rasanya baru kemarin kita pisah !” Mereka berdua merasakan kehangatan yang renyah, akrab tetapi fresh meski udara di luar terasa dingin akibat gerimis yang mengguyur awal Januari tahun ini. Rehas masih menampakan sebuah duka yang menyerpih di dinding kalbunya meski dia sudah meninggalkan kota lamanya empat tahun silam, sebuah duka tentang pertemuanya dengan Elga dan sebuah perpisahan yang menyakitkan. “Bangkitlah Rehas !, mendung tidak selamanya membawa hujan !” sebuah advis sejuk datang dari Avda. “Apa maksudmu ?” “ Tidak selamnya apa yang kamu duga akan menjadi kenyataan “ “Aku masih belum tahu, cobalah kamu lebih detil saja “ 

“Ah...kamu kan udah mahasiswa tahun ini, masa nggak tahu sih Has !” Avda meneguk bebarapa tegukan kopi hangat, sedangkan tak satupun makanan yang belum masuk ke rongga perut Rehas. Avdapun tahu sebuah kegalauan kini menyelimuti hati sokib dekatnya itu yang datang dari Medan demi apoinmen mereka, atau demi Elga yang rencananya juga mau ngikut bareng ngumpul. “Has, kamu coba dong lebih dewasa sehingga bisa memberikan Elga sebuah alasan tentang empat tahun yang lalu. Dia juga sering nanyain kabar kamu kok ! “ 

“Emang itulah yang akan aku lakukan, moga-moga sore ini aku mampu menjadi The Braveman untuk sebuah penjelasan “. Sendu di wajah Rehas sudah mulai tertepiskan. “Mengapa tidak kau lakukan di awal awal saja ?” “Itupun aku menyesal, yah kita saat itukan masih remaja yang belum dewasa. Perpisahaku dengan Elga hanya menimbulkan emosi di hatiku. Aku benci bila melihat Elga. Namun kebencian itu lama-lama meluruh, meninggalkan kesan pada Elga dari sisi lain “ . 
Rehas kini mulai membasahi tenggorokanya dengan softdrink yang ada di depanya. “Sisi yang mana ?” “Ternyata dia lebih dewasa lagi sekarang, apalagi setelah lulus SMA. Aku bisa menebaknya, dia jauh lebih dewasa dari umurnya. Betulkan kan , Avda ?” “Betul Has !,sayang kita berpisah lama. Seandainya kamu masih gabung bareng denganku. Tentunya akan aku ceritakan semua tentang Elga “ 

“Kamu dekat dengan, Elga ?” Rehat mulai mencoba menelisik tentang Elga. “Kebetulan dia kuliah bareng aku, Sehingga dia hampir tiap hari ketemu aku “ “Mengapa kamu nggak crita sama aku ?” “Orang kamu aja baru sms met tahun baru kemarin, gimana aku tahu posisi dan no hap kamu “ “Banyak yang pdkt sama dia, Avda ?” “Dia menjadi bunga kampus, apalagi dengan sikapnya yang dewasa. Dia juga dinilai banyak teman-teman sebagai wanita flamboyan. Aku sarankan kamu pdkt lagi dengan kiat yang santun, halus selembut sutra !”. Rehas hanya diam membisu. 
*** 
Avda, meski bukan anak seorang gedongan, tapi memiliki karakter yang santun, halus, peduli dan ringan tangan menolong siapapun. Oleh karena itu banyak sekali sokib-sokibnya yang seneng berada di dekatnya, meski belum satupun cewek mahasiswi yang mampu menjadi penambat hatinya. Karena bagi Avda “cinta” bukan selembar hasrat yang harus ditautkan dalam wujud pacaran. Avda hanya mengenal cinta dalam wujud memberikan kebaikan dengan lainnya. Maka bila dia mengantar pulang Elga, Shanty, Elvi dan seabreg cewek lainnya, dengan sepeda motor bututnya, itulah cinta menurutnya. Maka kala dia memberikan selorohnya untuk mengumpulkan semua sokibnya di rumahnya yang sederhana,semua sokibnyapun menyambutnya. 

Mereka kin tidak membuhkan temu bareng di hotel berbintang, atau di pub, restoran dan lain sebagainya. Tetapi meski hanya rumah sederhana di batas kota mereka semua dengan ringan menyetujui kumpul bareng itu. Rehas belum mampu melepas semua candanya pada semua teman-teman Avda yang sudah mulai gabung dengan duduk di atas tikar, sambil memusari hidangan pecel lele dan nasi hangat serta sambal yang pedas. Tidak ketinggalah daun kemangi dan irisan mentimun juga ikut menambah menu tahun baru yang sederhana. “Avda !, kita bikin heboh aja kumpul bareng ini !” pinta Kayla. “OK !, aku yang bawa gitar, siapa yang mau nyanyi !. Kayla please ?” “Aku nggak bisa nyanyi, aku bacakan puisi saja ya !, kebetulan aku bawa dari rumah,setuju !” “Setujuuuuuu....!!!!!” 

Semua kebisuan tadi kini menjadi cair, saat Kayla membacakan puisi karya dia sendiri : Puisi Tentang Tahun Baru Bukankah aku telah simak dengan seluruh nadi darahku agar tetap mengalirkan semua yang kau pinta lantaran telah hilang lakon hidup episoda demi episoda kini haripun bertabuh genderang tahun baru biarlah aku hadirkan lagi bahasa tubuhku yang lama terbang merengkuh awan biarkan pula langit memberikan senyumnya asalkan kita sewarna merah, biru dan jingganya tahun baru. Saat ini tak mau aku menanti datangnya mentari Lantaran telah aku basuh wajah dengan senyum bidadariku Yang telah memberikan aku secawa air pelepas dahaga Biarlah semua tergambar jelas Akan aku dapatkan lagi 

 Biru langit bertepi ormanen warna jingga Sementara engkaupun masih menawarkan lagi Sebilah hatimu yang telah meranum bahagia Kayla, 4 Januari 2020. Rehas dan Elga tak sengaja saling bertatap mata, Rehas mengawali dengan seberkas senyum gantengnya. Elgapun mambalasnya dengan sebuah bisik hati , “Rehas bila biru rindumu memberkas katakan saja, akan aku terima dengan kedua tanganku 

“ Rumah Avda yang berdinding setengah papan itu menjadi saksi pertemuan mereka berdua. Sebuah senjapun kini menyodorkan sebuah bingkai asmara untuk mereka berdua. “Selamat Elga !, sukses selalu untuk kamu, kamu sekarang berhasil kuliah di negeri !” “Makasih Has !, kok tahu ada pesta kecil-kecilan di sini?. Aku dengar kamu sekarang di Medan !”

 “He..eh, setelah naik kelas XI papi dipindah ke Medan “ “Sekarang kamu kuliah di mana ?” “Yah...beginilah aku, nggak bisa kuliah di PTN. Betul advismu dulu Elga !” “Advis yang mana ?” “Meski kita mau bagaimana, studi juga perlu di perhatiin untuk masa depan kita. Advismu yang seperti itu masih aku ingat betul “ “Tapi roda waktu masih berputar, kita belum tahu segalanya. Jangan putus asa dulu, Has !” “Makasih !, kamu masih seperti dulu, Elga!. Aku dengar dari Avda kamu sekarang menjadi bunga kampus “ “Makasih juga Has

 “ Elga seterusnya hanya diam membisu, namun masih memberikan pesona bagi Rehas yang sedang dgrogoti rindu yang berat. “Elga, gimana pendapatmu ?” “Tentang apa !” “Tahun 2020 ini aku mau kuliah di Semarang saja, papiku pun setuju. Daripada di Medan aku hanya main saja 
“ Tidak ada satu patah katapun yang diuntai Elga, hanya sebuah pandang mata yang sendu dan menggeleparkan jantung hati Rehas*** Diposting oleh Unknown di 15.35 1 komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Label: Cerpen Remaja Smilling So Good 
 “Jangan sekali- kali kamu semua mencoba mendapatkan bunga kampus kita, yang suka ngomong seenaknya dan konyol itu “ umpat Sam yang menyelipkan tubuhnya ke tengah sokib sokibnya yang sedang rehat di halaman sekolah di tengah pagi yang cerah. Meski saat itu musim hujan sedang menerpa kota mereka. “Maksud kamu bunga sekolah yang mana Sam?, yang cuakep kaya Kate Midlleton tapi nggak pernah senyum kaya Mak Lampir itu ?” 

Richard tanpa selembar tiraipun menutupi ucapanya, sehingga sebuah tawa dari merekapun berderai di pagi itu. Pohon Akasia yang berjejer memayungi halaman sekolah serasa hampir roboh dihempas derai tawa cowok-cowok kelas IPS, yang lagi betah nyanggong menunggu bel masuk “Sayang ya friend !, Kartika sih sebenarnya cuakep, namun galaknya minta ampun !” sela Rush. “Lagian dia egois!, man ! “ Hendra mulai interest dengan seloroh mereka. “Dari mana kamu tahu Kartika egois, emangnya kamu pernah dekat sama dia Dra ?” desak Steven. “Sok tahu kamu Dra !” bantah Sam yang tidak percaya dengan ucapan Hendra. “Coba dulu !, kita dengarkan Si Ganteng Pemburu Cinta ini ngomong dulu, dia ngatain Kartika egois !, mesti dia punya alasan, ayo dong Dra !, terusin omongan kamu “ desak Steven yang kini duduk di samping Hendra, 

“Ah, bisa aja kamu Stev !, aku cuma ngomong asal-asalan friend !” Hendra merasa tersudut kini, karena serangan temen temen yang membrondongnya. “He, man !, ayo dong yang konsisten, mengapa you ngomong Kartika egois ?. Menurut aku sih dia angkuh, susah diajak kompromi dan susah dideketin. Betul nggak Sam?, lihat saja Sam yang ngap-ngapan deketin Kartika. Sampai sekarang belum berhasil, percuma kamu Sam punya sokib seperti kita kita ini ! “ “Jangankan Sam, yang kaya anak kampungan. Aku sendiri yang bisa dekat denganya belum bisa mendapatkan dia”. Hendra melemparkan selorohnya yang membuat mereka semua terperangah. Pandangan mata mereka kini semua terarah ke Hendra. Untuk beberapa saat derai tawa mereka kini terhenti dan semua membisu. “Temen temen!, Kartika sering minta tolong aku untuk ngajarin matematika, aku sering ke rumahnya. Akupun mau- mau saja. Tapi giliran aku butuh teman untuk enjoy dan refresh eh dia nggak mau “. 2 “Hahaha..sekarang Si Ganteng Pemburu Cinta kena batunya, tahu rasa kamu !” ejekan Steven menderaikan tawa mereka semua. “Kamu GR duluan sih Dra ?” jawab Richard. 

 “Kakek pikun !, bukan seperti itu cara ndekati Kartika !” Sam masih saja belum bisa menepiskan derai tawanya. “Makanya lain kali jangan terburu-buru !” “Eh, udik !, perlu kiat khusus untuk mendapatkan kembang kampus yang flamboyant tapi angkuh itu, belajar dulu sama kita kita ini !”. Ucapan Richard tadi semakin membawa halaman sekolah itu bertambah semarak di pagi yang mulai dihampiri kuning sinar mentari. “Eh, sok pinter kamu Richard !, buktinya mana ! Kamu belum bisa mendapatkan Kartika, kan ?” “Asal kamu tahu, aja Dra !, Veny segalanya lebih baik dari Nenek Sihir itu !” “Udahlah !, jangan berantem. Kita kitakan masih anak ingusan.

 Masalah pacar yang idamkan, nanti aja kalau kita sudah mahasiswa.Kita kan belum apa –apa !!” .Pinta Rush pada kedua cowok gaul itu yang sudah meradang nadi darahnya. Teeet…teet…teet. Bel sekolah mengisaratkan mereka untuk segera masuk ke kelas mereka masing masing. Sementara anak anak IPS tadi segera berhamburan meninggalkan halaman depan sekolah mereka. Pohon palem botol dan Akasia kali inipun bisa bernafas lega, kemudian diam membujur diterpa sinar mentari. 
*** 
Perlahan lahan sinar mentari mulai tertutup mendung tebal, tak berapa lama gerimis membasahi Bulan Desember ini. Mereka yang selesai mengikuti tes semester kini memburu waktu agar tidak terjebak hujan. Kecuali Kartika yang sendirian sengaja menunggu Hendra di pintu depan sekolah Kedua sorot mata mereka berdua bertatapan, sebuah senyum dari Hendrapun dilemparkan ke arah Kartika, yang dibalas dengan senyum tipis dan sebuah permintaan Kartika pada Hendra, untk mampir di kantin sekolah. “Apa maksudmu sih Dra ?” “Tentang apa ?” “Ya tentang aku “ “Maksudmu ?” 3 “Jangan berlagak bego!, aku tahu semua pembicaraan teman temanmu tadi pagi di halaman sekolah !“

 “Dengar dari siapa ?” Tanya Hendra. “Nggak dengar dari siapa-siapa !” “Terus bagaimana kamu tahu ?” “Ya, karena aku duduk di depan kantin sini dan dengar semua ocehan sokibmu “ “Mereka semua Cuma pengin dekat denganmu,Tika ?” Hendra mencoba mencairkan bara api yang ada di dalam jantung cewek yang telah menautkan benang sutra di hatinya. Cewek yang menjadi kembang kampus di sekolahnya ini, kini telah hadir dalam beranda hatinya. 

 Meski Hendra telah mengenal dekat dengan Kartika, namun dia masih bimbang bagaimana mengokokan batas antara sebuah persahabatan dengan sesuatu yang sulit diwujudkan baginya. “Kalau pengin deket aku,ya deket aja !. Kenapa harus pakai selorohan kasar, si Nenek Sihir !, Mak Lampir ! dan apa lagi !. Hendra !, mereka semua bukan sekedar mau deket dengan aku!, tapi coba kamu pikir!. Seperti Rush, Richard, Sam, Steven itu masih seperti anak kecil, sudah berapa surat yang mereka kirim untuk aku, belum lagi rayuan ingusan lewat hp. Mereka semua belum tahu arti persahabatan, mereka semua hanya mengerti cinta-cinta ingusan !” “Tapi mungkin lebih baik lagi, bila kamu selalu memberi senyum pada mereka bila ketemu mereka. Tika !, kalau kamu tidak memberi mereka sebuah harapan, apa harus saling membisu bila berpapaan mereka “pinta Hendra. “Aku memang the ice girl, namun awalnya aku juga so smilling dengan mereka,namun mereka menartikan lain” “ Aku juga heran, mengapa mereka menilai kamu seperti itu ?”

 “Hendra !, aku juga ingin supaya kamu jangan salah paham. Aku hanya berhasrat merangkai sebuah persahabatan. Aku tidak gampang memberikan harapan pada semua orang. Bila aku mengajakmu belajar bersama, apa ini sesuatu yang lain untuk kita. Maafkan aku ya Dra !, kamu nggak tersinggung,kan ?”Hendra menggelengkan kepalanya, sebuah sorot mata ang lebay terus saja menghiasi wajahnya. Kartikapun tahu bahwa memang cowok ini telah menyimpan sesuatu yang begitu halus dan lembut. Selembut embun pagi. 

Namun Kartikapun tahu bahwa perhatian cowok genius ini pada dirinya sungguh lembut. Hendra selalu mengerti perasaan dirinya, apa yang menjadi batas sebuah persahabatan antar mereka telah Hendra jaga dengan kokoh, sekokoh pribadinya 4 yang tangguh. Namun hanya sebatas itulah yang mampu Kartika berikan pada cowok ini. Entah sang waktu sajalah yang bakal menorehkan prosa antara mereka. “Dra !” “Ya, Tika !”. “Kamu nggak marah kan ?” “Nggak !” “Aku mau minta tolong lagi, mau Dra ?” “Katakan saja !” “Kita bahas soal soal matematika tadi di rumahku , maukan ?” “Asal kamu selalu memberiku senyuman yang terindah, maukan ?” “OK, So Smille So Good !!!!” ***