Jumat, 06 Agustus 2021

Letnan Sudjiwo (Menyambut HUT RI ke 76)

 


September hari ke 18 tahun 1948, sebuah pengumuman dari Gubernur Militer Republik Sovyet Madiun tentang pembentukan Front Nasioanal Daerah menyelinap ke angkasa Kota Surabaya yang terpagut sepi, lantaran disekap hujan semalam.

Namun pengumuman Gubernur Militer Republik Sovyet Madiun tersebut, seketika menghangatkan udara kota Surabaya. Embun yang turun di pagi hari sontak menepi, ditepis gelora juang hati para pemuda, termasuk Letnan Sudjiwo, anggota TKR Batalyon Mayangkara 503, di Perning Sidoarjo tepi batas kota. Surabaya yang merah membara akibat ulah anjing NICA pada November 1945, kini kembali bangkit lagi untuk menghempaskan “merah darah” yang hendak merenggut Bumi Madiun menjadi negara Beruang Merah.

Demikian juga Lt. Sudjiwo, hati letnan lajang itu meradang merah membara mendengar “kaum merah” yang menggagahi Madiun dengan sekehendak hati. Ibu pertiwi yang lagi bersolek penuh gairah bersyahwat dengan nasionalis setiap anak bangsa, guna mempertahankan sang kekasih dari sergapan dan tikaman bregundal dari daratan Eropa, yang telah berabad lamanya memasung hasrat Ibu Pertiwi “pemilik archipelago yang berpantai nyiur hijau”, telah terluka hatinya. Luka hatinyapun   tersayat bertambah dalam, lantaran bercampur dengan sebuah kerinduan semua anak bangsa akan makna sebuah kebebasan, yang telah menjadi fitroh , harkat dan martabat setiap nafas, yang telah banyak ditebus dengan apa saja yang mereka mampu kerjakan dan akan terus menjadi “penyulut” pergulatan panjang di pentas prosa sebuah bangsa.


Sang letnanpun telah tahu persis tabiat “kaum merah” yang liar tanpa nyanyian jiwa, maka Rakyat Madiunpun bakal menjadi  korban radikalisme tanpa mengenal “kehalusan akal perasaan” demi sebuah revolusi setan. Maka Perningpun menjadi saksi bisu akan semangat anak bangsa “asuhan negeri ratna mutumanikam Nusantara” untuk menerjang setiap hasrat yang menodai revolusi kemerdekaan ini. Mereka telah berkumpul di markas batalion itu untuk menunggu perintah Panglima Divisi I Jawa Timur Kolonel Sungkono.


Belum jelas betul jalan-jalan di Kota Surabaya akibat embun pagi yang menghalangi sang mentari. Sepanjang perjalanan hanya terlihat rumah rumah penduduk yang masih terbujur kaku dengan pintu yang masih tertutup rapat. Mereka betul-betul melupakan “ucapan selamat pagi” pada wajah pagi. Namun letnan lajang itu telah melaju dengan sepeda Bathavus menuju Ngagel guna menautkan hati dengan gadis yang selalu hadir di hatinya.

Irma gadis Ngagel yang dirindunya kini menghias bibirnya dengan senyum ceria, bak bunga mawar merah bermandikan embun pagi. Irma tiada mengira “Shodancho Sudjiwo”, yang dia kenal betul sejak jaman PETA, kini berada tepat di depannya meski hari masih tertutup embun.

“Ada perlu penting apa Mas !, pagi pagi sudah ke Surabaya. Ada sesuatu yang gawat rupanya ?”

“Betul, Ir !. Madiun diterjang orang merah. Musso dn pengikutnya bikin ulah. Nasibku tinggal menunggu telegram dari Pak Dirman. Untuk maju menyabung nyawa, sesuatu yang sangat aku benci dalam hidupku”

“Kenapa baru sekarang, Mas bicara masalah menyabung nyawa, Mas kan bukan anak kecil lagi. Sudah kenyang dengan pertempuran meregang nyawa sejak jaman Heiho,

PETA dan pembentukan Djawa Hookoo Kai. Semua anggota laskarpun menyabung nyawa dengan gagah berani“

 “Aku sendiri heran,  Irma .!, Mengapa begitu panjangnya tugas-tugas negara yang selalu saja menelibatkan aku. Padahal aku berharap semua akan berakhir . Sehingga aku bisa meniti kehidupan bersama kamu dalam satu rumah mungil.Tapi ya suadahlah…Ir, aku hanya akan pamit saja sama kamu, untuk menerjang Musso di Madiun”.

Irma hanya tersenyum manis mendengar keletihan jiwa pada letnan muda itu. Namun diapun memaklumi. Lantaran dia dan jutaan Rakyat Indonesia sudah letih pula dalam menggapai kehidupan adil makmur sentosa di masa mendatang. Keduanya kini hanya saling pandang, ketia roda-roda sepeda Bathavus sudah berada di depan rumah Irma Susanti, pejuang wanita yang dijumpai pertama kali oleh letnan lajang itu pada sebuah dapur umum.

Kolonel Sungkono tahu persis bahwa tidak setiap Rakyat Madiun adalah pengikut Musso, maka kekuatan pengikut Musso dan tentaranya tentunya hanya terkonsentris hanya di daerah tertentu saja.  Sejak Kolonel Sungkono diangkat menjadi Gubernur Militer Jawa Timur, 19 September 1948, dia tidak menyisakan waktu barang satu menitpun bagi pasukannya untuk membiarkan pengikut Musso melarikan diri. Tangan tangan mereka yang berlumuran darah harus berhadapan dengan Divisi I TKR, yang terus menerjang maju dari arah timur Kota Madiun. Sementara dari atah barat mereka harus berhadapan dengan TKR Divisi II pimpinan Kolonel Gatot Soebroto. Mereka tak kenal lelah maju melumat beruang merah yang kini tinggal terkonsentris di kota Madiun.

Bau mesiu dan asap meriam membahana di semua tempat di Kota Madiun yang meradang pilu. Setiap langkah maju dari pasukan TKR selalu dihadang dengan pekikan semangat menggelora dari pengikut Musso yang tiada kenal takut, mereka bagaikan mayat yang memanggul senjata. Namun bagi anggota TKR, sikap berani mati mereka tidak sempat menggoyahkan anggota TKR, barang sehelai ambutpun yang terus merangsek maju, menerjang peghalang apapun. Sehingga pertempuran frontal terakhir di tengah Kota Madiun tak terhindarkan.


Hari hari terakhir pertempuran hebat dirasakan oleh Letnan Sudjiwo sebagai hari yang panjang. Lantaran sudah 2 minggu dia bersama anggota TKR lainya menyabung nyawa melawn pengikuit Musso yang sudah tercuci otaknya. Mereka bertempur bagaikan melawan barisan “benteng ketaton”. Namun satu demi satu banteng-banteng merah tersebut berhasil digulung. Hingga hari ini, Hari yang ke – 30 Bulan September mereka telah berada di depan Hotel Merdeka tepat di tengah kota Madiun tempat markas para petinggi pemberontak , meski berjarak beberapa ratus meter.

“Letnan…Letnan Sujiwo”

“Ada apa kopral”

“Aku kurir dan diperintah Kapten menghadapmu”

“Jelaskan apa perintah Kapten Djarot”

“Peleton anda ditugasi membungkam beberapa water canon yang ada di mulut gerbang Hotel Merdeka”

“Tapi itu tak mungkin ?”

“Saya hanya menyampaikan pesan, Letnan !”         

“Baik akan aku jalankan, sampaikan pada Kapten aku akan bertempur semampuku “

Letnan Sujiwo mantan Sodancho gemblengan serdadu Dai Nippon tidak merasakan gentar barang sedikitpun menghadapi water cannon PKI yang terus menyalak. Rasa marah membara kini menghinggapi bilik jantungnya, ketika melihat beberapa anak buahnya lunglai ditebas peluru senapan mesin tersebut.

 “Sersan Santo!,  kumpulkan granat yang masih kita miliki ?”

“Siap letnan. Tapi untuk apa ?”

“Aku akan bungkam meriam itu sendirian”

“Lebih baik anak-anak saja, Letnan !”                                     

“Tentu saja mereka aku libatkan, tapi mereka harus dibelangku, akan aku hujani dengan granat. Setelah aku beri aba-aba majulah serentak semua anggota peleton “

“Baik, Let, laksanakan !”

Sudjiwo kini merangkak harimau di atas padang alang-alang menuju water canon di depan gerbang hotel itu. Kini resiko apapun tidak berhasil mengusik hatinya untuk melangkah surut. Hanya Irma saja yang sempat melintas di atinya, maka diapun

mengacungkan tanganya untuk meminta Sersan Susanto maju mengambil posisi di sampingnya.

“Sersan, maukah kamu menolongku !”

“Tentu saja, Letnan !”

“Kamu kenal Irma kan ?”

Sersan Susanto hanya diam seribu bahasa setelah mendengar pertanyaan aneh dari komandan peletonnya itu.

“He.. Sersan, kamu kenal Irma kan ?. Gadis Ngagel ?”

“Kan aku pernah diajak letnan ke rumahnya. Ada apa dengan Irma, letnan ?”

Di tengah desingan peluru berbagai ukuran Letnan Sudjiwo menarik nafas panjang, tak lama kemudian dia mengeluarkan kalung emas dengan bandul berlian yang disodorkan pada sersan di sampingnya.

“Berikan ini pada Irma, tolong Sersan”

“Sebentar lagi kita pulang ke Surabaya, kan letnan bisa berikan sendiri pada Irma”

            ‘Kali ini aku benar-benar minta tolong, kembalilah ke posisi semula.Bersiaplah menunggu aba-abaku. Aku yakin kita akan menang, selamat bertugas Sersan.Merdeka !”

            “Merdeka, jaga dirimu baik baik Letnan, aku harap kita akan bertemu lagi di kesatuan”

Letnan Sudjiwo hanya tersenyum tipis, kemudian mempercepat gerakmerayapnya hingga semakin dekat jarak dia dengan water cannon. Setelah  tinggal beberapa puluh  meter jarak dia dengan water cannon, dia lantas melengking memberi aba-aba gerakan maju sambil melempar beberapa granat aktif di tangan kanan dan kirinya. Berkali kali

terdengar ledakan dasyat di sekitar senapan mesin itu. Sehingga hacur kini senapan mesin itu bersama dengan penembaknya.

Tubuh letnan itu kini terpelanting membasahi bumi dengan darah pahlawannya,lantaran beberapa peluru 12, 7 telah menyobek dadanya. Seluruh anggota peletonya kini merangsek maju merebut gerbang itu, sementara anggota lainnya berhasil maju hingga ruang lobi. Tak beberapa lama Hotel Merdeka berada sepenuhnya dikuasai Batalyon Mayangkara 503. Kini tubuh Shodancho Sudjiwo yang terbujur kaku berada di pelukan peleton C bersama linangan air mata anak buahnya. Irmapun melepas kepergian letnan pujaanya itu  dengan hati tabah, pada upacara pemakaman pahlawan kusuma bangsa. ***

(Cerita pendek ini  hanya fiktif belaka)-

 

Kamis, 05 Agustus 2021

ARINI

Aku sudah katakan semuanya pada Arini. Tentang semua kesulitanku, untuk menggapai masa depan bersama, namun sia-sia. 

Hingga akhirnya datanglah surat yang berwarna biru sendu, di akhir desember tahun ini. Aku baca berkali-kali hingga larut malam. Inikah semua yang dia pinta, akupun belum sepenuhnya menerimanya, bukankah hidup itu tidak semudah membalik tangan ?. 

Barangkali mungkin ini belum terlambat, akupun berusaha menemuinya lagi. Maka pada suatu senja, Arini telah berada di depanku. 

”Aku belum tahu tentang arti suratmu itu,, Rin ? “. Tanyaku, moga dia masih mau mendengarku.. 
“Udah, aku pikir – pikir matang-matang, Yan “ jawabnya dengan sorot mata ke arahku dan terlihat bintik air mata di matanya. 

Betapa aku tidak mampu melupakan wajah yang manis, dengan wajah yang bulat, rambut yang panjang hingga terurai sebatas pnggang. Namun dibalik keindahan wajahnya, tersembunyi hati yang keras sekeras batu karang di lautan. 

 “Mengapa, apakah ini sebuah kesalahan. Aku sudah coba semampuku untuk lebih mengertimu. Aku manusia biasa lho Rin, apalah artinya Septian ? 
“ . Aku mencoba lebih dalam lagi untuk menjelaskan maksud perpisahan ini. Namun Arini hanya diam seribu bahasa, Tawa candanya tak lagi menerangi ruang hatiku., Namun sengaja dia kubur bersama dengan ketidaktahuanku. 
“Ayo dong Rin, beri aku penjelasan ! 
“. Sekali lagi aku coba, mungkin ini kata-kataku yang terakhir kali. ”Apa kamu bener –bener mencintai aku, Yan ? ”.
 ”Mengapa itu kamu tanyakan sekarang ?. Apa nggak cukup waktu 4 tahun aku disampingmu ”Aku minta tolong , Yan !. Bila ini sebuah cinta, jauhi aku Yan, Pergilah kamu sejauh mungkin dan jangan temui aku lagi. Ini permintaanku terakhir ” . 

 Tak terdengar lagi suara Arini bersamaan dengan dirinya yang meninggalkan aku begitu saja di ruang tamu. Kini hanyalah tinggal aku yang hanya bisa memandangi lantai ruang tamu yang berwarna hijau lumut. Hanya sebuah kata pamit yang sempat aku lontarkan kepada Mama dan Papanya Arini, setelah itu akupun melangkah pergi, sempat mungkin yang terakhir kali aku pandangi rumah Arini. 

 Masih terlihat Mama dan Papa Arini di beranda rumah dengan pandangan kosong, seakan ikut menyesal dengan sikap Arini. Saat itu juga degup jantung ini menjadi bertambah binal memburu hati yang kosong tak berisi bunga-bunga warna warni yang biasa aku berikan kepada Arini. Seperti juga manusia lainnya yang belum mampu menundukan kehidupan ini, akupun bergelut dengan peluh demi sebuah kehidupan.
 
 Panas dan hujan tiada berbeda untuk kulit tubuh yang terlanjur melegam. Inikah kehidupan yang dapat membahagiakan Arini ? . 

Kadang dalam hatikupun lebih memilih perpisahan ini demi kebahagiaan Arini. Sebuah percobaan dari yang Maha Kuasa mungkin itulah yang harus aku terima. 
Kadang kita merasa bahwa percobaan hidup adalah suatu kekejaman, namun dibalik itu semua tersimpan hikmah yang begitu agung, hanya kita saja yang belum mengetahui sesuatu yang serba misteri ini. Sang waktulah yang setia mendampingiku dalam peluh dan kekerasan hidup ini, hingga hari berganti bulan dan datanglah waktu hampir satu tahun . 
Sudut hatku telah kosong .tiada lagi bunga yang aku tanam untuk Arini. Hingga datanglah surat dari Arini tentang sebuah kata maaf yang dia tulis dari rumah sakit. Ini bukan cinta lagi yang akan aku berikan kepada Arini, bila toh dia membutuhkan aku lagi, karena hatiku telah mengeras.
 Yang ada dihatiku kini hanyalah Arini sahabat yang aku kenal dari pertama kali masuk SMA. Kini dia terbaring lunglai diranjang rumah sakit, dengan kerut wajah yang tidak seperti dulu lagi. Sorot matanya yang dulu selalu menyodorkan taman bunga warna warni, kini hanyalah tatapan kosong untuk menerima kenyataan ini.
 Sebuah kanker ganas telah menyerang lambungnya dan menjalar hingga organ lainnya. Telah berkali-kali di operasi. Menurut keterangan dokter dia bisa sembuh kalau menjalani operasi yang terakhir kali, namun operasi ini sangatlah membutuhkan ketegaran lahir dan batinnya. Oleh karena itu, opeasi kali ini menyangkut hidup dan matinya Arini. 
 ” Yan, kau lihat sendiri inilah aku, Arini ” . 
 Mata yang kosong itu kini hanya berisi air mata. ”Kamu tetap Arini, meskipun apapun yang terjadi ”. Hati yang tadinya mengeras melebihi batu karang, kini luluh lantak tak berdaya menghadapi tragedi yang hinggap di hidup Arini ”Maafin aku ya Yan, tentang perpisahan kemarin ”. Tangis itu tambah berderai memenuhi seluruh ruang rawat inapnya Arini.
Seraya lebih mendekatkan lagi wajah ini, aku bisikan kata yang mungkin bisa membesarkan hatinya. ”Aku tidak pernah merasakan perpisahan denganmu, kau tetap Ariniku ” ” Benar, Yan ” ” Sungguh ” ” Sungguh, aku tetap dalam penantian selama ini ” ” Tapi keadaanku begini, Yan ” ”Tapi, kau tetap Arini ” ” Ah...Betapa kejamnya aku, telah meminta perpisahan ini, 
Yan. Aku salah menilai Mas Daniel yang kala itu menjanjikan kehidupan bahagia, namun disaat seperti ini dia telah meninggalkan aku. Maafin aku , ya.... Yan ! ” 
” Arini ! , selama kita masih disebut manusia, kita tentunya masih bisa berbuat salah ” ” Doain aku ya Yan, Nanti sore aku operasi. Yan !, aku minta kau menungguiku ” ” Tentu Rin, sekarang beristirahatlah ” Waktu menunjukan tepat jam 5 sore, tim dokter sudah berada di ruangan operasi untuk menyiapkan operasi besar. Sepanjang perjalanan menuju kamar operasi tangan Arini tidak lepas dari genggamanku. 

Sebuah doa aku panjatjan kepada Tuhan yang Kuasa , agar aku tidak lagi kehilangan sebilah cinta untuk yang kedua kali. ” Yan, jangan tinggalkan aku ? ” Sebuah pesan terahir dari Arni ketika menghadapi hidup dan mati. ” Tentu, Rin, aku akan tetap menunggumu. Percayalah, kita akan bersama lagi ”. Aku hanya berjalan mondar-mandir untuk menutup rasa gelisahku hingga dua jam sudah operasi berlangsung. Aku terperanjat kaget ketika tim dokter telah meninggalkan ruangan pertanda bahwa operasi berlangsung. Seketka itu juga aku mengejar mereka untuk menanyakan Arini.

 Dengan senyum yang terurai lepas. Tim dokter mengabarkan Arini bisa diselamatkan hanya menunggu pemulihan saja. Selama hampir satu tahun langit yang bergulung awan kelabu, kini berganti warna dengan awan jingga. Arini engkau akan bersama ku lagi. Oh Tuhan tewrimakasih Engkau telam mengembalikan cintaku lagi di saat jalan panjang hidupku hampir tak berujung

Bagas

Hampir 5 tahun ini Bagas belum pernah melihat wajah Bella yang kini entah kemana. Sejak perpisahan mereka di awal tahun 2009 , keduanya nggak pernah facebookan bareng, apalagi untuk jumpa. 

 Meski mereka berdua pernah menorehkan berkas cinta yang berbungkus keindahan . Namun mereka ternyata belum mampu untuk meletakan egonya di hati masing masing. Karena itu diantara mereka berdua hanya ada saling benci. 

Maka keduanyapun memilih untuk saling berpisah. Namun bagi Bagas perpisahannya dengan Bella mungkin sebuah jalan yang terbaik ketimbang mereka berdua terus berantem nggak pernah ada ujungnya.

 Namun heran juga buat Bagas, selama lima tahun dia dekat cewek sana sini, selalu saja dia gagal di tengah jalan. Selalu saja ada alasan bagi dia dan ceweknya untuk membenahi jalan hidup mereka masing-masing. Tapi lepas dari itu semua Bagas kini bukan Bagas yang dulu, lantaran dari banyaknya menghadapi cewek yang ego, kematangan pribadinya udah mulai tumbuh. Suatu senja di Bulan April 2010, 

 Bagas mencoba untuk tetap setia sama sohib kentalnya Fikqi , dengan mememenui undangan ultahnya yang ke – 25. Meski mereka berdua udah nggak bareng lagi d bangku SMA, namun itu nggak membuat mereka saling melupakan. 

 “Oke deh Fic, aku Cuma bisa ngucapin met ulang tahun, semoga lu nggak sableng lagi kaya dulu dulu lagi“ . Bagas segera mengulurkan tangan persahabatan, dan Fikqipun membalas dengan pelukan haru. Lantara dari seabreg sohib yang dimilinya, hanya Bagaslah yang paling tahu tentang dia, Bagas pula tempat dia curhat bila punya nganjalan hati. 

 ”Trims ya friend, aku lihat lu tambah dewasa aja ”. Sahut Fikqi sambil melepaskan pelukannya terhadap Bagas., namun tangannya masih saja bergayut di pinggang Bagas, seraya menariknya ke meja perjamuan yang udah siap berbagai macam food and softdrink. 
 ”He, Gas lu lihat nggak Bella ? ” tanya Fikqi ”Bella !....kok bisa dia datang di sini. Emangnya lu undang. ?. Ah dimana dia. Aku Cuma pengin denger kabarnya ”
 ”Tuh di ruang dalam. Dia tadi lagi asyik ngobrol ama temen-temennya. Aku nggak ngundang dia, tapi dia tahu dari Kak Sylvie kalau hari ini aku ultah.
 
 Dia kan kini banyak main bareng ama Kak Sylvie 
 ” Bagaspun segera meluncur ke ruang dalam, tak lama kemudian dua matapun sesaat saling bertemu. Bella kamu tambah cantik dan anggun aja. Tambah caem dan mempesona penampilanmu, apa lantaran aku banyak memandangimu dengan kebencianku dulu. Karena kamu selalu berbeda pendapat denganku. Sehinnga dulu hanya ada rasa benci. 

Demikian bisik hati Bagas yang tambah menguat menggumpal di sudut hatinya. Apalagi setelah dia melihat senyum manis dari Isabella Marciana yang sempat dulu merobohkan jantungnya. Namun cinta adalah sekumpulan prosa keindahan yang penuh warna. Serasa tidak ada keindahan lain selain merengkuh apa yang namanya cinta. 

Kebencian yang begitu dalam seakan akan hanya timbul karena rasa cinta itu sendiri. Untuk itu agar cinta tetap bersemi di benak manusia, kita harus pandai menyimpan kebencian itu rapat-rapat di relung hati ini.Bagaspun menyadari akan hal itu, namun entah apa yang ada dsuduthati Bella Bagaspun tidak tahu. 

Hanya saja saat pertemuan ini di rumah Fikqi, Bagaspun merasakan ada segumpal perasaan aneh yang menguliti hatinya , bahkan tenggorokan yang tadi dibasahi softdrink kini mengering kembali. Demikian juga Bella yang memberikan senyuman manis dengan pipi yang merona dan sorot tatapan mata yang menyimpan sesuatu. Entah ada perasaan bagaimana antara mereka berdua, yang pasti sepertnya mereka telah tahu isi hati masing-masing, Bellapun segera menarik tangan Bagas untuk duduk berdua mengambil tempat di beranda rumah Fikqi, seperti dulu mereka pernah curhat satu sama lain.

 Barangkali saja kursi itu akan menjadi saksi lagi, tentang dua hati yang sama sama hampa hatinya.
”Kamu tega !, lama nggak ngasih kabar sama aku, Gas ! ”
 ”Emang aku udah lama di Jakarta, tapi aku sekarang balik ke Semarang lagi, Aku sekarang kerja di konsultan bareng sama Mba Sylvie kakaknya Ficki. Aku tahu ultah Fikqi dari Mba Sylvie ” 
 ”Ah...ya udah yang penting kabar kamu baik – baik aja, Seneng dong Bell kamu bisa kerja sekarang. Selamat ya.. .! ” 
”Makasih Gas, kamu sendiri sekarang kerja di mana ? ”

 ”Ngaak tahu Bel, aku bulan kemarin emang diwisuda lulus dari Arsitek Unika. Tapi aku belum dapat job yang cocok. Doa, in aku dong Bel. Biar cepet dapat kerja ” 
Hanya senyuman manis yang menghias wajah yang jelita dan menawan itu. Sekali sekali Bella menggapai tangan Bagas, lantaran mungkin menyimpan seabreg rasa rindu yang menggrogoti bilik jantungnya. Namun Bellapun tahu, bahwa Bagas sekarang udah bukan miliknya lagi, demikian juga dirinya . Meski silih berganti cowok ganteng yang pernah singgah di hatinya, Namun tidak ada yang seindah kehadiran Bagas di hatinya dulu. 

”Aku juga denger dari Mba Sylvi e kalau kamu bulan kemarin wisuda ” ” Kok kamu juga nggak ngasih ucapan selamat ” ”Aku takut kalau Rossi cemburu. Aku denger juga kau dulu bareng ama Rossi” ”Rossi sekaranmg udah marriage dengan Anton dan kini udah hidup bahagia di Bandung. Itulah kehidupan Bell, selalu saja ada pertemuan dan perpisahan. kamu sendiri gimana . aku dulu sempat denger dari temenmu kalau kamu mau marriage ?. Aku tunggu undanganmu Bel !. 
 ”Itulah masalahnya Gas, maka aku nggak mau bareng Papa dan Mama di Jakarta. Aku lebih memilih di Semarang. Aku baru balik ke Jakarta kalau aku udah marriage ’
 ” Emangnya ada apa ? ”
 ”Papa dan Mama orangnya kolot, aku dianggapnya Siti Nurbaya yang seenaknya saja dijodohin sama temen bisnis Papa yang kaya raya. Dia sering menolong Papa kalau lagi ada masalah bisnisnya. Nama Om Chandra dan dia seorang duda beranak dua. Aku belum siap dan lagian aku masih pengin bebas sendiri ” 

”Ah masa papa seperti itu Bell, padahal dulu aku kenal papamu adalah ortu yang baik ” ”Seperti yang kamu bilang tadi, itulah kehidupan. Manusia bisa saja berbuat apa saja untuk menuruti egonya ” ” Sekarang kamu tinggal dimana ”
 ”Ya masih di rumah papi dulu, kamu enggak pernah mampir kan. Sepertinya kamu sengaja menghindariku ” ”Ah sama aja kamu Bel !, aku yakin kamu pasti juga punya niat nggak akan pernah ketemu aku lagi.

 Sepertinya aku juga sengaja ingin melupakan perpisahan dengan kamu dulu. Lama memang aku enggak ngasih kabar ama kamu lantaran aku pengin melupakan kamu” ” Jadi kamu menyesal kalau sekarang ketemu aku, maafin aku ya Gas ”. 
 Bagas menjadi tak tahu harus menjawab apa, karena selama lima tahun berpisah dengan Bella, malah bertambah menumpuk rasa rindunya. Meski niatan dia untuk melupakan Bella sungguh kuat sekali. Bahkan rasa rindunya itu enggak bisa hilang meski telah silih berganti cewek yang ada di sampingnya termasuk juga Rossi. 

” Ah... kau tambah cantik Bel dan pula tambah dewasa, enggak seperti dulu lagi ”Bella hanya menundukan wajahnya, matanya kini mulai berkaca-kaca, sebentar-sebentar dia menadahkan wajahnya untuk memberi senyuman mesranya kepada Bagas. Bagaspun menjadi penasaran tentang sikap Bella. ” Maafin aku ya Bell, malam ini aku janji nggak akan nyakiti kamu lagi, anggak seperti dulu dulu lagi ”

 ” Nggak Gas, kamu enggak nyakiti aku. Aku hanya haru, udah lama aku nggak denger kata kata itu lagi ! ”. 
” Udah malam Bel, yuuk aku antar kamu pulang ” Bella hanya memberi anggukan kecil, kini kedua remajapun saling bergandengan tangan untuk menuju ke ruang tengah guna berpamitan . 

 Sekali sekali Bagas memberi ciuman mesra pada cewek pujaannya itu dan Bellapun membalasnya dengan pelukan yang lembut, sepertinya suatu pertanda dia tidak mau kehilangan Bagas lagi. Malam itu telah menjadi saksi dua hati yang lama berpisah, dan mengering di kesunyian kini menambatkan hatinya kemba