|
sekar kusuma adji |
Sketsa Hidup di Awal Tahun
Barangkali hanya ini, yang aku mampu
hidangkan.....
Senampan hidangan makan malam, dengan menu tergigit
angin malam dari tebing jaman.
Sementara otot tubuhku telah terlipat kerasnya
jalanan hidup, tempat abang becak mengayuh
hidup.
Padahal engkau di puncak “Langen Sari” berteman “Dewi Supraba,
Gagarmayang, Tunjungbiru dan Dewi Lenglengmulat”.
Tapi jangan dulu kau tepiskan sebuah makna
yang telah kau benahi rapi dalam keranjang
berbalut
kain sutra,
meski jalan tanah liat menuju untaian pelangi.
Telah basah oleh geimis pagi “berkuku tajam”
Namun masih ada sehelai benang kuning dari
“Sang Bagaskara”
yang menusuk celah rumah kita yang tersayat
pilu.
Aku dan kau, kasihku....
Dalam Naungan yang Maha Perkasa
Bersemayam di balik tirai tipis, setipis antara bilik jantung
yang saling bersebrangan, namun sorot mataNYA
menyodorkan
berjuta tangan lembut untuk meluruskan
tulang-belulang kita.
Bila engkau berhasrat menanam bunga bunga jiwa
Dalam tetumbuhan “Arcapada”, tempat kau bermandi keluh
Tersayat sembilu galau dan risau.
Halaman rumah kita, biarkan saja menghitung
hari
Memburu setiap detik, menyelingkuhi dirimu
dalam cibiran bibir
Bukankah kita masih memiliki taman bunga
Di rongga dada, yang kau taburi dengan
wewangian
pengantin baru. Kala angin malam kau jadikan
pena untuk
mengambar sumpah serapah kita.
Luruskan benang putih hingga ke jendela langit
Sementara tembang parau kau letakan saja di
halaman
rumah gubug kita, terpungut jaman lantas kau
biarkan saja
terpelanting oleh angin kembara dari “Negeri
Prahara”
yang menguncimu hingga tesengal nafasmu.
Aku masih memiliki lengan yang kokoh,
Sekedar mencandamu bersama nyanyi Kenari dan
Derkuku
Hingga pagi nampak elok berdandan gincu bibir.
Janganlah kau genapi wajahmu dengan ornamen
awan gelap
Bila sorot lampu jalan menyilaukan kedua mata
.
Jangan pula kau cemburu dengan sepatu kaca
Di etalase rumah berarsitektur romawi
Sementara bila kau dan aku terhuyung pada tepi
langit
Maka akan aku gunakan seribu sayapku
Agar kau mampu kuterbangkan ke “Jonggring
Saloko”.
Tempat yang ramah, hingga kita lepas bebas
dan menggulai hari dengan bumbu yang renyah
Tempat kita juga mampu menanam ubi dan
palawija.
(Semarang, 31 Desember 2011- Di Malam Tahun
Baru 2012).
Di Beranda Tahun 2012
Dalam dinding hidupku yang “berkanvas” hitam
putih,
Saat terselip sepotong noktah warna,
biru tergambar menyongsong tiap aku buru
jarum waktu dan saat kusisir rambut kasihku
dengan seribu cerita mengenai cinta.
Tuhanku, dia bukan “Dewi Ullupi” dari “Lembah
Naga”
Tapi dia adalah sebuah alasan......
Sehingga akupun “Sang Permadi” yang bertegur
sapa
dengan “Sang Korawya”, hingga dia mengulurkan
tangan
akulah yang membelai rambut “Sang Gambiranom”.
Satu titian telah aku kokohkan agar kasihku
mampu mengenyam
dan menyelorohkan sebuah ikatan bunga......
Kasihku, kau telah mengalungkanya,
pada leher dan bahuku yang melegam
namun hadir pula sepenggal sembilu dan mampu
menyayat
sebidang asa yang menyebar dalam sawah
hidupku,
Namun kita adalah ilalang dari negeri nestapa
Yang berakar kuat dan sekokoh hasrat sebuah
hidup
Dalam deru waktu, sang ilalang pun terus
menjulang ke
Langit dan mengabarkan pada bidadari, agar
memenuhi
sayap-sayap mereka, akan hidangan secawan
anggur cinta,
Sehingga “Kahyangan Kaideran” bermandi kembang
warna warni
Disini pula aku mendapakan pagi dan serambi
beralas
saling pengertian, kau suguhkan seribu makna
yang aku telan dan memenuhi ruang dadaku
akupun menggelepar dalam lakon rindu
Seperti dua remaja yang bertegur sapa dalam
pantun
Di pesta panen, dengan kaki telanjang dan
kulit ditikam
garangnya sinar mentari, kau ikat rambutmu
dengan jerami
dan “baju sari” berornamen “Parang Kusuma”,
mengabarkan
ketidakmampuan kita dalam menyongsong hidup
namun kita mampu memejamkan mata,
dalam tidur malam berteman angin malam
meski dengan sepotong ubi rebus
dan sayur kacang panjang, kau sedu teh cinta
selamat pagi
kekasihku
aku dan kau
dalam bilik tahun 2012......
(Semarang, 27
Desember, 2011)