Rabu, 15 September 2010

INDONESIA DI TENGAH TABIR KEPALSUAN

Tak henti hentinya air mata Bangsa Indonesia tertumpah kala mendengar meninggalnya Bilqis putra kita semua, meninggalnya sejumlah anggota Satpol PP di Koja Jakarta Utara , sejumlah oknum pemimpin yang mendholimi uang negara (Gayusmania), karena semua halaman media cetak dan layar televisi lagi lagi menayangkan adu kepentingan yang terwujud dalam benturan fisik. Apakah kita sama sekali tidak pernah mendapatkan pembelajaran dari nenek moyang kita tentang makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi, ataukah ini hanya sebuah gejala keberpihakan sejumlah oknum komponen bangsa hanya pada kepentingan pribadinya saja. Apabila kondisi ini tetap eksis hari demi hari hingga waktu tak tentu, maka jadilah Indonesia sebagai negri yang berada dalam „Tabir Kepalsuan“.

Kembali ke nilai – nilai lama, kala kita bersatu mengikat diri dengan tali nasionalisme, hingga terbentuknya Bangsa dan Negara Indonesia, adalah langkah yang paling baik untuk mengakhiri carut marutnya kekisruhan politik yang subur bagai jamur di musim hujan, hingga tersingkaplah „Tabir Kepalsuan“ yang selama ini mengungkungi kita bersama. Mengapa para pemeran sandiwara politik yang elit, dengan kapasitas mereka sebagai cendekiawan / pemimpin bangsa / tokoh nasional / pejabat dan mantan pejabat nasional , cenderung tidak perduli dengan nilai ketentraman wong cilik.. Bukankah dengan stabilitas yang mantap dan terkendali akan menstimulir iklim usaha yang kondusif.

Mengingat sesuatu yang terjadi di masa-masa silam, adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi bila kejadian tersebut akrab dengan hidup kita sehari – hari. Tentunya kita masih ingat kala di era Tahun 80 – an, kehidupan sosial masyarakat Indonesia tidak pernah terusik dengan berbagai konflik sosial politik yang menjangkiti masyarakat. Meski kala itu kita dipimpin oleh seorang negarawan yang sering kita caci, negarawan tersebut adalah Soeharto. Apabila kita mau mengakui dengan jujur kelebihan rezim Soeharto dalam memerintah negeri ini.

Kita tentunya merasa bahagia, menjadi anak bangsa yang hidup di jaman reformasi, yang mengedepankan transparasi, supremasi hukum, kebebasan pers, penegakan HAM, persamaan hak politik dan hukum serta seabreg nilai tambah lainnya. Seharusnya dengan fenomena sosial- politik seperti itu kita akan bertambah hidup nyaman. Wong cilik mampu untuk memperbaiki nasibnya tanpa dirusuhi dengan carut marutnya multidimensional. Meski dikanan kiri telah kita lihat berbagi orasi, perseteruan, koalisi ataupun manuver politik lainnya. 

Mengedepankan proses hukum yang transparan, adil dan proposional adalah salah satu sarat mutlak guna menepis stereotype yang muncul di semua sendi kehidupan bangsa ini yang melelahkan. Sementara itu stereotype itu sendiri sudah menjalar di setiap oknum individu petinggi negara ini dengan membuat pusaran yang menyeret institusinya. Sehingga tak urung lagi institusi seperti Polri, Kejaksaan, KPK, institusi kementrian dan parlemen negara kitapun ikut terjerambat dalam pusaran konflik. 

Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap konflik sosial antar dan inter kelompok sosial, pemimpin dan institusinya pastilah mewujudkan stereotype satu dengan lainnya. Meski telah banyak gagasan dari berbagai media yang menginspirasikan persatuan dan kesatuan namun tetap saja stereotype ini masih bergayut seperti mendung tebal tadi. Stereotype tersebut sebaiknya diakhiri dengan munculnya niatan baik untuk saling berpelukan antara kelompok yang saling bersebrangan dan melakukan khitah, seperti saat semula kita bahu membahu merebut kemerdekaan. Bukankah stereotype tadi akan sirna berkeping bila kita sadar akan tujuan hakiki dari pembentukan bangsa dan negara ini.

Namun hingga kini apa yang diharapkan dari wong cilik tidak kunjung selesai, bahkan terus menghimpit membentuk lingkaran setan yang tiada berujung . Padahal jurang ketertinggalan kita dengan bangsa lain semakin melebar dan dalam. Kekhawatiran tentang disintegrasi dan robohnya ketahanan nasionalpun menjadi semakin menguat, dan menimbulkan persepsi publik bahwa Indonesia dewasa ini dalam sebuah ”Tabir Kepalsuan”.

Kalau toh ini terjadi maka perlu kami ketengahkan sebuah sindiran tajam, bahwa untuk penyusunan APBN Tahun anggaran ke depan perlu adanya alokasi dana khusus untuk biaya perseteruan politik, yang besarnya melebihi anggaran pendidikan, infrastruktur dan alutsista. Tentunya berbagai pihak yang membaca alokasi dana tersebut pastilah tidak setuju, demikian pula pasti akan tidak setuju pula bila kita akan terus berlarut arut dengan perseteruan politik. 

Sudah sewajarnya bahwa kita sebagai anak bangsa yang masih dihinggapi nasionalisme yang kuat, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk membawa bangsa dan negara ini menggeliat dari keterpurukan. Sarana untuk berbuat kebajikan tersebut adalah hanya berbuat menurut kapasitasnya dengan jiwa merah putih, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari rakyat. Karena kita telah mendapatkan titipan dari Tuhan yang Maha Kuasa berupa bangsa dan negara ini, semata-mata untuk mensejahterakan anak cucu kita, bukan untuk menjadikan pandai berorasi politik saja. Sehingga setiap kandungan hayati dan nonhayati , budaya, kesantunan dan sikap hidup tepo-sliro dari Bumi Pertiwi ini betul betul bisa membawa kita hidup adil dan makmur, bukan terus dirundung dalam ”Tabir Kepalsuan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar