Tampilkan postingan dengan label CERPEN KEHIDUPAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN KEHIDUPAN. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 07 Agustus 2021

Seberkas Rindu

 





Sudah satu hari penuh belum ada sesuap nasipun yang mengisi perut nenek itu. Hanya nafas yang keluar masuk rongga dadanya, yang dia miliki. Selembar hidupnya kuat digayuti kegetiran yang seakan tidak mau meninggalkanya barang sedikitpun. Dinding kardus biliknya yang pengap hingga larut malam ini semakin menyudutkanya, dengan melewatkan angin malam yang menggigit tulang-tulangnya, dari celah sambungan sambngan kardus. Akhirnya sebuah selendang yang rapuh dia raih untuk membalut tubuhnya yang renta itu. Sementara suara deru mobil di atap rumah kardusnya terus menderu, membuat tambah sulitnya dia ynng renta itu untuk tidur di bilik kolong jembatan.

Suara batuk batuk kecil suaminya yang juga telah renta, tiada henti memenuhi rumah kardus itu. Namun terus saja asap mengepul dari tembakau yang terbakar  keluar dari mulutnya. Begitu asiknya lelaki tua itu berulang menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, bahkan kini da tidak segan lagi menghembuskan asap rokoknya beberapa kali tiap dia selesai menghisap rokok lintinganya.  Seakan dari butir asap  dan teer yang keluar dari bibir yang menghitam itu,  sebuah gambaran ia dapatkan tentang Hartini putri satu satunya yang dia dambakan bisa berkumpul dengan dia dan istrinya yang telah renta. Demi sebuah pertemuan ini,  dia rela meninggalkan kampung halamanya, sawah ladang dan rumah setengah tembok untuk berkeliling dari rumah kardus satu ke rumah kardus lainnya di  Jakarta.

Kadang sorot matanya dia tumpahkan dalam dalam ke perlahan arus Sungai Ciliwung yang keruh dan busuk.”Pantas saja air sungai ini busuk dan kelam, karena air sungai ini adalah tumpahan segala kekotoran dari orang orang yang  sebagian diantaranya busuk dan kelam”, gumam dalam hatinya mulai bangkit menembus asap rokok yang tajam.

***

“Di mana Hartini berada, ya bu?” Sartidjo yang belum bisa terlelap ti


dur, kembali mengetuk hasrat yang jauh terpatri di lubuk hatinya, sementara beberapa puluh puntung lintingan rokoknya telah tersebar di depanya. Istrinyapun yang mendengar keluh suaminya itu menggeliatkan tubuhnya dan segera duduk disamping suaminya, membiarkan tubuhnya tersapu angin malam.

“Aneh, pak !, tidak ada satupun manusia kota ini yang membantu kita. Huuuh, ingin rasanya aku pulang ke kampung, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku bisa bertemu dengan Hartini, apakah dia sudah punya suami ?, apakah dia sudah punya anak ?. Kalau aku sudah punya cucu, aku ingin sekali menggedongnya, ah kalau Hartini mau, akan aku ajak pulang dan aku gendong cucuku, aku akan bawa dia jalan jalan keliling kampung. Tapi, di mana alamat anak kita, Pak ?”. Pertanyaan yang sama dengan suaminya, kini diulanginya lagi.

“Aku sudah cape, bu !”

“Cape!!, lantas kapan aku akan ketemu Hartini ?” istrinya menjawab dengan ketus.

“Suatu saat dia kan pulang, bu. Kita tidak perlu menderita seperti ini “

“Sabar, sudah berapa tahun kita menunggu di kampung ?, sudah berapa banyak saudara kita yang kerja di Jakarta mencari Hartini, tapi semua tidak bisa menemukan Hartini”.

“Lakon hidup apa ya bu ?, kita harus menjalani kehidupan seperti ini?”. Istrinya hanya diam membisu. Sementara deru mobil di atas mereka belum juga reda, meski hari sudah hampir pagi. Saat esok nanti mereka  harus meninggalkan rumah kardus itu dan berpindah ke tempat lain, entah kemana dan di tempat mana mereka harus tinggal. Sementara untuk mengisi perut mereka sepanjang perjalanan mencari putri tunggalnya, mereka terpaksa harus mengemis. Itupun bila mereka bisa mendapatkan manusia Jakarta yang masih memiliki rasa iba dengan memberi mereka beberapa uang receh.

***

 Pasutri renta itu segera berlalu begitu saja dari rumah kardus yang didiami hanya beberapa hari. Beberapa potong pakaian mereka yang kumal hanya dibungkus kantong plastik yang tidak seberapa beratnya dan kini bergayut di pundak Sartidjo. Nampak sorot mata yang tegar dan kokoh terpancar dari sepasang manusia yang selama hidupnya hanya didera penderitaan hidup.

 Meski sudah sering mereka menjumpai benturan hidup, namun mereka tidak kuasa menahan gejolak rindu dengan putri tunggalnya yang sudah sepuluh tahun meninggalkan mereka tanpa sebuah kabarpun, hanya beberapa surat yang pernah mereka dapatkan darinya pada tahun tahun pertama Hartini meninggalkan kampung halamanya, yang mengabarkan bahwa Hartini kini tinggal  di Jakarta, bekerja sebagai buruh konveksi milik perorangan. Saat itu Hartini sempat meninggalkan alamat kepada  mereka berdua.

Genap sudah sepuluh tahun Hartini meninggalkan mereka berdua. Namun setelah beberapa hari mereka menjelajah Jakarta mencari alamat Hartini, mereka hanya mendapat jawaban dari beberapa tetangga Hartini, bahwa mereka  sama sekali tidak mengenal nama Hartini. Mereka berduapun terasa seperti tersambar petir di siang hari bolong dan saat itupun memutuskan untuk kembali ke kampung mereka di Semarang, meski uang saku mereka telah menipis. Namun bagi Mutmainah keadaan seperti itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menunda pertemuan dengan putri tunggalnya, hanya dengan bermodal sebuah foto dan beberapa surat Hartini, yang ditulis  beberapa tahun silam.

Akhirnya merekapun harus tinggal berpindah pindah di  rumah kardus, sambil menjelajah tiap sudut Kota Jakarta seperti hari ini. Di tengah gerimis pagi merekapun menyusuri jalan jalan Jakarta, yang agak lengang karena saat itu adalah Hari Minggu.

Mereka kini beristirahat di troktoar yang basah, sambil mengunyah sarapan pagi nasi kucing yang didapat dari pemberian cuma cuma pedagang nasi. Tingkah laku mereka ternyata berhasil menarik beberapa pasang mata ibu ibu yang sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Sorot mata mata kakek  dan nenek menyimpan seribu pertanyaan kala beberapa ibu ibu muda dan cantik yang menjinjing bawaan dalam plastik kresek  mendekati mereka dengan wajah yang ramah dan bersahabat.

“Bapak ibu !, kami membawakan makanan untuk kalian berdua, silakan bu !“

“Oh terimakasih..terimakasih, oh maaf nak, ini kampung mana ?” tanya Mutmainah kepada salah satu ibu yang cukup dekat.

“Ini Duren Tiga, bu. Ibu mau kemana ?” jawab salah satu ibu yang tampak paling tua usianya di banding tiga ibu lainnya yang bersamanya menyambangi sepasang pengemis tua itu.

“Aku tidak kemana mana, nak !.”

“Lho, ibu tersesat ?

“Tidak nak, aku mencari anaku. Ini fotonya !”

“Anak ibu cantik, lho. Terus di mana alamatnya ?“ tanya ibu lainnya.

“Tidak tahu, nak !”

“Aduuh, ibu gimana !. Jakarta luas lho, bu !. Gimana ibu mencarinya ?”

“Kami berdua tidak tahu nak. Kami sudah tiga bulan di Jakarta mencari Hartini. Kami terpaksa tinggal di rumah kardus atau tidur di mesjid dan terminal, kami keluar masuk kampung  kampung untuk mencari anak saya dan terpaksa kami berdua di Jakarta mengemis” sahut Sartidjo kepada kerumunan ibu ibu yang merapatinya.

Ibu ibu yang mendengar penuturan Sartidjo saling melempar pandang, barangkali saja dalam hati mereka semua timbul perasaan kagum, iba sekaligus penasaran. Padahal pertemuan antara anak dan ortu adalah hal yang biasa bagi ibu ibu yang memusari sepasang pengemis renta itu. Mereka mampu memandang wajah sang anak mereka, hampir tiap detik sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu,  mereka ibu ibu muda itu tidak pernah mengalami gejolak rindu yang membakar seluruh peredaran darahnya.

Tetapi bagi pasutri renta yang ada di tengah kerumunan mereka, sebuah rindu ternyata adalah sesuatu yang berharga, melebihi segalanya. Mereka rela meninggalkan sawah ladang, rumah dan harta mereka lainnya demi sebuah pertemuan dengan putri tunggalnya, meski harus dengan petualangan dari rumah kardus satu dengan lainnya, meski hanya tidur di troktoar dan kadang beberapa hari tak sesuap naspuni masuk ke perut mereka, tanpa mengenal masuk angin atau penyakit dalam yang biasa mendera pasutri renta lainnya. Betapa kokohnya hidup dan tekad mereka.

Maka ibu ibu dari berbagai kalangan profesi yang mendengar penuturan kata demi kata sang kakek nenek menjadi  diam,  terpaku dan  membisu menyaksikan sebuah episode hidup yang getir. Hanya beberapa saja dari ibu ibu tersebut, yang memiliki gagasan untuk mengulurkan tangan untuk menemukan buah hati sepasang kakek nenek itu.

“Bapak dan ibu, sementara masuk dulu ke kantor kami, ya!. Kita ingin menolong bapak ibu dan kita perlu bicara lebih dalam lagi dan leluasa, mari ikut kami, bapak !“

“Ibu ini siapa ?” tanya Kartidjo.

“Kami Ibu Ibu PKK desa ini. Kebetulan kami sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Kebetulan sekali pak, bu !, kami juga sedang memprogramkan peduli sosial. Itulah kantor kami di sebrang jalan, mari pak ikut kami”

Sepasang kakek nenek itu hanya mampu menganggukan kepala. Seduah desir harapan mulai timbul dalam sanubari ke dua manusia itu. Harapan untuk bisa bertemu dengan anaknya, harapan untuk tidak menghuni rumah kardus lagi dan bagi sang nenek, sebuah harapan untuk menimang cucunya di sepanjang jalan kampungna ***

 

Winda

 


Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.

Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya.  Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.

Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.

Aku mengenalnya dengan raut mukanya  yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku  entah kemana.  Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.

Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap,


sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai  hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.

“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.

“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.

“Maafin aku mengganggu tidurmu”

“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain  datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.

“Win,  kamu  marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”

“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”

“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”

“Kamu kan teman sekantorku,  dan   sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”

“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.

“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”

“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”

“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua an


aku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.

“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”

“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”

“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”

“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.

“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”

“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!.  Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah”  Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.

“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”

“Aku tunggu di luar saja Win.  Di luar angin kemarau mulai kencang“

Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.

“Mereka sudah tidur, ? “

“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.

“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”

“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”

“Mereka butuh itu Win “

“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”

“Lama lama mereka juga akan percaya”

“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”

“Apa arti semua itu sih Win?”

“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’

“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”

“Maksud Mas ?”

“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”

“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”

“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “

“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.

Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi ,  bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.

Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.

“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.

 

Sabtu, 24 November 2012

Pagar Halaman


Semua sorot mata yang  ada di halaman rumah tua itu melotot ke arah Dasimin yang berada di tengah kerumunan. Berpuluh pasang mata itu seakan berniat menguliti Dasimin, yang terlihat berwajah pucat pasi dengan tubuh gemetar, bukan hanya menghadapi garangnya sorot mata yang tajam, tetapi lengkingan teriakan ganas tetangga-tetangganya yang silih berganti menusuk hatinya, kadang teriakan warga sekampungnya itu jelas jelas menghinanya, menyalahkan dan menyuruhnya secara kasar kepada dirinya untuk merobohkan pagar halamanya yang sudah terlanjur ditembok permanen. Dasimin merasakan tubuh  dan hatinya yang gerah bukan kepalang, meski tanah dan daun daun pepohonan di sekitar rumahnya telah basah diguyur gerimis yang turun sejak siang tadi, disertai dengan angin penghujan yang merindingkan kulit.

Sekali sekali sorot mata Dasimin dilemparkan pada ketua RT, yang diharapkan mampu menjadi penengah antara dia dan tetangganya yang telah kalap, meski tak satupun tetangganya yang menjinjing senjata tajam. Namun apa yang diharapkan Dasimin sama sekali tidak ia dapatkan, justru pak RT sama liarnya  dengan warganya. Maka Dasiminpun hanya mampu diam seribu bahasa di atas pecahan tembok yang berceceran di halaman rumahnya. Dasimin hanya mengharapkan semua tetangganya tenang untuk memberi kesempatan dia bicara, tentang alasan mengapa dia tidak mau membangun pagar tembok halaman rumahnya  beberapa meter kebelakang. Sehingga menutup jalan kampung untuk lalu lalang tetangganya.

Teriakan para tetangganya hingga saat ini belum reda juga, meski gerimis masih terus membasahai tubuh manusia manusia yang bergetar membara. Entah sudah berapa lama Dasimin dan istrinya yang berdampingan,  menggigil ketakutan dilingkungi warga yang meradang itu. Tangan kanan Dasimin masih erat membawa foto copian sertifikat tanahnya yang sah dari notaris kenalanya. Untung saja beberapa minggu sebelum dia menambah bangunan di bagian depan rumahnya dan bangunan pagar dari tembok permanen yang menjadi biang permasalahanya, Dasimin sudah melengkapi dengan IMB yang diurusnya dari kelurahan setempat.

***

Dengan langkah setengah berlari menebas kerumunan warganya yang sedang kalap itu, Pak RW kini sudah berada di tengah mereka dan berdiri disamping suami istri Dasimin, dengan kedua tangan terangkat Pak RW mencoba untuk menyurutkan langkah warganya yang semakin rapat mengurung Dasimin.  Kini jarak antara Dasimin dan warga semakin dekat, beberapa diantaranya mulai leluasa menudingkan telunjuknya tepat ke wajah Dasimin, yang sudah mulai kalap juga dengan perlakuan mereka yang semakin kurang ajar. Menyaksikan gelagat yang kurang baik itu, kini Pak RW mulai bertindak tegas  juga dengan mereka, apalagi kala terdengar teriakan sebagian warga yang memanaskan atmosfer malam dingin itu.

“Bunuh, anak sombong itu “.

Sebagian lain berteriak “Habisi anak ingusan ini”.

“Cobalah bapak bapak mundur dulu, kita bicarakan masalah ini dengan baik “ teriak Pak RW yang suaranya tenggelam dalam kegaduhan itu.

Dasimin menjadi heran mengapa tetangganya yang dahulu kental bergaul dengan dia dan keluarganya kini menjadi demikian liarnya, mereka sebagian besar adalah teman main Dasimin sejak masih di SD dahulu, mereka semua biasa bermain denganya di sawah yang mengering karena diterkam kemarau panjang, untuk bermain layang layang. Saat musim hujan, sehabis bersekolah mereka bersamanya sepanjang sore mencari yuyu sepanjang pematang sawah yang basah . Sebagian dari merekapun pernah bekerja bersama sebagai tukang bangunan di Jakarta beberapa puluh silam. Bahkan saat Dasimin menjadi pemborong kecil-kecilan  merekapun bekerja denganya sebagai buruh harian, Dasimin tidak pernah terlambat membayar mereka, bahkan apabila mereka sakit, Dasiminpun tidak sayang meminjamkan uangnya.

***

“Mengapa mereka seperti ini?, Pak RW ?” seru lantang Dasimin pada Pak RW, di tengah keputusasaan Dasimin.

“Sabarlah Dasimin, sementara ini kamu jangan mengambil sikap dulu, biarkan aku menenangkan mereka dahulu ” Dasimin hanya menganggukan kepala.

“Saudara saudaku, sabarlah dan mundurlah, permasalahan ini harus diselesaikan dengan tenang, Dasiminkan saudara kita semua. Cobalah kita ke balai RW untuk membicarakan ini semua, aku dan Pak RT akan berusaha menyelesaikan permasalahan ini” seru Pak RW.

“Ah,  percuma Pak RW , kita sudah berkali kali membicarakan masalah ini, tapi anak bengal ini masih sombong, tidak mau mengerti keadaan kampung kita “ tukas Susanto.

“Tapi kaliankan terlanjur merobohkan pagar tembok Dasimin, bagaimanapun itu tindakan yang  salah “

“Pak RW, tembok pagar itu jelas jelas menutup jalan kampung ini, mengapa kita disalahkan? “ protes Harlan yang disambut dengan tepukan meriah semua warga, pertanda mereka semua telah terhinoptis dengan kemauan egonya.

“Sekali lagi bapak – bapak, tindakan kita semua salah, karena Dasimin membangun tembok itu di tanahnya sendiri yang disahkan dengan sertifikat ini “ Pak RW mengacungkan foto copian sertifikat tanah yang masih diatas namakan orang tuanya Dasimin.

“Apakah benar, kita bisa semaunya merobohkan bangunan yang dibangun seseorang di atas tanahnya sendiri yang secara sah dibuktikan dengan sertifikat. Cobalah saudara semua berpikiran dewasa” Kembali Pak RW melantangkan suaranya hingga kini mulai dapat didengar dari warga di sebrang jalan kampung yang sempit, yang tidak ikut berkerumun mendzolimi Dasimin, lantaran teriakan teriakan emosi warga kini mulai meluruh.

***

Kerumunan itu kini mulai surut, namun gerimis semakinderas. Satu dua warga mulai meninggalkan ceceran batu bata yang memenuhi sebagian halaman rumah Dasimin. Sebagian yang pulang kerumah masing masing,  masih melantunkan lisan menggerutu, sebagian lagi hanya diam membisu,  bahkan sebagian lainnya kini mulai was was jangan jangan masalah ini akan berbuntut panjang, lantaran mereka tahu bahwa sebenarnya Dasimin tidak bersalah. Namun mereka yang was was tidak tahu entah angin apa yang bertiup di hati saudara mereka  semua hingga kini mejadi liar.

“Sudahlah, bapak bapak mari ikut aku ke Balai RW, di sana kita duduk dengan tenang, berdiskusi untuk memecahkan masalah yang sering menghalangi kita. Kalau dulu kita mampu rembug dengan kepala dingin, mengapa sekarang tidak ?. Sebenarnya aku dan Dasiminpun heran, mengapa masalah ini bisa bapak bapak lakukan dengan gegabah ?, mari bapak bapak kita ke Balai RW” ajakan Pak RW semula tidak  ada yang merespon, hanya dia dan Dasimin yang kini mengayunkan langkah menuju Balai RW.

***

Pak RW kini duduk bersila di salah satu sisi ruang rapat Balai RW yang beralasan karpet kumal bersanding dengan Dasimin dan istrinya. Sementara Pak RT dan beberapa warga duduk di sisi lainya. Wajah mereka semua kini tidak segarang senja tadi. Sebaliknya Dasimin kini mulai berani memandangi wajah mereka satu demi satu. Sejuta rasa penasaran kini masih   terselip di hati Dasimin.

“Pak RT, apabila Dasimin mengadukan ini semua ke aparat yang berwajib, maka Pak RT dan warga akan berurusan dengan aparat. Tapi tentunya Dasimin tidak akan melangkah sejauh itu, ya Pak Dasimin ?”.

“Betul, Pak RW , aku tidak akan mengadukan hal ini. Tapi saya hanya ingin tahu mengapa tembok pagar saya dirobohkan. Padahal tembok itu masih di atas tanah peninggalan bapak yang bersertifikat sah, lihatlah setifikat ini” suara Dasimin terdengar datar dan berat, karena hatinya masih dihinggapi perasaan yang tidak menentu.

Memang sudah beberapa kali Pak RT memohon Dasimin tidak membangun pagar itu tepat di batas itu, Dasimin diminta untuk mundur beberapa meter, namun Dasimin tidak menyetujui hal itu, lantaran mendiang bapaknya beberapa tahun silam telah menyumbangkan tanah miliknya  beberapa meter untuk jalan.Maka Dasiminpun bersikokoh untuk tidak menyurutkan batasnya, malah dia menghendaki agar Karno, Tedjo dan Sumantri , tetangga  sebrang jalan  yang gantian mengundurkan batasnya, sehingga jalan kampung itu menjadi cukup lebar.

“Jadi begini Pak RW, awalnya memang ada isu jalan kampung itu, bakal digunakan truk material untuk proyek pengembang perumahan, sehingga warga yang berniat bekerja di proyek menjadi tidak sabar melebarkan jalan itu” ucapan  Pak RT kini mulai membuka tabir kemelut yang baru saja terjadi.

“Isu dari mana, Pak RT ?” tanya Pak RW.

“Sudah seminggu yang lalu kami kedatangan pengembang yang melakukan survey lokasi termasuk jalan di depan Dasimin”

“Aduh, Pak RT, kalau memang lingkungan kita akan dikembangkan proyek perumahan, tentunya Pak Lurah mesti memberitahu aku, tapi nyatanya hingga kemarin Pak Lurah tidak membicarakan itu. Ah...ini hanya isu saja,kenapa bapak bapak mudah terpancing dengan isu itu. Maafkan warga kami ya Pak Dasimin”

Dasimin hanya menganggukan kepalanya***