Tampilkan postingan dengan label CERPEN REMAJA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label CERPEN REMAJA. Tampilkan semua postingan

Kamis, 05 Agustus 2021

Benang Sutra

Senja itu Lydia hanya sendiri di kamar, berteman sepi dan hanya menjaring sejuta angan dari penjuru benak hati yang satu ke penjuru benak hati lainya. Sesekali tiupan angin kencang bercampur titik air gerimis senja menerpa kamarnya. 

 Namun Lydia tidak memperdulikanya. sekali sekali sorot matanya diarahkan ke handpone warna biru muda, yang dia letakan begitu saja di atas seprei tempat tidurnya “Mengapa tak kau berikan teriakan nyaring, seperti yang sudah sudah dan mampu mengobati rasa rinduku pada Aldo, mengapa kamu keep silent ?

”. Sesekali pula Lydia membalik balikan Hpnya itu. Barangkali saja power anten hpnya yang rusak. Ataukah memang Aldo telah terbang dengan sejuta sayapnya dan hinggap di mawar lainya, yang segalanya lebih baik darinya. Berkali kali nomor Aldo telah genap tertera di screen handphonenya, namun pada akhirnya dia urungkan untuk mendapatkan obat rindunya. Mengapa pula dia harus terjepit dan terpagut sepi, kala Aldo dia “tawan dalam kain sutra”, yang halus namun kokoh. 

Padahal beberapa bulan lagi dia harus meninggalkan Jakarta untuk segera bertugas di Puskesmas Kecamatan Hidup Baru Bengkulu, sebagai dokter muda. Mengapa pula dia sendiri yang justru menghendaki perpisahan dan menepiskan kehadiran Aldo. Padahal dia sudah lama menunggu saat demi saat untuk Aldo, hingga Aldo mampu menjadi pria yang lebih dewasa dan mengerti. Lidiapun telah merasa cukup berkorban untuk Aldo. Tetapi bagaimanapun juga Lydia tetap seorang perempuan yang masih harus benyak belajar pada hidup ini. 

Seorang dokter muda yang ditantang mampu menyembuhkan berbagai penyakit pada pasienya di daerah terpencil nantinya, namun penyakit hati yang ada di dalam dirinya begitu asing dan mampu meradangkan setiap urat nadinya. 

Handhone dengan cassing biru muda itu kembali dia letakan di atas sprei tempat tidurnya. Diangkatnya seluruh tubuh yang melekat kuat di tempat tidur yang bersemangat menghisap tubuhnya yang dipenuhi rasa penat. Lydia tidak mau terjebak pada perangkap kasur tidurnya, dia lebih baik berdiri di jendela kamar tidurnya dengan membuka sedikit korden dan kaca nakonya, barangkali saja angin senja membawa salam dari Aldo untuk dirinya. Namun hanya gemerlap lampu jalan Kota Jakarta yang sama sekali tidak mau mendengarkan bisikan hatinya. Perlahan lahan Lydia menutup kaca nako dan korden, sementara dari kejauhan bising suara kedaraan bermotor masih menggetarkan gendang telinganya. Lydia masih 2 menjadi sosok yang diburu bayanganya sendiri, bayangan rasa sepi dan bayangan yang dia bangun sendiri. 
*** 
Ingin hatinya mengurungkan niatnya untuk bertugas ke Bengkulu. Untuk apa dia di daerah Bengkulu, bila rasa sepi yang menghantuinya tidak mampu dia tepis. Bahkan kini dia seperti anak ABG atau teenager yang lebay merindukan doinya. Namun pikiran itu dia buang jauh=jauh “Aku perempuan yang telah dewasa, aku harus menjadi Lidya yang tagguh. 

Bukankah kepergianya nanti ke Bengkulu adalah pilihanku yang semula ditolak tegas oleh mama dan papa” Bisik hati Lidya sendiri, kini menjadi karibnya sendiri. “Teeet…teeet..teet “ Dering handphone yang sejak sore tadi terbungkam dingin, kini membangunkan Lydia, yang sudah mulai terhisap pada setiap lekukan springbed bersprei merah jambu. “Hallo Lidya ! “, dari speaker hp-nya melenting begitu saja suara teman karibnya, yang serasa tahu betul apa yang hinggap di hati Lydia kini. “Oh Aya.! Syukurlah kamu ngebel aku, dalam kamar sejak sore tadi. Rasanya aku seperti lagi menunggu hukuman gantung ! “ 

“Ada apa Lidya ?. Kok kamu ngaco gitu, sih !” Teriak Soraya, temen yang ganjen dan sudah sejak SMA dulu menjadi karib sejati Lidya. “Nggak tahu aku Aya !. Sejak sore tadi aku gelisah, sebenarnya sih ingin enjoy!, tapi aku bingung harus bagaimana ?”. “Heeh, kamu kan bukan ABG lagi, kamu sekarang bu dokter muda, yang sebentar lagi bakal menangani pasien di daerah terpencil, terus kalau kamu galau kaya gitu, eh bisa-bisa seluruh pasienmu mati dong, Lidya!” “Ah ada aja kamu !, justru itu Aya !, setelah aku lulus koskap dan harus bertugas sebagai dokter, aku semakin merasakan arti hidup ini. Aku nggak akan terus seperti ini kan?, ah aku nggak tahu Aya !”

 “Lidya, mesti kamu lagi kesepian, iya kan ?. Kamu kangen sama Aldo ?, yang baru saja kau campakan !”. Ucapan Soraya dari balik speaker hp, layaknya sebuah anak panah yang tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung hati Lidya, Apakah diriku bersalah ? 3 bila diriku kini mengharapkan Aldo?, yang justru baru saja aku tepiskan segalanya. Hingga Aldo pria yang punya lifestyle suka hidup bebas, kini telah terbang entah ke mana, Lidyapun tidak tahu. Kenapa aku mengharapnya kini ?, seperti menawan Aldo dalam rajutan kain sutra.

 “Halloo…hallooo !, Lidya ..Lidya !, kamu lagi sensitif malam ini ?. OK Lidya sorry ya !!!” “Halo , Soraya !, nggak apa apa kok !. Aku hanya konyol saja malam ini ?” “Lidya !, seperti kataku dulu waktu kamu curhat sama aku. Aldo sebenarnya pria yang lembut dan dewasa, hanya dia memang susah diatur. Sebenarnya dia bisa kok menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi gimana lagi Lidya,! kamu harus kukuh dalam meniti karir sebagai dokter. Aku harap kamu mampu menjadi dokter sekaligus istri yang baik untuk suamimu nanti yang lebih baik dari Aldo “ 

“Makasih, ya Aya!. Kamu pernah jumpa Aldo belakangan ini ?” “Nggak pernah, Sudahlah Lidya !, sekarang lupakan saja dia, di depanmu kini menanti jalan karir yang panjang, OK deh Lidya lain waktu kita jumpa lagi. Met malam, ya !” Kamar tidur itu kembali lagi membius Lidya dalam dingin dan sepi, ornament yang melekat di dinding kamarnya yang penuh variasi warna dan bergurat gaya Italia kini tak mampu lagi menghidupkan hatinya. 

Di tengah kegalauannya, Lidya sebenarnya masih menyelipkan sebuah perasaan kodrati sebagai perempuan, yaitu sebuah hasrat membutuhkan kehadiran pendamping pria yang mampu melabuhkan perasaan kodrati itu. Sebagus apapun karirnya nanti dia tetap tidak mampu mengenyahkan perasaan itu. Kini semua yang dilihat dalam kamar menjadi samar dan menghilang, tinggalah kini Lidya yang direnggut mimpi mimpi indah. *** Pagi berkabut menyelimuti Kota Jakarta, setelah semalam dibasahi gerimis, batang batang perdupun menjadi terbujur dingin. Tak ada lagi nyanyian burung Pipit, Kenari dan Kutilang di kota yang garang dan beringas seperti Jakarta. 

Apalagi angin musim penghujan bertiup agak kencang dan menjinjing rasa dingin . Namun bagi manusia yang 4 masih memiliki sebilah nafas dan deru jantung, mereka tetap menjemput hidup ini meski di tengah cuaca yang tak ramah seperti pagi ini. Lidyapun bergegas menjemput hidup di pagi ini dengan wajah yang dilipat. 

Karena pagi ini dia harus mengurus berbagai surat ke Kementrian Kesehatan untuk tugasnya ke Bengkulu dalam waktu dekat. Apalagi wajah pagi kali inipun tidak mampu lagi mengusiknya untuk merajut senyum ceria, meski sarapan pagi untuknya telah siap dan telah lama menanti. Namun semua sarapan paginya kini hanya diterkam dengan sorot mata yang dingin, hanya beberapa teguk teh hangat manis yang membasahi kerongkonganya. 

Sementara hatinyapun terbang entah ke mana, hanya Lidya yang tahu. Perasaan aneh pada Lidyapun segera dapat dibaca oleh maminya yang sekarang duduk di depanya dan sekali sekali menyapu seluruh wajah Lidya yang pucat dengan pandangan yang lembut dan hasrat untuk menelisik perasaan putri sulungnya. “Lidya !, seharusnya kamu bahagia saat saat ini, kamu berhasil lulus menjadi dokter dan mampu meraih prestasi lulusan terbaik. Mama dan papa juga ikut senang. Apalagi kamu berhasil mendapat ikatan dinas menjadi dokter ASN  dan kamu mau menerimanya kan ?, meski harus ke Bengkulu. Tapi kamu beberapa hari ini kelihatan suntruk , ada apa Lidya ?”.

 “Ah, mami. Biarin saja mam !!, ini urusan Lidya kok dan Lidya bisa mengatasi sendiri “. Separo dari teh hangat kini sudah direguk oleh Lidya, namun sarapan yang ada di depanya masih dibiarkan Lidya hingga bertambah dingin. Lidyapun tidak mau maminya mengusik privasi yang ada di hatinya. 
 Apalagi bila maminya tahu bahwa yang mampu menghangatkan hatinya yang membujur kaku, hanyalah Aldo, bukanya Albert yang kehadiran di sisinya sangat diharapkan oleh mami dan papi Lidya. “Tapi, kamu kan sebentar lagi tugas di Bengkulu. Kalau kamu sakit, papa jelas tidak setuju !.” “Aku baik baik saja, mam ?” “Apa kamu kesepian ?. Setelah Aldo kamu putuskan !” “Mam !, Lidya bukan anak kecil lagi, mami hargai dong ! privasi Lidya !” 

 Suara batuk batuk kecil tapi agak dalam, terdengar hingga tiap sudut ruang makan. Suara batuk itu berasal dari Pramono, papi Lidya yang belum mampu meninggalkan kebiasaan merokoknya. Lelaki separo baya itu merasa keberatan bila Lidya harus tugas ke Bengkulu sebagai dokter puskesmas. Pramono lebih memilih Lidya segera membantu papinya dalam mengembangkan konglomerasi Pramono Group. Pramonopun berambisi menempatkan Lidya, putra sulungnya sebagai staf direksi untuk menekuni manajerial di perusahaan besar milik papinya. Tapi apa mau dikata Lidya lebih menyukai menjadi dokter di daerah terpencil, dengan alasan sebuah kepedulian dengan sesama dan ambisi untuk mendalami ilmu kedokteran. 

Dalam ambisinya yang mengental sekeras batu, Pramono akrab dengan Albert Harjo Wongso, direktur muda sekaligus putra mahkota Raja Baja Indonesia yang masih lajang. Meski Albert, seorang direktur yang usianya jauh di bawahnya, namun kemampuan dalam memanage perusahaan besarnya sungguh brillian. Terbukti dengan tangan diingin dan langkah strategis Albert mampu mengembangkan Wongso Group, yang bergerak di bidang jasa baja dari hilir hingga hulu. 

Dari ide ide cemerlang Albert inilah, Pramono memiliki ambisi untuk mengembangkan sayap Pramono Group, dan Lidya telah menjadi pilihan hatinya untuk menjadi central direksi di groupnya. Sebersit ide cemerlang telah menghantui Pramono dari waktu ke waktu, untuk mempertemukan Albert dengan putri sulungnya, guna melancarkan ambisinya sekaligus menyiapkan masa depan semua putra putranya. Namun hasrat itu telah sirna karena kehadiran Aldo, pria yang dianggapnya tidak punya visi hidup. Apalagi dengan rencana Lidya yang berambisi menjadi dokter puskesmas di Bengkulu. 

“Lidya !, kamu sakit ?”. Dengan penuh kelembutan papanya menyapa Lidya di pagi hari yang sudah mulai dipenuhi sinar kuning mentari. “Nggak pap !, Lidya hanya lagi tidak selera hari ini “ “Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?. Tuh lihat adik adikmu sarapan hari ini dengan penuh selera “. Papi Lidya berusaha menghibur Lidya, yang kini berada di tengah ke dua adiknya yang lahap menikmati sarapan paginya dengan nasi hangat dan ayam goreng yang dibumbui dengan saos tomat. “Sudah ada kabar!, kapan kamu berangkat ke Bengkulu ?’

 “Belum tahu pap, hari ini Lidya coba menanyakan surat tugasnya ke kementrian !” 6 “Kok belum selesai sih surat tugasnya ?” “Nggak tahu!, pap. Lidya juga bingung! “ “Lidya, mengapa mesti harus ke Bengkulu ?. Kalau kamu berambisi ingin jadi dokter yang sukses, mudah bagi papimu memasukan kamu ke Cipto sambil mengambil spesialis di UI. Pikirkan dulu, sebelum kamu ke Bengkulu “ “Iya, Lidya!, papi juga sependapat dengan mama. Kalau kamu tidak pengin membantu papa di perusahaan, ya OK lah !. Tapi mengapa harus ke Bengkulu ?”

 “Piss mam, jangan ungkit ungkit lagi masalah itu . Nanti juga ujung ujungnya ke Albert, Lidya jadi pusing !” “Lidya !, papa sama sekali tidak melarangmu ke Bengkulu, toh kalau naik pesawat dari Jakarta nggak ada 1 jam. Tapi apa kamu bisa tahan menghadapi tantangan di sana?. Kalau tugasmu di puskesmas daerah Jakarta papa tidak ambil pusing” 

“Papa mama inginkan punya putra putra yang mandiri ?. Maka itu papa!, Lidya hanya ingin belajar sebuah kemandirian dan makna hidup. Lidya masih ingat, sejak dari TK hingga sekarang Lidya berkubang dengan kecukupan apapun. Lidya ingin mandiri di tengah masyarakat desa yang terpencil, barangkali disanalah Lidya menemui makna hidup “ Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mama dan papanya, hanya peluk cium yang dia dapatkan dari kedua adik Lidya yang minta pamit berangkat sekolah. Lidyapun minta pamit pada mama dan papanya yang terkadang merasa kasihan sekaligus merasa kagum dengan visi hidup putra sulung mereka. Namun perasaan risau papanya masih saja bersemayam di dadanya. 

Mengapa perjodohan Albert dan putrinya belum menjadi kenyataan. 
*** 
Mobil sedan warna merah metalik masih menderukan mesinya dan tak lama kemudian membisu. Lidya keluar dari mobilnya yang diparkir di halaman Genius Café tempat dirinya mangkal bersama sokib sokib lainya saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Sudah agak lama Lidya tidak menjenguk café itu, namun beberapa bartendernya masih jelas mengenalinya. 7 “Non Lidya, sekarang bertambah cantik, tapi kok agak kurusan sedikit “ 

“Makasih Icca, bagaimana kabar kamu. Masih betah kerja di sini ?” “Aku baik baik Mba, ya habis mau kerja di mana lagi, mba. Ah disini juga lumayan mba ? bisa untuk membeli susu anaku “ “Oh kamu sudah marriage ya !. Selamat ya !” “Makasih mba, oh ya Aldo juga nasih sering ke sini mba ?’ Icca tabpa sengaja mengabarkan tentang Aldo. “Ngapain dia ke sini ?” “Aku nggak tahu, mba. Tapi maaf ya mba ?” “Ya ada apa ?” 

“Ah nanti mba Lidya tersinggung, benar nih ?” “Sure Icca !, aku nggak bakalan tersinggung. Aku dan Aldo kan sekarang hanya sahabat dekat saja “ “Aldo sekarang pacaran dengan Trisnani, katanya sih dia penyanyi. Tapi belakangan ini aku lihat Aldo nggak urakan seperti dulu, dan sebentar lagi katanya mereka mau marriage. Mba belum tahu kabar ini ?”

 “Belum, ya makasih infonya ya Icc, aku ikut bahagia jika Aldo marriage dengan eh siapa saja” Sesaat eksotis café di siang itu menjadi memudar bagi Lidya, setelah sebuah mobil Pajero warna hitam parkir di halaman depan. Mobil itu tidak lain adalah milik Aldo, yang tidak lama kemudian Aldo sudah berada di depan meja bartender, untuk memesan kopi dan Virgin Cake kesukaanya. Aldo pu terperanjat kaget melihat Lidya di sudut meja cafe itu dengan segelas besar air jeruk dan beberapa pengal roti untuk makan siangnya. “Lidya, kamu sudah lama, bagaimana kabarmu ?” “Baik baik saja Aldo, ngapain kamu disini. Bagaimana kabarmu Aldo?” 8 ‘Aku baik baik saja, aku ke sini hanya sekedar membunuh waktu saja. Karena aku belum kerja. Kamu juga ngapain di sini ?” “Aku mau ke kesehatan, tapi tadi lagi meeting, Jadi aku nunggu di sini” “Ngapain ke kesehatan, Lidya ?”

 “Aku mau mengambil surat tugas sekalian SK capeg. Aku ditugaskan di puskesmas terpencil di Bengkulu. Oh ya mumpung kita ketemu, aku pamit ke Bengkulu, sekaligius aku minta doamu semoga aku berhasil “ “Lidya, kamu memang sahabat yang baik hati. Tentu aku terus berdoa untuk sahabatku yang di Bengkulu. Lidya sering kabar kabar dong sa aku kalau ada apa apa ? Sama aku juga akan selalu memberi kabar sama kamu, mama dan papa” 

“Aldo, aku dengar katanya kamu mau marriage?” ‘Aku belum berani ngasih kabar sama kamu, nanti deh kalau semuanya sudah OK. Kamu tidak ganti nomor hp kan ?” Lidya hanya menggelengkan kepalanya, lantaran tidak mampu member jawaban degan lidah yang kelu, tenggorokan yang sesak dan seribu perasaan yang tidak menentu. 

Pria yang ada di depaya kini sama sekali tidak memberikan harapan baru lagi. Pria yang ditawan dalam tirai sutranya kini lepas bagaikan burung dmerpati yang lepas dari sangkarnya. Lidya tambah kokoh berniat pergi ke Bengkulu***

Senja

Bagi Elga tahun baru kali ini, hanya dihiasi sebah senyum sahaja. Tahun baru hanya sesuatu yang lewat begitu saja, seperti hari hari lainnya. Terompet yang bereksotis menggigit lampu lampu jalan hanya di cibir saja. 

Bagi Elga yang penting hanyalah sikapnya yang harus dibenahi demi sebuah interstnya pada studinya. Sebuah kenangan beberapa tahun lalu kini menyentuh jantungnya, tetapi hanya sesaat ditepis hingar bingarnya malam tahun baru. Malam yang begitu berkesan kala Rehas masih disampingnya. 
*** 
Rehas datang ke acara kumpul bareng sokib-sokib gaulnya di rumah Avda pada sore hari sesuai apoinmen mereka lewat Hp. Bukan siapa-siapa yang terselip di hatinya kala dia berambisi untuk gabung di rumah Avda, di awal tahun baru ini, bukan pula secangkirkopi dan sekerat roti yang dia buru. 
 Tapi kata hati, yang terus memberontak menusuk rongga dada, jantung dan urat nadinya. Avda segera menghamburkan diri ke beranda rumah, kala kelebat tubuh Rahas terlihat di pintu gerbang halaman rumahnya. Avda mengulurkan ke dua tangan, sedangkan Rahas hanya memperepat langkahnya sembari melempar senyum. Perjumpaan ini mirip dua orang 

“Knight dari Skandinavia” yang bertahun tidak berjumpa dalam kancah pperangan melawan Romawi. Bagi Rehas selama empat tahun tidak pernah bisa jumpa dengan beberapa sokib kentalnya sejak SMP, memang membuatnya dia ngebet ingin jumpa hari ini, di tengah libur panjangnya. “Rehas, kita jumpa lagi, sehatkan ?” kalimat pertama Avda yang lepas berderai tawa memenuhi beranda rumahnya yang hanya berlantai semen. 

“Avda !, aku nggak sangka kamu mau datang !. Rasanya baru kemarin kita pisah !” Mereka berdua merasakan kehangatan yang renyah, akrab tetapi fresh meski udara di luar terasa dingin akibat gerimis yang mengguyur awal Januari tahun ini. Rehas masih menampakan sebuah duka yang menyerpih di dinding kalbunya meski dia sudah meninggalkan kota lamanya empat tahun silam, sebuah duka tentang pertemuanya dengan Elga dan sebuah perpisahan yang menyakitkan. “Bangkitlah Rehas !, mendung tidak selamanya membawa hujan !” sebuah advis sejuk datang dari Avda. “Apa maksudmu ?” “ Tidak selamnya apa yang kamu duga akan menjadi kenyataan “ “Aku masih belum tahu, cobalah kamu lebih detil saja “ 

“Ah...kamu kan udah mahasiswa tahun ini, masa nggak tahu sih Has !” Avda meneguk bebarapa tegukan kopi hangat, sedangkan tak satupun makanan yang belum masuk ke rongga perut Rehas. Avdapun tahu sebuah kegalauan kini menyelimuti hati sokib dekatnya itu yang datang dari Medan demi apoinmen mereka, atau demi Elga yang rencananya juga mau ngikut bareng ngumpul. “Has, kamu coba dong lebih dewasa sehingga bisa memberikan Elga sebuah alasan tentang empat tahun yang lalu. Dia juga sering nanyain kabar kamu kok ! “ 

“Emang itulah yang akan aku lakukan, moga-moga sore ini aku mampu menjadi The Braveman untuk sebuah penjelasan “. Sendu di wajah Rehas sudah mulai tertepiskan. “Mengapa tidak kau lakukan di awal awal saja ?” “Itupun aku menyesal, yah kita saat itukan masih remaja yang belum dewasa. Perpisahaku dengan Elga hanya menimbulkan emosi di hatiku. Aku benci bila melihat Elga. Namun kebencian itu lama-lama meluruh, meninggalkan kesan pada Elga dari sisi lain “ . 
Rehas kini mulai membasahi tenggorokanya dengan softdrink yang ada di depanya. “Sisi yang mana ?” “Ternyata dia lebih dewasa lagi sekarang, apalagi setelah lulus SMA. Aku bisa menebaknya, dia jauh lebih dewasa dari umurnya. Betulkan kan , Avda ?” “Betul Has !,sayang kita berpisah lama. Seandainya kamu masih gabung bareng denganku. Tentunya akan aku ceritakan semua tentang Elga “ 

“Kamu dekat dengan, Elga ?” Rehat mulai mencoba menelisik tentang Elga. “Kebetulan dia kuliah bareng aku, Sehingga dia hampir tiap hari ketemu aku “ “Mengapa kamu nggak crita sama aku ?” “Orang kamu aja baru sms met tahun baru kemarin, gimana aku tahu posisi dan no hap kamu “ “Banyak yang pdkt sama dia, Avda ?” “Dia menjadi bunga kampus, apalagi dengan sikapnya yang dewasa. Dia juga dinilai banyak teman-teman sebagai wanita flamboyan. Aku sarankan kamu pdkt lagi dengan kiat yang santun, halus selembut sutra !”. Rehas hanya diam membisu. 
*** 
Avda, meski bukan anak seorang gedongan, tapi memiliki karakter yang santun, halus, peduli dan ringan tangan menolong siapapun. Oleh karena itu banyak sekali sokib-sokibnya yang seneng berada di dekatnya, meski belum satupun cewek mahasiswi yang mampu menjadi penambat hatinya. Karena bagi Avda “cinta” bukan selembar hasrat yang harus ditautkan dalam wujud pacaran. Avda hanya mengenal cinta dalam wujud memberikan kebaikan dengan lainnya. Maka bila dia mengantar pulang Elga, Shanty, Elvi dan seabreg cewek lainnya, dengan sepeda motor bututnya, itulah cinta menurutnya. Maka kala dia memberikan selorohnya untuk mengumpulkan semua sokibnya di rumahnya yang sederhana,semua sokibnyapun menyambutnya. 

Mereka kin tidak membuhkan temu bareng di hotel berbintang, atau di pub, restoran dan lain sebagainya. Tetapi meski hanya rumah sederhana di batas kota mereka semua dengan ringan menyetujui kumpul bareng itu. Rehas belum mampu melepas semua candanya pada semua teman-teman Avda yang sudah mulai gabung dengan duduk di atas tikar, sambil memusari hidangan pecel lele dan nasi hangat serta sambal yang pedas. Tidak ketinggalah daun kemangi dan irisan mentimun juga ikut menambah menu tahun baru yang sederhana. “Avda !, kita bikin heboh aja kumpul bareng ini !” pinta Kayla. “OK !, aku yang bawa gitar, siapa yang mau nyanyi !. Kayla please ?” “Aku nggak bisa nyanyi, aku bacakan puisi saja ya !, kebetulan aku bawa dari rumah,setuju !” “Setujuuuuuu....!!!!!” 

Semua kebisuan tadi kini menjadi cair, saat Kayla membacakan puisi karya dia sendiri : Puisi Tentang Tahun Baru Bukankah aku telah simak dengan seluruh nadi darahku agar tetap mengalirkan semua yang kau pinta lantaran telah hilang lakon hidup episoda demi episoda kini haripun bertabuh genderang tahun baru biarlah aku hadirkan lagi bahasa tubuhku yang lama terbang merengkuh awan biarkan pula langit memberikan senyumnya asalkan kita sewarna merah, biru dan jingganya tahun baru. Saat ini tak mau aku menanti datangnya mentari Lantaran telah aku basuh wajah dengan senyum bidadariku Yang telah memberikan aku secawa air pelepas dahaga Biarlah semua tergambar jelas Akan aku dapatkan lagi 

 Biru langit bertepi ormanen warna jingga Sementara engkaupun masih menawarkan lagi Sebilah hatimu yang telah meranum bahagia Kayla, 4 Januari 2020. Rehas dan Elga tak sengaja saling bertatap mata, Rehas mengawali dengan seberkas senyum gantengnya. Elgapun mambalasnya dengan sebuah bisik hati , “Rehas bila biru rindumu memberkas katakan saja, akan aku terima dengan kedua tanganku 

“ Rumah Avda yang berdinding setengah papan itu menjadi saksi pertemuan mereka berdua. Sebuah senjapun kini menyodorkan sebuah bingkai asmara untuk mereka berdua. “Selamat Elga !, sukses selalu untuk kamu, kamu sekarang berhasil kuliah di negeri !” “Makasih Has !, kok tahu ada pesta kecil-kecilan di sini?. Aku dengar kamu sekarang di Medan !”

 “He..eh, setelah naik kelas XI papi dipindah ke Medan “ “Sekarang kamu kuliah di mana ?” “Yah...beginilah aku, nggak bisa kuliah di PTN. Betul advismu dulu Elga !” “Advis yang mana ?” “Meski kita mau bagaimana, studi juga perlu di perhatiin untuk masa depan kita. Advismu yang seperti itu masih aku ingat betul “ “Tapi roda waktu masih berputar, kita belum tahu segalanya. Jangan putus asa dulu, Has !” “Makasih !, kamu masih seperti dulu, Elga!. Aku dengar dari Avda kamu sekarang menjadi bunga kampus “ “Makasih juga Has

 “ Elga seterusnya hanya diam membisu, namun masih memberikan pesona bagi Rehas yang sedang dgrogoti rindu yang berat. “Elga, gimana pendapatmu ?” “Tentang apa !” “Tahun 2020 ini aku mau kuliah di Semarang saja, papiku pun setuju. Daripada di Medan aku hanya main saja 
“ Tidak ada satu patah katapun yang diuntai Elga, hanya sebuah pandang mata yang sendu dan menggeleparkan jantung hati Rehas*** Diposting oleh Unknown di 15.35 1 komentar: Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest Label: Cerpen Remaja Smilling So Good 
 “Jangan sekali- kali kamu semua mencoba mendapatkan bunga kampus kita, yang suka ngomong seenaknya dan konyol itu “ umpat Sam yang menyelipkan tubuhnya ke tengah sokib sokibnya yang sedang rehat di halaman sekolah di tengah pagi yang cerah. Meski saat itu musim hujan sedang menerpa kota mereka. “Maksud kamu bunga sekolah yang mana Sam?, yang cuakep kaya Kate Midlleton tapi nggak pernah senyum kaya Mak Lampir itu ?” 

Richard tanpa selembar tiraipun menutupi ucapanya, sehingga sebuah tawa dari merekapun berderai di pagi itu. Pohon Akasia yang berjejer memayungi halaman sekolah serasa hampir roboh dihempas derai tawa cowok-cowok kelas IPS, yang lagi betah nyanggong menunggu bel masuk “Sayang ya friend !, Kartika sih sebenarnya cuakep, namun galaknya minta ampun !” sela Rush. “Lagian dia egois!, man ! “ Hendra mulai interest dengan seloroh mereka. “Dari mana kamu tahu Kartika egois, emangnya kamu pernah dekat sama dia Dra ?” desak Steven. “Sok tahu kamu Dra !” bantah Sam yang tidak percaya dengan ucapan Hendra. “Coba dulu !, kita dengarkan Si Ganteng Pemburu Cinta ini ngomong dulu, dia ngatain Kartika egois !, mesti dia punya alasan, ayo dong Dra !, terusin omongan kamu “ desak Steven yang kini duduk di samping Hendra, 

“Ah, bisa aja kamu Stev !, aku cuma ngomong asal-asalan friend !” Hendra merasa tersudut kini, karena serangan temen temen yang membrondongnya. “He, man !, ayo dong yang konsisten, mengapa you ngomong Kartika egois ?. Menurut aku sih dia angkuh, susah diajak kompromi dan susah dideketin. Betul nggak Sam?, lihat saja Sam yang ngap-ngapan deketin Kartika. Sampai sekarang belum berhasil, percuma kamu Sam punya sokib seperti kita kita ini ! “ “Jangankan Sam, yang kaya anak kampungan. Aku sendiri yang bisa dekat denganya belum bisa mendapatkan dia”. Hendra melemparkan selorohnya yang membuat mereka semua terperangah. Pandangan mata mereka kini semua terarah ke Hendra. Untuk beberapa saat derai tawa mereka kini terhenti dan semua membisu. “Temen temen!, Kartika sering minta tolong aku untuk ngajarin matematika, aku sering ke rumahnya. Akupun mau- mau saja. Tapi giliran aku butuh teman untuk enjoy dan refresh eh dia nggak mau “. 2 “Hahaha..sekarang Si Ganteng Pemburu Cinta kena batunya, tahu rasa kamu !” ejekan Steven menderaikan tawa mereka semua. “Kamu GR duluan sih Dra ?” jawab Richard. 

 “Kakek pikun !, bukan seperti itu cara ndekati Kartika !” Sam masih saja belum bisa menepiskan derai tawanya. “Makanya lain kali jangan terburu-buru !” “Eh, udik !, perlu kiat khusus untuk mendapatkan kembang kampus yang flamboyant tapi angkuh itu, belajar dulu sama kita kita ini !”. Ucapan Richard tadi semakin membawa halaman sekolah itu bertambah semarak di pagi yang mulai dihampiri kuning sinar mentari. “Eh, sok pinter kamu Richard !, buktinya mana ! Kamu belum bisa mendapatkan Kartika, kan ?” “Asal kamu tahu, aja Dra !, Veny segalanya lebih baik dari Nenek Sihir itu !” “Udahlah !, jangan berantem. Kita kitakan masih anak ingusan.

 Masalah pacar yang idamkan, nanti aja kalau kita sudah mahasiswa.Kita kan belum apa –apa !!” .Pinta Rush pada kedua cowok gaul itu yang sudah meradang nadi darahnya. Teeet…teet…teet. Bel sekolah mengisaratkan mereka untuk segera masuk ke kelas mereka masing masing. Sementara anak anak IPS tadi segera berhamburan meninggalkan halaman depan sekolah mereka. Pohon palem botol dan Akasia kali inipun bisa bernafas lega, kemudian diam membujur diterpa sinar mentari. 
*** 
Perlahan lahan sinar mentari mulai tertutup mendung tebal, tak berapa lama gerimis membasahi Bulan Desember ini. Mereka yang selesai mengikuti tes semester kini memburu waktu agar tidak terjebak hujan. Kecuali Kartika yang sendirian sengaja menunggu Hendra di pintu depan sekolah Kedua sorot mata mereka berdua bertatapan, sebuah senyum dari Hendrapun dilemparkan ke arah Kartika, yang dibalas dengan senyum tipis dan sebuah permintaan Kartika pada Hendra, untk mampir di kantin sekolah. “Apa maksudmu sih Dra ?” “Tentang apa ?” “Ya tentang aku “ “Maksudmu ?” 3 “Jangan berlagak bego!, aku tahu semua pembicaraan teman temanmu tadi pagi di halaman sekolah !“

 “Dengar dari siapa ?” Tanya Hendra. “Nggak dengar dari siapa-siapa !” “Terus bagaimana kamu tahu ?” “Ya, karena aku duduk di depan kantin sini dan dengar semua ocehan sokibmu “ “Mereka semua Cuma pengin dekat denganmu,Tika ?” Hendra mencoba mencairkan bara api yang ada di dalam jantung cewek yang telah menautkan benang sutra di hatinya. Cewek yang menjadi kembang kampus di sekolahnya ini, kini telah hadir dalam beranda hatinya. 

 Meski Hendra telah mengenal dekat dengan Kartika, namun dia masih bimbang bagaimana mengokokan batas antara sebuah persahabatan dengan sesuatu yang sulit diwujudkan baginya. “Kalau pengin deket aku,ya deket aja !. Kenapa harus pakai selorohan kasar, si Nenek Sihir !, Mak Lampir ! dan apa lagi !. Hendra !, mereka semua bukan sekedar mau deket dengan aku!, tapi coba kamu pikir!. Seperti Rush, Richard, Sam, Steven itu masih seperti anak kecil, sudah berapa surat yang mereka kirim untuk aku, belum lagi rayuan ingusan lewat hp. Mereka semua belum tahu arti persahabatan, mereka semua hanya mengerti cinta-cinta ingusan !” “Tapi mungkin lebih baik lagi, bila kamu selalu memberi senyum pada mereka bila ketemu mereka. Tika !, kalau kamu tidak memberi mereka sebuah harapan, apa harus saling membisu bila berpapaan mereka “pinta Hendra. “Aku memang the ice girl, namun awalnya aku juga so smilling dengan mereka,namun mereka menartikan lain” “ Aku juga heran, mengapa mereka menilai kamu seperti itu ?”

 “Hendra !, aku juga ingin supaya kamu jangan salah paham. Aku hanya berhasrat merangkai sebuah persahabatan. Aku tidak gampang memberikan harapan pada semua orang. Bila aku mengajakmu belajar bersama, apa ini sesuatu yang lain untuk kita. Maafkan aku ya Dra !, kamu nggak tersinggung,kan ?”Hendra menggelengkan kepalanya, sebuah sorot mata ang lebay terus saja menghiasi wajahnya. Kartikapun tahu bahwa memang cowok ini telah menyimpan sesuatu yang begitu halus dan lembut. Selembut embun pagi. 

Namun Kartikapun tahu bahwa perhatian cowok genius ini pada dirinya sungguh lembut. Hendra selalu mengerti perasaan dirinya, apa yang menjadi batas sebuah persahabatan antar mereka telah Hendra jaga dengan kokoh, sekokoh pribadinya 4 yang tangguh. Namun hanya sebatas itulah yang mampu Kartika berikan pada cowok ini. Entah sang waktu sajalah yang bakal menorehkan prosa antara mereka. “Dra !” “Ya, Tika !”. “Kamu nggak marah kan ?” “Nggak !” “Aku mau minta tolong lagi, mau Dra ?” “Katakan saja !” “Kita bahas soal soal matematika tadi di rumahku , maukan ?” “Asal kamu selalu memberiku senyuman yang terindah, maukan ?” “OK, So Smille So Good !!!!” ***

Sentuhan Sehalus Sutra

Merasa dirinya terus saja dikungkung perjuangan menggapai jalan hidup yang diinginkanya, Rosallia hampir –hampir putus asa. Dia sudah merasakan jalan hidup yang terbentang jauh di depanya telah dipenuhi kerikil tajam, berliku dan dikanan-kiri jalan hidupnya telah ditaburi jurang-jurang yang siap melumat tubuh siapa saja. Namun Rosallia tak pernah berpikir konyol untuk hanya berpangku tangan menghadapi sebuah birama hidup yang berdebu dan menyeskan dadanya. 

Bila dia melangkah surut, Kota Jakarta siap menghisapnya dalam-dalam ke dalam kubangan lumpur yang hitam kelam. Untuk kembali ke Tegal kota asalnya, jelas dia tepiskan gagasan seperti itu, karena di kota itu dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi. Kedua orang tuanya sudah meninggalkan dia setelah dia lulus sarjana, sedangkan adik semata wayangnya, entah tidak pernah memberi kabar berita. Rosallia hanya mendengar dari teman-teman adiknya, bila Karel telah merantau ke Sumatra. 

Hanya sepasang lengan kecil yang ringkih dan langkah kaki yang terbatas adalah ciri seorang wanita, apalagi bagi Rosallia yang masih lajang dan hidup dari kontrakan kamar satu dengan lainnya, dari debu dan deru jalan jalan Kota Jakarta yang menghitamkan kulit tubuh dan sering membuat dadanya tersengal. Sebenarnya benak hatinya dalam rongga dadanya telah menjerit, melengking ke semua atmosfer hidupnya. Namun lengkingan seorang wanita di tengah hiruk pikuknya Kota Jakarta apalah dayanya. Lengkingan itupun akan dipantulkan oleh tebing-tebing yang tinggi, kokoh dan membisu. Kedua mata Rosalliapun harus mampu meredup, kala perjuangan hidupnya begitu menyesakan dadanya. Kala dia menjadi korban akal bulus Ardian yang menjanjikan kehidupan bahagia, manis dan manja di Kota Sejuta Lampu itu. 
***
 Kali ini Rosallia hanya mampu meratapi apa yang terjadi pada dirinya, saat dia dipanggil kabag personalia di kantornya tentang phk yang dideranya. Sekali lagi dia mencoba meyakinkan keputusan atasanya itu untuk menepiskan rasa percaya pada dirinya sendiri. Sejak dia selalu terseok menapaki jalan hidupnya yang beralasan kerikil tajam, kerap dalam benak Rosallia timbul perasaan tidak percaya. Namun kenyataan itu kini telah berkali-kali membisikan dalam bilik jantungnya untuk segera tabah dan tawakal menerimanya di saat usia dia telah hampir mencapai 30 tahunan. Semua bunga-bunga yang berjejer rapi di atas pot semen ikut terlihat layu. 

Mereka ikut engucapkan selamat tinggal di sepanjang jalan paving blok. Hanya Wella yang menjemput dengan membukakan kedua tangan untuk sebuah pelukan pada Rosallia. Merekakemudian saling menumpahkan isi hati dengan bahasa air mata, yang entah bagi Rosallia air mata yang keberapa kali dia tumpahkan. 
“Ros, sabar ya !”. Rosallia hanya menganggukan wajahnya. “Kita masih bisa bertemu lagi, kan Wel ?” “Pasti Ros !, kita sama sama datang ke Jakarta dengan hanya sebuah tekad. Mengapa kita mesti berpisah. Tolong kabar kabar ya Ros ?”. 

Seberkas senyum Rosallia kini terlihat menghias di bibirnya. Senyum itulah yang biasa disodorkan wanita yang biasa tampil “exciting” sepanjang hari termasuk dalam meretas bilah hidup di Jakarta, yang penuh liku dan karang terjal dingin membisu. Hanya terlihat kini kedua wanita lajang yang cantik saling melepas pelukan, suatu pertanda mereka berdua kini mulai bersiaga menghadapi kehidupan esok pagi. 

Sebuah rumah berdinding tembok dan papan di Bantaran Sunga Ciliwung tiada sedikitpun menawarkan senyum pilu, meski sebagian papanya yang berada di atasnya telah menghitam disentuh banjir sungai itu yang kerap menderanya. Termasuk juga ancaman banjir saat saat ini di awal tahun, Rosalliapun telah siap membenahi semua perabot rumahnya agar mampu terhindarkan dari luapan air sungai. Pagi itu di sela gerimis tiada henti memagut Kota Jakarta, Rosallia lebih akrab dengan rumahnya kontrakannya yang pada hari-hari biasanya dia mengabaikan begitu saja. Semua perabotanya dilepaskan dari debu debu yang sudah cukup banyak menumpuk. 

Nyanyian kecil terus saja melantun di rumah separo papan yang kini terasa lebih hangat. Wanita lajang yang cantik dan berambut model Demi More itu menyambt harinya tanpa memperdulikan nasibnya kini yang telah diphk perusahaanya yang sedng terbelit kerugian. Dia terus berbenah bersama-sama ibu-ibu warga Tebet Dalam untuk menyambut rencana kedatangan Kate Middlleton ke pemukiman kumuh tersebut. Sebentar sebentar Rosallia diberi pengarahan Bu RT, staf kedutaan Inggris ataupun aparat lainnya yang aktif memoles dan mensterilkan keamanan pemukiman itu. “Non Rosa !, nanti ikut menyambut kedatangan Kate Middleton , ya !” pinta Bu RT di sela kesibukan wara sekitarnya. “Baik Bu RT !, tapi acaranya apa saja bu ?, aku nggak tahu ?” 

“Aku sendiri nggak tahu, Non !, itu urusan staff kedutaan dan pejabat pekmot atau aku juga nggak tahu non !” “Terus kalau Bu RT nggak tahu, kita kita ini harus bagaimana ?” “Kata Pak RW sih kita hanya disuruh pakai pakaian adat Jawa untuk menyambut sang ratu “ “Aku nggak punya pakaian adat lho bu !” “Itu gampang non dari pemkot nanti meminjami “ “Kan ibu- ibu lainnya masih banyak yang bisa menyambutnya !, biar aku nggak ikut saja, bu ?” 

“Eh, Non Rosa cantik lho, apalagi kalau didandani pakaian adat, pasti nanti bakal jadi primadona di acara itu !” “Ah, Bu RT bisa aja ?, ya bolehlah bu !. Tapi nanti aku hanya ngikut aja ya bu ?” “Nggak bisa gitu Non !, justru Non Rosa yang dijadikan tumpuan ibu-ibu untuk menyampaikan misi ini !” “Misi apa ya bu ?, kok jadi serius sih bu ?”. Rosallia mengkerutkan kedua alis matanya, wajahnya tidak setawar semula, meski dia tidak keberatan dengan tugas moralnya itu, tapi lantaran dia sama sekali tidak tahu maksud misi yang diembanya, maka kini dia merasa seperti wanita bengong di tengah kerumunana ibu ibu warga sekitarnya yang memang nasibnya harus diperjuangkan. Beberapa ibu lainya kini mulai gabung dengan diskusi jalanan di Bantaran Sunga Ciliwung. 

Mereka semua berniat mengusung suatu misi diam diam untuk sebuah perbaikan nasib dan pemukiman mereka, saat sang ratu berada di tengah mereka. “OK deh ibu-ibu, tadi Bu RT memintaku menyampaikan misi kita pada Kate Middleton. Tapi aku nggak tahu harus bicara apa ?” “Non Rosa bisa bicara bahasa Inggris ,kan ?” tanya salah satu ibu yang mulai bersemi sebuah harapan di hatinya. “Lumayan bu !, dulu setiap ada kunjungan tamu dari luar negeri di kantorku, aku disuruh bosku menjadi jubirnya”.

 “Ah kebetulan sekali, kita tanpa protokoler bisa langsung curhat dengan Sang Ratu Inggris. Dan minta disampaikan langsung pada Presiden SBY tentang nasib kami” pinta Bu Ramelan. “Tapi misi ibu-ibu itu apa ?, aku belum tahu ?” “Gini lho Non Rosa, Pemprov Jakarta berencana menjadikan Sungai Ciliwung sebagai Kawasan Wisata Air, maka kami semua dalam waktu dekat akan digusur begitu saja. Makanya kamu pengin curhat dengan sang ratu. “Beruntung minggu kemarin ada beberapa wartawan CNN dan BBC News yang menayangkan di media mereka lengkap dengan pengambilan gambarnya. Sehingga penggusuran dibatalkan”, sahut Bu RT . “Ibu nelihat sendiri tayanganya ?” “Oh iya Non Rosa !. Bahkan mereka akan menyampaikan kasus ini ke Komisi Hak Azasi Manusia Internasional bila pemerintah menelantarkan kami “ kata Bu Hamzah. 

“Terus keinginan warga itu apa ?” sahut Rosallia. “Kami inginkan sebuah relokasi yang permanen seperti rasunewa, meski kami harus membelinya dengan harga murah “ “Oh...begitu, tapi aku nggak berani janji ya bu !,karena masalahnya aku bisa dekat dengan Ratu Inggris nggak, itu masalahnya. Kita terbentur masalah protokoler nantinya.Tapi nanti aku coba ya !” 

“Ada beberapa momen yang paling memungkinkan untuk Non Rosa untuk hanya sekedar ngobrol menyampaikan misi kami secara non formal, yaitu saat Sang Ratu Inggris datang dan diperkenalkan dengan kami semua, saat itu kami semua berniat menerobos pengamanan untuk berbicara hanya beberapa menit saja “ Bu RT menambahkan. 

“Tapi dia si cantik itu, apa mau mendengarkan keluh kesah kami, Bu RT ?” Bu Agus masih belum percaya dengan misi itu. “Justru itulah mereka mengadakan kunjungan ke Indonesia sama seperti kunjngan Lady Dy dan Pangeran Charles ke Indonesia beberapa tahun lalu “ jawab Bu Santoso. “Ibu- ibu jangan khawatir, keluarga Kerajaan Inggris dikenal seantero dunia sebagai figur yang peduli sesama dan pendengar yang baik, tidak seperti pejabat pejabat lainnya. Oleh karena itu kita sangat beruntung kedatangan mereka “ . 

Mereka yang hadir di diskusi jalanan itu sebagian besar masih menggayutkan wajah tak percaya akan misi ini. Bahkan sebagian lagi masih memendam rasa khawatir bila misi itu menimbulkan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Lantaran sebagian besar dari mereka adalah insan insan yang hanya memiliki kulit, daging dan tulang yang tiada seberapa kokohnya. Mereka telah terlanjur bermukim di pemukiman liar di bantaran, apabila Pemprov masih bersikeras menggusurnya merekapun hanya menerima dengan pasrah. Meski sebagian besar dari mereka sudah menyekolahkan anak anak mereka di sekolah terdekat dan sebagian lainnya sudah menetap di kios –kios permanen. Mereka kinipun hanya mampu terpaku diantara kerumunan ibu-ibu yang berdiskusi. 

“Kalau ibu-ibu masih khawatir, OK-lah aku akan ke kedubus Inggris,kebetulan aku punya teman yang kerja di sana. Aku akan minta waktu barang 5 menit untuk berdiskusi dengan Kate Midlleton. Kita coba saja barangkali kita mendapatkan jalan untuk ini “. Rosallia memaparkan hasratnya dengan suara yang datar dan perlahan, agar kata-katanya mampu menyelinap dalam relung jantung semua ibu yang hadir. “Horeeeee....Hidup Non Rosa, Hiduup....Sang Ratu Rosallia “. 

Tanpa suatu komando mereka semua bersorak kegirangan. Kegirangan untuk sebersit upaya membela nasib mereka,yang selama ini tidak ada satu pihakpun yang peduli. Mereka kini telah pulang ke rumah kumuh mereka masing-masing, karena hari sudah siang. Tinggalah kini Rosallia yang anganya serasa hendak merobek langit, terbang tinggi dan tinggi memikirkan jalan hidupnya dia sendiri yang masih belum jelas, dan yang lebih menyita ruang hatinya adalah perjuangan membela nasib tetangganya. Rosallia kini tenggelam dalam kancah perjuanangan membela nasibnya sendiri. Jarum jam masih berlari tak ada yang berniat menghentikanya. 
*** 
Kate Middleton tidak mampu menyembunikan senyum bahagia ke semua warga yang tumpah ruah di sepanjang Bantaran Sunga Ciliwung. Kesahajaan tetap saja ditampilkan sang ratu ini, dengan mengenakan stelan rok sebatas lutut dan berlengan panjang serta berwarna biru muda, model pakaian resmi karyawan perusahaan swasta. Satu demi satu dia menyalami semua tamu undangan dengan senyum rang renyah. Sekali sekali Kate Midlleton melempar pandangan ke arah tamu ibu-ibu warga Bantaran Sunga Ciliwung, yang berdandan pakaian jawa dengan stelan atasnya berwarna hijau daun, terutama kepada Rosallia yang cantik jelita. 

Dengan dandanan tradisional itu Rosallia tidak berbeda dengan aktris Bolywood Hema Malini. Sebersit rasa kagum pada kecantikan wanita Indonesia ini. Tiba giliran ibu-ibu warga bantaran diperkenalkan oleh protokoler, semua ibu kini memandang dan menanti sang jubir yang cantik jelita untuk memberikan curhatnya. “Please Miss Rosallia !” demikian pinta sang pendamping Kate Middleton dari kedutaan Inggris yang sebelumnya telah dilobi Rosallia, untuk memberi kesempatan barang beberapa menit pada Rosallia untuk memaparkan derita warga sekitarnya. Dengan native speaking yang lancar, disertai tawa yang renyah kedua wanita cantik itu saling berdiskusi. Kate Middlelton tak disangka memberikan antuias yang tinggi dan berkenan mendengarkan dengan jeli meski waktu untuk berbicara antara keduanya telah jauh melewati batas limit, namun Sang Ratu Inggrispun tidak memperdulikan. Bahkan kini dia mengajak 

Rosallia untuk berjalan menyisir bantaran sungai. Kelihatan mendung tebal kini menyelimuti wajah sang ratu menyaksikan penderitaan sebagian manusia di Indonesia, meski wilayah ini bukan termasuk kedaultan Inggris Raya. Rosalliakini mengajak Kate Middleton untuk sekedar mencicipi masakan sayur asam dan ayam goreng hasil masakan warga setempat. Kembali Kate Middleton mengurai senyum renyahnya. 

Kini mereka berdua bagaikan ratu kembar yang sama sama menawan hadirin yang datang, termasuk juga staf protokoler kedutaan yang akhirnya hanya membiarkan mereka berdua berdiskusi. Kate Middleton yang semula hanya Rosallia lihat di TV kini benar benar berada di sampingnya, bahkan mereka kini berdua bagaikan sahabat yang lama tak jumpa. 

Hari telah beranjak siang, misi yang terakhir bagi jubir warga Bantaran Sungai Ciliwung adalah memohon kepada Keluarga Kerajaan Inggris itu untuk menyampaikan penderitaan mereka semua kepada Presiden SBY, salah satunya adalah menampung mereka dalam relokasi yang terjangkau. Tak diduga oleh Rosallia kini Kate Middleton memeluk dia dengan sebuah bisikan di telinganya, bahwa dia akan berusaha menyampaikanya dan sebuah hasrat untuk mendirikan sebuah LSM Internasional untuk sebuah pengentasan kemiskinan di indonesia, dan dia mempercayakan Rosallia untuk memimpinya. Sebuah senyuman paling renyah dan tulus kini menghiasi bibir Sang Ratu Rosallia ***.

Janji Anyelir

Prima memang telah kencan dengan Sandi untuk bertemu di ultah cewek gaul ini seminggu yang lalu. Ucapan Prima memang telah membalut begitu kuat di setiap denyut nadinya.

 Lantaran malam ultah sang princess of heart-nya, seakan langit akan berkubang seribu warna kembang api. Setiap barisan ombak di lautpun akan berhenti sejenak, air terjun akan berganti memberi senyum yang indah, kepada semua yang memadu cintanya, saat saat detik tanggal lahirnya

. “ Ntar kita akan mejeng di mana , San “ seru Prima dengan hati yang berharap cemas agar malam ultah Sandi segera tiba. Mataharipun telah Prima beri pesan supaya berputar lebih cepat. “ Nggak tahu . 

Aku lebih merasa romantis bila kita nikmati malam ultahku di Malioboro saja. Gimana Pram ? ” jawab Sandi, gadis manis yang telah menghanyutkan seluruh nadi dan jantung Prima dalam samudra pesonanya. Prima hanya diam sesaat, seribu bunga warna jingga kini melintas di sudut hati cowok ganteng ini, lantaran hadirnya Sandi. Kekaguman Prima pada Sandi ternyata lebih menghanyutkan ketimbang yang lain. Primapun baru sadar ketika Sandi menggayutkan tangan di punda Prima. 

”Kok diam saja sih Pram !. Apa kamu masih ingin enjoy lagi dengan Anyelir, cewekmu dulu yang seindah bunga sorga, yang beribu kali lebih baik dari aku, Pram ? “ . Primapun tersentak kaget, mendengar Sandi merajuk seperti anak kecil, yang penuh cemburu . Menggayutkan lagi masa-masa silam ketika dia masih memiliki Anyelir , yang kini di LA mengikuti ortunya yang bertugas sebagai bos perusahaan swasta. ” Sandi, aku tidak mau kamu menyebut nama itu lagi di depanku . Kamu miliku Sandi. Aku sudah lupa sama Anyelir. Biar kamu saja yang singgah di hatiku . Tolonglah San ! ” ”Habis kamu tadi nggak dengerin omonganku Pram, aku lihat tatapan mata kamu kosong. Kayanya kamu mbayangin malam bertabur bunga bersama Anyelir. Maafin aku ya Pram ? 

” Sandi menyodorkan tangannya dengan mata di balik kacamatanya menatap sendu. Prima merasakan seluruh tubuh ini terbang ke angkasa. Ah Sandi kamu begitu penuh pesona, semoga engkau tidak berlalu , seperti Anyelir, begitu bisik hatinya. Primapun menyambut tangan Sandi dengan senyuman yang tergambar dari hati ini yang terindah, Sandiipun melempar senyum tipis dari bibirnya yang lembut sembari mengulurkan tangan kirinya juga untuk merapatkan tubuhnya ke arah Prima. Dan kini dia merebahkan kepalanya di dada. 

Primapun membalasnya dengan mengusap rambut Sandi yang harum. Sesekali diciumnya rambut Sandi sembari membisikan segumpal kata sayang. ” Pram , aku sering cemburu , jujur saja sama aku ya , Pram ! . Anyelir jauh lebih segalanya darui aku kan Pram ? ” ” Ah. . . kamu ini , aku kan nggak mau kamu menyebut-nyebut dia lagi ! ” ” Tapi , Pram. Kalau kamu emang pengin terus dekat aku, kamu harus bisa melupakan dia. Itulah yang aku pinta ” 

” Lho, emangnya aku masih memburu Anyelir. Biarkan dia bahagia di LA. Dia nggak kurang satu apapun ! “ “ Kok kamu tahu dia bahagia di LA , kamu kontak dia ya ?, Kamu masih pengin lagi bersama dia, gadis cuakep, kaya, pande lagi ? “ Tutur Sandi sambil menyurutkan langkah menjauhi Prima cowok yang dia anggap segalanya, Meski telah banyak cowok ganteng dan gaul yang naksir dia. Namun hanya Prima Antariksa aja yang membuat dia menyerahkan sebilah hati miliknya. “ Udahlah San, kamu jangan mancing – mancing aku terus dong. Aku harus ngomong gimana. Itu kan masa- masa lalu San ?, Sekarang yang ada hanya aku dan kamu ! ”. 

Primapun tahu persis perangai cewek kolokan ini. Maka Primapun tak mau buang waktu lama, dia segera duduk mendampingi cewek gaul ini di sofa warna biru laut, yang lagi marah nggak karuan arahnya, tapi setianya amit- amit nggak ada yang mampu menandingi, meski kadang kadang masih suka kaya anak ABG aja wataknya . Justru saat seperti inilah yang ditunggu Prima , karena dia bisa melihat alami wajah cewek kolokan ini. Maka diapun lantas membiarkan Sandi hanya menghabiskan malam mingggu ini dengan wajah berselimut mendung kelabu, yang penting dia bisa melihat wajah ayu Sandi. Malam kini berselimut kebisuan karena rembulan telah hampir menyentuh tengah langit, pertanda malam semakin larut. Udara dingin kini terasa sekali menusuk tulang mereka, lantaran memang dari pagi hujan tiada henti. 

Sepanjang perjalanan pulang melewati jalan Kota Semarang yang membisu di telan dinginya gerimis, Prima masih saja terkungkung dengan makian Sandi. Bukan lantaran sakit hatinya tadi, namun karena Sandi mengajaknya untuk menghadirkan kembali Anyelir yang berusaha dia kubur dalam – dalam. Bersama dengan air gerimis yang terus menerpa kaca mobil Xenianya, Prima kembali angannya ke dua tahun silam. Ketika dia mencoba datang ke rumah Anyelir di Ungaran, yang beberapa hari sebelumnya nggak ngasih kabar. Namun rumah itu telah kosong tiada berpenghuni, hanya kerabat Anyelir saja yang masih menunggu rumah itu. ”Jadi kamu yang bernama Prima Antariksa ? “ . Jawab lelaki setengah baya yang ternyata Pamannya Anyelir. ” Benar Om, Aku mau bertemu Irna Om ? ” 

” Lho apa kamu belum tahu ? “ “ Belum Om, Emangnya ada apa ? ” ” Om nggak berani ngomong, Mas. Hanya surat ini yang Irna titipkan untukmu. Silakan kamu baca. ” ” Surat apaan Om ? ” “ Nggak tahu aku, Mas Pram, Irna nggak pesan apa – apa hanya menitipkan surat ini ” Jantung Prima semakin berdegup keras, kedua tangannya terasa bergetar kala membuka amplop itu. Meski Prima nggak tahu perisi isi suratnya, namun dia sudah mampu menduga apa yang terjadi. Sebaris dua baris dia baca surat itu hingga baris terakhir , Adakah sisa hatiku yang mampu aku naungi untuk menerima kenyataan ini, demikian bisik hati Prima yang kini hanya mampu duduk di sudut kursi tamu rumah Anyelir yangh mewah. 

Bukankah Anyelir seminggu yang lalu biasa –biasa saja sikapnya, tidak ada sepotong katapun ia luncurkan tentang rencana kuliah di LA. Ataukah memang dia pandai menyimpan rahasia, atau mungkin saja dia telah menyembunyikan cowok lain yang jauh lebih baik segalanya dari aku. Pertanyaan itu berulang silih bergani datang dan pergi dari hati Prisma. Meski perhatiannya kini hanya tertuju pada jalan aspal yang ada di depanya. 

Primapun menjalankan mobilnya dengan pelan, menyusuri jalan Ungaran Semarang yang padat. Malam tahun baru hampir tiba, Sandi udah nyiapin pakaina baru lengkap dengan assesorinya. Kesempatan itu udah dia bayangin, betapa mesra dan berkesan nantinya bermalam tahun baru di Malioboro gabung dengan ABG fansnya dari seantero mana aja. 

Terlebih lagi pada pesta nanti dia akan bareng dengan cowok yang singgah di hatinya, yang gantengnya kaya Arjuna turun dari kahyangan. Sesekali dia ngebel Prima, sekedar curhat ingin segera bermalam tahun baru di Malioboro. Primapun tidak ingin melepaskan saat saat romantis nanti, meski dia masih terpagut dengan bayangan Anyelir yang memberinya janji akan ke Indonesia, saat malam tahun baru setahun lalu. Tapi nyatanya janji itu hanya terbawa angin liar entah ke mana, barangkali kehidupan di negara Paman Sam telah memberikan segalanya.

 Prismapun telah mati-matian melupakan sekuat tenaga, berniat mengubur kuat-kuat kenangan bersama Anyelir. Namun penantian kali ini telah pupus sudah setelah hadirnya Sandi, cewek yang ayu, berkulit kuning dan semampai tubuhnya., apalagi dengan pemanis kaca mata minusnya yang menambah seribu pesona bagi dirinya. Namun sifat kolokannya yang belum bisa dihilangkan, tapi bagi Prima hal ini tak pernah digubrisnya ” Prima , ada telepon ” seru mamanya dari ruang tamu yang sempat membangunkan lamunannya, pergi ke negri awan bergandengan tangan dengan Anyelir. Membagi suka bersama sekaligus menambatkan gelora hati. Tanpa menunggu lama kini dia sudah memegang gagang telepon rumah. 

” Met pagi Pram, kamu masih hapal suara ini. Boleh aku bicara sama kamu Pram ? ” papar sebuah suara dari dalam gagang telepon. ” Kenapa nggak, kamu kan temanku yang dulu pernah aku kenal ” ” Betul, Pram ?. Apa dari hatimu yang tulus ?, aku jauh – jauh dari LA sengaja ke sini hanya untuk ketemu kamu Pram, 

Meski aku jauh dari Indonesia, namun bayangan kamu tetap hadir di hatiku Pram. Aku kangen sama kamu, boleh aku ketemu, kamu Pram ? ” . ”Tentu, Ir . Sekarang posisimu ada dimana ?, kalau udah di Semarang biar aku jemput saja. Kebetulan hari ini aku nggak ada acara, ” pinta Prima yang masih memiliki perhatian yang lembut kepada cewek yang pernah fade-away sama dia dengan hanya selembar surat ”Biar aku naik taksi aja , makasih sebelumnya Pram, kamu emang cowok yang penuh perhatian dan lembut. Aku tahu persis dirimu lho Pram, aku belum pernah ketemu cowok kaya kamu, betul lho Pram aku ngomong sebenarnya ” seru Anyelir dengan suara yang patah-patah lantaran barangkali ucapan itu emang keluar dari hati yang paling dalam. 

”Makasih banget yang kamu ucapin tadi, ya udah gampang nanti kita bicara di rumah Sekarang aku tunggu di rumah ya, ” ” Betul ya Pram , jangan pergi, jangan menghindar Pram Aku serius ingin ketemu kamu ” ” Sifat kaya gitu nggak bakalan ada di hatiku, udah ya tutup aja telepon ini, aku tunggu kamu di rumah. Met ketemu lagi ya Ir ”. Prima segera menutup telepon itu, 

Lantaran jantungnya berdegup keras, sekeras duat ahun lalu kala Anyelir meninggalkan dia tanpa pesan. Kegalauan hatinya ini bukan karena pertemuannya nanti dengan Anyelir, namun Prmapun tahu acara dengan Sandi bakalan kacau, padahal dia sudah memberikan janji ama Sandi bakalan ngasih happy birthday di Malioboro malam nanti dan mestinya saat ini juga dia harus berangkat menjemput cewek kolokan itu. Apa jadinya bila dia ngaak nepatin janjinya itu, bisa-biasa terjadi kiamat 2012. Makanya kini Primapun harus jujur berkata apa adanya terhadap Anyelir, meski diapun tahu bakalan membuat luka hati Anyelir. Pintu belakang taksi kini terbuka sudah, tak lama keluarlah Anyelir bersama Madam Ivon temen Anyelir dari Paman Sam. Kedua remaja inipun kini berpelukan kaya dalam akting sinetron. ”Met ketemu lagi Irna, silakan masuk saja ”. 

Kedua remaja itu lama berpelukan, terutama Anyelir yang lama baru bisa melepas pelukan itu, lantaran seribu rasa kangen yang lama menggumpal di dalam hatinya. Kini hanya mereka berdua yang ada di berabda depan rumah Prima. Sementara itu Madam Ivon lagi tenggelam asyik bersama-sama dengan Mama dan Papanya Prima lagi punya acara sendiri ke Bandungan. ” Kamu tambah kurus Pram, Ayo dong enjoy. Sambut aku yang dari jauh dengan ceriamu dong. Mana Prima yang dulu amat mesra dan lembut itu, ayo dong ? ” . Anyelir sengaja merapatkan duduknya di samping Prima.

 Namun cowok ganteng itu memang udah nggak kaya dulu lagi. Lantaran janji Anyelir yang hanya di bibir saja. ” Ah biasa aja kok Ir, emang beginilah tampang Prima, sedari dulu juga emang kaya gini, cowok yang nggak punya apa-apa , hanya bisa menerima janji-janji doang “ . ”Aku tahu hatimu Pram, aku memang bersalah meninggalkan kamu setega itu. Namun apa dayaku Pram melawan kemauan Papa dan Mama. Papa ditugaskan ke LA oleh Om William untuk memimpin perusahaannya di sana. Sedangkan aku diminta papa untuk kuliah di sana. Emang saat itu aku kalut sekali Pram . Apalah aku ini bila nggak dekat kamu ” 

Terlihat Anyelir sudah basah matanya menahan kegalauan hatinya. ” Aku juga nggak tahu harus bagaimana saat itu, Seharusnya kamu bisa sms atau kirim email sama aku, Seberapa beratnya sih kirim sms apa email ?. Sehingga aku jadi tahu apa arti semua ini ” ” Maksud kamu gimana Pram ? ” ” Seandainya aku harus menunggu kamu sampai kamu balik ke Indonesia, sampai studi kamu berhasil akupun sanggup menunggu,. Tapi ya udahlah Ir. Kamu udah menentukan demikian ya udah ” Kini hanya terlihat mata dan pipiAnyelir yang basah penuh air mata, demikian juga hati Prima yang masih merasakan perih lantaran sembilu cinta telah mencabik hatinya. Anyelirpun tidak mampu berbuat apa lagi, kini hanya pelukan mesra kepada cowok yang dikhianatinya sekaligus diharapkan cintanya lagi. Lama Anyelir berada di pelukan Prima, sehingga pipi Prima kini hanya dipenuhi air mata Anyelir. Setelah kembali Anyelir menemukan hatinya lagi, maka dilepaskanya pelukannya itu, sementara Primapun masih terlihat diam membujur. 

” Inilah lemahnya seorang wanita , apalagi menghadapi papa yang sikapnya keras ” ” Emangnya kamu diapain ? ” ” Papa dan Mama minta aku untuk hidup bersama dengan Om Chandra, bawahan Papa yang juga ngikut kita ke LA. Meskpun dia tak kurang suatu apapun, namun hanya kamu yang singgah di hatiku hingga kini, Pram ! ” 

” Kasihan dia dong kamu tinggalkan , jangan sakiti dia seperti kamu nyakiti aku dulu, Ir ” ” Teganya kamu bilang begitu Pram. Apa dah nggak ada lagi hatimu ? ” ” Aku juga tahu perasaanmu Ir, tapi kamu juga harus tahu betapa goncangnya diriku saat kamu tinggalkan, berhari-hari tak secuil nasipun masuk ke prutku, hingga aku sakit Sejak kita duduk di bangku SMP kita sudah saling dekat. Tujuh tahun kita selalu bersama, tapi kamu tinggalkan begitu saja, hanya selembar surat perpisahan yang kamu pinta sendiri. 

Sampai mama dan papa membawaku kerumah sakit agar aku sembuh, Saat itu datanglah Sandi yang mendampingiku, aku tahu dah lama dia ingin dekat aku, tapi aku selalu milih kamu ” Terdengar isak tangis memenuhi ruang beranda itu yang kini dipagut kisah cinta dua remaja yang saling harus mengerti arti saling memahami satu sama lain. 

Keduanya kini hanya terdiam , masing-masing kini dililit lamunan yang membawa mereka ke angan masing-masing. ” Pram, ajak aku kemana aja untuk ber-happy ending bareng kamu, sebelum aku balik ke Jakarta. Barangkali ini untuk perpisahan kita. Kan dua tahun lalu aku nggak sempat ngucapin perpisahan sama kamu. Kamu mau kan ?, kamu masih seperti Pram yang dulu kan ? ” Pinta Anyelir dengan mata sayu seakan meminta Prima menuruti kemauannya. ”Aku memang Prima yang masih seperti dulu, sahabatmu. Tapi aku nggak mau meluikai hati dia. Sekarang nggak ada lagi yang aku miliki selain dia. Maafin aku ya Ir. Sungguh berat memang yang namanya perpisahan, tapi aku harus gimana lagi ?.

 Kamu cantik lho Ir, aku yakin kamu akan mudah mencari penggantiku ’Aku ., ya udah Pram. Semoga Tuhan Mempertemukan aku lagi, Boleh aku mengajukan permintaan Pram ? ” ” Akukan sahabatmu, kenapa enggak ” ”Aku akan mengucapkan met ultah untukmu diamanapun aku berada, sebagai penebus atas kesalahan aku sama kamu. Dan sebuah pertemuan yang indah untuku. Meski engkau telah bersanding dengan Sandi, aku tak perduli. Bolehkah Pram ? ”


 ” Tentu saja Ir, akupun akan selalu menunjungimu dimanapun kamu berada bila nanti aku ke Jakarta, Asal kamu tetap memberiku alamat ” Kedua remaja itupun kini kembali berpelukan entah untuk yang terakhir kali. Yang jelas dalam hati kedua remaja tersebut sebenarnya masih ada benih cinta, namun karena kedua saling menyayangi dan saling mambahagiakan, maka merekapun kini saling mengambil jalan sendiri-sendiri.. 

Malam di Kota Semarang kini menjadi saksi terjalinya benih cinta antar Sandi dan Prima. Meski kedatangan Prima ke rumah Sandi terlambat, namun Sandipun menerima alasan demi mereka berdua. Kini mereka bermandikan cahaya warna-warni kembang api tahun baru.

Biru Rinduku

Malam yang pekat ini betul betul menjadi sokib setia Revie , yang sering menyandarkan kedua tangan dan kepala pada lututnya di springbeed, berseprei biru, sebiru derita dan galau hatinya. Bilah hatinya yang sedang larut dalam galau dan sendu, benar benar tidak mau bersikap kompromi dengan benak otaknya, yang sebenarnya berhasrat untuk bisa terlelap sepanjang malam ini. 

Namun hingga suara kokok ayam jantan dari kejauhan yang melengking tidaklah membuat kedua matanya yang sembab itu terlelap, tapi kokok ayam jantan yang saling bersahutan itu serasa malah menertawainya. 

“Kamu pasti bisa melaluinya, Vie !”, kata kata bijak beberapa tahun silam itu kini memenuhi benak hatinya, lantaran kata kata itu yang terkadang mampu menghilangkan galau hatinya, meski hanya beberapa saat. Saat kata itu muncul, kegalauam Vie pun kembali meluruh, namun derita hati yang menderanya jauh lebih berat dari magis kata kata dari guru BP-nya di sekolah. Terutama rasa rindu yang mendalam dengan mama, curahan kasih sayang sejatinya, yang selama beberapa pupuh tahun mengembangkan bisnis keluarga mereka ke Malaysia. Namun hingga kini tiada angin lalu seberkaspun yang mengabarkan di mana mamanya berada, apa jatuh ke pangkuan pria lain atau meninggal di sana atau telah sukses bisnisnya sehingga tidak mau kembali ke Indonesia lagi.
 *** 
“Revie, jaga adik adikmu !, besok pagi papa berangkat ke Malaysia. Papa janji akan selalu mengabarimu !, ketemu apa tidak dengan mamamu !” sebuah janji papa Revie pernah meluncur dan hingga kini masih terus kental menetap di sudut hati Revie, meski sudah lima tahun berlalu. Namun janji itu hilang ditelan angin binal, sehingga bagi Revie janji papanya hanya sebuah kata perpisahan. 

Penantian panjang Revie dan adik adiknya sekarang bertambah panjang dan berat, rindu pada mama saja belum terobati, apalagi ditambah dengan teganya papanya meninggalkan mereka begitu saja. Hingga ingin rasanya Revie melengkingkan teriakan panjang agar di dengar tebing tebing yang memusari rumah sederhana itu, namun apa daya bila tebing tebing itu hanya diam membisu. Bibir yang memucat dan rongga kedua mata yang dalam di wajah yang dingin seperti mayat hidup mengubah penampilan Revie, yang dulunya dikenal remaja gaul yang cantik kini mirip dengan nenek sihir. Namun guratan kecantikanya di wajah yang dia miliki masih kelihatan jelas. 

Beberapa tahun silam Revie menjadi kembang yang banyak dipusari cowok cowok gaul di sekolahnya, tetapi mereka kini menjauh lari ketakutan seperti melihat hantu kuntilanak di siang hari bolong. Namun bagi Revie kepedihan hatinya itu, tidak seberapa ketimbang kasih sayang ortunya kepada dia dan adik adiknya yang begitu saja putus di tengah jalan. Apalagi setelah dia putus sekolah dua tahun silam, yang terpaksa dia lakukan demibiaya untuk sekolah adik adiknya yang entah dari mana dia dapatkan. Semua gemerlap yang pernah dia miliki pupus begitu saja, sokib sokib setia yang meninggalkan dia karena rasa simpatik terhadapnya telah hilang. Mobil pemberian papanya yang terpaksa dia jual untuk keperluan hidup dan sekolah adik adiknya. Semua telah sirna, bahkan sofa sofa serta mebel jati kuno terpaksa dia jual dengan harga murah. 

Namun apapun alasanya, Tuhan Yang Kuasa menciptakan machluk yang bernama manusia seperti kita, yang dilengkapi dengan software kepedulian, tinggal masalahnya kita berkehedak mengaplikasikan apa tidak. Di balik rasa iba yang dimiliki semua sokib Revie terhadapnya, sebagian besar hanya tersimpan di dalam lubuk hati mereka semua, kecuali bagi Ardie yang berteman dengan Revie sejak mereka masih duduk di SMP, sejak Revie masih utuh dalam mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. 

Apapun keadaan yang dialami Revie, Ardie tidak pernah berlalu begitu saja, meski mereka betaut hanya sebatas sahabat saja. “Vie ! , akupun tidak mau menerima cobaan sepertimu, aku nggak bakalan kuat !” seru Ardie di sore hari di beranda depan rumah Vie, yang dindingnya mulai kusam dan retak di sana sini. “Apa, maksudmu ?” sanggah Revie. “ Yah..!, seperti kamu jelasnya juga nggak bakalan tahan dengan derita ini, karena tidak ada pilihan lain, kamupun harus menerima ini semua “ “Ardie !, akupun tidak mau terus terusan curhat padamu, aku kasihan sama kamu yang dulu sering menjadi tempat curhatku, aku sudah mulai tahan dengan ini semua. 

Justru dengan cara seperti inilah aku bisa menjadi wanita yang kuat “ “Aku percaya, Vie !, kamu sekarang sudah mulai menemukan diri kamu sendiri, aku yakin kamu mampu menjadi wanita yang mandiri dan tangguh “ Revie hanya tersenyum manis dari bibirnya yang mulai kelihatan memerah, dalam hatinya terus berkecamuk rasa penasaan yang mendalam tentang hati sokib dekatnya, yang pemalu polos tapi penuh perhatian. 

Mengapa dia selalu menyediakan waktu, tak segan menolong dengan kedua tanganya yang ringan dan sering harus merogoh koceknya untuk menolong Revie. Reviepun tahu hanya cowok ini yang cocok dihatinya, apabila dia harus bersanding denganya mengayuh bahtera hidup. Namun Ardie tidak pernah memberi perhatian khusus itu, dia hanya semata-mata menolongnya lantaran Ardiepun pernah jatuh sama seperti yang dia alami sekarang. Sehingga sekarang Ardie hanya mampu menamatkan sekolahnya sampai SMA dan bekerja di pabrik sebagai tukang las listrik. Tapi bagi Revie apapun kondisi Ardie, dia tetap menerimanya, bukankah kondisi cowok itu jauh lebih baik darinya. 

Bahkan dalam hati Reviepun telah mulai tumbuh getar halus padanya, namun Reviepun masih menunggu kapan cowok itu bisa bersikap macho, meski Revie tahu hati cowok itu bagaikan hati seorang malaikat. “Revie !” Ardie memanggilnya, sehingga lamunan Revie menjadi meluruh. “Ya, ada apa !” “Maafin, ya !, kalau ucapanku membangkitkan kenangan pahit untukmu “ “Never mind, Ardie !. Kenangan pahit biar menjadi masa lalu bagiku. Hmmm , aku ingin sebuah langkah ke depan yang matang. Meski aku hanya seorang tukang cuci, aku sekarang mulai menatap masa depanku, yang penting ke dua adiku bisa bersekolah” seru Revie dengan tatapan mata yang berbinar ke Ardie.

 “Syukurlah, Revie !, itulah yang aku harapkan, kamu bisa bangkit dengan kondisi apapun sama seperti aku, yang hanya tukang las “ “Ardie, kamu punya acara sore ini ?” “Nggak, ada apa !” “Kita jalan jalan ke mana aja, mumpung langit cerah. Kita lupakan derita yang kita alami, yang penting sore ini kita happy “ “OK, aku setuju bangget. Nanti jangan lupa kita ke Istana Bakso, biar aku yang traktir !” “Mari kita came on “ “Yoi...!!!!” 

Kedua remaja itupun menembus keramaian kota, untuk melabuhkan hatinya masing masing. Karena asmara bukan hanya milik para juragan atau kalangan the have saja, tetapi mereka berdua yang mulai bangkit dari keterpurukan juga berhak untuk memiliki. Kabut hitam yang selama bertahun tahun menaungi hidup Revie, kini mulai memucat dan berganti warna biru ***

Senyum

Harum mewangi bagaikan mawar merah yang tumbuh di pekarangan rumah, berkelopak hijau dengan keanggunanya bila ditiup angin pagi.
 Seberapa banyak kumbang yang berkaki tajam dan mata jalang, leher beruntai bulu warna warni dan sayapnya yang menebarkan rayuan gaul, mirip eksotisnya Smash kala di panggung hiburan. Namun kembang mawar, tetaplah melekat kokoh di kelopaknya.Bermandi derai kuning sinar mentari, menambah segar dan ayu wajahnya. Inilah Restu,
 “The Ice Girl” demikian teman gaulnya memberinya nama keren.

 “Emangnya berapa lama lagi kamu tetap berwajah dingin, kaya Nada yang ketemu Mas Najib aja di Rock and Roll itu”, habis istirahat pertama teman teman gaulnya berani request sebuah pertanyaan, pada “The Ice Girl “ yang bersahaja itu. “Aku harus bagaimana, orang dari kecil emang karakterku kaya gini” tanpa membanting sorot mata pada Irena yang nanya, Ice hanya angkuh saja memberi jawaban. 

“Kamu memang udik !, Ice !! apa kamu nggak ngerti. Tuh Rush pelajar ca’em dan teladan lagi nguber kamu. Kamu kok malah gacir” “Aku harus bagaimana to Ir, aku ya aku. Yang penting aku nggak nyakiti dia. Ya, siapa saja memang bisa berteman dengan aku” “Ah, kamu sok nggak tahu aja, Ice!. Lain lho kalau kamu perhatikan betapa sayangnya Rush pada kamu. Minggu kemarin kamu dikasih kunci-kunci soal Try Out kan ?. Coba kamu pikir, nggak sembarangan Rush ngasih seperi itu sama orang lain” “Kan sudah aku sampaikan terimakasih aku pada dia”

 “Kalau aku jadi kamu, Ice ?. Bawa dia jalan jalan ke mana aja, ke Mall apa mejeng ke mana. He Ice, dia cowok ganteng berduit lho !. Banyak temen kita yang naksir dia, contohnya…...!!!” “Kamu juga kan Irene ?” potong Ice Girls pada Irene, yang belum sempat merampungkan sepotong kalimatnya. “Jadi kamu nggak naksir dia, Ice ?” “Aku, biasa aja. Kemarin di ngajak aku lihat Karnaval Smart, tapi aku malas Ir !. Aku harus Bantu ibuku di warung. Lagian siapa yang mbantu adik adiku ?”jawab Ice dengan wajah yang sahaja , bagaikan “Sang Cleopatra” yang duduk di singasananya. “Lantas, kemana bapak kamu ?, eh maaf ini privasi ya Ice?” 

“Oh..nggak apa apa, bapaku kan jadi TKI di Yaman dan entah sudah 6 bulan ini dia nggak ngasih kabar apalagi kirim wesel. Jadi ibu kalang kabut nyari duit dan aku harus mbantuin. Itulah Irene !, aku belum berani seperti kamu, aku kasihan sama ibuku” “Ya..udahlah Ice, kamu bersabar aja, dan tetap optimis. Sorry yak klo aku sok tahu privasimu. Tapi betul lho Ice , banyak cowok yang naksir kamu. Baik baik aja sama mereka ya Ice !” pinta Irena. “Ya, saat ini aku memang lagi nggak doyan senyum Ir, jangankan sekarang aku lagi bingung, dulu dulu aja aku nggak suka senyum, memang karakterku kaya gini”. Tatapan mata Ice Girls alias restu begitu polosnya, sehingga Irene pun tahu kalau cewek bidadari yang kadang kelihatan kampungan itu memang bicara apa adanya. 

Pertanda emang Restu belum mau menerima kehadiran siapapun. Tapi apa bener ya!, demikian bisik hati Irene. Mengapa kadang kadang Ice Girls suka ngobrol dengan Gagah, dimanapun saat sekolah sedang nggak ada pelajaran, apa cowok yang udik itu telah berhasil merobohkan hati Ice Girls, yang isi hatinya hanya dipenuhi gleiser atau gunung es yang bukan main dinginnya. Atau memang piawainya gagah, atau memang apa?. Irene yang sok usil itu tak henti hentinya penasaran terhadap gadis ayu itu. Yang jelas Irene menjadi takut dan cemburu, bila Rush sukses membawa gunung es itu terbang ke langit dengan sayap sayap Rush, yang penuh pesona.Ah, tapi mana mungkin Rush yang bokapnya eksportir itu mau dengan Ice Girls, yang keluarganya aja membuat cewek itu menjadi cuek dan tanpa glamour. Ah beruntungnya kamu Restu, yang punya wajah kaya Lady Dy, dan badan lho yang semampai dibungkus kulit yang putih bersih. 
***
 “Irene !”, “
Apa’an Ice “ “Bel masuk, kamu nglamun ya ?” Tanya Ice “Ah..he..nggak kok, Cuma hari ini aku agak sluntruk” seru Irene dengan nada gagap, seakan melihat hantu di kantin sekolah. “Kamu, kan yang naksir Rush ?terbuka aja sama aku Ir, aku nggak pantes deh enjoy sama cowok gedongan macam Rush. Kamu nggak usah takut , aku nggak marah kok ?” kata kata Ice begitu lembutnya, lantaran dia tidak ingin cewek dekatnya yang anak gaul dan super kaya itu jad sakit hati, lantaran dia menggapai cinta Rush. “Jujur saja Ice, kamu nggak naksir sama Rush, kan ?” Tanya Irene sembari berjalan menuju kelas mereka. “Aduh Irene, kita kan berteman sejak SMP, kapan kamu tahu aku bo’ong. Apalagi kalau masalah do’i. Aku seneng lho Ir, klo kamu juga enjoy sama Rush!” “Bantu aku ya Ir, aku ngebet sama.Rush. Eh…dia malah ngebet sama kamu, aku tidak ingin Rush jatuh ke tangan cewek lainnya “ 

“Nggak usah la yao, nanti kamu cemburu “ Ice segera menyiapkan buku Bahasa Ingrisnya. Karena Pak Johan yang kaya Arjuna itu sudah berdiri di depan mereka. “Ice, kamu mau jadi pacarnya Pak Johan, ganteng lho Ice !” “Ngaco kamu ?” “Tapi Ice, kalau aku perhatikan Pak Johan juga ganteng Ice !. Banyak lho temen temen yang naksir dia, tapi semuanya takut dekat sama “guru yang kaya Roy Marten itu”. 

Tapi kayanya dia naksir kamu juga Ice ?. Pernah main ke rumahmu, Ice ?’ Mulut Irene yang bawel itu masih saja meluncurkan oongan yang ceplas ceplos, meski Pak Johan sudah mulai mengajar mereka. Sementara itu bidadari bidadari kelas XII, belum siap banget memasang telinga mereka untuk belajar Bahasa Inggris. Bahkan sebagian dari mereka malah asyik ngrumpi membincangkan penampilan Sang Roy Marten yang mengenakan kemeja bergaris merah biru dengan lengan panjang. Tapi masih saja guru ganteng itu memasang wajah yang angker, meski kadang kadang melempar pendangan ke arah Ice Girl. 

Wajah Guru Arjuna itu menjadi merah padam kala anak anak bengal itu masih saja ribut. Sementara itu Irene segera melayang terbang ke angan, bertemu dengan Rush yang membawakan lagu lagu cinta, seperti Sharu Khan yang sedang merayu cewek pujaannya itu. Sebentar sebentar dia jatuh di pelukan Rush dan sebentar sebentar pula bibir yang membarakan De’Amour itu saling bertemu. Ice tetap saja belum mampu bersikap setegar karang di lautan, bapaknya yang berkorban segalanya untuk ibu, dia dan adik adiknya belum terdengar kabarnya. Apalagi bila dia ingat nasib yang banting tulang menjual nasi pecel di depan rumah, serta manja adik adiknya yang merindukan kepulangan bapaknya. 

Ah, mengapa aku tidak seperti Irene. Angela, Ririn dan cewek lainnya yang begitu happy. Ah mana mungkin aku bisa menghias senyuman pada mereka, cowok yang memburuku. Meski aku tahu, Rush, Gagah, Pak Johan dan lainnya berusaha mendekatiku, tapi aku sendiri tidak tahu di mana aku simpan sebongkah hati ini. Sayup sayup dan semakin keras, mereka berdua mendengar nama mereka dipanggil Pak Johan, sehingga mereka kembali lagi ke kelas mereka setelah mereka berkelana dari sudut ke sudut lamunan mereka. 

“Sekarang saja kau Irene dan Restu !. Cepat keluar. Kamu berdua menghadap BP. Pak Guru tidak mau mengajar kalian yang kerjaanya hanya melamun. Curhatlah kamu pada BP sepuas puas kamu. Kelas bukan tempat untuk melamun, cepat kamu berdua ke luar kelas “ “Maaf Pak !, tapi apa salah kami berdua ?’ Irene yang punya karakter suka konyol menjadi uring-uringan, megapa dia berdua diusir dari kelas, padahal dari awal mereka berdua tidak membuat gaduh. “Pokoknya bapak minta kamu berdua menghadap BP, disana nanti akan dijelaskan salah kamu itu apa “ Meski hati Irena masih menyimpan rasa dongkol, kini dia dan Ice ngeloyor ke ruang BP untuk ketemu Bu Shanti yang dikenal siswa sebagai guru BP yang bijak dan lembut. 

Pada guru yang cantik dn anggun inilah dia sering curhat, dan dari Bu Shanti inilah Ice Girls tahu bahwa Pak Johan sangat menaruh hati denganya, bila Ice lulus dari SMA kelak Pak Johan betul betul berniat untuk menikahi gadis Gunung Es ini. Ice hanya memberikan jawaban dengan sebuah senyuman yang tipis, yang sulit untuk diartikan oleh Bu Shanti. Bu Sahntipun tahu senyuman inilah yang menjadi cirri khusus Ice Girls, tapi terbukti banyak merobohkan hati pria. 
*** 
“Siang Bu Shanti !, aku disuruh Pak Johan menghadap Ibu, padahal kami belum tahu apa salah kami “ “Begini, ya Irene, kalian berdua sudah dikenal semua guru, kalau di kelas suka ngelamun, kadang ngomog sendiri, kadang tidur. Dan tadi Pak Johanpun lapor dengan Bu Shanti. Kalau kalian suka ngaco di kelas, tahu salah kalian ?” 

“Tapi kalau ngelamun, apa nggak boleh Bu ?” Tanya Irena dengan pipi masih kemerahan lantaran masih menyimpan seribu kedongkolan. “Siapa yang melarang ?. Melamun, adalah hak kamu ?. Tapi kami semua khawatir, mengapa kamu semua melamun. Lebih baik masalah yang ada disharingkan dengan guru, jadi kami bisa memberikan way out-nya. Cobalah Irene, sharing denga Bu Shanti,ada masalah apa ?”. Bu Shanti dengan lembutnya membimbing Irene, cewek kaya yang kolokan itu, yang mudah uring uringan dan sering membuat marah guru guru. 

“Ah, nggak kok Bu, Cuma masalah anak anak saja kok Bu !” “Bener ?”
 “Bener, Bu ?” 
“Baiklah, kamu bisa ke kelas sekarang. Hanya Restu bisa tinggal sebentar?’ Restu atau “The Ice Girl” hanya mengangguk kecil, dan kini Bu Shanti sudah duduk disebelah Ice dengan sorot mata dan senyuman yang lembut. “Restu ?, kalau Irene hanya masalah anak anak remaja saja. Tapi kalau masalah kamu, memang banyak menarik perhatian guru guru. Kamu dikenal oleh guru sebagai siswa yang baik dan santun, semua masalah yang kamu alami, bukan salah siapa siapa, tapi keadaan memang harus seperti itu. 

Belajar keras agar kamu lulus dulu, setidak tidaknya kamu sudah sedikit mengatasi masalahmu “ “Baik, Bu ?” “Tentang masalah keluargamu, jangan kamu berpikir terlalu serius !” “Maaf, Bu !, tapi aku nggak bisa Bu !. Bapak entah nasibnya bagaimana, Ibu terlalu keras membanting tulang. Sedangkan adik adiku sering menanyakan bapak. Kalu dulu bapak bisa kontak lewat Hp dengan Burhan dan Ikhsan yang masih kecil. Tapi sekarang, ah entah, Bu ?” “Restu ?, masalah bapak kamu Ibu yakin, nanti juga akan ngirim kabar. Kamu kan tahu keadaan di Yaman sedang kacau, mungkin karena hanya gangguan komunikasi saja. 

Sedangkan masalah lainnya, adalah masalah yang biasa terjadi dalam kehidupan ini, Selama manusia masih berniat untuk memperbaiki nasibya, Tuhanpun akan memberikan jalan.” 
“Terimakasih, nasehatnya Bu ?” “Restu !, seperti yang Ibu katakana dulu. Pak Johan mengerti semua dengan keadaanmu, dan diapun tidak main main dengan niatnya. 
Dia sudah cerita sama Ibu, diapun berniat menyekolahkan kamu sampai perguruan tinggi. Bu Shanti perhatikan, kamu jauh lebih dewasa dengan gadia lain yang seusiamu, mungkin karena kamu sudah terbiasa dengan masalah dalam kehidupan ini. Maka cobalah kau mengerti, kalau kamu belum siap dengan ini semua, setidak tidaknya kamupun bisa mempertimbangkan masalah ini. Jelas sampai kanapanpun Pak Johan akan menunggumu, hingga kamu siap, Restu !, jangan sakit hati ya !” 

“Ah, nggak Bu, Restu belum bisa menjawab Bu, entahlah…?” “Sekarang kembalilah ke kelas !” The Ice Girls belum mengerti betul, bagaimana dia harus bersikap dalam menghadapi ini semua. Dari balik awan, dia tahu, wajah Pak Johan mengintip dengan kumis tipis melintang, sekali sekali diapun menatap wajah itu di balik cakrawala dan wajah itupun tersenyum manis. Diapun tidak tahu mengapa dia kini menyambut senyuman itu. Apakah Gunung Es di hatinya telah mulai mencair, diapun tidak tahu. ***