Jumat, 17 September 2010

ISTANA DI BALIK CAKRAWALA

Di balik cakrawala langitpun kini berwarna jingga, setelah sekian lama “menikam senyumnya” hingga berwarna merah merona. Di balik cakrawala itu pula, terdapat membisu puncak yang lebih kokoh dari Puncak Sagarmatha namun tetap saja cakrawala itu saat ini berkulum senyum, menyimpan gambaran penuh kasih.Didalamnya bersemayam Istana tempat manusia melepas lilitan tali bersimpul gerigi, yang tiada mau lepas dari kulit yang telah terkoyak. Sesekali angin dingin cakrawala itu, berteriak menyampaikan protes, mengapa kecantikan Mauna Loa dan Chimborazo tidak pernah terlintas lagi, mengambil syahwat-syahwat yang akan menggoda manusia, yang menjinjingnya menuju cakrawaka itu.

Namun rupanya kesyahduan manusia dalam merajut angin penuh wangi bunga dalam ikatan kembang setaman di cakrawala itu, telah melupakan nafsu syahwat itu, Lagian di tengah cakrawala itu, ketika terdengar takbir, tahlil dan takmid , manusia kembali tersungkur menata nafasnya kembali, ketika tersengal di adonan duniawi yang telah berbau busuk. Bukankah di Palung Mariana, tempat yang eksotis berisi telaga Kautsar yang akan membumikan segala nafsu.

Bukalah ikatan Batari Durga di pelabuhan Gondo Mayit,lalu campakan hingga engkau manusia mampu mengepalkan tanganmu dan tak akan lagi mempan terhadap rayuan Batari Dorga ketika kau masih berada di bawah cakrawala, ketika lembayung senja memerahkan rona kalbumu, ketika sekuntum bunga mawar sudah tidak membawa kesegaran lagi, Ketika langit tersungkur mendengar suara Adzan, engkaupun malah menanarkan matamu,melilitkan deru dan debu di bilik jantungmu.Apakah sudah gelap matamu,padahal ruhmu yang tidak seberapa kokoh telah berada di genggamNYA. Inilah cakrawala nun jauh disana yang berisi sebuah istana untuk kau semayami.

Semilir angin Sagarmantha telah menukik tajam namun tetap sepoi membangkitkan kerinduan manusia untuk memetiknya dan menyimpan dalam dadanya masing-masing, bagi yang telah gerah jiwanya. Bila angin ini berhasil dililitkan dalam kehidupan yang penuh bara, hasud, iri dan dengki. Maka tiada mungkin lagi manusia menengadahkan wajah untuk meminta hujan esok pagi.yang memberi kesejukan hidup, bukankah dada ini sekarang telah berisi kuntum senyum keteduhan yang ada di Cakrawala.

Bukankah pula telah satu bulan penuh manusia “tawadhu berpasrah”, telah menerpa dirinya sendiri agar kokoh menghadapi tajamnya badai. Akupun masih limbung terbenam dalah tajamnya badai itu. Aku telah menyingsingkan lengan baju, menyingsingkan cita dan hasrat dan menajamkan tatapan mata selama satu bulan menguntai dahaga, lapar, dan mendidihnya ubun ubun kepala dalam menerima sodoran hidup. Lantas biar saja aku lewati satu bulan untuk mereguk Al Kautsar di

Dengan tergopoph-gopoh, lantaran tinggal setapak langkah kaki menuju Istana di balik Cakrawala, aku menggapai dengan genggaman tangan yang selalu bergetar selama 10 malam terakhir. Aku reguk setetes demi setetes air Telaga Kautsar,. aku turuti sungai-sungai Gletser dari Puncak Chomolangma, . yang bertepikan tumpukan salju yang mampu memantulkan sinar sang mentari, hingga berwarna putih tanpa

2
sedikitpun kekusaman. .Lantas dahaga ini mulai menyurut, ditengarai langkah semakin menyerupai “sapu angin”.

Selamat Datang pada wujudku semula, yang tidak lagi renta seperti Janggan Semarasanta atau bahkan seperti Pandita Sokalima, atau bahkan muda belia seperti Wisanggeni, yang ada adalah aku bersama bayang berbaju putih dengan mengenakan sayap putih hendak terbang meniti ke empat arah kebenaran. “0h,,inikah arah itu, aku hanya mengerti lewat nyanyi burung,namun ke empat arah itu kini sudah di dekatku”, bisik kalbuku, yang telah lama merindu kebenaran.

Akupun tidak mengira sebelumnya, bila sebilah episode pernah aku torehkan, kini menjelma menjadi wujud yang ada dihadapanku. .Sambil berteriak dan menggertak, yang suaranya memenuhi empat arah langit, dan dari tangan kirinya menjinjing “kantong hitam”, untuk tubuhku yang tertebas pedangnya yang tajam dan terhunus di tangan kanannya.

“Aku adalah bayangan semu dan hitam, tempat kau pernah menorehkan sesuatu yang spectakuler. Tetapi engkau sama sekali tiada menyadari”

“Perjalanan yang aku kayuh dengan biduk tiada pernah membentur karang yang tegar, ombak ganas dan badai yang menelan biduku”

“Itulah maka kau disebut manusia, ketika senja jatuh di pelataran Pantai Parangtritis, ketika kau bagalkan Romie dan Juli, ketika Julimu tersenyum ceria dan kaupun sempat mereguk “anggur merah” bercawan emas.dan kau melihat langit runtuh. Teteapi kau hanya diam terpaku. Kini dimana cawan emas itu ?”

“Aku buang jauh-jauh, dalam samudra hitam pekat. .Akupun tiada pernah berhasrat mencarinya, karena samudra itu sangatlah dalam.Aku bukan Werkudoro ketika mendapatkan Sang Dewa Ruci. Aku tidak tahu, harus bicara apa lagi

“Kamu memang manusia yang hanya bernafas, tiada pernah menelisik kata hati, bertulang kecil dan berdada rapuh, serta berdandan angin -badai di alam fana ini, tetap dadamu kau busungkan setinggi gunung anakan. Maka jangan lari, akan aku pagut dengan pedang ini tepat di atas ubun-ubun kepalamu”

“Ampun wajah seribu langit, berilah aku sekali lagi agar mampu menapaki lantai Istana Di Balik Cakrawala itu, anginya sudah aku rasakan dari sini. Pintu-pintunya sudah melambaikan tangan-tangannya lantaran rindu bertemuku. Aku tidak mencari apa-apa lagi, di saat hari telah senja, di saat sinar telah temaram, di saat baju yang basah tiada mengering lagi. Pasti aku akan menemukan cawan emas itu. Akan aku
simpan baik-baik, aku cuci pagi dan sore, serta akan aku peluk dalam setiap tidurku, Agar aku pula dapat memasuki Istana itu”

“Sebenarnya hanya dirimu sendiri yang dapat menentukan dirimu sendiri untuk mengembara dalam tiap sudut istana itu. Maka pulanglah engkau, senja terakhir di bilangan 30 hari telah cukup, lantas kau dapat tebari lagi hari hari esokmu dengan mutiara kemuliaanmu, agar engkau bisa bersemayam pada “tempat yang jauh lagi dari istana itu”
3
“Dimana lagi akan aku temukan tempat itu”

“Saat sebuah Catatan Harian dari langit mengirim kamu seprang utusan dan membawamu, berkeliling taman penuh warna bunga menembus angkasa dan melaju terus di tiap penjuru langit. Angin berdesir kuat diikuti butir pasair yuang menghalangi batas pandangku, langit kembali berwarna biru. Basah wajahku bersatu dengan “ornament-ornamen tentang hidup”. Gema Takbir, Tahlil dan Takbir memenuhi tiap kamar dan relung istana itu.

Akuipun menjadi terperangah, lantas aku sunting angin kembara untuk mengantarkan aku pada cawan emas tempat”anggur merah” yang telah disediakan untukku, kini cawan itu tergolek lemas, tiada lagi kekuatan untuk menegakan tulang belulangnya. Lantas aku sodorkan bunga mawar merah membara, agar dia mampu untuk menatap hari esoknya lagi.

“Trimalah ini, meski aku terlambat” seruku sambil tatapan mataku tak pernah aku lepaskan.

“Engkaulah durjana itu, .manusia yang tiada punya halaman hati untuk sekedar bertanam kebun buah. Untuk memandangi hijauan daun, untuk menitipkan sebilah kesejukan..?”

“Maka aku berikun seikat mawar merag ini”

“Untuk apa ?”

“Untuk aku terbangkan tubuhmu yang tergolek, agar bersemi lagi.agar semaumu bersemayam di kamar-kamar di Istana itu, lantas aku berikan bantal bersusun tujuh, dengan kebun bunga berada di sisi kanan kiri halaman istana itu”. Kini semua menjadi lengang setelah ornament diding itu dosemaraki dengan “anggur mera” yang berkubang di cawan emas.Bersama dengan Gema Takbir yang lebih nyaring lagi.

Rabu, 15 September 2010

BILIK CINTA Di BATAS KOTA

Mestinya aku biarkan saja semua yang menimpaku berlalu begitu saja, tanpa singgah barang sedikitpun di sudut hati. Sehingga jadilah aku manusia yang terbang bebas kesana kemari, sebebas angin kemarau menerjang siapa saja yang dihadapannya. Bahkan tak akan kulepaskan sayap ini hingga kudapatkan penggantimu. Tanpa adanya sedikitpun bayang Angelina yang selalu saja mencuri hatiku. Apalagi kini sebuah penantian memagutku tak berdaya.
Aku sendiri tak menyadari, bila Angelina selalu saja bersembunyi di balik kekagumanku. Hingga sebuah kenyataan yang ada didepanku terasa sungguh sulit kuterima. Masih saja ada tatapan harap yang selalu membentur semunya batas pandang. Angelinapun pergi entah kemana. Lantas apa yang dia miliki dalam hatinya, apakah hanya bunga sedap malam, ataukah aku yang dungu , yang hanya mampu terbujur di keputusasaan.
Tahun pertama sebuah perpisahan terasa belum seberapa lama, sebuah kado ultah Angelina yang ke 23 pun sempat aku beli dan kuterbangkan hingga ke Ujung Pandang menyusuri kenangan bersama dia, kala dia mengajaku berliburan di rumah Tante Rosa. Kembali aku merasakan kedua kakipun terasa telah terjerambab ke dasar bumi, kala Tante Rosa mengabari bahwa Angelina telah pindah ke Sidney , merengkuh bahagia bersama pria bule.
Tapi memang dialah Angelina, yang memang pantas menerima kebahagiaan seperti itu.Menapaki maghligai bahagia dengan pria yang mampu membahagiakan dia segalanya. Semoga saja Angelina mampu memiliki dunia ini dengan segala kekurangannya. Atau kekurangan apapun yang dia terima, mampu disikapi dengan kelapangan hatinya yang seluas dunia.
Moga saja Tom suaminya mau menerima Angelina apa adanya, menerima sesuatu yang dimiliki Angelina dengan segala kekurangannya, dibalik kecantikanya. Karena hanya aku saja yang selama ini mampu menerima kekurangan Angelina, karena sebuah janji sempat aku torehkan didepanya dengan saksi air matanya yang membasahi bahuku. Kala dia menerima hasil diagnose dokter yang menemukan adanya kanker ganas yang bersemayam di organ dalamnya.
“Marcell, aku harus mengucapkan selamat tinggal untukmu”. Kalimat darinya masih saja menghuni telingaku, meski telah satu tahun lamanya.
“Tenanglah dulu, Lia !. Jangan berkata kaya gitu”
“Aku harus ngomong gimana, bacalah hasil lab PA ini. Oh Tuhan kenapa begini !”
Sebuah pelukan lebih hangat dan rapat membuat akupun tidak ingin kehilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.
‘Oh Marcell, bagaimana ini ?”
“Kamu harus bersabar Lia, tentu saja yang mampu menyembuhkan adalah ketegaran kamu sendiri “. Dadaku terasa sesak saat Angelina menumpahkan kesedihan dan kegetiran hatinya dengan memeluku erat. Sementara seluruh tubuhnya tergoncang, lantaran Angelina belum mampu menerima kenyataan ini. Sekarang telah lima tahun berselang, aku telah berusaha menambatkan bahtera hidupku dengan gadis pilihanku yang mampu menyirnakan bayang kehadiran Angelina, namun selalu kandas dan berakhir dengan perpisahan. Selalu saja kekelaman aku dapatkan sama seperti yangh ditorehkan Angelina.
Memang tak semestinya aku terus ditelikung bayang Angelina, aku laki laki yang sudah sepantasnya menggenggam dunia dengan ketegaran hati dan kekokohan langkah. Hari demi hari baying Angelinapun tertinggal jauh, Sebuah langkah percaya diri dan gentle kembali aku dapatkan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
Hingga datanglah Rully, yang membuatku kembali lagi terbangun setelah lima tahun mengalami mimpi buruk terpasung Angelina. Sebuah rumah mungil di pinggir Kota Semarang telah menjadi saksi bahwa bahtera yang aku miliki telah menambatkan diri di tepi pelabuhan hati Rulli. Berbagai suka dan dukapun menjadi saling berbagi. Layaknya saling bergantinya temaram senja dan fajar di ufuk timur. Meski kebahagiaan Rully dan aku belum lengkap tanpa kehadiran seorang putrapun.
Rullylah yang paling merasakan kekurangan ini. Begitu besar kerinduan dirinya akan kehadiran seorang putra. Bahkan kerinduan ini semakin lama semakin menggrogoti hatinya. Hingga pada akhirnya diapun meminta sebuah perpisahan. Mungkin saja Tuhan berkenan menciptakan hambanya yang memang sanggup menerima cobaan yang tiada kunjung reda. Disaat sisa umurku yang menipis sebuah perpisahanpun masih saja melekat dalam hidupku. Namun sebuah kodratlah yang menginginkan perpisahan ini, karena merawat benih dalam kandungan, melahirkan dan mengasuh anak hingga dewasa adalah dambaan tiap wanita. Akupun melepas kepergian Rully dengan sebuah keinginan agar hatiku mampu setegar karang dilautan.
Rumah mungil di batas kota itupun kini lengang, berisi sebuah episode tentang sketsa hidup seorang manusia, yang berdinding putih kelabu, beratap asa yang tiada bertepi dan berlantai sebuah kekokohan yang terukir selangkah demi selangkah. Namun biarlah rumah mungil di batas kota ini nantinya aku harapkan masih bisa menjadi saksi perpisahan diriku dengan dunia yang penuh kepalsuan. Entah sam[pai kapan waktunya

INDONESIA DI TENGAH TABIR KEPALSUAN

Tak henti hentinya air mata Bangsa Indonesia tertumpah kala mendengar meninggalnya Bilqis putra kita semua, meninggalnya sejumlah anggota Satpol PP di Koja Jakarta Utara , sejumlah oknum pemimpin yang mendholimi uang negara (Gayusmania), karena semua halaman media cetak dan layar televisi lagi lagi menayangkan adu kepentingan yang terwujud dalam benturan fisik. Apakah kita sama sekali tidak pernah mendapatkan pembelajaran dari nenek moyang kita tentang makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi, ataukah ini hanya sebuah gejala keberpihakan sejumlah oknum komponen bangsa hanya pada kepentingan pribadinya saja. Apabila kondisi ini tetap eksis hari demi hari hingga waktu tak tentu, maka jadilah Indonesia sebagai negri yang berada dalam „Tabir Kepalsuan“.

Kembali ke nilai – nilai lama, kala kita bersatu mengikat diri dengan tali nasionalisme, hingga terbentuknya Bangsa dan Negara Indonesia, adalah langkah yang paling baik untuk mengakhiri carut marutnya kekisruhan politik yang subur bagai jamur di musim hujan, hingga tersingkaplah „Tabir Kepalsuan“ yang selama ini mengungkungi kita bersama. Mengapa para pemeran sandiwara politik yang elit, dengan kapasitas mereka sebagai cendekiawan / pemimpin bangsa / tokoh nasional / pejabat dan mantan pejabat nasional , cenderung tidak perduli dengan nilai ketentraman wong cilik.. Bukankah dengan stabilitas yang mantap dan terkendali akan menstimulir iklim usaha yang kondusif.

Mengingat sesuatu yang terjadi di masa-masa silam, adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi bila kejadian tersebut akrab dengan hidup kita sehari – hari. Tentunya kita masih ingat kala di era Tahun 80 – an, kehidupan sosial masyarakat Indonesia tidak pernah terusik dengan berbagai konflik sosial politik yang menjangkiti masyarakat. Meski kala itu kita dipimpin oleh seorang negarawan yang sering kita caci, negarawan tersebut adalah Soeharto. Apabila kita mau mengakui dengan jujur kelebihan rezim Soeharto dalam memerintah negeri ini.

Kita tentunya merasa bahagia, menjadi anak bangsa yang hidup di jaman reformasi, yang mengedepankan transparasi, supremasi hukum, kebebasan pers, penegakan HAM, persamaan hak politik dan hukum serta seabreg nilai tambah lainnya. Seharusnya dengan fenomena sosial- politik seperti itu kita akan bertambah hidup nyaman. Wong cilik mampu untuk memperbaiki nasibnya tanpa dirusuhi dengan carut marutnya multidimensional. Meski dikanan kiri telah kita lihat berbagi orasi, perseteruan, koalisi ataupun manuver politik lainnya. 

Mengedepankan proses hukum yang transparan, adil dan proposional adalah salah satu sarat mutlak guna menepis stereotype yang muncul di semua sendi kehidupan bangsa ini yang melelahkan. Sementara itu stereotype itu sendiri sudah menjalar di setiap oknum individu petinggi negara ini dengan membuat pusaran yang menyeret institusinya. Sehingga tak urung lagi institusi seperti Polri, Kejaksaan, KPK, institusi kementrian dan parlemen negara kitapun ikut terjerambat dalam pusaran konflik. 

Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap konflik sosial antar dan inter kelompok sosial, pemimpin dan institusinya pastilah mewujudkan stereotype satu dengan lainnya. Meski telah banyak gagasan dari berbagai media yang menginspirasikan persatuan dan kesatuan namun tetap saja stereotype ini masih bergayut seperti mendung tebal tadi. Stereotype tersebut sebaiknya diakhiri dengan munculnya niatan baik untuk saling berpelukan antara kelompok yang saling bersebrangan dan melakukan khitah, seperti saat semula kita bahu membahu merebut kemerdekaan. Bukankah stereotype tadi akan sirna berkeping bila kita sadar akan tujuan hakiki dari pembentukan bangsa dan negara ini.

Namun hingga kini apa yang diharapkan dari wong cilik tidak kunjung selesai, bahkan terus menghimpit membentuk lingkaran setan yang tiada berujung . Padahal jurang ketertinggalan kita dengan bangsa lain semakin melebar dan dalam. Kekhawatiran tentang disintegrasi dan robohnya ketahanan nasionalpun menjadi semakin menguat, dan menimbulkan persepsi publik bahwa Indonesia dewasa ini dalam sebuah ”Tabir Kepalsuan”.

Kalau toh ini terjadi maka perlu kami ketengahkan sebuah sindiran tajam, bahwa untuk penyusunan APBN Tahun anggaran ke depan perlu adanya alokasi dana khusus untuk biaya perseteruan politik, yang besarnya melebihi anggaran pendidikan, infrastruktur dan alutsista. Tentunya berbagai pihak yang membaca alokasi dana tersebut pastilah tidak setuju, demikian pula pasti akan tidak setuju pula bila kita akan terus berlarut arut dengan perseteruan politik. 

Sudah sewajarnya bahwa kita sebagai anak bangsa yang masih dihinggapi nasionalisme yang kuat, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk membawa bangsa dan negara ini menggeliat dari keterpurukan. Sarana untuk berbuat kebajikan tersebut adalah hanya berbuat menurut kapasitasnya dengan jiwa merah putih, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari rakyat. Karena kita telah mendapatkan titipan dari Tuhan yang Maha Kuasa berupa bangsa dan negara ini, semata-mata untuk mensejahterakan anak cucu kita, bukan untuk menjadikan pandai berorasi politik saja. Sehingga setiap kandungan hayati dan nonhayati , budaya, kesantunan dan sikap hidup tepo-sliro dari Bumi Pertiwi ini betul betul bisa membawa kita hidup adil dan makmur, bukan terus dirundung dalam ”Tabir Kepalsuan”