Minggu, 26 September 2010

BUKU HARIAN

Usianya kini telah hampir 55 Tahun, tergolong belum uzur betul. Namun karena penyakit gulanya telah menggrogotinya sejak usia 45 tahun, kini diapun layaknya manula yang tiada berdaya. Maka hari-harinya hanya dia lewati dengan membaca dan membaca. Kadang itupun masih membuat jiwanya terkungkug kegetiran , di tengah rumah gedong yang hanya dihuni dia seorang diri. Namun mau apa lagi, toh dia hanya manusia biasa, yang tiada punya daya upaya.
Pagi hari itu dia mencoba lagi membaca buku harian yang dia sempat tulis sejak muda. Karena hidup bagi dia adalah suatu esai keindahan kala masih bersama anak serta istrinya, menempati rumah mewah di perumahan sinder Pabrik Gula Jatiibarang Kabupaten Brebes. Kala itu diapun tidak mau melewati hidup yang indah begitu saja, bersama istrinya Diajeng Melati. Prmadoaa di pabrik gula tersebut.
Istri yang dia cintai itu memang putri pimpinan pabrik gula tersebut, yang sudah barang tentu tergolong putri gedongan dan manja. Dapat dikatakan diantara rakyat se wilayah Jatibarang tiada yang melebihi kecantikannya, apalagu kekayaannya. Hanya dialah yang mampu merobohkan hati Prakoso, pemuda kalangan pinggiran, namun memiliki etos kerja yang brilliant, pandai memimpin, murah senyum, cerdas dan patuh pada pimpinan. Sehingga tidak heran bila dlam waktu sekejap karirnya meroket di pabrik gula tersebut.
Namun saat itu keteguha hati Prakoso menjadi luruh, kala berjumpa kembang mawar yang wewangi, yang mampu merobohkan hati siapa saja yang menjumpainya. Meski semula Prakoso tahu betul bahwa bukan wanita itu yang dia inginkan menjai pendamping hidupnya. Dia lebih menyukai wanita dari kalangannya yang penuh memberi arti dan sangguh mampu menjadi pelabuhan hatinya. Bukankah maghligai pelaminan seperti itu yang dibutuhkan oleh setiap insan.
Namun Diajeng Melatipun tidak mau membiarkan saja kumbang jantan yang memliki prestai kerja yang handal, hanya Prakosolalah satu-satunya pekerja yang memenuhi persyaratan menggantikan ayahnya kelak dikemudian hari. Maka Diajeng Melatipun tidak ragu lagi mengulurkan kedua tangannya untuk menerima kehadiran Prakoso, sang mandor yang juga memiliki pesona yang romantis, tidak kalah dengan putra bendoro koleganya.
Menyikapi niatan putrinya untuk menggapai masa depannya itu, Raden Mas Soenaryopun menyambutnya dengan bahagia. Meski silih berganti para putra bendoro melamar putri kahyangannya, namun Diajeng Melati justru menyam,bitnyua dengan sikap dingin, pertanda dia belum menemukan pilihannya.
Bagi Raden Mas Prakoso kejadian itu sudah 35 tahun berselang, namun rasanya kenangan itu baru saja melintasinya di pinggir hatinya yang kini tinggal kepingan keputusasaan, semenjak belahan jiwanya meninggalkannya bersama kedua putrinya yang sudah beranjak ewasa. Namun kenangan itu, sepertinya masih melekat di kehidupannya, kala lembar demi lembar buku hariannya di baca. Sampailah pandangan matanya tajam menyorot sebuah halaman lusuh, namun menyebabkan hatinya yang semula ditaburi bunga kini terhempas dalam kepiluan.
Diambilnya nafas dalam dalam untuk menyegarkan kemabli tubuihnya yang sudah lemah tak berdaya. Ketika suatu pagi, ketika dia bangun dari tidurnya. Rasa kaget menelikungnya saat melihat istri dan
kedua anaknya berpamitan entah hendak pergi kemana. Sementara andong milik keluarga ningrat itu sudah menunggu di pintu regol.
“Melati .! Tunggu dulu, kau mau kemana ?”
Tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulut Melati, hanya terlihat dia menyibukan diri mengemasi koper berisi pakaian dan perhiasan milik dia dan anak-anaknya.
”Melati, aku suamimu, berhak melarang atau menijinkan kemana kau dan anak-anaku pergi”
”Lantas kalau kau suamiku, kau mau apa ?”
”Aku berhak menerima penjelasan darimu, apa maksud semua ini?”
”Apa perlu lagi kujelaskan, apa kau masih berhak menerima penjelasanku”
”Aku masih suamimu yang sah, Diajeng Melati mengertilah, ini semua bukan kemaunku”
Kembali rumah mewah berarsitek Eropa itu menjadi lengang, kini hany a terdengar suara isak tangis dari kedua putrinya, yang mulai beranjak dewasa, yaitu Rr. Caroline Widiati dan Rr. Elisabeth Muniarti. Sementara itu sebentar-sebentar terdengar ringkik kuda andong milik keluarga piyayi pabrik gula tersebut.
”Kalau kau ingin penjelasanku, sekarang juga aku akan ke Pakde Raden Winata di Cirebon, akau akan tinggal di sana. Kamu sudah tidak mampu lagi menjadi suamku, kamu sudah tidak mampu lagi menafkahi keluargamu. Yang kamu lakukan hanya mengumbar nafsu dengan wanita-wanita inlander itu.”
”Tap itu dulu kan, mam ! ”
”Ya dulu waktu kau masih masih bugar dan banyak menyimpan gulden. Sekarang mana ?”
”Lagian di luar masih banyak ekstimis republik yang akan membahayaka perjalananmu”
”Aku sudah minta bantuan Tuan Kepala Polisi dan mereka mengirmku beberapa petugas ”
”Tunggulah dulu barang beberapa hari, kita bicarakan baik-baik”
”Kamu lupa Mr. Prakoso !, bertahun-tahun aku berusaha mengajakmu bicara masalah masa depan kita. Tapi kamu selalu m,enghindar, bahkan semakin kamu terporosok lebih dalam dengan wanita-wanita jalang dari temat-tempat kasino itu, berapa ribu gulden telah kau hamburkan. Sekarang kau mau menutup mata lagi”
”Bukan itu maksudku Melati !, toh aku sudah menyadari itu dan aku sudah minta maaf masa laluku.. Aku harap jangan pergi dulu, toh masih banyak kesemptan bagi kita untuk saling memperbaiki”
”Ketahuilah Mr. Prakoso, aku pergi bukan masalah itu saja, tapi demi masa depan anak kita. Kedua putrimu yang cantik harus bersekolah di sekolah terpandang, sekolah para bendoro, karena kita adalah keluarga terpandang. Sedangkan kamu sudah tidak mampu lagi membiayai kedua putrimu, karena kau sudah bangkrut. Suamiku”
Prakoso merasakan jantungnya berdegup lebih kencang, kedua kakinya ternanam di bumi dalam-dalam. Kini diapun hanya mampu memandangi kepergian istri dan kedua putrinya. Seluruh tubuhnya terasa tak bertulang lagi, Hanya seperti inikah sebuah hidup yang harus dijalani, ataukah memang dunia tiada bersahabat lagi.
Tanpa menoleh sedikitpun kearahnya Diajeng Melati berlalu dengan angkuhnya, hanya pandang mata kedua putrinyasaja yang membekas jauh di dalam kalbunya, bersama dengan airmata mereka. Kapankah
kita bertemu lagi putriku, demikian bisik hatinya, bersama dengan ringkik kuda yang semakin lama semakin tak terdengar lagi.
Ditutupnya lembar buku harian itu yang menyisakan perasaan pedih dan haru. Meski sebuah halaman yang paling dia benci namun sekaligus paling sering dibaca hingga kelihatan kumal. Sebuah nafas panjang ditarinya dalam –dalam, bersama dengan keringat dingin yang membasahi seluruh tubuhnya. Dengan tangan yang bergetar terpagut perasaan rindu terhadap sebuah pertemuan, Prakoso yang tiada berdaya itu membuka lembaran berikutnya. Lembaran yang mengisahkan perjalanan panjang seorang laki-laki yang terhempas dari badai kehidupan.
Berkali kali dirinya mengunjugi Wedana Kresidea\nan Cirebon, Bendoro Winata untuk menyakan kepergian keluarganya. Dari keterangan paman Diajeng Melatilah dia tahu, bahwa keluarganya kini berada di Batavia bersama dengan pembesar Kerajaan Belandan Mr, William, seorang arsitek terpandang dan sangat kaya. Semula memang Diajeng Melati tinggal bersama pamanya, namun entah alasan apa merekapun sepakat untuk hidup di Batavia, tanpa meninggalkan alamat yang jelas.
Serasa baru kemarin kegetiran itu berlangsung, meski telah lima belas tahun berselang. Pandangan matanya menjadi sendu, kursi goyang dari kayu jatipun telah berhenti bergoyang. Lantaran sebuah insan yang penuh kebekuan hidupnya telah terbujur berada di atasnya. Prakosopun tambah semakin jauh dengan kehidupan yang dimilikinya, yang sarat dengan derai tawa canda dikala m,udanya. Kini didnding rumah gedongan sang sinder itupun terasa semakn menghimpitnya, sehingga paru-parunya tersa sakit untuk bernafas.
Sebuah suara lembut dari dalam kamar tidurnya yang lengang telah memanggilnya , dengan sisa tenaga yang masih ada diapun berusaha menuju arah suara itu. Kemudian dengan keputusasaaan akan suatu pertemuan, kini menemani dia di pembaringan. Dinding rumah tuanya kini terasa lebih longgar lagi. Warna dinding rumahnya yang tadi kusam, kini mulai memancarka sinar putih yang menyilaukan, sang sinderpun hanya mampu memandanginya. Jiwa yang dipenuhi lautan pasrahpun kini menunggunya, tatkala dia terbang ke awan bersama sinar putih itu. Kamar itupun kini lenggang.

Selasa, 21 September 2010

KAMPUNG ILALANG

( Sketsa Berbagi Kasih dan Peduli di Era Keterpurukan Sosial dari Penulis Pinggiran)

SEPERCIK AIR
Mereka mampu menumpahkan batas pandang
Menyisir tiap celah bukit
Yang melingkungi
Untuk melihat semburat,
Rambut Sembodro atau Supraba
Yang beruntai kuning keemasan…

Sebutir jagung yang tumbuh
Di pematang kebun berbatas keadilan
Dirimbuni daun singkong, mentimun
Untuk bekal hari esok
Mereka untai dalam birama,
Agar anak cucu mampu bermandi
cahaya rembuilan di tengah sawah
Yang mengering tanpa gemercik iba

Mereka saling bertaut…bila ufuk telah redup
Kala benang sutra kehidupan
Dirajut dengan tepi yang tajam
Dan menghujam ke tengah jantung mereka
Terhempas dalam sorot mata
Yang mampu menguliti mereka

Pagipun tetap berpagar
Burung yang memadu hasrat
Berbulu warna warni, ketika angin meradang
Menggandeng tikus tikus rakus yang merobohkan
Akar rumpun ilalang

Illalang itupun merobohkan daunya
Menuju kaki langit
Sebuah teriakan mereka
Engkaulah sepercik air……
Kamilah berbaju kekeringan
(Semarang, 21 September 2010)

PARADE JALANAN

Mereka tak lebih dari jerami
Yang ditumpuk di tepi jalan kehidupan
Karena terpanggang angin kemarau
Yang bersemayam
Dari empat penjuru kaki langit
Apa arti sebuah desah gemerisik
Dari daun ilalang yang mengering
Tapi tiadalah mereka merenggut
Rumpun akar yang tertanam di bumi
Engkaulah milik kibasan bumi

Janganlah kau tebarkan lagi
Biji biji sehingga melupat gubug bambu
Hingga meranggasnya pohon pohon kekar

Gemerecik air kalipun
Akan menghijaukanmu
(Semarang, 21 September 2010)


JANGAN KAU TANGISI DUKA LARA
Di sudut kebun tiada bernaung
belas kasihan…….
Di tepi bunga Raflesia berdaun kokoh
Menyeruakan bau busuk
Menusuk semata rumpun tiada berdaya
Apalagi di samping bunga,
berkelopak sipit
Dan berakar tunggang
Bukankah bunga kokoh
Yang bertangkai seputih salju…
Telah layu…..

Apalagi deru perubahan
Telah mengenyangi perut kebun itu
Namun biarlah rumpun berkalang sudut
Berakar di kubangan tanah sejuk

Duka adalah tabir….
Milik anak ingusan
Tiada mampu meraih kanvas
Di belahan bumi
Di balik Mahameru
(Semarang, 21 September 2010)

KASIHKU
Telah terpagut aku di senja hari
Ketika kawanan merpati berbulu jingga
Memenuhi langit
Belahan barat

Aku kumpulkan suara cengkerik
Untuk menyuarakan symponi hidup
Aku kumpulkan pula air tawar
Yang kujaring dari angin malam
Untuk membasahi cinta bening ini

Temaramnya malam bukanlah kutukan Tuhan
Yang bersemayam di hati kita
Malam adalah kala langit
Ditaburi sayap
Dari sang putih bersih
Agar mengirimkan pesan
Untuk beranda hati kita
Yang dihinggapi burung hantu
Mencengkeram hingga ujung sendi

Akupun bersama sang pagi
Siulan burung dan batang bambu
Menggeleparkan hati kita
Untuk menantang istana ufuk
Merentangkan bilah daun kita
Kita adalah ilalang

(Semarang, 21 September 2010)

Sabtu, 18 September 2010

Ranting Ranting Kering

 Wikimedia, 2010
Hanya tinggal mengandalkan ke dua kaki yang terbungkus keriputnya kulit, yang melegam karena terbakar matahari. Terkadang kedua kakinya itupun gemetar menapaki pematang sawahnya yang tidak seberapa luas. Namun Suto tidak pernah merasakan adanya sebuah perpisahan. Meski kehadiran istrinya beberapa puluh tahun mendampingi dirinya hanya tinggal kenangan. Setelah semua kepengapan hidup dan kesengsaraan yang mendera mereka telah cukup.

Rupanya Tuhanpun memilih Suminah untuk segera menghuni langit dengan taman bunga warna warni, ketimbang harus menghuni dunia yang penuh tipu daya. Suminahpun meninggalkan Suto dengan tenang, karena Suminahpun tidak mampu melawan kodrat yang digariskan oleh Yang Diatas. Apalagi diapun tahu bahwa suaminya adalah laki-laki yang tangguh, terbukti dari seluruh hidup mereka, hanya kesengsaraan dan kemiskinan yang mengakrabinya.

“Aku sakit, Pak !” Demikian Suminah mengeluh dihadapan suaminya, pada suatu malam. Setelah seharian mereka di sawah.
“Tidurlah, besok biar aku saja yang kesawah. Kamu tidak usah membantu”
“Ah Cuma masuk angin, besok juga sembuh”
“Kamu sudah cukup umur, Bu !. Jangan memaksa diri”
“Tapi kalau di rumah juga mau apa ?. Aku senang mbantu kamu, Pak !. Aku juga tidak sampai hati sama kamu Pak. Aku lihat kamu sebenarnya sudah tidak kuat lagi ke sawah. Pak. Duh Gusti kemana perginya Yono dan Noto. Sudah bertahun-tahun belum pulang juga”
 Ranting Kering,Sumber Pondok SASTRA HASTI Smg
“Sudahlah, jangan mengungkit-ngungkit mereka lagi Bu !. Nanti kamu tambah sakit. Kita tidak punya biaya untuk ke rumah sakit lho Bu !. Jaga kesehatanmu !”
“Aku seorang ibu Pak, aku yang melahirkan mereka berdua. Dari kecil aku asuh, setelah dewasa entah kerja di mana. Mereka berdua lupa dengan kita berdua, yang sudah renta, Ya Pak ?”.
“Jangan kuatir, Bu !. Tidak lama lagi mereka pasti pulang. Mereka tidak lupa dengan kita Bu, aku yakin. Hanya saja mereka tentunya belum mendapatkan kehidupan yang layak”

Suminah tidak menjawab lagi, namun tatapan matanya tetap kosong, rasa rindu kepada dua anaknya kian menjadi-jadi saban hari. Apalagi bila mendengar teman sekampung Yono dan Noto telah berbahagia dengan istri dan anak anaknya. Namun Suminah adalah wanita yang telah biasa mengalami berbagai macam goncangan hidup.
Namun entah mengapa rasa rindu kepada anaknya, beberapa minggu ini kian tak karuan.

Baik Suminah sendiri, apalagi Suto adalah manusia biasa yang tidak tahu kodrat dan iradat dari Tuhan Yang Kuasa kepada hambanya. Rupanya rasa rindunya itu telah meluruhkan ketegaran wanita petani yang hidup di desa, Suminah kinipun hanya berbaring ranjang lapuknya dan sebuah kekuatan diluar kasat mata telah membius jantung dan paru. Sehingga Suminahpun kini hanya terbujur dingin.

Hanya linangan air mata Suto saja yang mengiringi kepergian belahan jiwa yang selama 30 tahun bersamanya mengarungi dunia yang tak pernah menjadi sahabat mereka. Rasa penyesalan yang dalam telah menyelimuti ruang hati Suto, mengapa dia tak mampu mempertemukan istrinya dan kedua anaknya. Namun kala itu kemana dia akan mencari kedua anaknya. Disamping itu dia dan istrinya hanyalah sepasang manusia yang sudah uzur, yang tidak mungkin berpetualang dari kota ke kota mencari mereka. Karena mereka berdua hanyalah ranting ranting yang kering dan rapuh.

Suto kini sudah tak mungkin lagi terus larut dalam bayangan Suminah, karena dia kembali disibukan dengan panen. Tangan dan kaki yang keriput itu masih saja bersemangat untuk menuai sebuah kehidupan walau hanya secercah hinggap pada awan jingga di ufuk barat, apalagi tanpa bantuan Suminah istrinya. Tak khayal lagi kini rasa rindu kepada semua keluarganya menjadi kental. Namun bagaimana lagi, bila ranting kering yang sudah rapuh, hanya menunggu jatuh ke tanah dihempas angin kehidupan.

Perjuangan melawan ganasnya penghidupan membuat mereka saling berpisah satu sama lain. Kedua anaknyapun memilih meninggalkan desa itu lantaran sudah tidak memiliki harapan lagi. Yono putra sulung mereka bergabung dengan rekan satu desa yang berniat mengadu nasib ke Lampung untuk bertranmigrasi. Sementara itu Noto bertekad merantau ke Malaysia dan berjanji untuk sering menengok mereka beberapa tahun sekali. Namun nyatanya mereka hanya meninggalkan sebuah harapan dan kerinduan untuk sepasang ranting yang kering yang ditengah terik musim kemarau.
Harapan tinggal harapan, Sutopun hanya mampu merenungi kepergian semua harta miliknya yang tiada pernah tahu berapa nilainya. Apalagi semenjak kepergian Suminah, Suto telah kehilangan seisi dunia ini. Malampun bertambah larut, langit langit kamarnya yang kumuh dan berdebu kini menjadi saksi. Dipegangnya kata hatinya yang mampu membesarkan dirinya, maka diapun tidak mau mendengarkan lagi hati kecilnya,

Suto kin terlelap dalam sebuah mimpi panjang, ketika dia dan kedua anaknya bermain di tengah sawahnya yang mongering karena kemarau menerpanya. ,Mereka bertiga berkejaran dan melepas tawa riang hingga terdengar dari tiap penjuru padang tersebut. Mereka bermain layang-layang, menangkap kerbau, mencari belalang hingga datanglah Suminah yang berpakaian serba gemerlap, bersulap benang sorga dan semerbak wangi bunga sorgapun merebak memenuhi hidung Suto. Suto tak mampu menolak Suminah yang menjulurkan tanganya untuk mengajak pergi ke penjuru langit. Sementara kedua anaknyapun hanya melambaikan kedua tangannya dengan senyum bahagia. Dan heninglah peraduan Suto.