Kamis, 05 Agustus 2021

Hari Hari Sepi



Hari hari bagi Amelia adalah hari dalam kehidupanya. yang tak pernah dihiasi dengan hasrat untuk melangkah surut dalam hal apapun. Bagaikan angin kemarau yang melesat tak bisa dibendung sepanjang garis titian hidupnya, yang penuh dengan kesahajaan dan kegigihan bersama dengan bapa dan emaknya dalam mengayuh biduk kehidupan mereka. 

Meski Amelia dan keluarganya, hanya bersandar pada biduk yang lapuk dengan layar yang bertebar sayatan koyak, lantaran tertikam ganas dan kejinya kehidupan ini. Amelia tumbuh menjadi remaja yang lebih sahaja dibanding ABG lainnya di sekolah tempat dia seriusmenuntut ilmu. 

Amelia tidak pernah mengenal manis manja dan ceria seperti anak pejabat atau saudagar kaya dengan rengkuhan materi yang berkecukupan. Sehingga mereka seperti kupu kupu kertas warna warni,yang lepas bebas terbang ke tiap penjuru langit, saat hujan menghadang mereka, maka luruhlah kedua sayap yang tak seberapa kokohnya. 

 Padahal Amelia saat fajar merekah, dia sudah sibuk membantu emaknya untuk belanja sayur ke pasar pagi, untuk sekedar menyambung separo nafasnya. Dia rela bergumul dengan kabut pagi yang dingin, debu pasar yang berceria ditiup angin gunung atau peluh emak emak tua yang berebut mendapatkan sayur sayuran yang masih segar. 

Meski kadang disertai rasa kantuk, lantara Amelia sering sampai larut malam membantu emaknya di warung nasi depan rumahnya. Sementara adik adiknya sudah mendengkur menguntai mimpi indah,tak peduli emak dan kakak sulungnya, mengais sesuap dua suap nafkah. Itulah Amelia, dia harus menikam bisu hari hari indahnya sebagai ABG yang sebenarnya berwajah cantik, berkulit kuning. Apalagi bila dia berdandan seperti ABG lainnya,bercelana jeans ketat, kaos T shirt yang keren dan asesoris gaul lainnya.

Maka tampaklah selibritis yang siap bercasting di depan kamera tv swasta, setiap liuk tubuhnya yang sintal menggeliat seperti ular kobra, maka sorot mata cowok cowok jalangpun akan terus membidiknya. Maka wajar saja, bila setiap sekolahnya mengadakan perhelatan seni Amelia selalu menjadi bidikan sokib sokibnya untuk mencurahkan multitalentanya. Meski dengan sorot matanya yang sedingin salju lantaran kehidupanya yang mengalami keterpurukan, kadang kadang juga liar dan tajam pertanda dari dalam dirinya terpendam potensi sebagai ABG multitalenta. 
 *** 
 “Kau tidak pernah sedikitpun memberi aku harapan,Amel ?” bisik Rudy yang sedari pagi terus menempel Amelia, yang berpakaian seragam sudah agak kusam, karena lamaAmelia tidak mampu membeli yang baru. Amelia hanya tersenyum tipis dan tetap saja dia menyimpan salju di kedua sorot matanya. Rudypun terus saja hingga hari ini masih menyimpan sejuta penasaran, andaikan cewek ini mampu berbinar seperti ABG lainnya yang ceria, maka tidak ada perbedaan antara selebritis dengan Amelia seberkas benangpun. 

Namun Amelia hanya “keeping silent”, tanpa memandang serius apa yang selalu dia curahkan kepada dia. “Kau tak keberatan kan ?,bila aku selalu memintamu untuk menjawab ?” “Rudy ?, apa sih beratnya menjawab apa yang kamu pinta !. Tapi Rud !, aku bukan cewek seperti itu.Kehidupanku dan emak memang lagi terpuruk, bapak jarang pulang karena banyak mengejar borongan di Jakarta, aku nggak bisa sekolah dan berpacaran seperti cewek lainnya. 

Maafkan aku Rud !” Amelia tetap saja menyedot es jeruknya di kantin, di tengah klasmeeting sehabis UTS.Kedua sorot matanya,hanya asik menelisik larinya air jeruk yang turun naik sepanjang sedotan. Namun justru Rudi semakin dibuat ngap ngapan dengan ulah dingin “The Ice Girl”, yang terbujur bisu di depannya. “Tapi kau kan jomblo,Amel ?” 

 “Ya, tepatnya The Silent Jomblo !, tapi itulah aku Rud !, aku nggak peduli. Aku nggak mau setiap sokibku ikut larut dalam penderitaanku. Aku terbiasa hidup gigih di tengah turun naiknya kehidupanku. Aku dhdapkan dengan bagaimana aku dapat membantu emak dan bapaku yang setengah mati menggayutkan hidup ini. 

Kau tidak biasa dengan keadaan seperti ini,kan Rud !. Kasihanilah diri kamu sendiri, Ru!” hanya sekali ini dia mendengar suara Amelia yang nyaring, dengan mata yang datar namun siap menundukan hati siapa saja yang ada di depanya. Rudipun hanya sekilas menguliti perjalanan hidupnya, yang diseputari materi yang berlimpah. Mobil hiam mulus dari negeri Eropa selalu mengantarkan dia kemanapun pergi, doku yang diberikan mama papanya selau ludes untuk terbang dari cakrawala manja tawa satu ke lainnya. Apapun mampu dia beli, namun membeli sberkas cinta dari Amelia, ternyata dia tidak mampu sama sekali. 

 “Aku siap menerimamu apa adanya !” “Jangan konyol, Rud !, kamu tidak akan mampu berbuat apapun menghadapi peliknya hidup ini. Kau hanya menuruti emosi hati saja. Sudahlah Rud !, apa salahnya sih !, kalau kita hanya berteman saja !, piss !” kali ini sebuah senyuman tipis menghiasi wajah putih alami Amelia. Tapi bagi Rudy sebuah sayatan luka dihatinya mulai terasa pedih. Tidak ada satupun tebing yang kokoh yang mampu dijadikan curahan hatinya. Mama papanya apalagi, mereka hanya sibuk memutarkan bermilyar milyar uangnya demi sebuah kehidupan sang pemuja harta yang glamour. Sokib sokib yang selalu memusarinyapun tak akan mampu mencarikan kiat untuk bisa mendapatkan ABG yang cantik, flamboyan dan sahaja ini. 

Ruypun hanya mampu menyobek selembar kertas dari bukunya untuk sekedar menuangkan gejolak hatinya yang sedang dijauhi dewi asmara. Hanya itu yang mampu diperbuat Rudy, sementara Amelia hanya asik mencari uang recehan yang tersebar di kantong bajunya, untuk membayar es jeruknya itu. “Amel!, bacalah puisiku !, inilah gambaran hatiku, “ Amelia mampukah kau sejenak melepas.... tiap bilah guratan pedih yang menikam halaman hatimu lantas kau ulurkan kelopak mawar menembus batas langit dengan warna merah jingga, akupun mampu membentangkan rindu, kau mlempar senyum yang mampu meuntuhkan puncak Mount Everest kita bermandi di buih putih laut biru aku dalam tabir cinta, kau bersamaku menghitung hari....

Rudy “Apa artinya ini semua Rud ?” geliat tubuh Amelia, yang tadinya terbujur bisu kini nampak saat kedua tanganya membaca puisi Rudy, namun sorot mata The Silent Jomblo masih saja sedingin es. “Sebuah penantian, Amel !, tetang kau, tentang isi hati ini” Tangan kanan Rudy terus saja menempel pada dadanya sendiri. “So sorry !, Rud, puisimu tak berarti apa apa bagiku, maafkan aku ya Rud !”
 ***
 “Bapak !” 
“Amel, anaku !” sebuah pelukan luapan kangen antara bapak dan putri sulungnya mengharukan pertemuan mereka di tengah malam, saat bapak Amelia tiba kembali di tengah mereka setelah 6 bulan mereka berpisah. 

Demikian sibuknya hingga Sanoso si tukang batu baru bisa kembali dari Jakarta. Lelaki setengah baya itu, sudah kelihatan tua dibanding dengan umurnya, lantaran dia hanya sebagai pekerja kasar yang memaksakan diri demi menghidupi anak istrinya. “Bapak !, Amel minta bapak tidak usah ke Jakarta lagi. Warung kita sudah mampu menghidupi kita semua” “Tapi kamu harus kuliah, Amel !,kamu harus bisa maju, tidak harus terus menerus di warung” “Itu gampang, pak !, yang penting kita bisa berkumpul lagi, itu sudah cukup bagi Amel “ “Tapi, siapa pacar kamu, Amel ?” “Amel belum memikirkan itu, Pak !, meskipun sudah banyak cowok yang mendekati aku “ 

“Jangan begitu Amel, keadaan kita ini adalah semua salah bapak !, kamu tidak boleh ikut menderita. Biarlah semua menjadi tanggung jawab bapak. Seandainya kamu mencintai pria yang kamu pilih, janganlah kau bunuh perasaanmu sendiri. Asal kamu mampu menjaga diri. Kamu kan sudah lulus SMA, kamu harus ceria sama seperti wanita lainnya 

“. Amelia hanya tertunduk malu, dalam dirinya kini mulai terasa getaran aneh yang kemudian merambat ke semua sendi tulangnya. Sorot matanya kini mulai hidup, entahlah apa yang akan dilakukan oleh cewek ABG k ini***

Elsa

Aku perhatikan semakin ganjen saja Elsa bertingkah di depan cowok-cowok gaulnya, berpose layaknya artis sinetron menambah dunia dan seisinya maunya runtuh. 

 Apalagi bila dia melempar sedikit senyum tipis, jantung yang aku tanam dalam dada ini semakin menderu, menyuruhku untuk segera memiliki kembang mekar ini. Guratan wajah Elsapun makin jelas saja tergambar di halaman kalbuku. 

 Namun dia tetap saja Elsa, meski hati yang aku miliki tetap saja memberontak, untuk segera menikam keangkuhannya. Ataukah hanya gaya hidup Elsa saja yang selangit, yang masih asing bagiku, yang bertolak belakang dengan gaya hidup aku yang dari kota kecil. Sejauh kalbu ini merenung, akupun masih ingat betul teori Pak Burhan, dosen Pengantar Ekonomi yang suka bicara dari hati ke hati dengan semua mahasiswanya,
 “Gaya hidup modern bukannya berasal dari kota atau kampung, kaya atau miskin, tapi dari pola pikir intelektual. 

Kamu kamu semua kan komunitas intelektual. Apa nggak ada menteri lahir dari desa, hampir semua petinggi negara lahir di desa”. Sebuah kekuatan baru mulai tertetes di sanubariku yang mengering dikungkung kurangnya pd. Sesaat semua mahasiswa bersorak ceria, mirip anak TK, kala diumumukan bahwa Pak Hardiman dosen statistik tidak hadir pada sore kali ini. Sementara Elsa di tengah keceriaannya terus saja didekati sama cowok cowok beken kampus, yang nota bene bertampang gaul, gedongan dan difasilitasi mobil untuk kuliah. 

Sedangkan aku hanya ingat pesan emak, tiap aku mau berangkat ke Jakarta, setelah mudik di Purwokerto, untuk tekun belajar sehingga bisa meraih sarjana ekonomi dan dapat kerjaan yang mapan, untuk membantu studi adiku-adiku. Akupun menyadari semua itu, namun tetap saja hati, yang menggelindingkan ego yang tak tentu arahnya, menjerit untuk tetap memiliki Elsa. 

Meski hanya selintas beberapa saat hasrat itu menderu, karena aku tahu bahwa Elsa sebenarnya adalah mahasiswi yang santun, baik dan tekun belajar. Hanya aku saja yang tak mampu mendekati. Semester demi semester aku selesaikan dengan prestasi nilai yang baik, karena tekun dan aktifnya aku belajar, emakpun bertambah senang. 

Namun semakin pula aku kehilangan akal untuk mendekati Elsa, yang tambah seronok dan menorehkan bunga kampus di tengah cowok yang berlabel high-class, hampir tiap hari setelah selesai kuliah Elsa tak ubahnya piala bergilir bagi temen-temenku, yang menyodorkan mobil mewah dan doku sekedar mejeng sepanjang warna warni lampu kota Jakarta. 

Akupun menjerit pilu, semoga gadis baik dan santun itu segera mengukuhkan hatinya agar mampu membawa diri di tengah pergaulan kumbang kumbang kampus yang haus akan madu. Apakah dengan cara begini Elsa akan menemukan diri dan segera menjadi cewek dewasa, selalu saja kata hai seperti itu terselip dalam lubuk hatiku, ataukah karena aku saja yang tidak mampu membuat egonya Elsa menjadi runtuh. 

Namun tetap saja Elsa tidak mampu mengendalikan diri dan kehormatannya, bahkan sekarang menjadi buah bibir kampus, bahwa harga diri Elsa hanyalah sebatas mobil mewah dan pub bahkan hotel berbintang untuk bermalam beberapa hari. Pada siapa lagi aku harus berontak, meski amarahku telah menyetuh ujung kepala dan menyumbat tenggorokanku, namun kemana kepalan tangan aku tujukan. Akupun mulai menelisik tentang Elsa, lewat Ivan yang hanya sekedar kenal saja meski telah menjadi temen kuliahku selama 4 tahun. “Gokil mau apa kamu nanya tentang Elsa, apa mau booking. Ah kamu belajar saja yang rajin, biar jadi menteri” 
“Nggak gitu Van, Elsa kan orangnya baikan sama aku, aku hanya kasihan, dia sekarang jarang aktif di kampus” 
“Eh Rudi, kalau kamu kasihan sama Elsa, kamu nggak bakal mampu dekat dengannya, lagian Elsa nggak pernah tuh crita tentang kamu” “Jelas dia nggak bakalan crita tentang aku, karena aku sama dia nggak ada apa-apa”
 “Ya udah, ngapain kamu kasihan dan pake tanya-tanya segala !” “Jangan gitu Van, aku memang anak katro, bukan gedongan kaya kamu, tapi aku juga temen Elsa, aku berhak tahu, karena dia dulu di semester satu dan dua, satu kelompok belajar sama aku. Toh dia nggak nolak buatin tugas-tugas dosen, bahkan dia yang sering nolong aku” “Terus kamu mau nanyain apa?” “Cuma sekarang dia kok jarang di kampus, ada apa? “
 “Kamu kangen ya, udah deh nggak bakalan kamu bisa ndapetin dia, Tanya saja langsung sama Elsa, habis perkara !” 
“Ya udahlah Van, terserah kamu mau ngomong apa” “Ya udah sana pergi,”Pantas saja Elsa terasa bukan Elsa yang dulu, karena gaul dengan cowok gedongan yang angkuh. Mudah-mudahan aku bisa merubahnya dan menyadarkan, karena Elsapun bisa menjadi Elsa yang baik seperti dulu, bila ada cowok yang mampu menjadi curhat hatinya. Aku semakin yakin kalau aku bakal meruntuhkan kebinalan hatinya. Toh aku tidak lama lagi lulus dari kampus ini, sementara Elsa masih memiliki mata kuliah yang belum lulus, semoga waktu yang sempit ini bisa aku manfaatkan untuk mengembalikan Elsa yang ingin aku miliki, demikian kata hatiku terus saja membara di tengah jantung hatiku. Sore hari Jakarta diguyur gerimis sejak pagi, maka tak biasanya kota besar ini menjadi agak lengang. Mungkin sebagian besar warganya memilihj untuk tinggal di rumah ketimbang menghabiskan hari Minggu harus menembus dinginya gerimis ini. 

Hanya aku saja yang memang memiliki tekad untuk meluncur ke tempat kos Elsa, semoga saja dia belum mudik ke Bandung. Pintu kamarnya belum tertutup rapat, sehingga aku tidak repot repot untuk mengetuknya, sementara dari dalam kamarnya aku dengar senandung kecil yang dinyanyikan Elsa sempat membuat aku tak kuasa melangkah lebih dekat lagi kea rah pintu kamarnya. Beruntung Elsa telah mengetahui kedatanganku, Elsa menyambutnya dengan roman muka kaget dan masam, lantaran hanya aku yang datang. Pipinya memerah, sorot matanya tidak berani lagi memandangiku. Hanya sebuah ucapan kecil saja yang dia ucapkan, yang menyuruhku duduk di ruang tamu. “Kamu nggak mudik, Rud”

 “Ah enggak, aku mau nyiapin ujian srkipsi minggu depan “ “Selamat ya Rud, kamu hampir lulus, moga-moga aja berhasil” “Ya harapan ortuku di kampung kaya gitu” “Kok kaya dikejar hantu aja, kamu hujan- hujan gini meluncur ke sini, Rud” 

“Kamu masih nyimpen file tugas kelompok kita yang dulu enggak, Els!, aku lupa naruh dimana. Lu kan dulu rajin ngeprint. Kalau bisa aku pinjam filenya” 
“Nggak tahu di mana Rud, aku nggak pernah lagi punya file-file kaya gitu” 
“Di komputermu ?” “Entah Rud, aku jarang buka laptopku?” 
“Tapi ada kan?, coba kamu buka ?” “Nggak tahu , Rina,,dah beberapa bulan ini pinjem laptopku, coba dong di laptopmu ?”
 “Aku nggak punya laptop, aku pinjam kampus kalau butuh computer?” “Maafin ya Rud, kamu jauh-jauh ke sini nggak bawa hasil”
 “Kamu nggak punya salah kok Els, aku masih punya buku di rumah” “Oh ya kamu mau minum apa?” “Kok repo-repot , nggak usahlah aku cuma sebentar, Kamu masih baikan sama aku ya Els, kok kamu jarang datang ke kampus lagi” “Nggak tahu tuh Rud, aku sekarang malas untuk kuliah” “Ah kamu bohong sama aku, aku yakin lantaran kamu sekarang banyak bergaul dengan temen-temen gedongan yang norak itu, kan ?”

 “Apa aku salah bergaul dengan mereka Rud” “Kamu udah tahu jawabanmu dari dalam hatimu sendiri, maafin aku Els, aku nggak mau nyampuri privasimu, tapi aku cuma kasihan melihatmu” “Emangnya ada apa denganku, Rud !, aku baik baik saja kok Rud” 
“Ya sukurlah kalau kamu baik-baik saja, makanya paling tidak kamu bisa wisuda bareng aku, kalau kamu serius belajar. Aku Cuma menyayangkan lho Els, dulu kamu satu kelompok belajar denganku. Di perpustakaan kamu paling aktif, sampai nilaimu lebih baik dari aku. Aku mengakui kamu lebih segalanya dibanding temen cewek lainnya, tapi sekarang kamu kedodoran. Maafin aku ya Els, ini hanya sekedar saran dari temen kamu” 

“Ah nggak apa-apa Rud, aku nggak marah. Sebenarnya aku juga sering ditanya papa dan mama, kapan aku wisuda, tapi karena aku punya kesibukan lain” “Yah orang memang punya kesibukan sendiri-sendiri Els, aku juga nggak nyalahin sama kamu. Udahlah Els, aku tak pulang dulu” “Kamu punya acara penting kok buru-buru !”

 “Nggak,, aku Cuma mau pinjam tugas kita yang dulu dan aku Cuma pengin nulung kamu, kalau bisa kita wisuda bareng sama seperti kita dulu d perpus aktif bareng” “Ya tunggu sebentar to Rud, aku pengin curhat sama kamu, siapa lagi temenku yang peduli sama aku” “Tapi kamu banyak acara kan?” “Ya banyak” “Itulah yang aku takuti Els, aku takut ngganggu acara kamu” “Kamu mau kan ngantar aku jalan jalan hari ini ke mana aja. Please Rud !” 

“Aku nggak bawa kendaraan, Els, aku naik bis kota tadi “ “Pakai motor aku aja, kita pergi entah kemana terserah kamu aja” “Kok tumben, apa something wrong Els” “Yah begitulah, Rud. Aku mulai panik, temen-temenku udah mau wisuda, padahal, kreditku masih banyak yang belum aku selesaikan” “Nah itu baru Elsa, yooo kita berangkat” Aku cuma menuruti selera Elsa saja kala dia minta kita ngobrol di rumah makan khusus bakso kesukaan dia, tempatnya sungguh romantis. Cocok buat curhat si Kembang Wangi tambatan hatiku, yang selama ini aku hanya bertemu dengan Elsa di episode mimpi hidupku. Aku tahu pasti, bahwa Elsa adalah bunga layu, yang telah direguk sari madunya oleh banyak kumbang liar. 

Namun Elsa tetap elsa, aku tidak perduli apapun keadaanya. Karena dia juga manusia, toh yang penting dia mau menyadari masa lalunya dan masih memiliki niatan yang baik untuk menggapai masa depan dia entah dengan siapa dia melangkah. Sepatah demi sepatah kata curhat dari mulut Elsa mengalir bagitu saja, tapi aku sama sekali tidak mendengarkan, karena aku tahu semua sebelumnya, dan menyadari semua penderitaan hatinya. Hanyalah harapan yang begitu besar untuk memiliki yang membuat Elsa tanpa sedikitpun noda di depanku. 

“Mungkin saja kamu muak mendengar curhatku,,,atau kamu telah mendengar tentang aku dari temen temen kampus, Rud” “Nggak tahu Elsa, bagiku kamu curhat apa nggak itu sama aja” “Maksu kamu” “Kamu masih tetap Elsa yang dulu, temenku yang sering nulungku, kamu sering ngeprinkan tugas untuk aku dan banyak kebaikan lainnya, karena aku nggak punya computer, karena aku mahasiswa dekil dari udik yang nggak punya apa-apa, kamulah yang paling tahu keadaan ini. Sekarang kalau kamu seperti ini, akupun tidak memandang lain tentang kamu” 



“Ah yang bener aja Rud, jarang aku temui pria seprtimu, aku kehilangan kau Rud, kalau kau wisuda dan kembali ke Purwokerto “ Elsa menyampaikan kepediahan hatinya sembari bergayut di pundaku. “Tapi masih ada yang kurang Els” “Apa itu Rud” 

“Kamu nggak bisa aku miliki, nggak mungkin kamu mau dengan cowok dekil kaya gini” Elsapun hanya meredupkan matanya, wajahnya disodorkan di hadapakanku, dan sebuah ciuman kecil aku dapatkan. Mesti selintas namun berarti bagiku, inilah Elsa yang bertahun aku dambakan. Aku bisikan ke telinganya “ Els, aku sayang….Belum sempat aku selesaikan, Elsapun membalasnya dengan ciuman yang lebih bergairah.

Benang Sutra

Senja itu Lydia hanya sendiri di kamar, berteman sepi dan hanya menjaring sejuta angan dari penjuru benak hati yang satu ke penjuru benak hati lainya. Sesekali tiupan angin kencang bercampur titik air gerimis senja menerpa kamarnya. 

 Namun Lydia tidak memperdulikanya. sekali sekali sorot matanya diarahkan ke handpone warna biru muda, yang dia letakan begitu saja di atas seprei tempat tidurnya “Mengapa tak kau berikan teriakan nyaring, seperti yang sudah sudah dan mampu mengobati rasa rinduku pada Aldo, mengapa kamu keep silent ?

”. Sesekali pula Lydia membalik balikan Hpnya itu. Barangkali saja power anten hpnya yang rusak. Ataukah memang Aldo telah terbang dengan sejuta sayapnya dan hinggap di mawar lainya, yang segalanya lebih baik darinya. Berkali kali nomor Aldo telah genap tertera di screen handphonenya, namun pada akhirnya dia urungkan untuk mendapatkan obat rindunya. Mengapa pula dia harus terjepit dan terpagut sepi, kala Aldo dia “tawan dalam kain sutra”, yang halus namun kokoh. 

Padahal beberapa bulan lagi dia harus meninggalkan Jakarta untuk segera bertugas di Puskesmas Kecamatan Hidup Baru Bengkulu, sebagai dokter muda. Mengapa pula dia sendiri yang justru menghendaki perpisahan dan menepiskan kehadiran Aldo. Padahal dia sudah lama menunggu saat demi saat untuk Aldo, hingga Aldo mampu menjadi pria yang lebih dewasa dan mengerti. Lidiapun telah merasa cukup berkorban untuk Aldo. Tetapi bagaimanapun juga Lydia tetap seorang perempuan yang masih harus benyak belajar pada hidup ini. 

Seorang dokter muda yang ditantang mampu menyembuhkan berbagai penyakit pada pasienya di daerah terpencil nantinya, namun penyakit hati yang ada di dalam dirinya begitu asing dan mampu meradangkan setiap urat nadinya. 

Handhone dengan cassing biru muda itu kembali dia letakan di atas sprei tempat tidurnya. Diangkatnya seluruh tubuh yang melekat kuat di tempat tidur yang bersemangat menghisap tubuhnya yang dipenuhi rasa penat. Lydia tidak mau terjebak pada perangkap kasur tidurnya, dia lebih baik berdiri di jendela kamar tidurnya dengan membuka sedikit korden dan kaca nakonya, barangkali saja angin senja membawa salam dari Aldo untuk dirinya. Namun hanya gemerlap lampu jalan Kota Jakarta yang sama sekali tidak mau mendengarkan bisikan hatinya. Perlahan lahan Lydia menutup kaca nako dan korden, sementara dari kejauhan bising suara kedaraan bermotor masih menggetarkan gendang telinganya. Lydia masih 2 menjadi sosok yang diburu bayanganya sendiri, bayangan rasa sepi dan bayangan yang dia bangun sendiri. 
*** 
Ingin hatinya mengurungkan niatnya untuk bertugas ke Bengkulu. Untuk apa dia di daerah Bengkulu, bila rasa sepi yang menghantuinya tidak mampu dia tepis. Bahkan kini dia seperti anak ABG atau teenager yang lebay merindukan doinya. Namun pikiran itu dia buang jauh=jauh “Aku perempuan yang telah dewasa, aku harus menjadi Lidya yang tagguh. 

Bukankah kepergianya nanti ke Bengkulu adalah pilihanku yang semula ditolak tegas oleh mama dan papa” Bisik hati Lidya sendiri, kini menjadi karibnya sendiri. “Teeet…teeet..teet “ Dering handphone yang sejak sore tadi terbungkam dingin, kini membangunkan Lydia, yang sudah mulai terhisap pada setiap lekukan springbed bersprei merah jambu. “Hallo Lidya ! “, dari speaker hp-nya melenting begitu saja suara teman karibnya, yang serasa tahu betul apa yang hinggap di hati Lydia kini. “Oh Aya.! Syukurlah kamu ngebel aku, dalam kamar sejak sore tadi. Rasanya aku seperti lagi menunggu hukuman gantung ! “ 

“Ada apa Lidya ?. Kok kamu ngaco gitu, sih !” Teriak Soraya, temen yang ganjen dan sudah sejak SMA dulu menjadi karib sejati Lidya. “Nggak tahu aku Aya !. Sejak sore tadi aku gelisah, sebenarnya sih ingin enjoy!, tapi aku bingung harus bagaimana ?”. “Heeh, kamu kan bukan ABG lagi, kamu sekarang bu dokter muda, yang sebentar lagi bakal menangani pasien di daerah terpencil, terus kalau kamu galau kaya gitu, eh bisa-bisa seluruh pasienmu mati dong, Lidya!” “Ah ada aja kamu !, justru itu Aya !, setelah aku lulus koskap dan harus bertugas sebagai dokter, aku semakin merasakan arti hidup ini. Aku nggak akan terus seperti ini kan?, ah aku nggak tahu Aya !”

 “Lidya, mesti kamu lagi kesepian, iya kan ?. Kamu kangen sama Aldo ?, yang baru saja kau campakan !”. Ucapan Soraya dari balik speaker hp, layaknya sebuah anak panah yang tajam dan menusuk jauh ke dalam jantung hati Lidya, Apakah diriku bersalah ? 3 bila diriku kini mengharapkan Aldo?, yang justru baru saja aku tepiskan segalanya. Hingga Aldo pria yang punya lifestyle suka hidup bebas, kini telah terbang entah ke mana, Lidyapun tidak tahu. Kenapa aku mengharapnya kini ?, seperti menawan Aldo dalam rajutan kain sutra.

 “Halloo…hallooo !, Lidya ..Lidya !, kamu lagi sensitif malam ini ?. OK Lidya sorry ya !!!” “Halo , Soraya !, nggak apa apa kok !. Aku hanya konyol saja malam ini ?” “Lidya !, seperti kataku dulu waktu kamu curhat sama aku. Aldo sebenarnya pria yang lembut dan dewasa, hanya dia memang susah diatur. Sebenarnya dia bisa kok menjadi suami yang baik untuk kamu. Tapi gimana lagi Lidya,! kamu harus kukuh dalam meniti karir sebagai dokter. Aku harap kamu mampu menjadi dokter sekaligus istri yang baik untuk suamimu nanti yang lebih baik dari Aldo “ 

“Makasih, ya Aya!. Kamu pernah jumpa Aldo belakangan ini ?” “Nggak pernah, Sudahlah Lidya !, sekarang lupakan saja dia, di depanmu kini menanti jalan karir yang panjang, OK deh Lidya lain waktu kita jumpa lagi. Met malam, ya !” Kamar tidur itu kembali lagi membius Lidya dalam dingin dan sepi, ornament yang melekat di dinding kamarnya yang penuh variasi warna dan bergurat gaya Italia kini tak mampu lagi menghidupkan hatinya. 

Di tengah kegalauannya, Lidya sebenarnya masih menyelipkan sebuah perasaan kodrati sebagai perempuan, yaitu sebuah hasrat membutuhkan kehadiran pendamping pria yang mampu melabuhkan perasaan kodrati itu. Sebagus apapun karirnya nanti dia tetap tidak mampu mengenyahkan perasaan itu. Kini semua yang dilihat dalam kamar menjadi samar dan menghilang, tinggalah kini Lidya yang direnggut mimpi mimpi indah. *** Pagi berkabut menyelimuti Kota Jakarta, setelah semalam dibasahi gerimis, batang batang perdupun menjadi terbujur dingin. Tak ada lagi nyanyian burung Pipit, Kenari dan Kutilang di kota yang garang dan beringas seperti Jakarta. 

Apalagi angin musim penghujan bertiup agak kencang dan menjinjing rasa dingin . Namun bagi manusia yang 4 masih memiliki sebilah nafas dan deru jantung, mereka tetap menjemput hidup ini meski di tengah cuaca yang tak ramah seperti pagi ini. Lidyapun bergegas menjemput hidup di pagi ini dengan wajah yang dilipat. 

Karena pagi ini dia harus mengurus berbagai surat ke Kementrian Kesehatan untuk tugasnya ke Bengkulu dalam waktu dekat. Apalagi wajah pagi kali inipun tidak mampu lagi mengusiknya untuk merajut senyum ceria, meski sarapan pagi untuknya telah siap dan telah lama menanti. Namun semua sarapan paginya kini hanya diterkam dengan sorot mata yang dingin, hanya beberapa teguk teh hangat manis yang membasahi kerongkonganya. 

Sementara hatinyapun terbang entah ke mana, hanya Lidya yang tahu. Perasaan aneh pada Lidyapun segera dapat dibaca oleh maminya yang sekarang duduk di depanya dan sekali sekali menyapu seluruh wajah Lidya yang pucat dengan pandangan yang lembut dan hasrat untuk menelisik perasaan putri sulungnya. “Lidya !, seharusnya kamu bahagia saat saat ini, kamu berhasil lulus menjadi dokter dan mampu meraih prestasi lulusan terbaik. Mama dan papa juga ikut senang. Apalagi kamu berhasil mendapat ikatan dinas menjadi dokter ASN  dan kamu mau menerimanya kan ?, meski harus ke Bengkulu. Tapi kamu beberapa hari ini kelihatan suntruk , ada apa Lidya ?”.

 “Ah, mami. Biarin saja mam !!, ini urusan Lidya kok dan Lidya bisa mengatasi sendiri “. Separo dari teh hangat kini sudah direguk oleh Lidya, namun sarapan yang ada di depanya masih dibiarkan Lidya hingga bertambah dingin. Lidyapun tidak mau maminya mengusik privasi yang ada di hatinya. 
 Apalagi bila maminya tahu bahwa yang mampu menghangatkan hatinya yang membujur kaku, hanyalah Aldo, bukanya Albert yang kehadiran di sisinya sangat diharapkan oleh mami dan papi Lidya. “Tapi, kamu kan sebentar lagi tugas di Bengkulu. Kalau kamu sakit, papa jelas tidak setuju !.” “Aku baik baik saja, mam ?” “Apa kamu kesepian ?. Setelah Aldo kamu putuskan !” “Mam !, Lidya bukan anak kecil lagi, mami hargai dong ! privasi Lidya !” 

 Suara batuk batuk kecil tapi agak dalam, terdengar hingga tiap sudut ruang makan. Suara batuk itu berasal dari Pramono, papi Lidya yang belum mampu meninggalkan kebiasaan merokoknya. Lelaki separo baya itu merasa keberatan bila Lidya harus tugas ke Bengkulu sebagai dokter puskesmas. Pramono lebih memilih Lidya segera membantu papinya dalam mengembangkan konglomerasi Pramono Group. Pramonopun berambisi menempatkan Lidya, putra sulungnya sebagai staf direksi untuk menekuni manajerial di perusahaan besar milik papinya. Tapi apa mau dikata Lidya lebih menyukai menjadi dokter di daerah terpencil, dengan alasan sebuah kepedulian dengan sesama dan ambisi untuk mendalami ilmu kedokteran. 

Dalam ambisinya yang mengental sekeras batu, Pramono akrab dengan Albert Harjo Wongso, direktur muda sekaligus putra mahkota Raja Baja Indonesia yang masih lajang. Meski Albert, seorang direktur yang usianya jauh di bawahnya, namun kemampuan dalam memanage perusahaan besarnya sungguh brillian. Terbukti dengan tangan diingin dan langkah strategis Albert mampu mengembangkan Wongso Group, yang bergerak di bidang jasa baja dari hilir hingga hulu. 

Dari ide ide cemerlang Albert inilah, Pramono memiliki ambisi untuk mengembangkan sayap Pramono Group, dan Lidya telah menjadi pilihan hatinya untuk menjadi central direksi di groupnya. Sebersit ide cemerlang telah menghantui Pramono dari waktu ke waktu, untuk mempertemukan Albert dengan putri sulungnya, guna melancarkan ambisinya sekaligus menyiapkan masa depan semua putra putranya. Namun hasrat itu telah sirna karena kehadiran Aldo, pria yang dianggapnya tidak punya visi hidup. Apalagi dengan rencana Lidya yang berambisi menjadi dokter puskesmas di Bengkulu. 

“Lidya !, kamu sakit ?”. Dengan penuh kelembutan papanya menyapa Lidya di pagi hari yang sudah mulai dipenuhi sinar kuning mentari. “Nggak pap !, Lidya hanya lagi tidak selera hari ini “ “Kamu sepertinya sedang memikirkan sesuatu?. Tuh lihat adik adikmu sarapan hari ini dengan penuh selera “. Papi Lidya berusaha menghibur Lidya, yang kini berada di tengah ke dua adiknya yang lahap menikmati sarapan paginya dengan nasi hangat dan ayam goreng yang dibumbui dengan saos tomat. “Sudah ada kabar!, kapan kamu berangkat ke Bengkulu ?’

 “Belum tahu pap, hari ini Lidya coba menanyakan surat tugasnya ke kementrian !” 6 “Kok belum selesai sih surat tugasnya ?” “Nggak tahu!, pap. Lidya juga bingung! “ “Lidya, mengapa mesti harus ke Bengkulu ?. Kalau kamu berambisi ingin jadi dokter yang sukses, mudah bagi papimu memasukan kamu ke Cipto sambil mengambil spesialis di UI. Pikirkan dulu, sebelum kamu ke Bengkulu “ “Iya, Lidya!, papi juga sependapat dengan mama. Kalau kamu tidak pengin membantu papa di perusahaan, ya OK lah !. Tapi mengapa harus ke Bengkulu ?”

 “Piss mam, jangan ungkit ungkit lagi masalah itu . Nanti juga ujung ujungnya ke Albert, Lidya jadi pusing !” “Lidya !, papa sama sekali tidak melarangmu ke Bengkulu, toh kalau naik pesawat dari Jakarta nggak ada 1 jam. Tapi apa kamu bisa tahan menghadapi tantangan di sana?. Kalau tugasmu di puskesmas daerah Jakarta papa tidak ambil pusing” 

“Papa mama inginkan punya putra putra yang mandiri ?. Maka itu papa!, Lidya hanya ingin belajar sebuah kemandirian dan makna hidup. Lidya masih ingat, sejak dari TK hingga sekarang Lidya berkubang dengan kecukupan apapun. Lidya ingin mandiri di tengah masyarakat desa yang terpencil, barangkali disanalah Lidya menemui makna hidup “ Tidak ada satu katapun yang keluar dari mulut mama dan papanya, hanya peluk cium yang dia dapatkan dari kedua adik Lidya yang minta pamit berangkat sekolah. Lidyapun minta pamit pada mama dan papanya yang terkadang merasa kasihan sekaligus merasa kagum dengan visi hidup putra sulung mereka. Namun perasaan risau papanya masih saja bersemayam di dadanya. 

Mengapa perjodohan Albert dan putrinya belum menjadi kenyataan. 
*** 
Mobil sedan warna merah metalik masih menderukan mesinya dan tak lama kemudian membisu. Lidya keluar dari mobilnya yang diparkir di halaman Genius Café tempat dirinya mangkal bersama sokib sokib lainya saat masih kuliah di Fakultas Kedokteran UI. Sudah agak lama Lidya tidak menjenguk café itu, namun beberapa bartendernya masih jelas mengenalinya. 7 “Non Lidya, sekarang bertambah cantik, tapi kok agak kurusan sedikit “ 

“Makasih Icca, bagaimana kabar kamu. Masih betah kerja di sini ?” “Aku baik baik Mba, ya habis mau kerja di mana lagi, mba. Ah disini juga lumayan mba ? bisa untuk membeli susu anaku “ “Oh kamu sudah marriage ya !. Selamat ya !” “Makasih mba, oh ya Aldo juga nasih sering ke sini mba ?’ Icca tabpa sengaja mengabarkan tentang Aldo. “Ngapain dia ke sini ?” “Aku nggak tahu, mba. Tapi maaf ya mba ?” “Ya ada apa ?” 

“Ah nanti mba Lidya tersinggung, benar nih ?” “Sure Icca !, aku nggak bakalan tersinggung. Aku dan Aldo kan sekarang hanya sahabat dekat saja “ “Aldo sekarang pacaran dengan Trisnani, katanya sih dia penyanyi. Tapi belakangan ini aku lihat Aldo nggak urakan seperti dulu, dan sebentar lagi katanya mereka mau marriage. Mba belum tahu kabar ini ?”

 “Belum, ya makasih infonya ya Icc, aku ikut bahagia jika Aldo marriage dengan eh siapa saja” Sesaat eksotis café di siang itu menjadi memudar bagi Lidya, setelah sebuah mobil Pajero warna hitam parkir di halaman depan. Mobil itu tidak lain adalah milik Aldo, yang tidak lama kemudian Aldo sudah berada di depan meja bartender, untuk memesan kopi dan Virgin Cake kesukaanya. Aldo pu terperanjat kaget melihat Lidya di sudut meja cafe itu dengan segelas besar air jeruk dan beberapa pengal roti untuk makan siangnya. “Lidya, kamu sudah lama, bagaimana kabarmu ?” “Baik baik saja Aldo, ngapain kamu disini. Bagaimana kabarmu Aldo?” 8 ‘Aku baik baik saja, aku ke sini hanya sekedar membunuh waktu saja. Karena aku belum kerja. Kamu juga ngapain di sini ?” “Aku mau ke kesehatan, tapi tadi lagi meeting, Jadi aku nunggu di sini” “Ngapain ke kesehatan, Lidya ?”

 “Aku mau mengambil surat tugas sekalian SK capeg. Aku ditugaskan di puskesmas terpencil di Bengkulu. Oh ya mumpung kita ketemu, aku pamit ke Bengkulu, sekaligius aku minta doamu semoga aku berhasil “ “Lidya, kamu memang sahabat yang baik hati. Tentu aku terus berdoa untuk sahabatku yang di Bengkulu. Lidya sering kabar kabar dong sa aku kalau ada apa apa ? Sama aku juga akan selalu memberi kabar sama kamu, mama dan papa” 

“Aldo, aku dengar katanya kamu mau marriage?” ‘Aku belum berani ngasih kabar sama kamu, nanti deh kalau semuanya sudah OK. Kamu tidak ganti nomor hp kan ?” Lidya hanya menggelengkan kepalanya, lantaran tidak mampu member jawaban degan lidah yang kelu, tenggorokan yang sesak dan seribu perasaan yang tidak menentu. 

Pria yang ada di depaya kini sama sekali tidak memberikan harapan baru lagi. Pria yang ditawan dalam tirai sutranya kini lepas bagaikan burung dmerpati yang lepas dari sangkarnya. Lidya tambah kokoh berniat pergi ke Bengkulu***