Senin, 07 Juni 2010

Cukup Hanya "SAY HALLO"

Inilah yang dinamakan hidup, bila hati inipun harus selalu berada diantara apa harus aku gapai, atau sebaliknya apa yang harus aku jinjing meski suatu kehampaan, Maka malam selalu aku biarkan agar bertaut dengan kokohnya bibir langit.
Kala bintangpun mencoba untuk melihat buku harian di sudut hatiku, namun aku tengahi dengan sorot mata yang mampu merobohkan ketegaran penjuru langit. Deru dan debu perjalanan hidup ini telah aku sampaikan kepada semua yang masih menyimpan hati, lantaran pula jiwa ini harus meniti pada kodrat yang tergambar di tangan, dan pada seribu ilalang yang memekikan kegetiran ini.
Meski aku ganti dengan gambaran yang berhias kembang warna-warni. Namun tetap saja jiwa ini harus mereguk hasrat. Ketika aku lukiskan dengan tinta yang menggambar suatu kebisuan hanyalah ada gambar wajah manis, yang berkulum ketidak-tahuanku, sempat aku paduka wajah itu dengan renda warna jingga, agar kokoh menghiasi dipinggir kanvas.
Namun wajah itupun menukik dan terbang menembus pekat malam. Sejak saat itu akupun tak berani lagi melihat malam, yang sering kusaksikan bersama dengan badai, deru angin malam yang akan menghempaskanku ke pinggir kegelapan malam. Namun wajah manis masih aku saksikan ketika ruang dadaka meradang yang ingin merindukan isi dunia ini.
“Pras, aku sendiri tak tahu harus berkata apa!”. Satu demi satu kata masih aku ingat, apa yang memang harus terlontar dari mulutnya,
“Hanya sebatas apa yang tersimpan di hatimu, itu saja sudah cukup Tyas !”. Aku jadi bertambah tidak mengerti mengapa ini pula yang aku sampaikan pada Roro Tyas di sebuah senja di tepi padang ilalang, di sudut desa.
“Tapi, aku memang tidak tahu, apakah harus seperti itu Pras ?’
“Tyas !, aku Prasetyo, aku bukan laki-laki yang sembarangan melangkah, apa yang harus aku rengkuh”
Tak ada lagi, jawaban yang datang dari mulut Roro Tyas, demikian pula mulutku ini bagaikan dibelenggu besi baja, hanya diam yang mampu aku lakukan,
Roro Tyaspun hanya mengamati jalan desa yang ada didepanya, sambil mengajaku pulang ke rumah, karena senja telah menapaki wajah langit. Semilir angin gunung mulai menerpa tubuh kami berdua, langkahpun menjadi bertambah cepat. Meski aku menginginkan pertemuan ini terus saja hingga di penghujung malam.
Haripun berlari menyongsong datangnya bulan, dan bulanpun menautkan pada tahun, hingga pada suatu pagi mentari kembali menampakan keceriaanya, menghangatkan sawah yang menguning, kerbau dan sapi yang melenguh, gemercik air sungai di pinggiran rumah. Aku sambut pagi ini dengan asa masih tergenggam di tangan, untuk mengeti lebih jauh hati Roro Tyas,
Sementara tegarnya Bukit Barisan sebatas mata memandang, meninggalkan kesan mencibirkan hatiku yang tidak sekokoh bukit itu. Namun aku tak perduli mesti Tyas harus berkata apa. Inilah kehidupan, yang harus dihadapi dengan kelapangan dada.
“Tyas, coba kamu lihat sebentar lagi kita akan panen raya, semua petani di tanah Minang ini akan berhasil musim ini” aku sodorkan wajahku dengan senyum ceria, agar Tyas juga mampu sepertiku. Bersatu dengan keceriaan pagi di tanah Minang. Keceriaan sepanjang hari di tengah menguningnya padi, hingga terasa mentaripun mulai condong ke barat.
“Tapi aku nggak suka panen ini, Pras !”
“Ah…kau bercanda, Tyas.
“Sungguh, Pras !, Aku serius, keinginan Bapak sudah nggak bisa ditahan lagi” “Keinginan tentang apa? Aku harap tidak ada hubungan dengan cinta kita, Tyas!”
Jantung yang ada di dalam dada ini terasa ditimpa beban yang berat, sehingga terasa sesak. Rasa was was kini menyelmuti hati, seiring dengan denyut nadiku yang menderu tidak teratur.
Pandanganku mulai nanar, melihat wajah Roro Tyas yang menegang, berhias kegelisahan hati dan sorot mata yang hampa, tentu saja memberikan isarat bahwa sesuatu akan menimpa tali hati yag selama ini lembut, penuh gambaran kehalusan insani. Mestikah harus direnggut oleh sesuatu.
“Itulah yang selama ini aku takutkan, Pras!”
“Takut, takut tentang apa, Tyas?, Serahkan pada aku!”
“Ini menyangkut tentang bakti anak kepada ortu, bukan masalah yang harus kamu tangani. Aku sendiri tidak tahu, harus berbuat apa”
“Aku harap kau mau jujur padaku, Tyas”. Lama kedua mata remaja yang memiliki dunia itupun hanya saling pandang, hanya saja mata Tyas mulai basah, pertanda diapun berniat melontarkan kata hatinya pada Prasetyo, pemuda desa yang lama dia kenal, yang hanya memiliki segenggam asa, untuk menapaki kehidupan mereka berdua kelak. “Bapak menyuruhku segera ke Jakarta, untuk melanjutkan studi di Jakarta, aku harus kuliah Pras. Bapak juga berniat mempertemukan semua saudara bapak Ibu yang sekarang masih di Jawa. Entahlah Pras aku tidak berdaya lagi.
Memang sudah lama Bapak rindu dengan saudara saudaranya di Jawa. Kamu kan tahu bahwa Bapak dan Ibuku brasal dari Tanah Jawa”
“Lantas aku harus bagaimana, padahal waktu panen tinggal beberapa hari?” suarakupun mulai tersendat, Sementara angin tenggara mulai bertambah kencang menimbulkan suara daun padi yang semakin nyaring bergesek.
“Biarkan saja aku yang menangis, Pras, kamu kan laki-laki. Aku sudah tahu persis tentang ketabahan kamu”
“Tapi apa yang dapat aku lakukan di sini tanpa kamu”
“Tapi juga aku harus bagaimana?, kita remaja desa yang biasa berbakti pada ortu, yang biasa hidup diatas apa yang kita miliki. Aku harap engkau bersikap dewasa, sama seperti sikap kamu pada adik-adikmu”
“Tapi, ini masalah lain, Tyas”
“Aku yakin pada diri Prasetyo masih sanggup untuk menghadapi ini semua, meski betapa menderitanya sebuah penantian, akupun akan kembali pulang setelah selesai kuliahku”
“Aku percaya sama kamu Tyas, aku belum pernah menjumpai kamu berbohong, yah…sudahlah, kita hanya sesuatu yang belum memiliki apa-apa, meski berat rasa hatiku bila harus jauh dari kamu”.
“Apa aku juga tahan menerima ini semua, Pras !. Aku seorang wanita, Pras!, yang memiliki hati yang lemah. Tapi masih terbesit di hatiku untuk menyongsong masa depan di jaman sekarang. Pras, dewasalah, tunggulah aku sampai aku pulang”.
Suara Roro Tyaspun melemah, pipinya sudah terbasahi air mata. Kini wajah ayu itu telah terbenam pada Pras, yang tiada seberapa kokohnya.
“Pasti, Tyas !, aku hanya pemuda desa, hanya mengerti sawah dan lading, hanya sepintas punya harapan untuk merangkai masa depan bersamamu, namun kini kau pergi”
“Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, aku hanya sementara di Jakarta”
“Tapi bagiku sama saja?”
“Kenapa Pras ?”
“Tentunya Bapak Ibumu akan melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya menyekolahkanmu ke universitas “
“Aku harap tidak, Pras. Aku akan bersikeras agar Bapak Ibu mau menerimamu”
“Ah…itu masalah nanti, perjalanan hidup kita masih panjang. Sudahlah, kita pulang saja, hari mulai gelap”.
Kedua remaja itu melewati pematang sawah dengan tangan mereka saling melekat. Yang jelas dunia dan isinya telah mencatat, adanya sepasang remaja desa yang telah memberanikan diri mencoba mendayung perahu kehidupan di tengah badai yang tak pernah peduli nasib mereka.
Sang waktulah yang kemudian menenggelamkan mereka berdua, pada kodrat-iradat yang telah ditentukan Tuhan yang Kuasa. Hingga tidak terasa sepuluh tahun sudah Prasetyo berpisah dengan Roro Tyas, dengan penantian yang mencekam, karena tanpa selembar suratpun dia terima dari Roro Tyas, yang kini kuliah di fakultas kedokteran di Jakarta.
Namun inilah hidup, pertemuan dan penantian ataupun perpisahan adalah suatu suratan takdir yang mengakrabi kehidupan setiap insan, seperti yang dialami mereka berdua, meski sempat menyisakan kegetiran di kehidupan pemuda desa ini yang sarat dengan kesengsaraan hidup, maka Prasetyopun kini hanya mampu menyandarkan segalanya pada Tuhan yang Diatas.
Barangkali saja Tuhan yang Kuasa berkehendak mempertemukan mereka kembali, saat gempa yang cukup dasyat mengoncang Bumi Minang hingga meluluh-lantakan semua yang ada di atasnya. Pertemuan antara keduanya kinipun tidak bisa dihindari, sama seperti dikala Tyas mengucapkan perpisahan 10 tahun yang lalu, saat Tyas mengucapkan janji untuk sebuah penantian mereka berdua.
Prasetyo kinipun hanya mampu memandang Tyas, dengan segumpal kekecewaan hati. Tyas kini telah menjadi dokter ahli bedah dan bersanding dengan temen kuliah di kedokteran, untuk menguntai jalan hidup bersama.
Prasetyo hanya mampu mengawali dan mengakhiri pertemuan mereka kembali hanya dengan kata “say hallo” dari pemuda desa, yang akrab dengan sawah, padi, kerbau tetapi masih menyisakan keteguhan hati dan jiwa. Yang mengorbankan segalanya demi sebuah ikatan janji, yang dipinta Tyas.
Langit Bumi Minang terus dikungkungi mendung hitam kepriatinan, terlebih bagi Prasetyo yang telah mencoba menemukan hatinya kembali di tengah luluh lantak rumahnya.

Senin, 01 Februari 2010

KEMBANG ARUM DI UJUNG MALAM

Aku belum merasakan  dada yang terbuka
Untuk kau mampu menyelinap dan menyusun mimpimu
Pada jauh hiasan seberkas bunga rampai
Kala warna biru telah kau urai
Menusuk jauh ke jantung yang tiada bersapa lagi

Lalu akupun berganti melapangkan
Setiap rona warna yang aku siapkan
Pada  apa yang aku  tebarkan
Pada gemercik air penyejuk di beranda
Kata hatimu yang selalu saja menembus kekosongan ini

Aku berteriak pada setiapsudut dindingkamarku
Agar engkau mau menapakan lebih kuat lagi
lentik jemarimu pada setia berkas nafas
Yang ingin melambung di ujung pagi

Minggu, 17 Januari 2010

KEPRIHATINAN NURANI SEBAGAI ANAK BANGSA

Sungguh merdu terdengar di telinga kita, kala kita mendengar lagu rayuan pulau kelapa. Dalam syairnya menyiratkan setiap keindahan yang kita miliki selama bernaung di bumi katulistiwa ini. Tergambar di dalamnya kehidupan setiap anak bangsa yang tentram dan damai. Penuh dengan kekayaan alam yang mampu menopang setiap kehidupan kita

Namun apa daya sekarang panasnya lahar yang dimuntahkan gunung api atau panasnya hutan yang terbakar, akan terasa lebih dingin dibanding dengan panasnya para pemimpin nasional / mantan pemimpin nasional yang sekarang sedang berseteru di depan Pansus Hak Angket DPR untuk kasus Bang Centuri , yang saling menyalahkan satu dengan lainnya dan tiada henti – hentinya mendera wajah politik , ekonomi dan sosial dari bangsa dan negara ini di beranda Tahun 2010. Ditambah lagi stimulus-stimulus elite politik / petualang politik yang pandai mengambil kesempatan di tengah suasana panas tersebut

Belum lagi kekisruhan Bang Century terlarutkan dengan temuan siapa dalang yang paling bertanggung jawab terhadap dana bailout sebesar 6 , 7 trilyun Rupiah, kita dikagetkan dengan temuan simbol kekisruhan tatanan moral dan sosial kita , yang menyangkut moral para oknum pejabat kita. Betapa tidak seorang wanita pengusaha sukses yang berstatus narapidana bisa bergaya hidup layaknya tinggal di hotel berbintang , padahal hotel berbintang tersebut adalah kamar LP Pondok Bambu di lantai III. Menurut para saksi mata yang ada, wanita itu di dalam kamar tahanan juga mampu memimpin rapat perusahaannya yang memliki ± 70 ribu karyawan. Wanita itu tidak lain adalah Atalyta Suryani.

Menyikapi fenomena sosial tersebut, terbesitlah dalam benak kita siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan. Lepas dari siapa yang bertangung jawab dengan kasus sepert itu, ada baiknya bila kita menggunakan logika yang mapan, mengapa hal ini perlu kita pertanyakan, karena masalah tersebut adalah mungkin kasus yang kebetulan bisa kita temui. Barangkali di luar masalah ini , masih bisa kita temukan kasus kasus yang lain yang sekali lagi menyangkut masalah kejujuran moral oknum pejabat dan lihainya konglomerat / pengusaha sukses yang bergelimang uang untuk membeli moral para okmum pejabat kita.

Masih dalam koridor perilaku para oknum pejabat kita diatas, sebagai anak bangsa kita bertambah menangsis pilu ketika mendengar laporan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang telah menyerahkan data –data para makelar kasus di Komisi Pemberantasan Hukum lengkap dengan nama, tempat transaksi, kuitansi, tanda terima, alamat dan anak siapa ke Satgas Pembrantasan Hukum , Rabu 13 Januari 2010. Lebih lanjut Beliau juga melaporkan bahwa keterlibatan oknum pejabat di KPK tidak tanggung – tanggung dilakukan oleh jajaran aparat KPK dari mulai deputi hingga ke jajaran di bawahnya.

Lantas apabila kita menghaapi kondisi semacam ini bagaimana bisa tercipta iklim Supremasi Hukum yang kita damba-dambakan bersama. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa hukum adalah Lembaga Regulatif yang berfungsi multiguna dalam menciptakan kestabilan sosial, politik, ekonomi dan setiap unsur kehidupan lainnya yang bernaung dalam suatu kesatuan negara. Apabila hal ini telah nodai hanya untuk kepentingan
pribadi, maka tentu saja akan tumpul pranata hukum tersebut, yang pada giliranya akan melumpuhkan setiap dinamika Bangsa Indonesia di dalam perjalanan menuju era masa depan yang kita damba-dambakan.

Lumpuhnya sebuah negara besar, yang memiliki wlayah geografis dari Sabang hingga Merauke, yang memiliki pulau sebanyak 17.504 buah, memiliki luas wilayah ± 5. 250. 053 km 2 ( Wikipedia, 2004 ) dan
berpenduduk lebih dari 200 juta penduduk serta memiliki suku bangsa sejumlah 316 suku bangsa yang hidup saling berdampingan mesra, tentunya akan sama dengan lumpuhnya suatu Raksasa.

Bukankah dalam sejarah perkembangan bangsa ini selalu dihadapkan pada kebesaranya sejak jaman Majapahit hingga jaman Soekarno, yang disegani oleh bangsa- bangsa di Asia. Namun kebalikan dengan kenyataan yang aa di era sekarang, berdasarkan data yang diperleh dari survey Dirjen Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan melaporkan bahwa sebanyak 70 juta penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Kondisi ini bisa kita jadkan suatu barometer analisis sosial masyarakat kita, bahwa untuk kebutuhan yang vital saja kita masih jauh dari sejahtera.

Sementara itu para oknum pejabat baik tingkat mentri / mantan menteri hingga bupati dan walikota kepala daerah banyak yang terlah terbukti menggasak uang negara hingga milyaran rupiah. Tentu saja kesenjangan semacam ini akan menghambat hjubungan serasi antar klas sosial sebagai modal dasar untuk menyeragamkan sinergi dalam menggapai masa depan yang kita inginkan.

Namun marilah kita bersama mengambil tindakan yang sigap, bijak dan jernih dalam mengurai satu demi satu krisis multidimensional yang menghanyutkan kita hingga menjadi tertinggal jauh dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita beri kesempatan kepada setiap insttusi yang berwenang menyelesaikan permasalahnya secara porposional dan profesional, sehingga satu demi satu krisis yang ada tidak meluas hingga terjadinya social conflict yang parah. Sehingga perlahan lahan daun pohon nyiur yang berdiri di sepanjang garis pantai sejauh 54.700 Km akan melambai lagi. Kembali terdengar lagu merdu Rayuan Pulau Kelapa.