Sabtu, 28 Mei 2011

Lifeshow TV Yang Miskin Kepedulian Sosial


Persaingan tajam antara beberapa stasiun tv nasional demi memuaskan pemirsa dan meraup keuntungan komersial, nampaknya semakin menjadi jadi belakangan ini. Para tim kreatif dari beberapa stasiun tv tersebut, telah tidak tanggung tanggung merancang jenis tayangan “surprise”, road show, kompetisi “staying-home”, karnaval sejumlah artis beken nasional dan lain sebagainua, yang diselenggarakan di kota kota seluruh Indonesia, yang tentunya menghabiskan dan menghamburkan dana milyaran rupiah dari pihak sponsor..

Tentu saja kita dapau mengambil kesimpulan, bahwa memang demikian “life-style” masyarakat Indonesia modern, yang telah menjadi keranjingan terhadap type tayangan entertainmen yang glamour dan spectakuler, yang ditayang langsung dari siang hingga malam. Tidak tanggung tanggung lagi konsumen acara spectakuler inipun bervariasi dari para remaja anak kita hingga ibu runah tangga. Karuan saja rating acara acara komersial ini menjadi tinggi dan gayungpun bersambung. Pihak sponsorpun menjadi semakin berani merogoh kocek lebih dalam lagi demi sukses penjualan produk mereka. Tayangan entertainment komersialp[un semakin berani dan gila-gilaan.

Memang menjadi hak setiap pihak menajement stasiun tv swasta yang eksis untuk menyuguhkan tayangan mega glamour langsung, dari panggung hiburan itu, yang memang membutuhkan pasokan dana demi operasonal publikasinya. Namun seberkas gambaran refleksi di balik ini semua bisa kita dapatkan, yaitu sebuah refleksi berkurangnya sifat kepedulian social komunitas tersebut terhadap meradangnya sebagian besar masyarakat Indonesia yang dirundung kemiskinan.

Dalam suatu masyarakat super multicultural yang melekat pada sejumah kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia, kesenjangan yang terus melebar, karena tidak adanya konsep penanggulangan kesenjangan yang jitu, maka fragmentasi sosialpun bisa terjadi secara tajam dan mengkristal. Stimulus ini bakalan terus melaju sejakan dengan hedonisme yang terus menerjang masyarakat kita. Bukankah hal ini sering kita cermati di tayangan media tentang hedonisme para oknum koruptor.

Oleh karena itu, wajar saja bila tindak demo anarkis, angka krimaniltas dan perilaku abnormalitas masuarakat social terus terjadi. Lain halnya bila kita sepakati bersama malalui mediasi institusi penertiban siaran media elektronik, yang terus mengawal tv swasta untuk menyelipkan nilai moralitas dan kepedulian social bagi yang membutuhkan. Apalagi telah kita ketahui bersama bahwa dengan adanya kemampuan publikasi stasiun TV swasta yang menasional, maka tayangan super komersial itupun dapat dikonsumsi masyarakat di seluruh pelosok tanah air baik si kaya ataupun si miskin.

Tayangan semacam tersebut di atas, memang dengan mudah mampu mengumpilkan public dengan jumlah yang besar, ;angsung, spontan dan efektif Karena itu, acara yang dipublis menjadi road dan liveshow adalah acara yang banyak digunakan oleh banyak pemerintah daerah kota besar untuk memperingati HUT Kelahiran kota kota besar seantero nusantara. Lengkap dengan acara pendukungnya. Namun pemda kota setempat, telah menepiskan langkah strategis dan vital demi pengentasan si miskin yang signifikan. Mereka lebih mengedepankan glamour acara ulang tahun tersebut, dengan tentunya menonjolkan figure kepala daerahnya, agar lebih terpatri di hati rakyatnya,sehingga mampu terus eksis diterima masyarakatnya.

Akan lebih bijak lagi, bila tayangan super komersiil di kurangi frekuensinya, besar nya event dan acara acara pendukung yang sangat menyedot dana ratusan juta rupiah. Dana yang terhambur akan lebih berarti lagi untuk merekonstruksi dan merevitalisasikan infrastuktur strategis guna pembangunan ekonomi si kecil. Sehingga sedikit banyaknya msmpu mrnjadi obat hati bagi saudara saudara kita yang masih mederita dan terbelakang dalam segala hal dibanding dengan bangsa lain. Seperti kita ketahui, nahwa Human Development Indeks untuk orang Indonesia telah menempati urutan ke 161, di bawah Vietnam, yang medeka pada tahun 70-an.

Memang telalu pelik apabila kita korelasikan antara dunia megah megahan entertainment dengan kompetensi masyarakat Indonesia. Namun stmulir pergeseran social yang mengarah ke konsumsitifisme suatu masyarakat bisa dibendung dengan “dunia panggung hiburan” yang diredam lajunya, seingga terhindar dari gila gilaan. Aspek lain yang patut kita cermati, adalah interaksi semua komponen dalam masyarakay Indomesia yang
mengusung perilaku saling mengedepankan keopedulian sesama masyarakat Indonesia.

Maka suatu keputusan yang bijaksana bila kita selipkan setiap tayangan TV swasta yang memiliki rating tinggi dengan pencerahan moral untuk anak bangsa yang sedang mengalami krisis ideologis, daya beli, pendidikan, lapangan kerja, pencurangan terhadap uang Negara, kepedulian sesama dan lain sebagainya/


Pondok Sastra HASTI Semarang

Rabu, 13 April 2011

Kerajaan Phyton






Di bawah Bukit Tidar, telah ratusan tahun terjadi sesuatu yang menakjubkan dan tiada seorang manusiapun yang mengetahui hal tersebut. Kejadian ini hanya dilakukan oleh sekelompok makhluk hidup yang hidup menyendiri dan terbebas dari kerusakan lingkungan yang terjadi di lereng Bukit Tidar ataupun kawasan lainnya. Makhluk hidup tersebut tidak pernah berdekatan dengan penghuni bumi, terutama manusia dan antara mereka bahu membahu saling bekerja sama demi kehidupan mereka sendiri, mereka melakukan itu semua karena terdesak oleh manusia yang tamak sejak awal milineum ke-3. Mereka membuat lobang lobang gua yang panjang hingga puluhan km dengan mulut gua berada dekat puncak Gunung Merapi yang masih terpencil.

Sementara itu sudah beberapa dasawarsa wilayah Bukit Tidar terlepas dari perhatian Mr. DevilMan, sedangkan wilayah lainnya sudah rusak parah akibat ketamakan Mr. DevilMan. Wilayah yang dulu dinamakan Kota Semarang, sekarang sudah rata dengan tanah dan rusak parah penuh dengan galian tambang dan dampak ledakan bawah tanah.

Kendaraan berat sudah berdatangan ke kawasan Bukit Tidar, sebentar sebentar terdengar deru mesin pasukan pasukan Mr DevilMan yang garang tanpa mengenal belas kasihan. Tanpa meminta ijin kepada tuan rumah, mereka langsung meratakan banginan rumah mereka demi kepentingan GangMonster, demikian masyarakat Pulau Jawa memberi nama pada pasukan Mr. DevilMan.

Hari demi hari di kawasan Bukit Tidar hanya terdengar suara ledakan senjata laser untuk menghancurkan lapisan lapisan tanah yang ada di bawah permukaan bumi. Suara bising dan getaran bumi telah membuat machluk machluk tersebut menjadi panik dan ganas, siap mematuk dan melilit bahkan melahap siapa saja manusia yang mengganggu ketentraman mereka. Mereka tidak lain adalah sekelompok phyton raksasa yang hidup ratusan tahun. Mereka sebelum kedatangan Mr DevilMan hidup dengan tentram dan damai, sehingga mereka mampu berkembang biak menjadi ribuan jumlahnya, dan bertambah luas pula gua gua yang menjadi pemukiman mereka. Bahkan pada saat bencana besar meletusnya Anak Gunung Krakatau pada tanggal 15 Maret 2216, sebagian besar mereka berhasil bertahan hidup.

Kepala mereka kini ditegakan, lidah mereka sudah terjulurkan dan ekor mereka siap melibas siapa saja yang berani mengganggu ketentraman mereka. Sedangkan di luar sana, sebagian besar ilmuwan GangMonster telah berputus asa, karena kandungan mineral dan energi yang dibutuhkan GangMonster untuk dieksport ke seluruh dunia ditemukan dalam jumlah yang sedikit. Kekesalan ini rupanya sampai di meja Mr. DevilMan yang dengan penuh kecewa segera melaju ke Bukit Tidar dengan disertai ratusan pasukan pengawal setianya.

Mr. DevilMan dengan penuh murka mengusir semua penghuni Bukit Tidar dengan kasar. Termasuk sahabat sahabat Galang yang mengikuti orang tua mereka masing masing.

Kecuali Galang, Rush, Smart dan BraveMan yang tetap tinggal karena mereka semua tidak memiliki siapa siapa lagi, kecuali Bukit Tidar tempat kelahiran mereka. Ke lima anak setengah robot itu hanya bisa menangis, apalagi setelah gang itu memasang bahan peledak yang kuat sekali, untuk meruntuhkan lempeng lempeng bumi di bawah sana, agar mampu mendapatkan zat zat langka yang berharga mahal.

Merasakan Bumi Tidar yang berguncang hebat, kelima anak anak setengah robot itupun menjadi takut, dengan perasaan yang sedih dan kecewa, mereka akhirnyapun menyingkir jauh jauh dari Sapta Arga, tempat GangMonster bermarkas. Namun hati kelima anak malang itu tetap tak mampu meninggalkan Bukit Tidar, tempat mereka lahir, bermain dan menjalin persahabatan, meski sekarang tanpa kehadiran Mei Lan, Albert dan anak robot dari Merkurius MerCy -212, yang sudah agak lama meninggalkan mereka.

***
2
“Aku merindukan Tidar” sendu Rush, terdengar memenuhi padang tak berpohon tempat mereka berlima beristirahat di suatu sore dalam perjalanan tak tentu arah.

“Kini kita sudah tidak punya siapa siapa lagi, sahabatku !. Lupakan rumah kita, kini padang gersang ini jadi milik kita, Bukan kali ini saja kita mengalami seperti ini Rush ?”

“Aku tahu, Galang !. Tapi untuk meninggalkan rumah, aku belum mampu, kawan !”

“Terus apa yang dapat kamu perbuat, kawanku……? “ Sahut Galang yang tidak sempat meneruskan kata katanya , karena padang yang mereka duduki telah bergetar hebat dengan retakan retakan tanah menganga di sana sini. Mereka semua telah kehilangan keberanian menghadapi itu semua.

“ Lari !!!!!..cari tempat aman…ikuti aku….!!!!!” Teriak Galang yang berlari sekuat tenaga menuju tepian padang yang masih terdapat naungan beton beton kokoh.

Getaran bumi yang begitu kuat, karena ulah Mr. DevilMan belum semuanya membuat kepanikan petualang malang itu. Tidak berapa lama, sesuatu yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya dan membuat tubuh mereka semua seakan tak bertenaga lagi.

“Galang, lihat !!!, dari retakan tanah itu muncul ular ular besar dengan kepala tegak, aku takut Galang !” teriak Smart seraya memeluk tubuh Galang yang diikuti oleh semua sahabatnya. Sehingga ke lima anak anak robot itu kini hanya bisa saling berpelukan.

“Aku tidak tahu, aku harus berbuat apa. Sementara kita jangan bergerak…ular bisa melacak musuhnya dari gerakan kita. Mumpung mereka masih jauh, kita jangan bergerak” pinta Galang yang disambut setuju mereka semua.


“Galang, aku punya pendapat…kita cari akal…bagaimana mengetahui bahasa mereka. Sehingga kita bisa berkomunikasi dengan ular ular itu “ pendapat BraveMan cukup masuk akal juga.

“ Siapa yang mengerti bahasa ular, atau frekuensi gelombang yang bisa ditangkap otak mereka “ seru Galang.

“Bukankah MerCy bisa melakukan itu ?“ Smart mencoba mengemukakan pendapatnya.

“ Oh, aku lupa …oh ya..MerCy mampu melakukan itu !. Tunggu, teman teman aku akan coba kontak dengan MerCy” jawab Galang.

“Cepat kau lakukan Galang, mereka bertambah dekat “ desak Rush.


Ulat ular yang jumlahnya ratusan dengan beberapa diantaranya berukuran raksasa, kini tepat beberapa meter di depan ke 5 petualang kecil itu, yang sedang saling berpelukan dengan seluruh tubuh gemetar. Namun ular ular itu seakan-akan tahu bahwa mereka berlima adalah penghuni Tidar dari bau yang ditangkap indera ular ular tersebut. Ular ular itu semua kini menunjatuhkan kepala mereka masing masing ke tanah, namun tubuh mereka masih bergerak terus, seakan akan mereka hendak menyampaikan sesuatu.

Kilauan sinar dari atmosfer dengan cepat meluncur di depan mereka berlima, setelah pudar silau sinarya, tampaklah Robot MerCy-212, yang mengetahui sahabat sahabatnya dari bumi sedang dilanda ketakutan yang mencekam.

“Baiklah, Galang, aku akan mencoba merekam pembicaraan mereka dan dari memoriku, aku bisa mengetahui bahasa mereka,…yang di planetku tidak ada, aku baru melihat pemandangan seperti ini. Baiklah, teman teman…tunggu sebentar !”


3
Mereka berlima menjadi saling berpandangan dengan tangan mereka masih bergandengan satu sama lain. Hati mereka masih diliputi perasaan yang tidak menentu dan berharap cemas semoga teman dari Merkurius itu mampu mengatasi phyton raksasa yang sungguh sangat menakutkan.

“Mengapa kamu takut dengan mereka, mereka tidak akan menerkamu ?” Seru MerCy

“Jelas, aku tidak tahu kalau mereka tak berniat jahat, aku tidak tahu bahasa mereka” jawab Rush.

“Baiklah teman teman, kamu bisa berbicara dengan mereka melalui aku, Karena aku bisa menerjemahkan bahasa kamu dan ular itu, nah Galang!, apa pesan kamu untuk mereka !”

“Sampaikan..Mer ? Selama beratus tahun masyarakat Tidar tidak pernah mengganggu mereka, maka tolong jangan menyerang kami berlima dan masyarakat Tidar yang nekad tidak mengungsi.Mereka semua tak bersalah “

“Galang !, mereka tahu semua itu, mereka bisa membedakan dari bau yang mereka kenal selama ratusan tahun. Maka kau sekarang aman di sini atau bila kau mau kembali ke rumah masing masing”

“Aku takut pulang kerumah aku “ BraveMan mengungkapkan kesedihanya pada robot Merkurius.
“Mengapa…Brave ?” Tanya Mer.
“Kami diancam oleh GangMonster, bila kami kembali ke Sapta Arga.
“Oh..itu masalah mudah bagi Laskar Phyton, mereka bisa dengan gampang menerkam satu demi satu GangMonster” jawab Mer
“Oh..jangan diterkam…kasihan, mereka ditakuti saja, kecuali kalau mereka menyerang Laskar Phyton”
“Baik Galang, akan aku sampaikan pada mereka “
“Sampaikan pula pada mereka, Mer ?” pinta BraveMan.
“Apa pesan kamu ?”
“GangMonster sangat berbahaya. Mereka juga bersenjat laser. Sehingga mereka dengan mudah bisa menghancurkan Laskar Phyton. Seranglah mereka di malam hari, sehingga mereka akan panik dan lari tunggang langgang”
“Baik Brave, temanku. Akan aku sampaikan “

Mereka berlima sudah bisa bernafas dengan lega, dan kini mereka duduk melingkari Mer. Meski tubuh raksasa Laskar Laskar Phyton sudah mulai menyentuh tubuh mereka dan sebagian lagi melingkar di tubuh petualang petualang malang itu, sebagai tanda mereka menerima persahabatan dengan anak setengah robot dari Bukit Tidar.

“Galang ! dan semua temanku, mereka menerima permintaan kamu semua. Perlu diketahui juga, meski mereka hanya Phyton, tapi mereka telah mengalami mutasi hingga mereka bukan lagi Phyton di masa lalu. Merekapun mampu menghadapi GangMonster itu, kalian semua jangan kuatir. Nah sekarang mereka semua bersiap kembali ke sarangnya. Sekarang kalian semua ikut aku, kebetulan ortuku sedang beristirahat di Telaga Sarangan, di kaki Gunung Lawu”

Mereka kini bisa tersenyum ceria tanpa menolak permintaan Mer. Sebuah pengalaman baru telah berlalu di hidup mereka.

Kamis, 07 April 2011

Demokrasi Kopi Pahit Pak Guru

Rumah berhias bunga warna warni yang tegak di vas berbagai ukuran itu kelihatan asri. Tanaman bunga berjejer di beranda setinggi setengah badan, sedangkan sebagian lainnya bergantung sepanjang tepi beranda. Sehingga rumah sederhana yang setengah berdinding papan itu tenggelam dalam lautan warna warni kembang. Belum lagi pekarangan rumah yang hanya beralasan rumput taman dengan ketinggian yang sama, terlihat seperti permadani hijau bertepi pagar bambu yang sudah mulai kelihatan lusuh. Di tengah permadani hijau itu, berjejer rapi paving block selebar lebih dari satu meter menuju pintu depan rumah. Sedangkan di tepi tepi pekarangan itu tumbuhlah tanaman tanaman obat dan bumbu dapur, seperti tanaman kunyit, kumis kucing, jahe dan tanaman dapur lainnya.

Sepintas bagi siapa saja yang menapakan kaki di rumah Pak Guru Susanto, akan merasakan kesejukan hati, lantaran suguhan estetika Pak Guru yang setengah baya itu dalam menata rumahnya. Kesejukan hati terasa lebih melekat lagi, bila mereka mendapatkan sambutan sebuah senyuman pak guru, yang gampang terlontarkan pada siapa saja yang berkunjung. Termasuk senyum tulus pak guru kepada Pak RW yang sekali sekali mampir di rumah teman kentalnya yang sudah bertahun dikenalnya, entah hanya iseng saja atau berdiskusi mengenai pembenahan kampung mereka yang masih harus banyak dibenahi. Mereka berdua sering berdiskusi dengan kentalnya, sekental kopi pahit yang mereka nikmati bersama sesudah selesai melakukan kerja bakti bersama.

Tak khayal lagi mereka berdua kini kembali berdiskusi, layaknya anggota dewan yang sedang mencari aspirasi guna memberi advisenya kepada pemerintah, seperti yang terjadi pada Hari Minggu pagi ini. Dengan beberapa teguk kopi pahit saja, pembicaraan mereka terkadang melebihi hasil studi banding wakil rakyat ke negeri sebrang. Apalagi saat hari Minggu ini, beberapa fans pak guru murah senyum itu sengaja mejeng, mirip anak ABG gaul menunggu sang kekasih hati. Tentu saja Pak RW tidak ketinggalan pada suasana pesta kopi pahit di rumah pak guru itu yang layaknya menjadi ajang mendapatkan aspirasi untuk pembangunan wilayahnya.

“Agak lega pikiran saya, Pak Santo !. Hujan sudah mulai berkurang, lantai rumah warga sudah mulai kering. Tapi aku masih kuatir, kadang kadang hujan besar masih bisa turun. Kasihan warga yang rumahnya kebanjiran”, kepedulian Pak RW mengawali “pesta kopi pahit” kesukaan pak guru dan Pak RW. Sementara Pak Burhan, Pak RT kian akrab dengan singkong goreng dan kopi pahit yang menjadi menu yang cocok di Hari Minggu pagi yang masih digayuti awan hitam.

“Pak RW !. aku setuju dengan gagasan yang digosipkan banyak warga, agar kita mem-planing-kan peninggian jalan dan pengerasan saluran warga yang sering mampat di sana sini. Karena yang aku takutkan hanya wabah diare dan virus tukus yang sering
melanda pemukiman yang banjir”, pak guru dengan senyuman yang khas mencoba untuk menyemai gagasan kepada mereka yang duduk melingkar di atas kursi bambu, di bawah pohon mangga yang rindang.

“Aku setuju dengan gagasan pak Santo, hanya kendala kita tetap di dana. Keadan warga kita yang pas pasan jelas tidak mampu mendanai proyek ini” jawab Pak RT.

“Itulah masyarakat kita Pak RT, bayangkan saja sebagian besar warga kita adalah warga tidak mampu, mereka hanya abang becak, pemulung, kuli bangunan dan pengemis, paling banter hanya buruh pabrik Padahal kita bermukim di atas kawasan banjir rob dan hujan. Aku sendiri sangat kuatir dengan penyakit penyakit itu. Bahkan sebagian warga kita sudah ada yang menderita gatal gatal “ Seteguk kopi pahit, kini menyegarkan wajah Pak RW yang dilintasi perasaan prihatin.

“Yaah, itulah kampung kita, banyak sebenarnya yang harus kita perbuat, tapi bila kita saksikan betapa jatuh bangunnya saudara kita yang miskin, kitapun menjadi pesimis untuk membenahinya “ pak guru juga mempunyai nurani yang sama dengan Pak RW.

“Contohnya aku Pak Santo”
“Aku tidak bermaksud menghinamu. Lho, Pak Karim !”
“Memang itu kenyataan, Pak Santo, jadi aku tidak menganggap Pak Santo menghinaku. Sekarang abang becak sepertiku, tidak bisa menjamin penghasilan yang lumayan. Karena keadaan, tapi aku juga punya pendapat, lho !” Pak Karim tidak mau kalah dengan peserta pesta kopi pahit lainnya.

“Pendapat, apa Pak !“ sahut Pak RW
“Meski aku hanya tukang becak, namun aku mau kalau tiap warga ditarik lima ribu per bulan”
“Ya, nanti di rapat RT tolong dikemukakan” pinta Pak RT.
“Bagaimana, Pak Santo ?” kembali Pak Karim mencoba meyakinkan gagasanya itu.
“Oh itu gagasan yang menarik, Pak Karim. Hanya saja, jumlah warga di RW kita berapa ya Pak ?” Tanya Pak Santo pada Pak RW.
“Sekitar 250 warga”
“Jadi tiap bulan kita hanya mampu mendapatkan dana sebesar kira kira satu juta lebih sedikit. Padahal wilayah 1 RW meliputi 12 RT, jelas kapan kita mau selesai. Dengan dana sekecil itu , saya kira kita belum mampu membenahi kampung kita”
“Apa kita naikan menjadi sepuluh ribu, Pak ?”
“Ah, terlalu tinggi, Pak Karim !. Kasihan warga !“
“Betul, Pak Santo, aku juga tidak setuju !’ Pak RW juga menyetujui pendapat Pak Santo, lantaran mereka tahu persis keadaan tetangga tetangganya.

“Atau kita kerjakan semampu kita Pak RW, bertahan meski selesai beberapa tahun mendatang “ usul Pak RT
“Memang, begitulah kemampuan kita Pak RT. Habis mau bagaimana lagi “
“Aku juga sependapat dengan Pak RW, hanya saja iuran warga setidak tidaknya disetujui semua warga. Tetapi kita harus juga mencari cara lain untuk membenahi kampung ini”
“Pak Santo, punya ide lain ?” Tanya Pak Karim.
“Ah..kita sudah terlalu serius, ayo dong habiskan pisang dan singkongnya !”

Pak guru yang murah senyum itu, kembali menawarkan suasana agar lebih rileks lagi, lantaran diskusi anak bangsa yang masih terjerambab dalam kehidupan yang pelik itu menjadi bertambah serius. Pak guru itupun kemudian meningalkan mereka sementara untuk menambah kopi pahit dengan sedikit gula, karena kopi yang ada di eskan sudah mulai mendingin.

“Ayo bapak bapak, kopi pahit ini akan menambah gairah kita untuk menjual ide masing masing”. Ucapan dan senyuman pak guru itu disambut dengan suasana meriah dari yang hadir di situ.

“Pak Santo ada ada saja !” Pak Kalim langsung menuangkan kopi panasnya ke dalam gelasnya yang sudah kosong.
“He.he..trimakasih, Pak Santo !” jawab Pak RW.
“Ah apa sih, cuma kopi pahit saja “ Seloroh Pak Guru Santo, dan dilanjutkan dengan nada pekataan yang serius, namun senyum yang tulus tetap menggurati wajahnya.
“Bapak bapak !, kita harus berbuat sesuatu, tidak mungkin hanya dengan mengandalkan uang warga” Pak Santo memang kelihatan sangat bergairah untuk mengentaskan lingkungan dan masyarakatnya.
“Caranya, bagaimana Pak Santo ?” Tanya Pak RT.
“Pak Santo, dari semua warga di wilayah ini, hanya Pak Santolah yang berpendidikan dan berwawasan luas, sedangkan kami kami ini hanya tenaga kasar, pendidikan kami paling tinggi hanya sampai SMP, maka ide gagasan Pak Santo kami butuhkan” pernyataan Pak RW tersebut hanya disambut senyuman ramah Pak Santo.
“Begini saja, bapak bapak. Wilayah rw kita kan sebenarnya hanya korban dari pembangunan wilayah yang ceroboh. Kita perhatikan dahulu wilayah kita tidak pernah banjir, bahkan seluruh saluran warga bisa berjalan lancar. Namun sekarang. Akibat pembangunan pabrik, hotel dan perkantoran yang semena mena, wilayah kita menjadi tergenang” Pak Santo dengan lancar dan berwibawa menyampaikan makalahnya pada semua hadirin pesta kopi pahit itu.
“Terus, ide Pak Santo bagaimana ?” Tanya Pak RW.


4
“Kampung kita berhak untuk mengajukan diri sebagai kampung binaan. Nanti aku akan minta informasi lebih lanjut ke berbagai pihak. Terutama pengajuan proposal ke DPRD, agar mereka mendesak pemerintah daerah untuk membenahi kampung kita”
“Apa bisa Pak Santo, kita mendapat bantuan pemerintah?” Tanya Pak Karim
“Kenapa tidak ?. Hanya saja aku tidak berjanji, aku hanya mencoba mencari jalan keluar untuk kampung kita yang sebenarnya hanya menjadi korban pembangunan yang menepiskan keserasian lingkungan, habitat dan drainase. Dan sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk ikut membenahi kampung kita. Termasuk juga pengobatan masal oleh berbagai pihak, dari tahun ke tahun selalu ada saja warga kita yang terkena penyakit DB, virus tikus, malaria dan lain sebagainya” Pak Guru Santo tidak meneruskan lagi lagi orasi ilmiahnya, seteguk kopi pahit memberhentikan orasinya itu namun senyum masih saja menghiasi wajahnya yang dipenuhi guratan penderitaan hidup sebagai seorang guru swasta di kotanya.

Semua hadirin pesta kebun itu kini hanya mampu saling pandang satu sama lainnya, seperti tersesat kehilangan arah di tengah padang rumput. Sementara mendung di langit sudah terkikis dihempaskan angin tenggara, tinggalah kini sengatan matahari yang berada tegak lurus di atas kepala mereka, pertanda mereka semua harus minta ijin pulang. Rapat kopi pahit itupun kini usai namun masih menyisakan senyum tulus Pak Guru Susanto.