Rabu, 09 Mei 2012

Debu dan Prahara


Jalan peninggalan Gubernur Jenderal  Herman Willem  Daendels yang melintang di pantai Utara Pulau Jawa dipenuhi debu debu liar dan tak berdaya. Jalan yang peeuh dengan kanvas lukisan sejarah dari jaman ke jaman itu ikut diam membisu meski sinar matahari  siang itu menerkamnya   tanpa ampun. Sama seperti beberapa puluh tahun silam ketika Anjing NICA  menggerus jalan itu untuk terus melaju, menghentakan roda roda besi untuk menghancurkan rumah rumah  beratap rumbai ilalang milik inlander inlander bermata cekung, bertubuh kurus kering dan bersorot mata menantang. Apalagi kedatangan gemuruh roda besi dan pesawat tempur cocor merah justru terjadi setelah Soekarno Hatta meneriakan sebuah kemerdekaan anak bangsa yang hidup dengan separo nafas.

Jalan yang terlihat coklat kehitaman itu terus saja menampakan raut wajahnya yang kelam, meski anjing NICA telah menyelinap menembus Samudra Hindia untuk pulang ke negeri Bunga Tulip itu. Jalan yang melintang di setiap kota di pantai utara itu, sepertinya masih mengaduh kesakitan, entah karena tangan tangan kotor saudagar VOC atau karena gigi taring tajam anak negeri yang menghisap darah darah dari bilik jantung orang orang kecil di negeri ini.Atau karena jalan jalan itu sudah tidak mendengar lagi lolongan Water Mantel 12,7 atau senapan otomatis Thomson milik pejuang yang memberangus anjing penjajah, atau memberangus kebodohan serta dinginya sorot mata mata anak negeri terhadap kepincangan, ketidakpedulian, ketidakadilan dan tabiat kejahatan kerah putih.

Debu debu sepanjang Jalan Daendles di saat ini berceria, renyah tersenyum dan berterbangan ringan dan liar berhamburan dihempas angin kemarau, ditelikung panasnya sinar mentari, tapi tetap tunduk pada kodrat gravitasi yang mencengkeramnya. Meskipun roda roda garang dari beribu tronton, bis dan kendaraan berat lainnya menghempaskanya ke tiap arah. Sebagian lagi hinggap di celana dan baju waita wanita super elit yang hilir mudik menghamburkan uang di mall mall yang menjamur. Sehingga kulit mereka yang sawo matang terlihat bertambah kusam.

Berbeda dengan jaman Herman Willem  Daendels kala masih bercokol di negeri ini. Noni Noni Belanda dengan andong yang ditarik sepasang kuda hilir mudik untuk menghamburkan gulden di rumah rumah makan eksotis dan berarsitektur kincir angin sekedar mengenyangkan perut mereka dengan santapan Huzaren Sla,  Holland Kroket Bitter Ballen atau Stamppot Met Wosrt. Beberapa gelas Netherland Beverage telah mereka reguk dengan tangan tangan usil mereka mengibaskan kipas artistic berbalut kain sutera.Sama sekali mereka tidak memperdulikan perempuan inlander yang menawarkan panganan dari ketan, ubi, singkong rebus, getuk dan panganan inlander lainnya. Meski roda delman yang ditumpanginya telah melindas debu debu jalan milik kaum inlander yang tertunduk lesu, lunglai lengan lenganya dan kosong sorot matanya.
***
2
Tapi itulah jaman, haru biru, prahara yang dilahirkan selalu saja  menyudutkan debu  jalan  Daendels untuk menjadi saksi, entah debu yang merona merah darah lantaran percikan darah dari korban jaman yang saling diberingasi manusia manusia yang menuntut kebenaran, mengencangkan egonya serta mengalahkan lainnya. Termasuk juga tetesan darah pejuang yang tersungkur ditebas peluru anjing NICA. Mereka terus menerbangkan debu Perang Diponegoro, Perang Kemerdekaan I dan II. Bahkan beruang merah yang berniat mencengkeram lengan lengan rapuh dari anak bangsa yang baru saja bangun dari tidurnya setelah 350 tahun bermimpi, ikut pula memerahkan debu debu jaman di negeri tempat mandi bidadari.

Namun kawanan debu kini lebih merapatkan satu sama lain, bukan lantaran “global warming” atau “solar flare “ bahkan bukan pula karena “Supermoon”. Meski cuaca ekstrim telah menambah mereka untuk lebih ringan menempel ke setiap titik tujuan dan menyampaikan pengaduan tentang nasib mereka dan sebuah keluh kesah  tentang birama kehidupan ini. Kawanan debu menjadi bingung tujuh keliling, lantaran mereka terhempas oleh manusia manusia yang berkulit sama, yaitu sawo matang, berhidung pesek serta berbicara denga bahasa sama.

Debu debu jalan Daendels itu sempat memasang telinga mereka dan menyelipkan tubuhnya pada roda becak, kaca gerobag mi ayam, dan tempat terselip lainya untuk mengetahui teriakan nyaring manusia manusia yang terhipnotis untuk berseteru dengan  lainya yang  terus saja menghamburkan enerji dan amarah kepada kawanan manusia lain yang serupa dan diikrarkan menjadi musuh mereka. Musuh yang saling tidak mengetahui satu sama lainnya, mengapa mereka lupa akan makna persahabatan.

“Bakar rumah mereka, bakar apa saja milik mereka “ teriak salah satu manusia yang bermata garang, sambil mengepalkan tinjunya serta berdiri di posisi paling depan. Sementara manusia manusia lainya yang berdiri di belakangnya terus saja melempar apa yang dimiliki ke arah manusia manusia lainya yang bergerombol di sebrang jalan.

“Ayo maju terus..ayo sergap mereka dan usir mereka” sebuah teriakan lantang terdengar.

“Majulah kau manusia laknat, kami tidak takut !” jawab salah satu manusia lain di sebrang jalan, yang bersembunyi di balik barikade dari batang pohon Akasia yang dirobohkan, bangkai mobil yang terbakar. Sementara di atas barikade beterbangan bom molotov dari dua arah. Semua batu dari bebagai ukuran telah mereka usung untuk meliampiaskan kebencian dan kekecewaan pada manusia lainnya yang dianggap jahanam dan durjana, entah dari sisi yang mana, mereka sendiri tidak tahu. Hitam kelam warna
3
wajah mereka semua hampir sama dengan debu debu jalan  Daendels  yang tak pernah diam dan selalu larut dalam prahara yang ditebar manusia, dari jaman Majapahit hingga kini.

Debu debu jalan Daendels  serentak bersama melemparkan pandang ke arah  beberapa manusia yang berseragam sama, yaitu bekemeja coklat muda dan bercelana coklat tua dengan mengibarkan bendera putih, di belakang mereka berjalan perlahan mobil yang memuntahkan suara sirene memekakan telinga. Terdengar suara lantang dari megaphone yang dijinjing manusia yang berdiri di tengah.

“Hentikan, hentikan semuanya saudaraku “

Satu dua bom molotov berjatuhan tidak jauh dari kerumunan orang berbaju coklat itu.
Namun beberapa saat kemudian suasana mencekam menjadi meluruh.

“Kami minta saudara jangan menyerang kami, kami hanya mengajak saudara semua untuk berunding. Majulah ke depanku siapa yang menjadi pemimpin kalian”

Untuk beberapa saat hujan batu dan benda lainya berhenti, hanya teriakan dan pekikan memecah atmosfir siang hari itu. Debu debupun kini mengendap di sembarang tempat dengan tetap memasang telinga mereka. Debu debu jalanan  kini mulai berdiri tegak lantaran telah kembali lagi nyali mereka,  yang sekian lama terpagut prahara yang ditebar dua kelompok manusia.

“Lihat, peperangan ini telah selesai” pekik salah satu debu.

“Belum tentu, mereka tak segampang itu “ jawab debu lainnya.

“He,..darimana kamu tahu ?”

“Aku lihat wajah mereka masih merah merona”  jawab debu yang tadi.

“Ah, sudahlah apa arti debu seperki kita yang terhempas kesana kemari tak punya daya” tutur debu yang berada di tumpukan paling bawah.

Tak lama kemudian semua debu debu jalanan yang mengusung seribu kebimbangan itu menjadi terbungkam seribu kata, tatkala sekelompok manusia dari arah sebelah kiri jalan  mendatangi manusia manusia berseragam coklat, seraya mengibaskan bendera putih. Namun debu debu itupun menjadi tercengang  tatkala pula menyaksikan sekumpulan kepala manusia muncul dari balik barikade yang digelar di sebelah kanan jalan. Mereka kini malah berdiri dengan sorot mata yang masih memendam rasa amarah dan curiga kepada manusia manusia yang muncul dari sebrang jalan mereka. Suasana kembali mencekam dan masih menghantui jalan kota yang meradang bara permusuhan,  terutama bagi  debu debu yang memusari jalan itu.

Detik dan detik terus berlari menembus atmosfer kota yang panas itu, sepanas dua kelompok manusia yang kini berhadapan untuk saling mengumpat, memaki atau bahkan saling menyalahkan tanpa adanya hasrat untuk bersama mencari titik temu, meski matahari telah mulai condong ke barat. Biru langit mulai sedikit gelap, lampu lampu kota telah mulai menyala di sepanjang jalan yang lengang bagai jalan kota mati. Namun kedua kelompok itu masih terus menggulirkan nafsu amarah, meski semua benda keras yang tergenggam di kedua tangan mereka telah mereka serahkan kepada sang juru damai antara mereka. Namun entahlah, hanya matahari fajar esok hari saja yang akan menjadi saksi esok pagi, apa mereka masih menyabung nyawa dengan saudaranya sendiri ataukah mereka akan memulai  kehidpan ini dengan damai, sedamai debu debu jalanan yang sudah tak bertenaga lagi, lunglai dan nestapa di sepanjang jalan mati itu***

Senin, 07 Mei 2012

episode tentang Ketep dan Parangtritis


pesta lampu sang mentari terlipat di balik awan
kelambu kabut hitam kelabu, menyisir  wajah sang Merapi
aku berlari, menyambangi butir demi butir kabut itu
sementara senyumu menerbangkan aku lebih jauh lagi,
untuk singgah di puncak Merapi
untuk menata bilah demi bilah rajutan hari
kau tetap dalam senyum

di Ketep hingga Parangtritis, hari hari itu memingitku
tetap kau hidangkan secawan kasih, bergula ceria
meski tebing tebing Parangtritis membisu angkuh
ombak Laut Selatan tak henti menerkamku
namun mereka hanya mampu bersambang  di bali pasir pantai
aku tetap mengembangkan sayap,
untuk menjenguk cakrawala lembut di balik
bilik jantung
tentang kau dan aku

kau dalam selimut ceria
kau selipkan kembang tujuh warna di telingamu
kau tak  harap istana pasir terpagut ombak
kau hanya bertabur ornamen kasmaran
dalam rengkuhan langit Laut Kidul, dalam nyanyian suka
bocah bertelanjang dada mengejar ombak,

di Ketep kau menggambar latar Merapi
di Parangtritis kau tundukan ombak lautan

(Parangtritis, 6 Mei 2012)


Senin, 02 April 2012

Sajak Duka Anak Negeri


Sekali ini saja

semburat yang legam
menyesakan dada sempit , sekumpulan daun pandan
mengusung “angan binal” hendak meruntuhkan stambul besi
yang menari beriringan gendang parau
sekali lagi bau anyir
kepulan asap terus menghentak jaman,
bagai roda pedati yang gontai,
di alas santun negeri ini

teriakan  “Jangan Melukai Hati Rakyat”
membujur dan melintang tak tentu arah
pada wajah bumi, milik peran “panggung sandiwara”
pada episoda cinta yang hilang
terpagut raksasa seram,
yang muncul dari awan hitam
penghias langit.Namun langit berduri
menghantarkan jalan jalan kota
meradang dalam mata nanar

sementara perlente berkerah sutra
dalam gedung loji mewah berlantai belulang
tak gerah dan menusukan jauh-jauh,
kata kata samar, pada yang tertunduk menghujam bumi

si kecil yang menggayut sarapan pagi
segenggam nasi bisu, dengan lauk meracik pilu
tetap saja tak mampu berselingkuh
dengan hari,
berpagar rambut kuning mentari….(Semarang, 3 April 2012).

Terlanjur beku

tak urung alis mata wajah negeri
ikut merenda centang perentang bibir gincu
tak peduli serpihan “bedak pupur”
menghitami atmosfer bertaut empat penjuru
yang sarat dengan susunan nada pongah
kita tidak semanis semilir angin pantai lagi
kala semua merapikan bait
pantun dan syair tentang tanah negeri
berpagar ratna mutumanikam dalam gendongan
dua musim

hanya karena teriakan nyaring
“Kenaikan Harga BBM”
yang menyedukan angin musim sekumpulan awan
bernada gusar, membekukan pelangi
lurus melintang sepanjang negeri perawan desa
yang sarat senyum tawa seloroh
di sela hamparan padi menguning

kita terlanjur beku
dengan wajah terjerambab layaknya nenek sihir
terus memelentingkan guratan
permusuhan di luar dan dalam gedung loji
secawan the hangat, bermanis gula tebu
seharusnya berjejer di tepi meja
kala kita duduk melingkar dalam tembang dolanan

kita dalam hingar bingar
suara hati tak tentu arah…..(Semarang, 3 April 2012).

Anak Negeri

akulah sang anak negeri
bersiul tembang dalam kermunan kerbau sawah
tak kenal Valentin atau Happy Birthday
tak akrab  dengan lidah Humberger atau Hot Dog
aku hanya mengenal karib
handai taulan atau bunga
di taman halaman rumah
tempat aku membuka jendela
hingga ujung langit negeri “nyiur pantai”
sekali ni saja,
aku hembuskan nasehat emak di kampungku
agar kita rapi bertanam padi dan sayur…..(Semarang, 3 April 2012).