Sabtu, 07 Agustus 2021

Seberkas Rindu

 





Sudah satu hari penuh belum ada sesuap nasipun yang mengisi perut nenek itu. Hanya nafas yang keluar masuk rongga dadanya, yang dia miliki. Selembar hidupnya kuat digayuti kegetiran yang seakan tidak mau meninggalkanya barang sedikitpun. Dinding kardus biliknya yang pengap hingga larut malam ini semakin menyudutkanya, dengan melewatkan angin malam yang menggigit tulang-tulangnya, dari celah sambungan sambngan kardus. Akhirnya sebuah selendang yang rapuh dia raih untuk membalut tubuhnya yang renta itu. Sementara suara deru mobil di atap rumah kardusnya terus menderu, membuat tambah sulitnya dia ynng renta itu untuk tidur di bilik kolong jembatan.

Suara batuk batuk kecil suaminya yang juga telah renta, tiada henti memenuhi rumah kardus itu. Namun terus saja asap mengepul dari tembakau yang terbakar  keluar dari mulutnya. Begitu asiknya lelaki tua itu berulang menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, bahkan kini da tidak segan lagi menghembuskan asap rokoknya beberapa kali tiap dia selesai menghisap rokok lintinganya.  Seakan dari butir asap  dan teer yang keluar dari bibir yang menghitam itu,  sebuah gambaran ia dapatkan tentang Hartini putri satu satunya yang dia dambakan bisa berkumpul dengan dia dan istrinya yang telah renta. Demi sebuah pertemuan ini,  dia rela meninggalkan kampung halamanya, sawah ladang dan rumah setengah tembok untuk berkeliling dari rumah kardus satu ke rumah kardus lainnya di  Jakarta.

Kadang sorot matanya dia tumpahkan dalam dalam ke perlahan arus Sungai Ciliwung yang keruh dan busuk.”Pantas saja air sungai ini busuk dan kelam, karena air sungai ini adalah tumpahan segala kekotoran dari orang orang yang  sebagian diantaranya busuk dan kelam”, gumam dalam hatinya mulai bangkit menembus asap rokok yang tajam.

***

“Di mana Hartini berada, ya bu?” Sartidjo yang belum bisa terlelap ti


dur, kembali mengetuk hasrat yang jauh terpatri di lubuk hatinya, sementara beberapa puluh puntung lintingan rokoknya telah tersebar di depanya. Istrinyapun yang mendengar keluh suaminya itu menggeliatkan tubuhnya dan segera duduk disamping suaminya, membiarkan tubuhnya tersapu angin malam.

“Aneh, pak !, tidak ada satupun manusia kota ini yang membantu kita. Huuuh, ingin rasanya aku pulang ke kampung, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku bisa bertemu dengan Hartini, apakah dia sudah punya suami ?, apakah dia sudah punya anak ?. Kalau aku sudah punya cucu, aku ingin sekali menggedongnya, ah kalau Hartini mau, akan aku ajak pulang dan aku gendong cucuku, aku akan bawa dia jalan jalan keliling kampung. Tapi, di mana alamat anak kita, Pak ?”. Pertanyaan yang sama dengan suaminya, kini diulanginya lagi.

“Aku sudah cape, bu !”

“Cape!!, lantas kapan aku akan ketemu Hartini ?” istrinya menjawab dengan ketus.

“Suatu saat dia kan pulang, bu. Kita tidak perlu menderita seperti ini “

“Sabar, sudah berapa tahun kita menunggu di kampung ?, sudah berapa banyak saudara kita yang kerja di Jakarta mencari Hartini, tapi semua tidak bisa menemukan Hartini”.

“Lakon hidup apa ya bu ?, kita harus menjalani kehidupan seperti ini?”. Istrinya hanya diam membisu. Sementara deru mobil di atas mereka belum juga reda, meski hari sudah hampir pagi. Saat esok nanti mereka  harus meninggalkan rumah kardus itu dan berpindah ke tempat lain, entah kemana dan di tempat mana mereka harus tinggal. Sementara untuk mengisi perut mereka sepanjang perjalanan mencari putri tunggalnya, mereka terpaksa harus mengemis. Itupun bila mereka bisa mendapatkan manusia Jakarta yang masih memiliki rasa iba dengan memberi mereka beberapa uang receh.

***

 Pasutri renta itu segera berlalu begitu saja dari rumah kardus yang didiami hanya beberapa hari. Beberapa potong pakaian mereka yang kumal hanya dibungkus kantong plastik yang tidak seberapa beratnya dan kini bergayut di pundak Sartidjo. Nampak sorot mata yang tegar dan kokoh terpancar dari sepasang manusia yang selama hidupnya hanya didera penderitaan hidup.

 Meski sudah sering mereka menjumpai benturan hidup, namun mereka tidak kuasa menahan gejolak rindu dengan putri tunggalnya yang sudah sepuluh tahun meninggalkan mereka tanpa sebuah kabarpun, hanya beberapa surat yang pernah mereka dapatkan darinya pada tahun tahun pertama Hartini meninggalkan kampung halamanya, yang mengabarkan bahwa Hartini kini tinggal  di Jakarta, bekerja sebagai buruh konveksi milik perorangan. Saat itu Hartini sempat meninggalkan alamat kepada  mereka berdua.

Genap sudah sepuluh tahun Hartini meninggalkan mereka berdua. Namun setelah beberapa hari mereka menjelajah Jakarta mencari alamat Hartini, mereka hanya mendapat jawaban dari beberapa tetangga Hartini, bahwa mereka  sama sekali tidak mengenal nama Hartini. Mereka berduapun terasa seperti tersambar petir di siang hari bolong dan saat itupun memutuskan untuk kembali ke kampung mereka di Semarang, meski uang saku mereka telah menipis. Namun bagi Mutmainah keadaan seperti itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menunda pertemuan dengan putri tunggalnya, hanya dengan bermodal sebuah foto dan beberapa surat Hartini, yang ditulis  beberapa tahun silam.

Akhirnya merekapun harus tinggal berpindah pindah di  rumah kardus, sambil menjelajah tiap sudut Kota Jakarta seperti hari ini. Di tengah gerimis pagi merekapun menyusuri jalan jalan Jakarta, yang agak lengang karena saat itu adalah Hari Minggu.

Mereka kini beristirahat di troktoar yang basah, sambil mengunyah sarapan pagi nasi kucing yang didapat dari pemberian cuma cuma pedagang nasi. Tingkah laku mereka ternyata berhasil menarik beberapa pasang mata ibu ibu yang sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Sorot mata mata kakek  dan nenek menyimpan seribu pertanyaan kala beberapa ibu ibu muda dan cantik yang menjinjing bawaan dalam plastik kresek  mendekati mereka dengan wajah yang ramah dan bersahabat.

“Bapak ibu !, kami membawakan makanan untuk kalian berdua, silakan bu !“

“Oh terimakasih..terimakasih, oh maaf nak, ini kampung mana ?” tanya Mutmainah kepada salah satu ibu yang cukup dekat.

“Ini Duren Tiga, bu. Ibu mau kemana ?” jawab salah satu ibu yang tampak paling tua usianya di banding tiga ibu lainnya yang bersamanya menyambangi sepasang pengemis tua itu.

“Aku tidak kemana mana, nak !.”

“Lho, ibu tersesat ?

“Tidak nak, aku mencari anaku. Ini fotonya !”

“Anak ibu cantik, lho. Terus di mana alamatnya ?“ tanya ibu lainnya.

“Tidak tahu, nak !”

“Aduuh, ibu gimana !. Jakarta luas lho, bu !. Gimana ibu mencarinya ?”

“Kami berdua tidak tahu nak. Kami sudah tiga bulan di Jakarta mencari Hartini. Kami terpaksa tinggal di rumah kardus atau tidur di mesjid dan terminal, kami keluar masuk kampung  kampung untuk mencari anak saya dan terpaksa kami berdua di Jakarta mengemis” sahut Sartidjo kepada kerumunan ibu ibu yang merapatinya.

Ibu ibu yang mendengar penuturan Sartidjo saling melempar pandang, barangkali saja dalam hati mereka semua timbul perasaan kagum, iba sekaligus penasaran. Padahal pertemuan antara anak dan ortu adalah hal yang biasa bagi ibu ibu yang memusari sepasang pengemis renta itu. Mereka mampu memandang wajah sang anak mereka, hampir tiap detik sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu,  mereka ibu ibu muda itu tidak pernah mengalami gejolak rindu yang membakar seluruh peredaran darahnya.

Tetapi bagi pasutri renta yang ada di tengah kerumunan mereka, sebuah rindu ternyata adalah sesuatu yang berharga, melebihi segalanya. Mereka rela meninggalkan sawah ladang, rumah dan harta mereka lainnya demi sebuah pertemuan dengan putri tunggalnya, meski harus dengan petualangan dari rumah kardus satu dengan lainnya, meski hanya tidur di troktoar dan kadang beberapa hari tak sesuap naspuni masuk ke perut mereka, tanpa mengenal masuk angin atau penyakit dalam yang biasa mendera pasutri renta lainnya. Betapa kokohnya hidup dan tekad mereka.

Maka ibu ibu dari berbagai kalangan profesi yang mendengar penuturan kata demi kata sang kakek nenek menjadi  diam,  terpaku dan  membisu menyaksikan sebuah episode hidup yang getir. Hanya beberapa saja dari ibu ibu tersebut, yang memiliki gagasan untuk mengulurkan tangan untuk menemukan buah hati sepasang kakek nenek itu.

“Bapak dan ibu, sementara masuk dulu ke kantor kami, ya!. Kita ingin menolong bapak ibu dan kita perlu bicara lebih dalam lagi dan leluasa, mari ikut kami, bapak !“

“Ibu ini siapa ?” tanya Kartidjo.

“Kami Ibu Ibu PKK desa ini. Kebetulan kami sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Kebetulan sekali pak, bu !, kami juga sedang memprogramkan peduli sosial. Itulah kantor kami di sebrang jalan, mari pak ikut kami”

Sepasang kakek nenek itu hanya mampu menganggukan kepala. Seduah desir harapan mulai timbul dalam sanubari ke dua manusia itu. Harapan untuk bisa bertemu dengan anaknya, harapan untuk tidak menghuni rumah kardus lagi dan bagi sang nenek, sebuah harapan untuk menimang cucunya di sepanjang jalan kampungna ***

 

Winda

 


Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.

Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya.  Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.

Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.

Aku mengenalnya dengan raut mukanya  yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku  entah kemana.  Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.

Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap,


sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai  hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.

“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.

“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.

“Maafin aku mengganggu tidurmu”

“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain  datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.

“Win,  kamu  marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”

“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”

“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”

“Kamu kan teman sekantorku,  dan   sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”

“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.

“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”

“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”

“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua an


aku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.

“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”

“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”

“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”

“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.

“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”

“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!.  Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah”  Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.

“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”

“Aku tunggu di luar saja Win.  Di luar angin kemarau mulai kencang“

Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.

“Mereka sudah tidur, ? “

“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.

“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”

“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”

“Mereka butuh itu Win “

“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”

“Lama lama mereka juga akan percaya”

“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”

“Apa arti semua itu sih Win?”

“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’

“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”

“Maksud Mas ?”

“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”

“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”

“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “

“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.

Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi ,  bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.

Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.

“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.

 

Jumat, 06 Agustus 2021

Sebuah Kesabaran yang Terpuji

 


Kanko terhuyung kebelakang, saat “Maharaja Prabu Matswopati Raja Kerajaan Besar Wiroto” memukulkan alas permainan dadu yang terbuat dari kayu jati tepat dikeningnya. Darah segarpun  menetes dari keningya yang putih bersih. Melihat kejadian yang menyayat hati itu, “Emban Sarindri” yang cantik jelita, segera mengambil “Bokor Kencana” yang terletak disamping singasana agung Prabu Matswopati. Bokor kencana tersebut digunakan untuk menampung darah segar Kanko, agar tidak menodai permadani yang tergelar di “Pisowanan Agung” itu .

 

Kedua mata Prabu Matswopati, terbelalak matanya mencermati kejadian itu, betapa tidak Emban Sarindri, yang selama ini tidak memiliki sangkut paut hubungan antara dirinya dengan “Lurah Pasar” Kanko, sekarang  menjadi penuh perhatian, dengan melakukan hal semacam itu.

 

            “Hei..Sarindri,  untuk apa kamu melakukan hal semacam ini ?”

 

            “Ampun paduka, mohon maaf atas kelakuan “abdi dalemu” yang lancang ini”

 

            “Aku belum mengerti, Sarindri ?. Mengapa kamu menampung darah segar Kanko dengan bokor ini. Jelaskan Sarindri ?”

 

            “Ampun tuanku, “Sinuwun“ adalah “Senopati Agung” sekaligus Maharaja di Wiroto, yang memiliki pantangan meneteskan darah  hamba Paduka, yang harus sinuwun “ayomi”, kecuali di tengah pertempuran bela Negara. Apabila darah ini menetes ke bumi Wiroto, akan menyebabkan murkanya para dewa, dan hancurlah Kerajaan Besar Wiroto”

 

            “Sarindri, ternyata kamu adalah “embanku” yang berbeda jauh dengan emban lainya. Meski derajatmu hanya “sudra”, tetapi “kawruh lan kepinteranmu” luas. Meski aku selama ini belum tahu persis siapa dan dari mana kamu sebenarnya, tapi aku merasa mendapat “kawruh dan ilmu” darimu “

 

            “Ampun tuanku “Sinuwun Wiroto”!, hamba memang emban yang “kabur kanginan”, lantaran bagi kami siapa aku sebenarnya tidaklah penting, yang penting adalah niatan kami untuk “Ngawula lahir batin” di Negara Wiroto”

 

            “Sungguh luar biasa pengabdianmu, Sarindri !”

 

            “Maturnuwun sinuwun, hanya saja bolehkah abdi dalem yang tiada berguna ini bertanya kepada paduka ?”

 

            “Apa lagi Sarindri ?. Aku harap kamu tidak lancang kepadaku, seperti Lurah Pasar Kanko itu ”

 

            “Mengapa sinuwun tega menganiaya abdi Kanko, apa salahnya ?”

 


            “Sarindri, ketahuilah kelancangan Kanko sungguh terlalu. dia seenaknya memperolok kesaktian Seto putraku, yang dituduh tidak becus  mengusir barisan kurawa. Kanko menganggap bahwa sang kusir putraku yang berhasil menghancurkan barisan kurawa. Seberapa kesaktian guru tari anaku itu?, yang bersikap seperti waria. Sekarang kalian berdua keluarlah, aku tidak mau melihat kalian berdua di bumi Wiroto ini. Keluarlah dan pergi jauh jauh dariku !!!!”

 

Sarindri dan Kanko hanya menundukan wajahnya, dengan tidak menunggu waktu lagi mereka berdua segera mengangkat tubuh mereka dan keluar dari pisowanan agung itu.

 

***

 

Sementara itu pisowanan menjadi geger, lantaran di luar semua abdi dan prajurit mengelu-elukan kedatangan Senotapi Wiroto Seto, putra Prabu Matswopati yang berhasil, mengusir ratusan ribu prajurit Hastinapura, yang hendak melibas Kerajaan

Wiroto dari arah Utara.  Meski pasukan itu dipimpin langsung oleh “Prabu Duryudono”, dengan senopati pengapit “Dah Yang Durna”,  “Adipati Awangga Sinuwun Karno”,:”Resi Krepo “ dan “Sang Resi Woro Bisma”.

 

Mencermati kekuatan besar bala prajurit Hastina tersebut, tidak mungkin bagi Putra Mahkota Wiroto Seto, mampu mengalahkan mereka semua, yang pada kenyataan lari tunggang langgang. Hal ini karena kesaktian Senopati Seto masih dalam tataran biasa –biasa saja. Lantas rahasia apa yang terselip di balik kemenangan gemilang itu. Rahasia itu terkuak, setelah beberapa prajurit yang menjadi saksi mengatakan bahwa kemenagan itu karena jasa kusir kereta perang sang senopati, yang bernama Wrihatnolo. Meski Wrihatnolo hanya “batur” sang senopati, tapi memiliki kesaktian yang luar biasa dan  di atas para senopati Hastina, Wrihatnolo memiliki  senjata sakti yaitu panah Pasopati pemberian Dewa Siwa. Busurnya bernama Gandiwa, pemberian Dewa Baruna. Ia juga memiliki sebuah terompet kerang (sangkala) bernama “Dewadatta”, yang berarti "anugerah Dewa".

 


Dengan semula hanya sebatang anak panah Pasopati yang menebas udara Wiroto, yang kemudian melipatgandakan jumlahnya  hingga ribuan, “wadya bala” Prabu Duryudono yang  beribu ribu jumlahnya menjadi  terbelah leher mereka hingga tewas . Menyaksikan banyak rekan mereka yang “gemlundung mustakanya” prajurit yang selamat menjadi “miris” hatinya dan lari tunggang langgang. Disusul kemudian sekali tiupan sangkakala sakti Dewadratta, semua bala prajurit termasuk para senopati Hastinapura yang tersisa menjadi berterbangan ke angkasa terhempas daya sakti Dewadratta.

 

Prabu Duryudono menjadi kecut hatinya melihat kenyataan yang terjadi, lantaran beribu prajutitnya “segelar sepapan” lengkap dengan brigade panah, tombak, pedang dan kavaleri dibuat tak berdaya menghadapi kusir senopati, yang berpenampilan seperti waria. Namun apa daya, yang hanya bisa dilakukan oleh dia hanyalah menarik pasukanya , karena tiada satupun senopati pengapitnya yang pilih tanding, mampu mengalahkan Wrihatnolo. Hanya Dah Yang Durna saja yang memiliki keyakinan bahwa Wrihatnolo yang sakti itu tdak lain adalah Raden Arjuna murid kesayanganya, yang selama 12 tahun bersembunyi.

 

Rasa heran yang sangat kini memenuhi sanubari Sang Senopati Seto, melihat kenyataan yang ada di depanya. Mengapa Wrihatnolo hanya seorang kusir kereta, tapi memiliki “daya linuwih” yang demikian tingginya, diapun yakin kini bahwa Wrihatnolo adalah bukan “sudra” sembarangan, pasti dia adalah ksatria pilih tanding. Rasa heran itu tanpa ragu ragu dikemukakan pada kusirnya itu, dengan hati hati.

 

            “Wrihatnolo !”

 

            “Daulat, sinuwun !, saya “nyadong dawuh” tugas apa lagi yang akan diberikan kepada saya!”

 

            “Ketahuilah !, baru kali ini aku menyaksikan kejadian yang luar biasa, siapa sebenarnya kamu Wrihatnolo ?”

 

            “Ampun tuanku, saya adalah Wrihatnolo kusir kereta perang sinuwun”

 

            “Tapi engkau memiliki kesaktian yang luar biasa, ksatria dari mana kamu ?”

 

            “Mohon tuanku tidak mempermasalakan tentang hamba, sudah menjadi kewajiban hamba untuk mengabdi Negara hamba, yang sedang genting diserang musuh”

 

            “Aku tidak percaya, Wrihatnolo ?, mengaku saja siapa sebenarnya kamu. Akan aku “sowankan” dirimu kehadapan “kanjeng romo”. Akan engkau dapatkan hadiah apa saja yang kamu inginkan “.

 

 “Mohon maaf sinuwun, hadiah yang saya harapkan adalah dari Yang Maha Kuasa, bukan hadiah dari Sinuwun Prabu Matswopati, Bagi kami ketentraman dan kedamaian Negara Wiroto adalah menjadi kewajiban hamba”

 

            “Oh, Wrihatnolo, aku bertambah kagum terhadap kamu, semakin yakin pula aku, bahwa kamu adalah bukan sudra seperti batur lainnya. Mengakulah Wrihatnolo ?;

 

            “Saya adalah manusia “titah sawantah”, yang sekedar menerima apa yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa?”

 

            “Ha…ha…ha..aku tahu memang bagi ksatria yang sudah tinggi tataran hidupnya, pantang untuk menonjolkan “bahu bektinya”. Oleh karena itu, bila engkau memang semata mengharapkan “idi pangestu” dari Yang Maha Kuasa, mengaku sajalah Wrihatnoloa Aku ini “pepundenmu”, menuruti perintah pepunden bagi seorang ksatria, adalah hal yang wajib “

 

            “Baiklah, sinuwun. Aku akan mengaku sebenarnya siapa aku. Tetapi nohon sinuwun berkenan merahasiakan masalah ini”

 

            “Baiklah Wrihatnolo, aku adalah Putra Mahkota Negera Wiroto, yang harus memiliki sifat “tan keno walak walik” di setiap kebijakan dan perkataan aku. Maka segeralah mengaku, siapa sebenarnya kamu ?”

 

            “Perhatikan sinuwun, pusaja pusaka yang aku bawa ?”

 

            “Ya, pusaka pusaka itu milik “Panengahing Pendawa, Raden Permadi.lantas apa

hubungan kamu dengan pusaka itu ?”

 

            “Akulah pemilik pusaka itu, Sinuwun. Akulah Permadi “

 

            “Aduuh, ngger putraku !, aku tidak percaya. Apa betul engkau putraku..ngger !”

 

            “Duh paman, akulah arjuna yang telah menjalani pembuangan 12 tahun dan penyamaran selama satu tahun di negeri Wiroto ini, hingga sampai akhir waktu penyamaran ini,  Pandawa akan memohon Kangmas Duryudono untuk mengembalikan Negeri Indraprasta sajajahanya dan Negeri Hastina “sigar semongko “

 

            “Baiklah ngger Permadi !, sang paman hanya berdoa kepada Hyang Maha Kuasa agar Pandawa mampu meraih kemulyaan hidup, meski melewati tingkatan kesabaran yang bukan main tinggiya. Namun apabila engkau semua mampu mengendalikan nafsu nafsu yang hinggap di sekujur sanubarimu, kemuliaan itu akan dengan mudah kamu raih, Permadi !”

 

            “Kasinggihan, paman Seto !, putra paduka Permadi ini, masih harus banyak belajar tentang nafsu yang paman maksudkan “

 

            “Ngger Permadi, keempat nafsu yang harus kamu kendalikan dengan segala “Roso lan Rumongso” adalah :

            1.Nafsu Mutmainah, bercahaya putih, adalah raja yang berwatak sabar, welas asih tulus dan suci. 2.Nafsu Amarah, bercahaya merah, berwatak serakah dan ‘panasten.’ 3,Nafsu Aluamah, berwarna hitam, mempunyai kesenangan makan yang berlebihan sehingga menjadi pelupa dan 4.Nafsu Supiyah, raja wanita, bercahaya kuning, senang pada keindahan, sikapnya selalu berubah, tidak dapat menepati janji. Selanjutnya gunakanlah nafsu “Mutmainah” untuk menjaga ketiga nafsu tersebut, ibarat nafsu “sang mbarep” yang membimbing adik adiknya, terutama ” nafsu ragil” yang berujud nafsu “amarah.Jika kamu mengendalikan nafsu itu, maka telah sempurna tingkat kesabaranmu, ngger !, engkau akan merasakan “sworgaloka” yang turun di “mercopodo”.

            “Seperti tersirahkan air embun pagi hari, yang mampu menyejukan hati kami, Paman Seto “

            “Yo, ngger, “tak kanti” sekarang juga, ngger Permadi ikut sowan kehadapan Romo Prabu Matswopati”

            “Ampun Paman, bila waktunya tiba kami semua “kadang” Pandawa pasti sowan kehadapan Romo Prabu”.

***


Wajah yang cerah dan berseri kini menghiasi semua “warongko projo Wirata” yang ikut dalam pisowanan hari itu, terlebih lebih wajah Maharaja Matswopati yang selalu dihiasi senyum kecerian. Apalagi mendengar kabar yang baru saja didapat tentang kemenangan gilang gemilang putranya dalam mengusir wadya bala Hastinapura tanpa menemui kesulitan.

Silih berganti gambaran tentang kemenangan putranya yang diluar nalar dan gambaran keperkasaan baturnya Jagal Abilawa yang baru saja menyelamatkan dirinya dari tindak pendzoliman dan penistaan yang dilakukan Raja Trigatra Susarman terhadap dirinya, kedua gambaran itu terus saja memenuhi seluruh beranda sanubarinya. Sang Prabu Matswopati menjadi bahagia sekaligus menyalahkan dirinya sendiri, mengapa kesaktian Jagal Abilawa yang dengan mudah meringkus Prabu Susarman yang sombong itu baru kali ini dia temui.

Baru kali ini dia menjumpai, abdi seperti Bilawa. Karena  hanya abdi jagal sapi, tetapi  memiliki kesaktian pilih tanding. Meski penampilan Abilawa ini mengerikan mirip gendruwa, yang tinggi besar dengan rambut acak acakan sebatas pinggang dan sangat bau, dia juga tidak bisa bertutur kata dengan bahasa santun di hadapan “piyayi agung “ seperti Sinuwun Prabu Matswopati. Namun Abilawa lauaknuya seorang abdi yang telah mati hati nuraninya. Terbukti Bilawa  menolak mentah\menth pemberian hadiah berupa emas, intan, mutiara, tanah lengkap dengan bangunan istananya,

            “Angger, Seto putraku!, entah aku sendiri tidak tahu. Betapa banyak limpahan Rahmat dan Pertolongan dari Tuhan Yang Kuasa kepada kita hari ini. Bala tentara lengkap Hastinapura dari sisi Utara telah hancur berantakan.Sedangkan dari arah selatan, kesaktian Susarman belum berarti apa apa dibanding dengan Abilawa, yag selama ini hanya jagal sapi di dapur istana. Hampir saja aku berpisah denganmu, ngger !, tapi beruntunglah Tuhan yang Kuasa masih memberi pertolongan kepadaku, dengan menghadirkan Abilawa, yang dengan mudah memotong leher raja sombong itu “

            “Abilawa, romo ?. Siapa Abilawa itu ?”

            “Dia tidak mau mengaku darimana asalnya, tapi aku sangat bahagia sekali memiliki batur seperti Abilawa ini. Dia sangat rndah hati dan menolong “pepundenya” dengan ikhlas dan tanpa pamrih barang sesdkitpun”

            “Lantas orangnya seperti apa, romo ?”

            “Aku hingga kini masih merasa ngeri bila melihatnya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya dibiarkan menutupi pinggangnya tanpa disisir, dia berpakaian denga kulit macan dan ular, dia sama sekali tidak bisa bahasa “kromo inggil “ denganku. Tapi dibalik “praupan” yang mengerikan itu, tersembunyi jiwa ksatria yang halus, tak pernah merasa takut dengan sesama, halus kepedulian terhadap sesame dan berjuang tanpa pamrih”

Senopati Seto tak kaget barang sedikitpun, karena dia telah menduga bahwa Abilawa tidak lain adalah Bimaseno atau Raden Werkudoro Panegaking Pandawa, seorang ksatria putra Prabu Pandu Dewanata yang tersohor itu. Semua kehidupanya mulai dari kecih hingga sekarang telah bergrlimang dengan kebaikan yang diberikan kepada orang lain yang membutuhkan pertolongan dia dan saudara saudaranya.

            “Ada apa Seto ?, apa kamu kenal dengan Abilawa ?

            “Ampun romo, baru kali ini Seto mendengarnya. …..Mohon maaf romo !,emban Pinto telah memberi tahu ananda, bahwa diluar ada Bibi Kunti dan Prabu Drupada yang berniat menghadap Romo Prabu “

            “Kunti, anaku dan Ngger Prabu Drupada !, jangan biarkan mereka telalu lama di luar, segera mereka “diaturi sowan” di depanku. Oh, Tuhan Yang Kuasa, semoga kehadiran mereka membawa kebaikan untuk Wirata “

Kunti telah sembab matanya, demikian juga Prabu Drupada yang berkaca kaca matanya, diikuti para “kadang Pendawa”, yang kini duduk bersimpuh di depanya. Sebuah pelukan kasih sayang antara Kuni dan Pamanda Kanjeng Sinuwun Matswopati mengharu birukan pertemuan nesar di Pendopo Siti Hinggil Wiroto. Rasa haru kedua saudara yang berpuluih tahun tidak bertemu itu, berhasil membungkam hadirin “piaowanan agung” itu. Kecuali Pandawa yang hanya duduk dengan muka tertunduk.

            “Kunti mengapa kehadiranmu bersama dengan Sarindri, Kanko, Abilalawa, Wrihatnolo, mereka itu baturmu yang mlarikan diri ?, lho mengapa mereka berpakaian seperti ksatria, Kunti mengapa ?”

            “Sebelim dan sesudah limpahkan maaf yang sebesar besarnya padaku, karena mereka sebenarnya…..” Kunthi tak mampu meneruskan perkataanya, air matanya kini bertambah deras, air mata beribu makna dari mulai ketabahan putra putra  pendawa dan air mata kebahagian karena pertemuan dia dengan putra putranya. Air mata yang berderai karena selama ini, putra putranya yang sudah kehilangan segala galanya, namun masih bisa “ngugemi dharma”.

            “Kunti, tabahkan hati kamu, ceritakan dengan tenang. Aku tahu engkau putraku yang sudah kenyang dengan cobaan hidup. Maka tabahkan sebagaimana ketabahan suamimu atau keponakanku Pandu yang arif dan bijak”

            “Paman Prabu, setelah 12 tahun anaku anaku bersembunyi di hutan. Tiba saatnya selama 1 tahun mereka harus menyamar. Agar tidak ketahuan “telik sandi” Kurawa, mereka cucu cucumu memilih melakukan penyamaran di Wirata, agar memperoleh pengayoman sang eyang “

            “Jadi abdi abdiku itu, Kanko, Sarindri dan …adalah cucu cucuku Pandawa ?”

            “Betul Paman Prabu !, mereka adalah cucu Pandawa. Kanko adalah putraku Yudistira, Abilawa tidak lain adalah Werkudoro, sedangkan Wrihatnolo guru tari dewi Utari adalah Arjuna. Nakula menjadi Damagranti sebagai tukang kuda, Sadewa menjadi Tantripala sebagai penggembala sapi, sedangkan Drupadi menjadi Sarindri sebagai dayang istana”

            “Oh Jagad Dewa Batara. Kunti aku harus bekata apa. ?. Sampaikan maaf saua kepada putra putramu, mengapa aku memperlakukan mereka demikian buruknya, padahal mereka adalah cucuku. Oh Tuhan, cabut saja nyawa aku, aku rela Tuhan. Aku punya kesalahan yang besar terhadap mereka.”

            “Mohon maaf Eyang Prabu, kami memang sengaja menyembunyikan kami semua.Sehingga kami tidak pernah menganggap eyang bersalah terhadap kami”

            “Oh cucuku Pandawa!, demikian besarnya cobaan yang kalian alami. Tapi demikian besar kesabaran yang kalian miliki. Ngger cucuku, kesabaran seperti inilah yang dibutuhkan ksatria yang bisa memeangkan Bharatayudha kelak.