Sabtu, 07 Agustus 2021

Pintu Hati

 





Jalan  hidup yang dilalui masih  banyak berliku.,  kadang meliuk dan menukik tajam. Sesekali  yang dilaluinya hanyalah sebuah jalan yang licin namun penuh duri,   meski belum tahu kapan jalan ini berujung, Seperti halnya dengan      kehidupan  manusia  selayaknya.

Kadang Munarsih sampai pucat wajahnya, dan gemeter seluruh kakinya. Bila  harus  memperdulikan kehidupan ini.  Hanyalah setetes nafas yang diberikan padanya oleh  Yang  Maha Esa, namun kelam dan penuh dengan liku tak berujung.

“Narsih. . .Narsih.. .buka pintunya “. Sebuah teriakan panjang yang menggema pagi – pagi buta,  ke tiap sudut rumah Munarsih.

“Ada apa  Kang Narji ?. pagi – pagi buta sampeyan sudah geger nggak karuan “

“Aku minta jamunya,  semalam aku nggak bisa tidur, karena pusing kepalaku 

“Tapi tinggal beras kencur dengan kunir asem Kang !.  Jamu ini bisa mengurangi perut sampeyan yang kembung. Sampeyan banyak begadang semalam, sehingga angin malam menyerang perut sampeyan ”. Tutur Munarsih meyakinkan, tak kalah dengan okter spesialis dalam mendiagnosa Kang Narji, yang hobinya cuma ngelayab  tiap malam.

”Langsung aku minum jamunya ya  Bu Dokter ”  Seru Narji seraya menyeringai bibirnya lantaran dia harus menghiasi wajahnya dengan senyuman kecil.

”Weleh, sampeyan melecehkanku ”  .  Munarsihpun masih melayangkan protes dengan Kang Narji yang ngeloyor pergi setelah mereguk satu gelas jamu tanpa meninggalkan sisa di gelas.

”Lho,  bayarnya  mana Kang  ? ”

”Gampang to, Narsih,  kamu kaya nggak tahu Narji saja ” .  Jawab Narji tanpa menoleh kebelakang.  Tubuhnya kini nggak kelihatan lagi setelah dia hilang di belokan jalan desa.

Tinggalah  kini Munarsih dengan senyum geli yang masih saja tertinggal di bibirnya, yang tanpa berhias lipstik barang secuilpun. Namun tetap wajah ayunya  masih terlihat menawan.

”Laris jamu kamu Nah !. Tadi Narji pagi – pagi kesini perlu apa ? ”.  Belum lagi Munarsih sejenak menarik nafas , kini di tengah pintu depan telah tampak  Pakde Warsoyo, dengan senyuman yang lebar sehingga kelihatan kumis putihnya yang lebat terangkat ke atas. Entah kunjungan ini bagi Pakde Warsoyo kunjungan yang ke berapa.

”Lumayan Pak De bisa untuk uang jajan Siswanto dan Novi, mereka berduakan butuh uang jajan dan sekolah. Tadi Kang Narji cuma minta jamu, dia penyakit kembungnya kambuh ”.

”Kalau  untuk uang jajan dan sekolah kedua anakmu itu hanya masalah kecil, Nah. Kamu tinggal minta sama aku berapa yang kamu minta. Asal kamu tahu aku saja ! ” . Pagi pagi bener sudah ada rayuan asmara yang tertanam di hati Munarsih. Tapi wanita  yang sarat dengan  benturan hidup ini hanya senyum sinis saja. Bagi Dia rayuan semacam ini tiap hari sering ia dapatkan dari banyak  pria hidung belang di desanya.

Tapi bagi Munarsih, sehebat apapun badai kehidupan nantinya akan sirna juga. Bukankah Kang Parlan suaminya yang sedang mengadu nasib di Malasia membanting tulang demi masa depan dia dan kedua anaknya. Segenggam

harapan itulah yang masih saja melekat jauh di dalam kalbunya. Sehingga diapun akan  bersikap dingin terhadap pria manapun yang ingin menambatkan hidupnya di pelabuhan hatinya.

Munarsihpun menjadi bersungut-sungut wajahnya, deAngan tegas dan tatapan dingin  dia tetap menerima kunjungan Pakde  Warsoyo, lantaran apapun alasannya Munarsih adalah bakul jamu yang siap melayani siapa saja yang menghendaki jamunya.  Maka diapun tetap saja menawarkan jamu gendong, yang memang banyak disukai oleh tetangga sekampungnya.

”Nggak usah Nah, aku nggak pengin jamu kok, melihat kamu saja sudah sembuh penyakitku ”. Munarsihpun sudah nggak bisa menghitung lagi,  sudah berapa ratus kali rayuan gombal orang tua  itu dilontarkan pada dirinya.

”Jangan begitu lho Pakde ! ,  nanti Bude marah !. Apa Pakde  nggak kasihan sama Bude ? ”

”Jangan panggil aku  Pakde, to Nah.  Kasihan aku sama  Maryati sudah cukup,  hampir ,sebagian besar sawah di kampung ini adalah miliku,  yang aku berikan sama Maryati lengkap dengan kerbau yang berapa puluh aku sendiri nggak tahu. Bahkan bulan kemarinpun aku belikan Xenia untuknya .  Kurang apa lagi Nah ? ”

”Bukan itu saja yang dibutuhkan seorang wanita, dia juga butuh kasih sayang. Apa lagi Bude sekarang  sakit strok, apa nggak kasihan to Pakde ! ? ”

”Nah dokter mana yang belum aku kunjungi Nah !.  Semuanya sudah aku kunjungi umtuk mengobati penyakit Maryati. Dan akupun tidak mungkin terus merawatnya, aku sebagai laki – laki normal butuh yang lain to Nah ”. 

Munarsih tambah dingin saja tatapan matanya, bahkan kini dia sama sekali tidak sudi beradu pandang dengan lelaki tua hidung belang yang sekarang ada di depannya.  Meski sering lelaki tua bangka tak tahu diri itu  menjanjinkan segala kekayaan, bahkan separo dari sawahnya dan beberapa rumah gedong akan diatas namakan Munarsih.  Namun bagi Munarsih kebahagian  yang akan dia alami hanyalah kesemuan saja, yang sekejap akan sirna di telan cinta sejatinya kepada Kang Parlan dan kedua anaknya

Mataharipun kini sudah tak malu lagi di bilik ufuk sebelah timur,  dan kini telah menggantung sepenggalah di langit timur.  Munarsihpun kini telah siap bermandi keringat menawarkan jamu gendongnya ke seluruh desanya.  Entah hari ini masih adakah segenggam harapan untuk kehidupanya

Yang jelas seperti hari biasanya diapun menaruh jamu gendongnya di sudut pasar tempat dia biasa berjualan bersama dengan pedagang – pedagang kecil lainnya yang memiliki kehidupan tidak jauh berbeda dengan dirinya.

”Narsih aku dapat kabar baik, kamu sudah dengar ? ” . Tanya Yu Minten.

” Kabar apa, Yu  ? ”  jawab Munarsih penasaran.

” Kamu kenal  Suratman, yang tinggal di ujung  timur desa kita ”

” Kenal, Yu !, Ada apa dengan Kang Ratman ”. Jawab Munarsih tambah penasaran.

”  Minggu kemarin dia pulang dari Malasia, dan kabarnya dia juga mencarimu Nah !

“ Oh. Ya !. Ini mesti ada hubungannya dengan Kang Parlan. Aku habiskan daganganku dulu Yu. Nanti sore aku dengan anak  - anak  ke rumah,  Kang Ratman ”.  Jawab Munarsih, hatinya kini diliputi berbagai macam kegetiran,  lantaran mengkhawatirkan suami tercintanya yang kini mengadu nasib di negeri seberang.

”Sudahlah Nah, kamu pulang saja. Biar aku saja yang ngurusi daganganmu. Sekarang  pergilah ke rumah Suratman, mumpung anak anakmu masih sekolah. Kalau nggak punya ongkos naik colt sayur, biar pakai uang aku saja !.

„Trimakasih sebelumnya ya Yu !. Baiklah sekarang juga aku akan ke sana ”

Jalan menuju rumah Suratman masih berupa jalan desa yang belum bagus,  di sana sini masih terlihat lobang – lobang  yang hanya ditutup batu – batu padas.  Sehingga perjalanan dengan menggunakan colt sayur, memakan waktu yang cukup lama dan membosankan, apalagi bagi Munarsih yang  hatinya telah dihinggapi rasa penasaran . Tiak seperti biasanya Munarsih selalu tenang hatinya meski dia hidup dalam penantian. Seakan akan kini dia menemukan berjuta misteri yang  tersimpan di hatinya mengenai Kang Parlan suaminya. Entahlah ada apa,. Munarsih sendiripun tidak tahu.

Dari depan rumah, Suratman dan istrinya segera berlarian kecil menyambut kedatangan Mursinah,  yang diwajahnya selalu dihiasi senyum ramah, meski menyimpan rasa penasaran  yang tak menentu.   Mereka kini hanya duduk di serambi rumah, dan Munarsihpun tanpa banyak basi – basi langsung menanyakan kabar Suparlan suami tercintanya.

” Semua manusia kan hanya menuruti apa yang sudah digariskan, termasuk suamimu, Nah !.

”Apa yang terjadi dengan Kang Parlan ? ” dengan tidak sabar Mursinah langsung memotong ucapan Suratman.

” Sabar  duku to, Mbakyu ?.  Biar  Kang Ratman bercerita dulu ”

”Sesampainya disana  suamimu tidak segera mendapatkan pekerjaan, seperti yang dijanjikan biro. Sehingga dia disana lama menanggur ”.

”Kok dia tidak kirim surat, to Lik ?. Kalau tahu gitu Kang Parlan tak suruh pulang saja “

”Dia takut membebani dirimu Nah.  Tapi percayalah ?, dia masih mencintaimu Nah !.  Suamimu adalah tipe laki – laki yang baik “

“Aku selalu percaya Kang Parlan, lantas bagaimana, Lik ! “

“Akhirnya diapun  pinjam uang kepada   Non  Lisa,  wanita rentenir asli Indonesia  dan sekarang menjadi warga negara Malasia “

“Apa dia masih muda Lik “

“ Amit – amit, Nah. Umurnya dia sudah lebih dari lima puluh tahun”

“Mengapa dipanggil non, apa dia cantik,  Lik ? “ . Desak Munarsih, lantaran di hatinya mulai tumbuh rasa cemburu buta.

“Ah, siapa bilang ?.  Meski dia minta dipanggil Non Lisa. Tapi kami semua lebih seneng memanggil Mak Lampir.  Suamimu sebenarnya hanya meminjam dua ribu ringgit, namun sayangnya suamimu tak kunjung dapat pekerjaan juga. Hingga akhirnya hutangnya membengkan sampai dia sendiri tidak mampu membayarnya “

“Terus akhirnya gimana, Lik “

”Akhirnya Non Lisapun berniat mengadukan ke Polisi Kerajaan Diraja Malasia

”Terus Kang Parlan gimana ? ”

”Dia hanya pasrah, meski hutang dia pada Non Lisa hampir mencapai  sepuluh ribu ringgit. Suamimu memang luar biasa Nah. Tanpa sedikitpun dia punya rasa takut. Kalau toh harus masuk ke penjara dia siap menjalani ” .  Suratman diam sejenak, entah karena apa dia tidak melanjutkan pembicaraan mereka untuk sementara. Dia kini hanya asyik mereguk kopi panasnya.  Barangkali saja penderitaan dia dan teman – teman TKI selama di Malasia,  sungguh sangat berat,  termasuk juga penderitaan Suparlan.

”Aku nggak nyangka kalau Kang Parlan akan mengalami hal semacam ini. Sebenarnya aku nggak setuju dia ke Malasia.  Lebih baik kita hidup di desa apa adanya, ketimbang hidup di negeri orang tapi begini jadinya  ”.

 ”Tapi Non Lisapun akhirnya melunak dan mau memutihkan hutang suamimu,  asal Suparlan mau mengawini Non Lisa,  karena secara diam diam Non Lisa  menartuh hati sama suamimu yang ganteng.  Meski Non Lisa sendiri sudah memiliki suami, yaitu Mr, Chen,. Pria  asli Malasia dan kaya raya.  Tapi umurnya sudah mencapai tujuh puluh tahunan ” .

”Akhirnya merka berdua apa nikah secara sah, Lik ? ” .  Munarsih menguatkan diri untuk mengajukan pertanyaan itu, meski sebenarnya dia

sudah tidak mampu lagi mengeluarkan sepatah katapun.  Hatinya kini terbelah menjadi berkeping – keping. Penantian dia selama dua tahun lebih, hanya kandas di telan kegetiran.

Munarsih yang dari kecil hidup hanya di lingkungan keluarga petani gurem,  hampir  tidak pernah merasakan kebahagiaan.  Benturan dan kesulitan hidup tiap hari dia jumpai,  Hingga tercetaklah dia menjadi sosok wanita yang  tangguh dan berani menghadapi hidup. Namun menghadapi cobaan hidup seperti ini,  dia hampir tak mampu bertahan untuk tetap tegar.

”Nggak, suamimu  menolaknya, dia hanya minta supaya  nenek gila itu memutihkan hutangnya saja. Kemudian seterusnya aku nggak tahu lagi , Nah. Karena aku nggak tahan lagi hidup di sana dan memutuskan untuk kembali ke desa ini.  Dia hanya menitipkan uang  ini untukmu dan berpesan. Suatu saat dia pasti akan pulang mendampingimu lagi, Nah. Dia tidak mau kehilangan Siswanto dan Novi.  Hanya seperti itu yang aku tahu. Sekarang terimalah uang dari suamimu ! ”.

Meski hari belum sore benar, terlihat langit biru yang cerah masih menemani mereka. Namun bagi Munarsih, seakan –akan dia berada di tengah badai yang dasyat, dan  langit berwarna kelam. Hinga akhirnya dia hanya dia membisu sembari menerima uang dari Kang  Parlan dia kinipun berpamitan untuk segera pulang.

Dua tahun silam Munarsih memang merencnakan meninggalkan kampung halamannya dengan hati yang bulat.  Uang yang diterima dari Kang Parlan suaminya  sekarang telah digunakan untuk modal membuka warteg di Jakarta  bareng sama kakak kandungnya dia, yaitu Munarti.   Karena keuletan wanita yang sarat penderitaan ini, wearteg yang ditekuni kini telah   ramai dikunjungi pelanggan.           

Meski keberangkatan dia ke Jakarta kala itu ,  banyak pihak yang menghalanginya, namun dia tetap saja membulatkan tekad.  Semata-mata hanya ingin melupakan derita hatinya yang kian tak pasti.  Untuk melupakan Kang Parlan justru memang harus meninggalkan desa ini,  dan menyibukan diri dengan membuka warung,  selain memang jualan jamu gendong dirasa memang sudah tak bisa untuk membiayai kedua anaknya.

Hingga akhirnya keluarga  Munartipun sekarang hidup bahagia,  meskipun  Munarsih belum mau juga mendapatkan pengganti Kang Parlan disisinya,  Karena dia tidak mau melukai perasaan kedua putranya itu. Apalagi bagi Novi putri bungsunya  yang masih kerap menanyakan Kang Parlan.   Cukup dia saja di dunia yang biasa kehilangan segala sesuatu,  kehancuran sebuah hati jangan sampai dirasakan oleh kedua putranya itu.

Sering bila malam hari tiba,  kala melihat kedua putranya tertidur saling berpelukan.  Munarsih menitikan air mata kesedihan. Dia tak tega melihat kedua anaknya hidup tanpa seorang ayah disisi mereka. Namun perasaan itu akan hilang bila melihat mereka berdua saling ceria, membantu ibunya di warung setiap habis jam sekolah. Dan untuk menemani kedua anaknya yang kesepian,   Munarti kakaknya  sering menghibur mereka berdua.  Hingga tidak terasa telah dua tahun mereka hidup di Jakarta.

Musim penghujan di Jakarta telah tiba, langit mendung tiap hari menggelantung.  Hujan seharian tiada henti, udarapun terasa begtu dingin.  Sehingga berita mengenai banjir di berbagai tempat di Jakarta  telah m,ereka dengar.  Munarsihpun enggan  membuka warungnya.  Dia dan  kedua anaknya lebih senang  membersihkan rumah mungilnya milik mereka sendiri, hasil memeras keringat di Jakarta selama lebih dari dua tahun.

Sesekali Hp miliknya berdering,   namun setelah di buka  seketika itu juga terdengar nada putus.  Memang Munarsih kerap menerima telepon dari  pria iseng dan dia selalu mengabaikannya.

Dari dalam rumah mungil itu,  terdengar derai tawa  Munarsih dan kedua anaknya, sesekali terdengar juga tawa Munarti dan anak – anaknya yang kala itu kebetulan bertandang ke rumah saudara kandungnya itu. Tanpa mereka  sadari, ulah mereka dari tadi telah diamati sepasang mata yang kini meredup sendu.

Udarapun bertambah dingin. Sedangkan malam bertambah larut,  sehingga mereka semua yang sedang ceriapun berniat untuk pergi tidur mengurai mimpi.  Munarsihpun  berniat untuk mengunci pintu depan,  lantaran  udara malam mulai mengrogoti rumah mungil itu dan semua yang ada dalamnya  sudah mulai enggan membuka  matanya.

”Narsih ” . Terdengar panggilan dari suara yang betul – betul dia hafal. Namun seketika itu dia tidak percaya. Apakah betul  suara itu dari Kang Parlan yang hampir lima tahun tak  pernah mengunjunginya.

”Narsih, apa  kamu lupa sama aku ? ” . Kini dia yakin betul bahwa suara itu, tidak lain adalah suara Kang Parlan suaminya.

”Kang Parlan, kamu pulang ?. Betulkah sampeyan Kang Parlan ? ” Sekali lagi Munarsih mencoba untuk meyakinkan kembali.

”Apa di dunia ini ada dua Parlan. Apa kamu sudah berhasil menemukan pengganti Parlan ”

            ”Oh tidak Kang !, aku hanya tidak percaya apa sampeyan masih ingat Novi dan Wanto ? ”

            ”Tolong, Nah !. Panggil mereka ke sini, aku kangen ”

            ”Iya Kang, tapi masuklah dulu.  Wanto ,  Novi keluarlah ” . Teriakan mamanya itu segera mereka dengar. Sehingga tanpa menunggu waktu  berlarilah mereka keluar rumah diikuti Hendra putra Munarti,

Novi dan Siswanti terbelalak kaget bukan kepalang, karena mereka kini dapat melihat bapak mereka  yang sudah lima tahun meninggalkan. Kontan saja mereka segera menubruk sosok yang selama ini mereka nantikan

Rumah mungil  yang tadinya dingin, sedingin hati Munarsih  dan kedua anaknya. Kini terasa hangat. Jendela hati Munarsih yang telah lima tahun terkunci rapat kini terbuka lagi, untuk  berdua dengan Suparlan menengok nyanyian burung pagi hari.

 

Seberkas Rindu

 





Sudah satu hari penuh belum ada sesuap nasipun yang mengisi perut nenek itu. Hanya nafas yang keluar masuk rongga dadanya, yang dia miliki. Selembar hidupnya kuat digayuti kegetiran yang seakan tidak mau meninggalkanya barang sedikitpun. Dinding kardus biliknya yang pengap hingga larut malam ini semakin menyudutkanya, dengan melewatkan angin malam yang menggigit tulang-tulangnya, dari celah sambungan sambngan kardus. Akhirnya sebuah selendang yang rapuh dia raih untuk membalut tubuhnya yang renta itu. Sementara suara deru mobil di atap rumah kardusnya terus menderu, membuat tambah sulitnya dia ynng renta itu untuk tidur di bilik kolong jembatan.

Suara batuk batuk kecil suaminya yang juga telah renta, tiada henti memenuhi rumah kardus itu. Namun terus saja asap mengepul dari tembakau yang terbakar  keluar dari mulutnya. Begitu asiknya lelaki tua itu berulang menghembuskan kepulan asap dari mulutnya, bahkan kini da tidak segan lagi menghembuskan asap rokoknya beberapa kali tiap dia selesai menghisap rokok lintinganya.  Seakan dari butir asap  dan teer yang keluar dari bibir yang menghitam itu,  sebuah gambaran ia dapatkan tentang Hartini putri satu satunya yang dia dambakan bisa berkumpul dengan dia dan istrinya yang telah renta. Demi sebuah pertemuan ini,  dia rela meninggalkan kampung halamanya, sawah ladang dan rumah setengah tembok untuk berkeliling dari rumah kardus satu ke rumah kardus lainnya di  Jakarta.

Kadang sorot matanya dia tumpahkan dalam dalam ke perlahan arus Sungai Ciliwung yang keruh dan busuk.”Pantas saja air sungai ini busuk dan kelam, karena air sungai ini adalah tumpahan segala kekotoran dari orang orang yang  sebagian diantaranya busuk dan kelam”, gumam dalam hatinya mulai bangkit menembus asap rokok yang tajam.

***

“Di mana Hartini berada, ya bu?” Sartidjo yang belum bisa terlelap ti


dur, kembali mengetuk hasrat yang jauh terpatri di lubuk hatinya, sementara beberapa puluh puntung lintingan rokoknya telah tersebar di depanya. Istrinyapun yang mendengar keluh suaminya itu menggeliatkan tubuhnya dan segera duduk disamping suaminya, membiarkan tubuhnya tersapu angin malam.

“Aneh, pak !, tidak ada satupun manusia kota ini yang membantu kita. Huuuh, ingin rasanya aku pulang ke kampung, tapi aku tidak akan pulang sebelum aku bisa bertemu dengan Hartini, apakah dia sudah punya suami ?, apakah dia sudah punya anak ?. Kalau aku sudah punya cucu, aku ingin sekali menggedongnya, ah kalau Hartini mau, akan aku ajak pulang dan aku gendong cucuku, aku akan bawa dia jalan jalan keliling kampung. Tapi, di mana alamat anak kita, Pak ?”. Pertanyaan yang sama dengan suaminya, kini diulanginya lagi.

“Aku sudah cape, bu !”

“Cape!!, lantas kapan aku akan ketemu Hartini ?” istrinya menjawab dengan ketus.

“Suatu saat dia kan pulang, bu. Kita tidak perlu menderita seperti ini “

“Sabar, sudah berapa tahun kita menunggu di kampung ?, sudah berapa banyak saudara kita yang kerja di Jakarta mencari Hartini, tapi semua tidak bisa menemukan Hartini”.

“Lakon hidup apa ya bu ?, kita harus menjalani kehidupan seperti ini?”. Istrinya hanya diam membisu. Sementara deru mobil di atas mereka belum juga reda, meski hari sudah hampir pagi. Saat esok nanti mereka  harus meninggalkan rumah kardus itu dan berpindah ke tempat lain, entah kemana dan di tempat mana mereka harus tinggal. Sementara untuk mengisi perut mereka sepanjang perjalanan mencari putri tunggalnya, mereka terpaksa harus mengemis. Itupun bila mereka bisa mendapatkan manusia Jakarta yang masih memiliki rasa iba dengan memberi mereka beberapa uang receh.

***

 Pasutri renta itu segera berlalu begitu saja dari rumah kardus yang didiami hanya beberapa hari. Beberapa potong pakaian mereka yang kumal hanya dibungkus kantong plastik yang tidak seberapa beratnya dan kini bergayut di pundak Sartidjo. Nampak sorot mata yang tegar dan kokoh terpancar dari sepasang manusia yang selama hidupnya hanya didera penderitaan hidup.

 Meski sudah sering mereka menjumpai benturan hidup, namun mereka tidak kuasa menahan gejolak rindu dengan putri tunggalnya yang sudah sepuluh tahun meninggalkan mereka tanpa sebuah kabarpun, hanya beberapa surat yang pernah mereka dapatkan darinya pada tahun tahun pertama Hartini meninggalkan kampung halamanya, yang mengabarkan bahwa Hartini kini tinggal  di Jakarta, bekerja sebagai buruh konveksi milik perorangan. Saat itu Hartini sempat meninggalkan alamat kepada  mereka berdua.

Genap sudah sepuluh tahun Hartini meninggalkan mereka berdua. Namun setelah beberapa hari mereka menjelajah Jakarta mencari alamat Hartini, mereka hanya mendapat jawaban dari beberapa tetangga Hartini, bahwa mereka  sama sekali tidak mengenal nama Hartini. Mereka berduapun terasa seperti tersambar petir di siang hari bolong dan saat itupun memutuskan untuk kembali ke kampung mereka di Semarang, meski uang saku mereka telah menipis. Namun bagi Mutmainah keadaan seperti itu tidak menyurutkan langkahnya untuk menunda pertemuan dengan putri tunggalnya, hanya dengan bermodal sebuah foto dan beberapa surat Hartini, yang ditulis  beberapa tahun silam.

Akhirnya merekapun harus tinggal berpindah pindah di  rumah kardus, sambil menjelajah tiap sudut Kota Jakarta seperti hari ini. Di tengah gerimis pagi merekapun menyusuri jalan jalan Jakarta, yang agak lengang karena saat itu adalah Hari Minggu.

Mereka kini beristirahat di troktoar yang basah, sambil mengunyah sarapan pagi nasi kucing yang didapat dari pemberian cuma cuma pedagang nasi. Tingkah laku mereka ternyata berhasil menarik beberapa pasang mata ibu ibu yang sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Sorot mata mata kakek  dan nenek menyimpan seribu pertanyaan kala beberapa ibu ibu muda dan cantik yang menjinjing bawaan dalam plastik kresek  mendekati mereka dengan wajah yang ramah dan bersahabat.

“Bapak ibu !, kami membawakan makanan untuk kalian berdua, silakan bu !“

“Oh terimakasih..terimakasih, oh maaf nak, ini kampung mana ?” tanya Mutmainah kepada salah satu ibu yang cukup dekat.

“Ini Duren Tiga, bu. Ibu mau kemana ?” jawab salah satu ibu yang tampak paling tua usianya di banding tiga ibu lainnya yang bersamanya menyambangi sepasang pengemis tua itu.

“Aku tidak kemana mana, nak !.”

“Lho, ibu tersesat ?

“Tidak nak, aku mencari anaku. Ini fotonya !”

“Anak ibu cantik, lho. Terus di mana alamatnya ?“ tanya ibu lainnya.

“Tidak tahu, nak !”

“Aduuh, ibu gimana !. Jakarta luas lho, bu !. Gimana ibu mencarinya ?”

“Kami berdua tidak tahu nak. Kami sudah tiga bulan di Jakarta mencari Hartini. Kami terpaksa tinggal di rumah kardus atau tidur di mesjid dan terminal, kami keluar masuk kampung  kampung untuk mencari anak saya dan terpaksa kami berdua di Jakarta mengemis” sahut Sartidjo kepada kerumunan ibu ibu yang merapatinya.

Ibu ibu yang mendengar penuturan Sartidjo saling melempar pandang, barangkali saja dalam hati mereka semua timbul perasaan kagum, iba sekaligus penasaran. Padahal pertemuan antara anak dan ortu adalah hal yang biasa bagi ibu ibu yang memusari sepasang pengemis renta itu. Mereka mampu memandang wajah sang anak mereka, hampir tiap detik sepanjang hidup mereka. Oleh karena itu,  mereka ibu ibu muda itu tidak pernah mengalami gejolak rindu yang membakar seluruh peredaran darahnya.

Tetapi bagi pasutri renta yang ada di tengah kerumunan mereka, sebuah rindu ternyata adalah sesuatu yang berharga, melebihi segalanya. Mereka rela meninggalkan sawah ladang, rumah dan harta mereka lainnya demi sebuah pertemuan dengan putri tunggalnya, meski harus dengan petualangan dari rumah kardus satu dengan lainnya, meski hanya tidur di troktoar dan kadang beberapa hari tak sesuap naspuni masuk ke perut mereka, tanpa mengenal masuk angin atau penyakit dalam yang biasa mendera pasutri renta lainnya. Betapa kokohnya hidup dan tekad mereka.

Maka ibu ibu dari berbagai kalangan profesi yang mendengar penuturan kata demi kata sang kakek nenek menjadi  diam,  terpaku dan  membisu menyaksikan sebuah episode hidup yang getir. Hanya beberapa saja dari ibu ibu tersebut, yang memiliki gagasan untuk mengulurkan tangan untuk menemukan buah hati sepasang kakek nenek itu.

“Bapak dan ibu, sementara masuk dulu ke kantor kami, ya!. Kita ingin menolong bapak ibu dan kita perlu bicara lebih dalam lagi dan leluasa, mari ikut kami, bapak !“

“Ibu ini siapa ?” tanya Kartidjo.

“Kami Ibu Ibu PKK desa ini. Kebetulan kami sedang bekerja bakti menyambut hari ibu. Kebetulan sekali pak, bu !, kami juga sedang memprogramkan peduli sosial. Itulah kantor kami di sebrang jalan, mari pak ikut kami”

Sepasang kakek nenek itu hanya mampu menganggukan kepala. Seduah desir harapan mulai timbul dalam sanubari ke dua manusia itu. Harapan untuk bisa bertemu dengan anaknya, harapan untuk tidak menghuni rumah kardus lagi dan bagi sang nenek, sebuah harapan untuk menimang cucunya di sepanjang jalan kampungna ***

 

Winda

 


Bila manusia memang harus meniti takdir dari Yang Kuasa, itu memang kekuatan manusia itu sendiri. Memang kadang begitu pahit yang kita rasakan, untuk sekedar mereguk curahan kodrat. Namun memang harus bagaimana lagi, karena kita hanya manusia biasa. Mampukan kita memberontak melawan rengkuhan langit biru, disanalah mahkota untuk kita akan dikenakan bila kita mau bersabar meniti kemauan Yang Kuasa.

Beberapa kali sudah Winda menjerit menghempaskan apa yang direngkuhnya dalam hidup, karena apa yang didapatkan selalu kegetiran yang mengganjal tenggorokan dan dada Winda yang tidak sebera kokohnya.  Pria pujaan hatinya yang selalu member janji janji emas tiada pernah mengemas janji dan menyodorkan padanya dengan sebilah cinta suci. Hanya sebilah sembilu yang menusuk tiap sudut hatinya.

Winda kini hanya winda yang telah mati hati dan jiwanya, tiada lagi asa untuk mendapatkan lagi kehangatan dari pria manapun, mesti silih berganti pria mencoba untuk merobohkan kedinginan yang selalu saja terbujur.

Aku mengenalnya dengan raut mukanya  yang pucat pasi dan dada penuh rasa benci, layaknya harimau lapar yang hendak menerjang mangsanya. Sementara matanya tajam menikam meneliti setiap pori-pori kulitku. Hanya kadang senyum tipis dan sinis yang diharapkan mampu menerbangkan tubuhku  entah kemana.  Tetapi terus saja anganku bergelut dengan diriku sendiri untuk memberi kehangatan padanya. Meski akupun tahu sebuah karang yang kokoh akan kuhadapi. Namun akupun memang harus terus mencobanya, dengan segenggam harap mampu memberikan kembang warna warni pada Winda teman sekantorku.

Rumah mungil Winda peninggalan orang tuanya kini sunyi senyap,


sementara semua anak anaknya tertidur, karena siang ini angin kemarau begitu sejuknya. Sesejuk hatiku yang berhasil menemui rumah Winda. Ada segumpal ganjalan dalam dada ini bila aku menemui dia. Perempuan dengan sejuta pesona, rambut yang terurai  hingga bahu, wajah manis dengan hidung mancung menghiasinya. Tetapi lebih menarik lagi bagiku adalah ketegaran jiwanya yang berhasil memingit hatiku, mengosongkan batas ruang hatiku untuk melupakan semua kenangan dulu.

“Win, aku Prasetyo” Di tengah kesunyian rumah mungil dan sederhana itu aku coba membangunkan Winda yang sedang terlelap di tengah dua anaknya yang masih kecil.

“Oh kamu Mas Pras “ Suara yang bening dan datar terasa meghentikan jantungku. Bertapa tidak suara itulah yang sanggup menghantarkan aku untuk menengok kebun bunga warna warni di langit biru.

“Maafin aku mengganggu tidurmu”

“Oh enggak Mas, aku tidur sudah dari tadi kok. Ngapain Mas datang kemari, ngapain  datang ke rumah hina ini, apa nggak ada acara lain?”. Bagaikan sebilah pedang yang berkelebat menebas jantung hati ini. Jawaban Winda dengan senyuman getirnya membuat aku harus meneduhkan hatiku sendiri. Terasa kebencian Winda kepada semua pria yang mencoba menggapai hatinya begitu besarnya, termasuk kepada diriku.

“Win,  kamu  marah karena aku mengganggu tidurmu. Oh ya kamu boleh tidur lagi Win biar aku duduk di depan saja, nggak apa apa kok Win”

“Kok kamu menyuruhku sih Mas, silakan duduk Mas. Biar aku buatin kopi”

“Kok kamu baikan sama aku sih Win?”

“Kamu kan teman sekantorku,  dan   sudah banyak kebaikan yang kau berikan padaku. Hanya segelas kopi saja Mas Pras, maaf aku nggak punya apa-apa”

“Emangnya aku minta apa ?. Win rumahmu terasa sejuk, beda dengan rumah di tengah kota, gerah dan kumuh. Apalagi masih banyak tanah kosong di kanan kiri rumahmu” Winda hanya diam seribu bahasa, sempat aku tertegun memandang wajah yang tak pernah bosan aku pandangi. Wajah itulah yang selalu menyertai aku dan hatiku di setiap saat.

“Ya beginilah rumahku Mas, beda jauh dengan rumahmu. Maka aku heran mengapa repot tepot Mas Pras datang ke sini. Kalau perlu aku, besok kan kita bisa ketemu di kantor”

“Winda !, apa aku nggak boleh mampir ke rumahmu ?. Kamu seharusnya bahagia lho Win. Engkau masih memiliki Reki dan Bella, itulah kebahagianmu. Sedangkan aku, meski rumahku bagus, tetapi berisi kehampaan semenjak Santi meminta perpisahan, dan semua anaku ikut dia. Entah sampai kini akupun tidak tahu kemana anaku tinggal”

“Ah itulah kehidupan Mas, kehidupan yang akan aku jalani bersama kedua an


aku. Aku sangat mengharapkan mereka berdua bahagia kelak” Winda hanya mencibirkan bibirnya dan sedikit berhias senyuman sinisnya. Meski tanpa lipstick dan make up layaknya wanita modern. Winda masih menyisaka keayuan yang alami.

“Tapi engkau akan tetap tersiksa Win, tanpa ayah mereka disisimu”

“Tolong Mas Pras, jangan ungkit ungkit itu lagi”

“Aku akan tetap memintamu untuk itu Win !. Meski sampai kapanpun. Kamu manusia yang juga berhak bahagia di dunia ini”

“Masalah itu urusanku to Mas !” Winda mula memerah pipinya. Pertanda sama sekali dia tidak mau mengingat masa lalunya.

“Winda, akupun merasakan sama seperti kamu. Bahkan kamu lebih berbahagia. Tapi cobalah kita hadapi bersama hidup ini. Tentunya kamu sudah kenal lama aku”

“Aku harap Mas Pras jangan melangkah seperti itu lagi, percuma Mas!.  Sikap saya sama seperti yang dulu duu, tetap tidak berubah”  Suara Winda mulai terdengar ketus hingga membangunkan kedua anaknya. Windapun segera menghampiri mereka berdua, untuk membelai si kecil Bella, agar tidak menangis. Ternyata di balik kehidupan Winda yang dingin, masih terselip kebahagiaan degan memberikan kasih sayang pada anak anaknya. Beginilah harkat dari kehidupan ini, akupun rindu dengan keteduhan jiwa seperti ini.

“Mas Pras, tunggulah dulu, aku tak menidurkan Bella dan Reki”

“Aku tunggu di luar saja Win.  Di luar angin kemarau mulai kencang“

Suara dari dalam rumah kembali hening, mereka berdua di buai angin kemarau yang mulai kencang dan sejuk. Sementara aku masih berdiri di depan rumah yang berdiri di tengah padang di tepi kota. Tak lama Windapun menyusulku dan duduk di kursi tua dari bambu.

“Mereka sudah tidur, ? “

“Sudah Mas, mereka berdua memang saya didik mandiri, sehingga tidak manja” Kini terlihat rambut Winda yang panjang terberai di terpa angin kemarau, akupun segera duduk di sebelahnya.

“Win apa salahnya sih, setiap mereka bermanja kita berdua selalu disisi mereka”

“Aku nggak bisa, maaf Mas ?”

“Mereka butuh itu Win “

“Tapi mereka kan tahu kalau Mas bukan bapaknya”

“Lama lama mereka juga akan percaya”

“Mas masih banyak wanita yang cocok mendampingimu. Apalagi Mas Pras keren dan kaya serta punya jabatan”

“Apa arti semua itu sih Win?”

“Tapi bagi wanita kota kan berarti sekali Mas’

“Tapi bukan itu yang jadi ukuran hidupku Win?”

“Maksud Mas ?”

“Buat apa aku kaya, kalau nggak punya siapa siapa. Apalagi tanpa kamu disisiku”

“Ah Mas Pras berlebihan. Tolonglah Mas, aku nggak bisa Mas”

“Tapi demi Reki dan Bella kamu perlu mencobanya Win “

“Mas Pras kok terus merayuku, maaf Mas. Jawabanku sama seperti saat kita di kantin, saat kita piknik ke Bali sam temen-temen kantor. Mas pun memintaku dan jawabanku tetap sama”.

Barangkali saja aku laki laki yang paling menderita di muka bumi, akupun tak tahu lagi. Kalau toh Winda memang tidak bisa aku miliki, biarlah angin kemarau di tengah padang ini yang akan menjadi saksi ,  bahwa cinta kasih antara sesama manusia memang harus berasal dari lubuk hati yang paling dalam. Meski aku sudah lama kenal Winda sebagai teman kerjaku, tapi toh Winda adalah tetap Winda yang hanya bayangnya saja hadir di hidupku. Lamunanku menjadi pudar, setelah mendengar kedua Bella dan Reki yang terbangun dari tidurnya dan kini menark tanganku mengajak bermain di tengah padang.

Hari sudah hampir petang, mereka berduapun telah puas dan lelah main di tengah padang. Winda segera menyuruh mereka berdua masuk rumah untuk mand.

“Win !, aku bisa kan menjadi ayah mereka, mengapa kamu tidak bisa ?” Winda hanya menunduka wajahnya, dan sorot matanya kini berisi suatu kesejukan di balik bening air matanya. Akupun memberanilan diri untuk mengusap rambut Winda dan diapun hanya memberikan senyum penuh arti.