Rabu, 15 September 2010

BILIK CINTA Di BATAS KOTA

Mestinya aku biarkan saja semua yang menimpaku berlalu begitu saja, tanpa singgah barang sedikitpun di sudut hati. Sehingga jadilah aku manusia yang terbang bebas kesana kemari, sebebas angin kemarau menerjang siapa saja yang dihadapannya. Bahkan tak akan kulepaskan sayap ini hingga kudapatkan penggantimu. Tanpa adanya sedikitpun bayang Angelina yang selalu saja mencuri hatiku. Apalagi kini sebuah penantian memagutku tak berdaya.
Aku sendiri tak menyadari, bila Angelina selalu saja bersembunyi di balik kekagumanku. Hingga sebuah kenyataan yang ada didepanku terasa sungguh sulit kuterima. Masih saja ada tatapan harap yang selalu membentur semunya batas pandang. Angelinapun pergi entah kemana. Lantas apa yang dia miliki dalam hatinya, apakah hanya bunga sedap malam, ataukah aku yang dungu , yang hanya mampu terbujur di keputusasaan.
Tahun pertama sebuah perpisahan terasa belum seberapa lama, sebuah kado ultah Angelina yang ke 23 pun sempat aku beli dan kuterbangkan hingga ke Ujung Pandang menyusuri kenangan bersama dia, kala dia mengajaku berliburan di rumah Tante Rosa. Kembali aku merasakan kedua kakipun terasa telah terjerambab ke dasar bumi, kala Tante Rosa mengabari bahwa Angelina telah pindah ke Sidney , merengkuh bahagia bersama pria bule.
Tapi memang dialah Angelina, yang memang pantas menerima kebahagiaan seperti itu.Menapaki maghligai bahagia dengan pria yang mampu membahagiakan dia segalanya. Semoga saja Angelina mampu memiliki dunia ini dengan segala kekurangannya. Atau kekurangan apapun yang dia terima, mampu disikapi dengan kelapangan hatinya yang seluas dunia.
Moga saja Tom suaminya mau menerima Angelina apa adanya, menerima sesuatu yang dimiliki Angelina dengan segala kekurangannya, dibalik kecantikanya. Karena hanya aku saja yang selama ini mampu menerima kekurangan Angelina, karena sebuah janji sempat aku torehkan didepanya dengan saksi air matanya yang membasahi bahuku. Kala dia menerima hasil diagnose dokter yang menemukan adanya kanker ganas yang bersemayam di organ dalamnya.
“Marcell, aku harus mengucapkan selamat tinggal untukmu”. Kalimat darinya masih saja menghuni telingaku, meski telah satu tahun lamanya.
“Tenanglah dulu, Lia !. Jangan berkata kaya gitu”
“Aku harus ngomong gimana, bacalah hasil lab PA ini. Oh Tuhan kenapa begini !”
Sebuah pelukan lebih hangat dan rapat membuat akupun tidak ingin kehilangan dia hingga kapanpun. Aku baca hasil lab itu, dan tertera jelas catatan dr. Isa yang merekomendasikan adanya kanker ganas di antara organ organ dalamnya. Dan catatan medispun merekomendasikan dia hanya mampu bertahan 5 tahun. Sebuah petir menyambar hati ini, hingga lemaslah seluruh badanku. Namun aku harus menunjukan ketegaran sebagai Marcell yang harus mampu menjadi tempat berlindung Angelina.
‘Oh Marcell, bagaimana ini ?”
“Kamu harus bersabar Lia, tentu saja yang mampu menyembuhkan adalah ketegaran kamu sendiri “. Dadaku terasa sesak saat Angelina menumpahkan kesedihan dan kegetiran hatinya dengan memeluku erat. Sementara seluruh tubuhnya tergoncang, lantaran Angelina belum mampu menerima kenyataan ini. Sekarang telah lima tahun berselang, aku telah berusaha menambatkan bahtera hidupku dengan gadis pilihanku yang mampu menyirnakan bayang kehadiran Angelina, namun selalu kandas dan berakhir dengan perpisahan. Selalu saja kekelaman aku dapatkan sama seperti yangh ditorehkan Angelina.
Memang tak semestinya aku terus ditelikung bayang Angelina, aku laki laki yang sudah sepantasnya menggenggam dunia dengan ketegaran hati dan kekokohan langkah. Hari demi hari baying Angelinapun tertinggal jauh, Sebuah langkah percaya diri dan gentle kembali aku dapatkan sebagaimana layaknya seorang laki-laki.
Hingga datanglah Rully, yang membuatku kembali lagi terbangun setelah lima tahun mengalami mimpi buruk terpasung Angelina. Sebuah rumah mungil di pinggir Kota Semarang telah menjadi saksi bahwa bahtera yang aku miliki telah menambatkan diri di tepi pelabuhan hati Rulli. Berbagai suka dan dukapun menjadi saling berbagi. Layaknya saling bergantinya temaram senja dan fajar di ufuk timur. Meski kebahagiaan Rully dan aku belum lengkap tanpa kehadiran seorang putrapun.
Rullylah yang paling merasakan kekurangan ini. Begitu besar kerinduan dirinya akan kehadiran seorang putra. Bahkan kerinduan ini semakin lama semakin menggrogoti hatinya. Hingga pada akhirnya diapun meminta sebuah perpisahan. Mungkin saja Tuhan berkenan menciptakan hambanya yang memang sanggup menerima cobaan yang tiada kunjung reda. Disaat sisa umurku yang menipis sebuah perpisahanpun masih saja melekat dalam hidupku. Namun sebuah kodratlah yang menginginkan perpisahan ini, karena merawat benih dalam kandungan, melahirkan dan mengasuh anak hingga dewasa adalah dambaan tiap wanita. Akupun melepas kepergian Rully dengan sebuah keinginan agar hatiku mampu setegar karang dilautan.
Rumah mungil di batas kota itupun kini lengang, berisi sebuah episode tentang sketsa hidup seorang manusia, yang berdinding putih kelabu, beratap asa yang tiada bertepi dan berlantai sebuah kekokohan yang terukir selangkah demi selangkah. Namun biarlah rumah mungil di batas kota ini nantinya aku harapkan masih bisa menjadi saksi perpisahan diriku dengan dunia yang penuh kepalsuan. Entah sam[pai kapan waktunya

INDONESIA DI TENGAH TABIR KEPALSUAN

Tak henti hentinya air mata Bangsa Indonesia tertumpah kala mendengar meninggalnya Bilqis putra kita semua, meninggalnya sejumlah anggota Satpol PP di Koja Jakarta Utara , sejumlah oknum pemimpin yang mendholimi uang negara (Gayusmania), karena semua halaman media cetak dan layar televisi lagi lagi menayangkan adu kepentingan yang terwujud dalam benturan fisik. Apakah kita sama sekali tidak pernah mendapatkan pembelajaran dari nenek moyang kita tentang makna duduk sama rendah berdiri sama tinggi, ataukah ini hanya sebuah gejala keberpihakan sejumlah oknum komponen bangsa hanya pada kepentingan pribadinya saja. Apabila kondisi ini tetap eksis hari demi hari hingga waktu tak tentu, maka jadilah Indonesia sebagai negri yang berada dalam „Tabir Kepalsuan“.

Kembali ke nilai – nilai lama, kala kita bersatu mengikat diri dengan tali nasionalisme, hingga terbentuknya Bangsa dan Negara Indonesia, adalah langkah yang paling baik untuk mengakhiri carut marutnya kekisruhan politik yang subur bagai jamur di musim hujan, hingga tersingkaplah „Tabir Kepalsuan“ yang selama ini mengungkungi kita bersama. Mengapa para pemeran sandiwara politik yang elit, dengan kapasitas mereka sebagai cendekiawan / pemimpin bangsa / tokoh nasional / pejabat dan mantan pejabat nasional , cenderung tidak perduli dengan nilai ketentraman wong cilik.. Bukankah dengan stabilitas yang mantap dan terkendali akan menstimulir iklim usaha yang kondusif.

Mengingat sesuatu yang terjadi di masa-masa silam, adalah hal yang paling menyenangkan. Apalagi bila kejadian tersebut akrab dengan hidup kita sehari – hari. Tentunya kita masih ingat kala di era Tahun 80 – an, kehidupan sosial masyarakat Indonesia tidak pernah terusik dengan berbagai konflik sosial politik yang menjangkiti masyarakat. Meski kala itu kita dipimpin oleh seorang negarawan yang sering kita caci, negarawan tersebut adalah Soeharto. Apabila kita mau mengakui dengan jujur kelebihan rezim Soeharto dalam memerintah negeri ini.

Kita tentunya merasa bahagia, menjadi anak bangsa yang hidup di jaman reformasi, yang mengedepankan transparasi, supremasi hukum, kebebasan pers, penegakan HAM, persamaan hak politik dan hukum serta seabreg nilai tambah lainnya. Seharusnya dengan fenomena sosial- politik seperti itu kita akan bertambah hidup nyaman. Wong cilik mampu untuk memperbaiki nasibnya tanpa dirusuhi dengan carut marutnya multidimensional. Meski dikanan kiri telah kita lihat berbagi orasi, perseteruan, koalisi ataupun manuver politik lainnya. 

Mengedepankan proses hukum yang transparan, adil dan proposional adalah salah satu sarat mutlak guna menepis stereotype yang muncul di semua sendi kehidupan bangsa ini yang melelahkan. Sementara itu stereotype itu sendiri sudah menjalar di setiap oknum individu petinggi negara ini dengan membuat pusaran yang menyeret institusinya. Sehingga tak urung lagi institusi seperti Polri, Kejaksaan, KPK, institusi kementrian dan parlemen negara kitapun ikut terjerambat dalam pusaran konflik. 

Seperti kita ketahui bersama bahwa setiap konflik sosial antar dan inter kelompok sosial, pemimpin dan institusinya pastilah mewujudkan stereotype satu dengan lainnya. Meski telah banyak gagasan dari berbagai media yang menginspirasikan persatuan dan kesatuan namun tetap saja stereotype ini masih bergayut seperti mendung tebal tadi. Stereotype tersebut sebaiknya diakhiri dengan munculnya niatan baik untuk saling berpelukan antara kelompok yang saling bersebrangan dan melakukan khitah, seperti saat semula kita bahu membahu merebut kemerdekaan. Bukankah stereotype tadi akan sirna berkeping bila kita sadar akan tujuan hakiki dari pembentukan bangsa dan negara ini.

Namun hingga kini apa yang diharapkan dari wong cilik tidak kunjung selesai, bahkan terus menghimpit membentuk lingkaran setan yang tiada berujung . Padahal jurang ketertinggalan kita dengan bangsa lain semakin melebar dan dalam. Kekhawatiran tentang disintegrasi dan robohnya ketahanan nasionalpun menjadi semakin menguat, dan menimbulkan persepsi publik bahwa Indonesia dewasa ini dalam sebuah ”Tabir Kepalsuan”.

Kalau toh ini terjadi maka perlu kami ketengahkan sebuah sindiran tajam, bahwa untuk penyusunan APBN Tahun anggaran ke depan perlu adanya alokasi dana khusus untuk biaya perseteruan politik, yang besarnya melebihi anggaran pendidikan, infrastruktur dan alutsista. Tentunya berbagai pihak yang membaca alokasi dana tersebut pastilah tidak setuju, demikian pula pasti akan tidak setuju pula bila kita akan terus berlarut arut dengan perseteruan politik. 

Sudah sewajarnya bahwa kita sebagai anak bangsa yang masih dihinggapi nasionalisme yang kuat, tentu memiliki tanggung jawab moral untuk membawa bangsa dan negara ini menggeliat dari keterpurukan. Sarana untuk berbuat kebajikan tersebut adalah hanya berbuat menurut kapasitasnya dengan jiwa merah putih, bukan untuk mendapatkan penghargaan dari rakyat. Karena kita telah mendapatkan titipan dari Tuhan yang Maha Kuasa berupa bangsa dan negara ini, semata-mata untuk mensejahterakan anak cucu kita, bukan untuk menjadikan pandai berorasi politik saja. Sehingga setiap kandungan hayati dan nonhayati , budaya, kesantunan dan sikap hidup tepo-sliro dari Bumi Pertiwi ini betul betul bisa membawa kita hidup adil dan makmur, bukan terus dirundung dalam ”Tabir Kepalsuan”

Kupu Kupu Kertas

Melati menjadi enggan berbuat sesuatu, jiwa dan kalbunya dikungkung kenyataan yang ada. Dia kini hanya berpegang pada rasa pasrah yang tinggal di sudut hatinya. Tubuhnya yang tadinya simpal kini hanya tinggal tulang yang dibungkus kulit, Pandangan matanya padam mendingin, tidak sebinar beberapa lama silam. Kadang diapun hanya berteman dengan ketidaktahuan, sementara kekelautan jiwa yang mendera tiada pernah ditambatkan pada siapapun.
Bunga yang tadinya mekar bersama dengan keceriaan hatinya, kini tiada pernah menyambut pagi lagi. Padahal dia adalah kembang ranum yang menyerbak harum wangi dan tiada satupun pria yang enggan dekat dengannya. Sesekali dia mencoba untuk membangun hatinya agar seperti dahulu menghadapi dunia yang kini asing baginya. Namun itu hanya sesaat, karena sesuatu yang ingin digapainya kini entah terselip di belahan bumi mana. Akhirnya kini dia terkungkung dalam ketidaktahuan lagi.
Masa-masa bahagia mungkinkah bisa erat dengan aku lagi, demikian bisik hatinya yang beribu kali datang dan pergi. Kala dia termenung di tengah malam menunggu pengharapan esok hari. Dia ingat betul betapa dulu papinya menjadi direktur perusahaan miliknya sendiri. Begitu bergelimpangan dunia mewarnai keluarganya kala itu. Namun semuanya hilang bagai ditelan bumi, semenjak papinya memiliki sekretaris yang cantik, Tante Else namanya. Hingga membuat papinya lupa segala-galanya, Setelah puas menghamburkan uang papinya, Tante Elsepun pergi entah kemana. Tinggalah penyesalan yang menghinggapi perasaan Harsoyo, hingga dia sakit.
Ironisnya lagi, Harsoyo meregang nyawa dengan sakit komplikasi yang parah disaat semua harta kekayaannya disita bank. Kini dia terbujur di kamar tidur rumah kontrakan di sudut kota
Pintu bambu kamarnya berderit, tak lama terlihatlah wajah seorang wanita separuh baya dengan wajah lusuh namun masih menyisakan senyum yang tipis duduk di samping Melati, yang masih terpaku diam. Wanita itu tak lain adalah Haryati, ibunya Melati. Lama dia memandangi wajah anak sulungnya, sambil sebentar sebentar melepaskan nafas panjang, pertanda kekalutan hatinya telah melekat di hatinya.
“Sudahlah Melati, kamu tak usah memikirkan orang tuamu, cukup mami saja. Kau kan masih sekolah? ”.
“Aku tidak bisa seperti itu Mam, aku ingin keluar sekolah, aku ingin bekerja sebisaku untuk biaya adik adiku dan juga mama”
“Kamu mau kerja apa ?, Yang berijazah sarjana saja tak laku kerja”
“Entahlah, Mam !. Sudah beberapa hari ini kita makan seadanya, lagi pula aku masih punya tiga adik yang butuh uang sekolah, sedangkan papa sudah tidak kontrol ke dokter lagi”
“Melati, itu semua tanggung jawab Mama, apapun yang terjadi di keluarga ini, mamalah yang harus tanggung jawab. Kamu jangan berpikir terlalu keras, anaku !”
“Aku kasihan mama, biar Melati keluar sekolah saja mam !. Melati bisa kok mam cari biaya untuk membantu keluarga kita”
“Aku tidak ingin anaku putus sekolah, demi masa depanmu, jangan kau lakukan itu Melati?. Biar mama saja yang cari biaya. Aku Cuma titip papamu, rawat dia bailk baik Melati ?”
“Mama mau ke mana ?”
“Mama mau ke Jakarta, semoga bisa menemui pamanmu. Mama mau nyari pinjaman ! “
“Kalau nggak dapat pinjaman, Mam ?”
“Itu masalah nanti, yang penting rawatlah papamu dan adik adikmu, untuk beberapa hari “
Melati hanya mampu menganggukan kepalanya, dia kini hanya mampu menahan napas. Rasa khawatir masih terselip di hatinya, jangan –jangan itu hanya alasan mamanya saja. Melatipun tahu bahwa mamanya adalah wanita yang meski telah berumur hampir separo baya, namun masih kelihatan cantik. Kulitnya kuning, tubuhnya masih kelihatan seksi.
Melati ingat betul, kala papinya jatuh dipelukan Tante Else, maminyapun melampiaskan nafsu durjananya dengan sejumlah om kolega papinya. Maminya hanya seperti pilala bergilir yang tiap malam jatuh dipelukan teman teman papinya, namun papinyapun sama sekali tidak bereaksi, bahkan semakin hangat membelai Tante Eise.
Semua memang telah berlalu, baik mama dan papinya telah menyadari akan nafsu gilanya yang selama ini mereka lampiaskan, Mereka tidak sadar bahwa anak anak mereka telah beranjak dewasa, apalagi Melati putra sulung mereka telah menginjak usia dewasa, Melati kini bagaikan artis sinetron atau foto model yang gaul, modis dan memiliki paras yang selangit. Langit cerah mulai tampak di atap rumah keluarga Harsoyo, namun hanya sesaat karena angin kembara telah membawa mendung hitam menyelimuti hati mereka semua. Apalagi kini kehadiran mama mereka telah sekian lama hanya meninggalkan bayang-bayang semu.
Melati tiada bergeming barang sedikitpun dari buruk sangka terhadap mamanya, diapun kini hanya meronta dengan hatinya yang paling dalam, untuk menyelamatkan papanya yang berjuang melawan maut. Pendirianya tetap kukuh agar dia da papanya serta adik adiknya dilingkungi kebahagian seperti dulu lagi. Bukankah Om Aleksander mampu membantu mengurai benang kusut ini semua, hanya dengan menyodorkan sebilah cinta kepadanya, meski separo hatinya yang bening tetap milik Indra. Namun Indra tetap Indra baginya, meski saat ini sama sekali tidak mampu memberi secercah harapan untuk mengatasi kekalutan hatinya.
Malam bertambah dingin, semakin panjang rasanya penantian Melati untuk kedatangan Om Aleksander, papanya masih meregang menahan sakit, semua adik-adiknya kinipun terlelap. Kepergian mamanyapun sudah dua minggu berlalu, Kini Melati hanya bertumpu pada ketidak tahuan, semoga saja Om Aleksander mau datang malam ini, meskipun entah apa yang akan terjadi.
Deru mobil sayup terdengar dari arah yang cukup jauh, kini jelaslah bahwa mobil itu adalah milik Om Aleksander setelah nyampe di pekarangan rumahnya. Melati tertatih keluar agar tidak membangunkan adik adiknya yang tertidur menahan lapar. Malam kini menjadi milik mereka, hanya dengus nafas berat dan panjang serta keringat mereka berdua menjadi saksi terpagutnya hasrat mereka di kedinginan malam Kaliurang.
Pagi itu Melati terlambat bangun, rasa kantuk dan pegal seluruh tubuhnya masih saja belum mau pergi, sayup dia terdengar mamanya menggerutu dengan suara yang hampir memenuhi isi rumah yang tidak lagi mengguratkan kedamaian hati masing-masing. Kini sorot mata tajam mamanya diarahkan padanya, dan terdengarlah lengkingan ucapanya yang memecahkan keheningan pagi itu,
“Dari mana saja kau !, wanita jalang !”
“Mama dari mana ?, mama juga wanita jalang”
“Anak tidak tahu diri !. Mama pergi ke Jakarta, cari pinjaman untuk biaya papamu dan sekolah kamu !”
“Tidak mungkin, mama jangan bohong !. Paman malah nyari mama, kemarin dia sms. Mama bohong kan ?”.
“Untuk apa mama bohong, mama mampir dulu ke teman mama juga untuk nyari pinjaman”
“Mampir ke Om Yayan kan!, pacar mama dulu ?. Sudahlah mama jangan bohong. Aku jadi wanita jalang juga karena mama seperti itu, yang tidak tahu malu. Kasihan papa mam!” teriakan Melati membumbung tinggi dan membangunkan semua adik-adiknya yang kini hanya bisa saling melempar pandang.
Melati kini bertambah meradang, dari benak hatinya timbul keinginan untuk menerkam wanita yang berdiri di depanya, setelah kedua pipinya terasa panas. Beberapa kali tangan mamanya mendarat di kedua pipinya. Diapun menjerit mengungkapkan kata hatinya yang dipenuhi bara api.
“Ayo bunuh aku mam, bunuh aku, agar mama puas. Aku memang wanita jalang, karena mamaku juga jalang! “
“Sudah, diam kau anak durhaka !”
“Meeelatiii. . . Maaamaaa…kemarilaaaah”. Suara kedua perempuan itu menjadi terbungkam, setelah terdengar rintihan dan tangisan Harsoyo yang sudah tak berdaya lagi, tergolek lemah di pembaringan. Sontak keduanya berlarian menuju kamar sebelah dalam. Mereka segera menubruk laki laki setengah baya yang terlihat pucat pasi.
“Peluklah aku, anaku dan mama. . . jangan kau lakukan lagi…sudah yaa, papa ngggak kuat lagi…selamat tinggal”. Suara Harsoyo melemah kemudian hilang terselp entah di mana, diikuti dengus nafas yang terhenti. Tubuh Harsoyopun menjadi terbujur kaku dan mendingin******