Sabtu, 12 Maret 2011

Tidak Sok Jagoan Lagi

Amran hanya duduk termenung di pojok kelas selama beberapa hari ini. Apalagi bila waktu istirahat tiba, sama sekali Amran tidak menampakan senyum manisnya seperti biasanya. Padahal sehari-hari dalam kelas Amranlah yang dikenal teman teman dan bahkan guru gurunya sebagai murid yang bawel atau suka membuat kegaduhan dalam kelas. Tentunya sesuatu terjadi pada diri Amran, hingga dia bersikap seperti itu.

Rasa was was dan ingin tahu sudah barang tentu sekarang menjalar ke tiap pasang mata yang ada dalam kelas, apa gerangan yang terjadi dengan Amran, jangan jangan Amran sakit keras, tapi mengapa dia tiap hari berangkat sekolah, atau apa Amran mempunyai kesalahan pada bapak/ibu guru. Pertanyaan seperti itu sekarang terdengar dimana mana, namun tidak ada satupun siswa yang berani menanyakan langsng pada Amran. Hal ini karena tiap hari Amran selalu menampakan gurat wajah yang garang sekaligus sedih dan terkadang kelihatan bingung.

“Eh Adi, kamu kan ketua kelas!. Coba kamu sampaikan kepada wali kelas kita tentang Amran. Sebelum dia jatuh sakit atau apa. Sudah jelas Amran sudah tidak bisa sekolah lagi, kalau keadannya seperti ini terus” . Sebuah gagasan yang menarik timbul dari Melly, yang sontak disetujui oleh teman teman semua yang sedang kumpul di kantin belakang sekolah saat istirahat pertama.

“Ah …itu ide bagus Mel, tapi bagaimana aku menyampaikan pada Pak Tris ?”. Ada keraguan dalam diri Adi, lantaran dia takut bila Amran marah kepada dia bila masalahnya disampaikan wali kelas mereka. Alasan Adi sang ketua kelas memang masuk akal, karena Amran termasuk teman mereka yang bandel dan urakan.

“Kenapa takut Di ?, biar aku antar kamu menghadap Pak Tris” seru Willy, siswa yang selalu menenmpati rangking pertama dalam nilai rapotseak kelas VII. Sehingga mereka semua memanggil Willy dengan sebutan “The Smart Boy”.

“Bukan gitu masalahnya, Smart !, aku takut Amran marah sama aku, kamu semua kan tau?, kalau Amran anaknya Sering membuat kacau”. Adi sang ketua kelas yang diakui berwibawa sekaligus cakap dan pandai serta berwajah ganteng, maka wajar saja kalau teman temanya memanggil dengan panggilan gaul “handsome”. Saat ini Handsome sepertinya ragu ragu untuk menyampaikan permintaan teman temannya.

“Hai Handsome !, Kita serahkan masalah Amran pada wali kelas kita.Kenapa takut ?. Justru kita berniat menolong dia agar kembali seperti dulu lagi: Melly mendesak Handsome agat betul betul menyampaikan maksud baik temen temen sekelasnya Amran.

***

‘Kalian tidak usah sedih dan cemas tentang keadaan Amran. Bapak sudah tahu semuanya” Jawab Pak Tris kepada Smart, Handsome dan Melly kala mereka menghadapnya di kantor guru pada suatu siang.

“Lantas apa yang terjadi dengan Amran, Pak” Handsome tak sabar menunggu penjelasan wali kelas mereka.

“Sebelum Bapak jawab, Bapak sangat terkesan dengan sikap kalian semua yang peduli dengan dengan nasib teman kamu yang satu ini, Amran memang sedang mengalami tekanan dan penderitaan hidup yang berat bagi anak seusia kalian, Bayangkan saja, Ibu Amran sekarang sudah tidak mengirimkan wesel lagi “

“Lho…kemana perginya Ibu Amran, Pak !” Tanya Melly.

“ Sejak dia masih duduk di kelas VII, dia sudah ditinggal ibunya menjadi TKW di Saudi Arabia. Tapi selama itu kiriman wesel ibunya selalu lancar, namun 3 bulan belakangan ini kiriman wesel ibunya terhenti sama sekali, bahkan selembar kertas suratpun tidak pernah dikirim ibunya, setelah Negara itu mengalami kekacauan”

“Amran kan masih punya bapak ?” Dalam diri Smart kini mulai timbul rasa iba terhadap nasib Amran.

“Huuuh..berapa sih penghasilan bapaknya yang hanya bekerja sebagai abang becak, apalagi bapaknya sekarang sedang sakit keras, karena bersedih memikirkan nasib ibunya Amran yang hingga kini belum jelas nasibnya “

“Oh ya Pak, Amran kan masih punya adik ?”

“Betul Mel, dia masih punya 2 adik yang masih duduk di sekolah dasar. Kamu bayangkan betapa paniknya Amran. Seusia bapak saja belum tentu kuat menghadapi cobaan seperti temanmu itu, jadi doakan Amran agar dia bisa tabah menghadapi ini semua.”

“Terus siapa yang membiayai Amran dan adik adiknya ?” Tanya Handsome.

“Bapak tidak sampai hati menanyakan ini semua, bapak sudah bisa membayangkan betapa beratnya beban anak ini. Oleh karena itu, bapak mencoba untuk menyampaikan masalah Amran kepada Bapak Kepala Sekolah “

“Apa jawaban bapak kepala, Pak,?” Tanya Smart

“Yah..sekolah hanya mampu memberikan keringanan pembayaran untuk Amran dan berencana memberikan beasiswa yang akan diterimanya pada Upacara Hari Peringatan Ibu Kartini, 21 April nanti”

“Tetapi kebutuhan hidup Amran dan keluarganya kan masih banyak, Pak !, mana cukup kalau hamya dari beasiswa saja” Melly sambil membuka kedua tanganya mengajukan protes kepada pihak sekolah

“Sekolah hanya bertugas mengantarkan Amran supaya bisa berhasil dalam UN SMP tahun ini, selebihnya adalah tugas masyarakat temasuk kalian semua. Pak Guru harap kalian jangan mengucilkan dia, karena dendam dan marah. Pak Guru tahu Amran anaknya bandel dan sok usil, sehingga sering merepotkan kalian. Tapi dalam diri anak itu sebenarnya dia anak yang baik. Hanya kasih sayang orang tuanya saja yang dia tidak utuh menerimanya “

“Kasihan Amran ya teman teman !…Sebaiknya Handsome dan kau Smart segera membentuk Tim Penyelamat Nasib Amran…he..he..he” Canda dari Melly segera mendapatkan sambutan senyuman dari mereka yang berkympul.

“Beres Mel, kelas kita kan punya Squad penyelamatan untuk tugas seperti itu” sahut Handsome, yang disambut dengan tepukan tangan Pak Tris wali kelas mereka.

“Baik anak anaku, terserah kalian saja untuk memberi bantuan apa saja kepada Amran. Kita sudahi saja pertemuan ini, hari sudah siang. Kalian kan sebentar lagi mengikuti pelajaran tambahan. Silakan ke kelas, Pak Guru pamit. Selamat siang anak anaku !”

***
Rumah berdinding papan kayu beralas tanah masih kelihatan lengang, meski hari Minggu ini matahari telah sepenggalah tingginya di belakan bumi sebelah timur. Pintu depan rumah tua itu hanya tertutup tak terkunci, dari dalam rumah tak terdengar suara musik atau hiburan apapun. Hanya suara daun daunan di kebon samping rumah itu yang saling bergesek diterpa angin kemarau. Tanpa canggung tim Squad, yang terdiri dari Hondsome, Smart, Melly, Riska dan Teddy berusaha masuk ke rumah Amran, setelah cukup lama mengetuk pintu tanpa terdengar si empunya rumah.

“Amran..Amran…. bangunlah..aku Willy” berkali kali Handsome menggoyang kaki dan tangan Amran. Jelas kalau temanya itu, masih terkantuk akibat kurang tidur.

“Oh..kamu, sudah lama kamu di sini, sorry teman , aku tadi malam baru bisa tidur larut malam. Silakan duduk di tikar ini” sahut Amran.

“Kenapa kamu begadang, Mran ?” Tanya Teddy

“Semalam bapak badanya panas, setelah adik adiku tidur baru aku memijit bapak yang hingga kini masih panas badanya. Aku terimakasih dan minta naaf “

“Maaf apaan Man, kamu kan tidak punya salah “

“Aku tidak bisa memberimu minum dan…..” jawab Amran dengan suara merintih dan terbata.

“Ah, nggak perlu kamu punya rasa bersalah pada kami semua,Mran !” Teddy memeluk dan merangkul tubuh Amran yang terlihat semakin kurus dan kering. Karena dalam hati Teddy, temen Amran yang paling banyak mendapat getah dari sikap Amran yang sok jagoan di kelas, telah timbul perasaan yang iba.

“Aku sering menyakiti kalian di kelas, maafkan aku ya…!” seru Amran dengan suara yang masih terdengar merintih.

Mendengar rintihan Amran yang memang datang dari hatinya yang sangat bersedih, mereka berlima segera mendekatkan ke arah Amran, sambil memberikan perhatian kepada temen mereka yang malang.

“Amran, kami semua adalah wakil temen temen kelas IX , yang datang menjengukmu. Kami telah memaafkan semua kesalahan kamu dan setulus hati kami ingin agar kamu rajin belajar dan lulus dari UN nanti. Kita akan bertemu lagi, kan Mran ?” Handsome mewakili semua kata hati temen temenya.

Amran hanya diam membisu sambil menundukan wajahnya. Dalam hatinya kini timbul perasaan yang bangga terhadap teman temanya. Mereka bukan hanya memaafkan kesalahan mereka tetapi masih menunjukan rasa prihatinya pada nasibnya serta mereka bersedia mengumpulkan dana untuk meringankan beban penderitaannya. Ah betapa indahnya sebuah persahabatan, demikian hati kecil Amran berbisik.

Selasa, 02 November 2010

Bertemu Mahapatih Gajah Mada (Tersesat Di Lorong Waktu)

Berlian segera mengemasi buku bukunya setelah terdengar bel panjang berbunyi. Nyaring suara bel itu memekakan telinganya, tetapi kini hatinya girang bukan kepalang. Lantaran dia dan dua temanya masing-masing Irene dan Hamdi berencana main ke rumah Galang, putra Prof Alfonso.

Nama Prof Alfonso sudah tidak asing lagi di telinga Berlian. Setiap wajah professor jenius itu tertampang di televisi, Berlianpun terbesit dalam hatinya, ingin memiliki prestasi seperti dia. Kebetulan sekali Galang temen sekelasnya adalah putra Prof. Alfonso, maka hari itu sehabis sekolah dia berencana main ke rumah Galang, apalagi bila bisa berkenalan dengan professor itu. Meski hal ini sudah direncanakan jauh hari, namun baru saat ini niat Berlian bisa kesampaian. Berlian segera melonjak dan memburu ke tiga temanya yang sudah bersiap pulang juga.

Tidak beberapa lama sampailah mereka di halaman rumah Prof Alfonso, ahli Fisika yang sudah mendunia. Namun betapa kaget Berlian, ternyata rumah Prof Alfonso tidak semegah yang dia bayangkan. Tentunya sebagai ahli Fisika tingkat Internasional pasti memiliki rumah yang megah dan mewah, demikian bisik hati Berlian. Namu meskipun sederhana, rumah professor itu tertata rapi dan bersih. “Oh ini pertanda Prof. Alfonso adalah cendekiawan kondang yang biasa hidup teratur” demikian berkali kali bisik hati Berlian selama di dalam rumah professor.

***

“Silakan, teman-teman kita makan siang dahulu. Mama sudah menyiapkan makan siang untuk kamu. Berlian !, kamu tidak bisa berkenalan dengan papiku, karena papi baru saja ke Amerika”
“Lantas, apa kegiatan papimu di Amerika ?” Berlian penasaran ingin tahu kegiatan papinya Galang.
“Entahlah, tapi papi sering crita sama mama kalau papi berhasil menemukan “mesin perjalanan waktu”. Kalau ke Amerikanya aku nggak ngerti !”.
“Mesin waktu ?, mesinya sebesar apa. Lang ?” Tanya Irene penasaran.
“Aku nggak tahu mesinya yang mana, Cuma yang aku ngerti papa sering keluar masuk kamar yang terbuat dari kaca .Sekali papa masuk entah berhari-hari tidak kembali, nggak tahu tuh, papi ngapain aja ?”.
“Boleh aku ngeliat mesinya, Lang “ Pinta Irene.
“Boleh aja, karena mesin itu sudah dimatikan papi sebelum ke Amerika, Kalau Cuma ngliatin itu nggak apa apa, asal jangan menyentuh panel panel yang ada di dinding kaca”
“Dari mana kamu tahu itu ?” Tanya Berlian.
“Ya dari papa, pas aku libur sering main main di kamar kaca tapi nggak berani main main tombol yang ada di panel “.

2
Mereka bertiga kini sudah di depan “mesin waktu”. Merekapun sangat kagum dengan mesin temuan papinya Galang, belum pernah mereka melihat mesin secanggih itu. Sebuah kamar yang terbuat dari kaca anti gores dan anti panas. Kaca tersebut melingkungi sebuah ruangan yang serba berisi panel-panel otomatis, yang mereka sendiri tidak tahu fungsinya.
“Boleh aku masuk, Lang ?” pinta Berlian.
“Tentu, tapi jangan kamu pegang kaca bagian dalam, karena berisi tombol tombol serat optik dan serba otomatis”
“Ah, jangan masuk Yan, nanti malah kamu terlempar ke jaman lain” usul Irene pada Berlian.
“Oh, nggak apa--apa kalau Cuma masuk, kan sudah dikunci papi. Yan yang penting kamu jangan pegang panel panel itu ?”. Berlian hanya mengganggukan kepala, maka diapun memberanikan diri masuk untuk mengobati penasaran hatinya disusul ke tiga temanya itu. Mengapa kendaraan waktu ini bentuknya tidak seperti pesawat, kereta api ataupun bus atau bahkan kapal selam, apa pula bahan bakarnya.
Galangpun menemani temanya bertiga dan berusaha menjelaskan tentang mesin waktu itu menurut yang dia tahu. Sistim itu hanya melempar molekul molekul di tubuh kita dengan gelombang elektonika ke sasaran ” tahun waktu” yang kita tuju.
“Molekul ?, ah aku jadi nggak mengerti “ potong Irene.
“Gelombang elektronika itu yang kaya apa, Lang ?” seru Berlian
“Ya, kata papi sih, cahaya matahari juga termasuk gelombang elektronika“
“Kalau gitu, badan kita terasa sakit dong kalau naik mesin waktu ini?” sahut Irene.
“Mana aku tahu ?”
“Seandainya aku mau ke Jaman Majapahit, seperti pelajaran tadi pagi, aku tinggal klik aja sudah ketemu Patih Gajah Mada, ya Lang “ pekik Hamdi sambil berjalan memutar mutar kamar itu dengan kedua tanga direntangkan mirip pesawat terbang. Sikap lucu tadi segera diikuti Galang, Irene dan Berlian yang lagi senang hatinya. Tanpa mereka sadari kekonyolan mereka menyebabkan hidupnya “mesin waktu” Prof. Alfonso, karena mereka telah mengakfifkan panel mesin. Sehingga secara otomatis pintu utama tertutup, dan semua sistim di mesin itu aktif dan siap melempar mereka ke waktu Jaman Kerajaan Majapahit.
Mata mereka terbelalak seketika dengan jantung yang seakan akan mau lepas. Mereka berempat hanya mampu berpelukan satu sama lainya. Namun yang mereka rasakan hanya seperti naik lift di gedung bertingkat. Tidak beberapa lama seketika “mesin waktu” itu berhenti bergerak, pintu otomatispun bergerak terbuka.
Terlihat sebuah gedung tidak seberapa tingginya terbuat dari batu hitam yang kokoh, menjulang di depan mereka. Gedung itu dikelilingi prajurit yang beraneka macam persenjataanya, tak berbaju dan hanya bercelana pendek warna merah. Beberapa diantaranya sudah mengerumini mereka dengan terkagum kagum. Bahkan sebagian lagi berlarian karena ketakutan. Tetapi seorang prajurit yang berjambang dan berbadan tegap, menghampiri mereka sambil membentak, “He siapa kamu dan darimana?”.
“Temen temen saya yakin ini istana Majapahit, seperti permintaan Hamdi tadi. Kita sudah terlanjut sampai disini, kita tidak bisa mundur lagi. Sekalian saja kita berpura pura duta dari kerajaan apa, aku sendiri belum tahu. Kita harus berlaku sopan sehingga
3
mereka tidak menyakiti kita . Kalian jangan takut. Biar aku saja yang bicara denga mereka” Bisik Berlian kepada mereka bertiga yang sudah kelihatan pucat wajahnya.
“Tapi kata Bu Guru kita nggak boleh berbohong “ desak Irene.

“Apa prajurit itu tahu tentang “mesin waktu”, apa mereka percaya kita dari tahun 2025. Inilah jalan satu satunya bagai kita. Tidak usah takut temenku, ini bukan salah siapa siapa, ini salah kita bersama terbawa “mesin waktu”. Ujar Berlian mencoba membesarkan hati teman temanya.

***

“Ayo jawab anak kecil, Siapa kamu dan dari mana ?” Tanya kepala prajurit itu.
“Kami dari jauh, dari kerajaan Atas Angin. Kunjungan kami ke sini, sekedar untuk berjumpa dengan Mahapatih Gajah Mada. Kami hanya ingin menyambung persahabatan dengan Negeri Majapahit yang Agung” Jawab Berlian.
“Mengapa Kerajaan Atas Angin hanya mengirim anak kecil ?, apa tidak punya utusan lainnya ?”.
“Di negeri kami, anak anak adalah lambang perdamaian dan persahabatan. Maka raja kami mengirim kami semua. Apabila maksud kami diterima maka raja kami sendiri yang akan menghadap Tuanku Raja Hayam Wuruk. Tapi pada kesempatan ini ijinkan kami bertemu dengan Mahapatih Gajah Mada terlebih dahulu “
“Mana upeti tanda persahabatan kamu ?”
“Akan dibawa langsung oleh raja kami nanti !“ Jawab Berlian dengan berusaha meyakinkan kepala prajurit yang garang itu.
“Baiklah ikuti kami, akan kami bawa ke pesanggrahan Mahapatih Gajah Mada.
Sang Mahapatih dengan wajah yang penuh wibawa, duduk di kursi kepatihan, di kelilingi para Senopati Prajurit Majapahit dengan wajah tertunduk. Merekapun segera menghanturkan hormat, dan langsung dipersilakan duduk di kursi tamu kerajaan.
“Jadi engkau anak anak wakil dari kerajaan Atas Angin ?. Di daerah mana itu ?”
“Di daerah…Jayakarta “
“Oh,,aku tahu itu, dekat dengan Kerajaan Banten, mengapa baru ini aku mendengar ?”
“Negeri kami hanya negeri kecil, tentu saja Tuanku belum mendengar”. Jawab Berlian.
“Aku kagum dengan keberanianmu, anak anaku ?. “
“Raja kami terpaksa mengirim kami, karena berharap dapat menjalin persahabatan dengan Negeri Besar Majapahit. Anak anak di negeri kami dijadikan lambang cinta kasih, Tuanku ! ”.
“Oh, kami terima dengan tangan terbuka dan sampaikan salam hormat Majapahit untuk raja dan Rakyat Atas Angin. Istirahatlah kalian semua, silakan nikmati apa saja yang kalian suka ?”
“Jawaban dari Baginda Mahapatih Gajah Mada sangat ditunggu raja kami. Maka mohon maaf kami tidak bisa lama disini”
“Baiklah, anak anaku. Aku sangat terkesan dengan sopan santunmu. Tapi nikmati dahulu hidangan kerajaan silakan”

***
4
Mereka sudah kembali ke dalam mesin waktu, sementara Prajurit Majapahit lengkap dengan panji kebesaranya melepas kepergian mereka dengan penuh persahabatan. Galang berusaha sekuat tenaga mencari tombol mengaktifkan mesin waktu itu dibantiu ketiga temanya. Beberapa saat mereka mengalami kesulitan dan kepanikan. Di tengah kepanikan itu, Hamdi kemudian berteriak “Hai mesin waktu, kembalikan kami ke rumah Prof. Alfonso !”
Mereka kini berpelukan karena gembira, mesin waktu telah aktif dan dengan sesaat berhasil melemparkan mereka ke waktu tahun 2025, tepat di halaman rumah Prof. Alfonso. Setelah pintu utama terbuka secara otomatis, berhamburan sejumlah orang menghampiri mereka berempat. Mereka diantaranya adalah Prof. Alfonso, orang tua mereka berempat, para wartawan dan masyarakat luas.
“Oh, terimakasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan anaku kembali setelah tiga bulan lamanya mereka hilang terbawa mesin buatanku sendiri “ seru Prof Alfonso di tengah kerumunan yang berisi peluk dan cium.

Sabtu, 23 Oktober 2010

Bulan Di Keranjang Sutra


Lydia semakin acuh saja, saban aku lekatkan lagi hati ini. Namun semua itu bisa aku tepiskan, lantaran aku laki laki yang dikodratkan untuk tegar dalam menghadapi kehidupan. Entahlah kehidupan macam apa yang seperti ini. Kata hati seperti ini saja yang mampu selalu aku benamkan dalam telaga hatiku yang berair jingga, hanya itu pula yang menjadi kekuatanku dalam menggapai angin sejuk yang akan aku sinari cahaya bulan dalam keranjang hati ini.

Dalam keranjang hati yang bersulam kain sutra selembut anganku, dalam sentuhan angina kemarau di senja hari. Selalu aku sertakan Lydia dengan sejuta sayapnya untuk terbang mengitari langit misteri, bermega jernih. Namun akupun tiada pernah meluruhkan sayapku kala rona wajah Lydia menjadi masam, berlembayung hitam dan nampak mengusung keragu-raguan. Inilah sebuah hasrat dariku Lydia, inilah kala sebuah hati harus menerjang tebing tebing tinggi yang menjadi pagar taman bunga. Namun sekokoh apapun sebuah pagar, tidak akan mampu menahan gelora Ombak Laut Selatan yang memiliki seribu tangan untuk menerkamnya.

Lydia masih saja menatap angkuh pada gambaran halaman hatiku, nampaknya apa yang ada di hatinya betul betul terkemas dalam batu pualam yang kokoh dan dikungkung seribu misteri.

“Lydia lihatlah dalam keranjang ini, lembutnya kain sutra tidak selembut hatimu dan lihatlah pula bulan telah memberikan seberkas cahyanya untuk diri kamu “

“Herlin terjanglah gunung es jauh di depanmu, tak kan mampu kau mendapatkan keranjang itu. Arti sebuah persahabatan bagiku, perlu kamu simpan rapat dalam kantong bajumu “. Lydia membisikan sendu sedanya itu dekat telingaku.Hingga aku tak kuasa lagi untuk meneruskan tidurku lagi. Bergegaslah aku tepis mimpi itu di tengah malam yang terpagut sepi. Nampaknya hanya malam saja yang bisa menjadi wujud untuk berbagi meradangnya hati, sehingga aku jaga malam itu dari terkaman fajar. Namun malampun harus bergegas pergi.

 Google, 2010
Hanya eksotis wajah pagi saja yang masih berminat menemaniku, dengan ocehan burung kenari di dahan pohon rambutan. Sekali sekali terdengar juga burung nuri yang ikut nimbrung simponi alam ini. Pagi ini pula yang memberiku sebuah ide cemerlang, di tengahnya hati yang membujur dingin. Entah kekuatan apa yang membuat aku mau meluncur ke rumah Lydia minggu pagi ini. Ataukah selaksa malaikat yang terjelmakan dari hasrat hatiku yang melemparkan aku ke tengah gedung loji milik keluarga besar Lydia yang berada di tengah Kota Semarang.

Namun kaki ini belum sempurna betul menyentuh pijakan bumi, kala aku harus melewati wajah wajah berselimut aneh menatapku asing, manusia manusia berpakaian perlente memenuhi halaman rumah Lydia yang luas berlantai rumput halus, disela-sela pohon palm dan pot pot bunga besar. Mereka mengelilingi Om Bernhard papinya Lydia entah berniat apa mereka berkumpul di sini. Oh Tuhan mengapa harus hari ini aku ke rumah Lydia, yang dapat aku lakukan hanya mengutuk diriku sendiri.

***

“Mohon maaf, apakah sudah ada appointment dengan Tuan Benhard“. Tanya seorang berbadan tinggi besar dan mengenakan jas dengan dasi yang panjang hingga ke pusarnya. Anehnya orang ini bertanya dengan wajah bersungut sungut, bagaikan manusia yang dibuat dari mesin, tanpa memiliki hati barang sedikitpun. Bukankah ini Kota Semarang yang masih kental dengan nila kesantunan. Lantas apakah Lydia bersedia menemuiku bila berada di lingkungan seperti ini. Tapi memang aku yang tolol, bukankah Lydia tidak pernah bergaul sembarangan di kampus, yang sama sekali tidak pernah menorehkan sebuah senyumanpun pada aku kala berjumpa di kampus. Mengapa sekarang aku di rumahnya. Atau lantaran senyum Lydia kala menghiasi wajah yang melangkonis ini, dengan penampilan yang selalu serasi dengan kulit tubuhnya yang kuning langsat yang tidak mudah kulupakan.

Lantas mengapa pula Lydia sering minta tolong aku untuk ngerjain soal soal mekanika tehnik, kala kita satu kelas belajar bersama di perpustakaan. Bukankah aku juga berhak mengenalnya lebih dekat. Mengapa pula dia tidak pernah cerita kalau di putri seorang pebisnis besar. Sedangkan aku hanya anak seorang wartawan daerah dan penulis yang tidak seberapa mutu tulisanya. Namun papikupun terus membanggakan dirinya semata agar putra putra, termasuk aku mampu hidup dengan mandiri.

“Oh, maaf aku hanya teman satu kampus Lydia”
“Maaf tuan, Lydia hari ini sibuk sekali. Dia sebentar lagi memberi presentasi tentang rancangan Fly Over “
“Oh, maaf apakah dia mampu ?”
“Tuan ini siapa ?. Bicara tuan sangat merendahkan Tuan Lydia. Maaf tuan segera pergi dari tempat ini. Terus terang kedatangan tuan tidak dikehendaki Tyan Benhard “.
“Sebentar lagi aku akan pergi, memang ini bukan dunia saya. Tapia kun kasihan sama Lydia barangkali dia mengalami kesulitan dalam materi mekanika tehnik dan konstruksi beton. Tuan, Lydia sering bertanya padaku masalah out di kampus. Cobalah hubungi dia dulu “

“Baik tuan, untuk kali ini saja tuan saya beri kesempatan. Bila Non Lydia tidak bersedia, tuan, enyahlah dari rumah ini dan jangan ganggu Non Lydia lagi.

indah mahanani
Suara pintu tebal dari kayu jati mengagetkan kedua laki laki itu, kala dengan terburu Lydia membuka pintu itu. “Sukurlah Herlin aku sangat membutuhkan kamu “. Tangan Lydia segera melilit bahu Herlian dan segera menariknya menuju ruang kerjanya di pojok ruang tamu yang ditata dengan ornemen dan lay out model Jerman.

“Apa apaan Lydia, kamu udah gila ?”
“Masa bodoh, aku sudah nggak punya waktu lagi. Satu jam lagi papa menyuruhku presentasi. Aku masih banyak menemui kesulitan. Tolong Herlian aku minta bantuanmu”
“Tentang apa ?”
“Mekanika tehnik untuk rancangan Fly Over di Kota Semarang “
“Jadi proyek besar dong Lydia ?”
“Ah itu nanti, sekarang lihatlah gambar ini.Tolong kamu analisa ini”
“Baik, kalau itu mah yang paling aku senangi. Maka aku mendapat nilai A untuk ini “
“Oh, ya. Kamu tahu dari mana aku mau presentasi”
“ Aku asal asalan saja ,main. Aku tadi naik BRT, aku punya rencana minggu ini main ke rumah temen 2x, termasuk kau Lydia “

Lydia hanya diam membisu, sebentar sebentar pandangan matanya tertuju pada cowok udik yang nggak ngerti gaul dan hidup apa adanya, tapi pinternya minta ampun. Hari hari biasanya di kampus, cowok ini kelihatan biasa biasa saja. Lantaran dandanan dan sikapnya yang nggak ngerti gaul. Tapi kala Lydia tidak sengaja mengamati keseriusan cowok ini dalam melakukan analisa. Lydiapun telah mengakui bahwa kegantengan Adipati Karna, tokoh dunia pewayangan kini berada di depanya.

Bukankah Herlian berambut ikal bergelombang dan hitam dengan hidung mancung dan bibir yang tipis. Dan lagi postur tubuhnya yang ideal bila bersanding denganya, apanya yang kurang dengan cowok itu, tapi dekilnya memang membuat Lydia selama ini mengabaikan dia. Lydia merasakan sesuatu yang tidak adil, bila selama ini dia hanya minta tolong menyelesaikan tugas dan ujian semester. Tentang kelembutan cowok ini Lydiapun telah mengakuinya.

Lydiapun sekarang dengan tangkas dan mempesona memberikan presentasi rancangan konstruksi proyek papinya di depan hadirin. Sebentar sebentar mata yang indah dan bulat itu selalu memberikan sorotnya pada Herlian yang dipaksa ikut presentasi Lydia itu. Seakan akan Herlianlah yang sekarang menjadi konsultan megakonstruksi proyek besar di Kota Semarang. Sudah barang tentu kehadiran Herlian sekarang menambah pdnya.

“Herlian, terimakasih sekali kamu telah memberikan advice konstruksi ini, dan papapun kelihatanya puas dengan ide ideku, yang sebenarnya adalah ide kamu. Aku nggak ngeti Lian, mengapa justru kamu datang saat aku membutuhkanmu. Aku dari pagi mencari no Hpmu, tapi nggak ketemu, dan alamat rumahmu apalagi..”

“Ah, hal kaya gitu biasa aja Lyn, nggak ada yang istimewa. Hari udah siang aku mau pulang. Sampai ketemu lagi besok di kampus “
“Ntar aku antar kamu pulang sekalian aku pengin tahu alamatmu. Trimakasih ya Lyan..” .Lydia tak meneruskan kata katanya. Karena bibirnya kini sudah memagut bibir cowok udik ini, bagai ular kobra yang mematuk mangsanya.
“Aku nggak pernah menerima biasa menerima ciuman kaya gini, Lydia ?”
“Herlian…!!! ” Lydiapun tambah manja dipelukan Herlian, yang kini sudah tidak canggung lagi. Tapi Herlian telah lama menghadirkan gadis manja itu di hatinya, hanya saja sikap cowok ini tidak eksotis dalam meabuhkan cintanya. Maka Herlianpun segera menyurutkan hasrat penuh gairah itu. Karena yang dia inginkan dari Lydia adalah segalanya, bukan hanya gairah cinta anak ingusan.
“Herlian …mengapa ?”
“ Kamu cantik Lydia, kamu segalanya. Suatu saat kitapun saling memiliki “
“Maafkan aku ya Herlian”

Herlian hanya memberikan senyuman yang mampu memberikan keteduhan bagi hati Lydia. Kedua remaja kinipun bergandengan tangan menemui papanya Lydia, lantaran sudah saatnya Herlian pamit. Om Bernhard menjadi kagum dengan kemampuan anak muda sekarang, yang jauh dengan masa mudanya dulu, yang hanya bisa berjuang menegakan nasionalisme dijaman revolusi dahulu. Sekarang jaman sudah berubah, yang sangat diperlukan adalah lahirnya The Smart Generation seperti mereka berdua.

“Lydia sayang, apa kamu sudah lama kenal Herlian “
“Sudah pap, Cuma Herlian agak pemalu jadi baru kali ini berani main ke rumah”
“Oh, begitu. Selamat jalan Herlian, besok besok jangan sungkan-sungkan main kesini !’
“Tentu, Om ! “.

Keduanya kini meluncur dengan mobil warna merah metallik, menelusuri jalan jalan kota Semarang yang dipagari tanaman bunga warna warni, kini keranjang yang tak layak telah berisi sinar bulan yang menerangi hati Herlian yang tadinya gelap mencekam. Keranjang itu pula kini berenda benang sutra yang halus dan lembut. Kedua remaja inipun kini menembus kegelapan Kota Semarang.