Kamis, 10 November 2011

Indonesia dalam Sepotong Puisi


Indonesia dalam “Sepotong Kata di Penghujung Tahun 2011”


Lusuh


Dalam kungkungan langit biru,
aku suarakan, sebuah titian waktu, dalam bulan....dalam
hitungan akhir.....
hasrat untuk menuai “rumah bambu” di balik menjulang
tinggi Puncak Swargaloka...
dari sebuah “Bangsa Santun”, yang tergolek lemas
lantaran dipagut bisa-bisa taringnya sendiri

Nafas yang dikemas dalam tenggorokanya sendiri...
telah mengering, meranggaskan mentimun, labu
dan padi , di sawah yang bertebaran kebohongan
Mana akan kau semai palawija,untuk
anak cucu kita yang bernafas atmosfer “tak pasti”
yang melajukan deru- deru pertikaian
antara penghuni istana dan gedung berlantai marmer,
namun berdinding rajutan ilalang
yang bermata sembab,lantaran telah mengering
air mata mereka.

Makian panjang, sumpah serapah dan hujatan
senyaring serigala yang menyergap sesama
Telah menyesakan dada “Anak Krakatau”,hingga
melomjak dalam berang, menggetarkan peraduanya
Meradangkan banjir Padang, yang tadinya
bersolek ceria dalam bibir gincu Andalas.

Kita masih dalam kemasan menyatukan langkah
Dalam alunan perguliran waktu,
namun kita telah merasa usai
karena congkaknya perut-perut buncit, yang
berniat berlalu dengan sebelah mata
atau menikam “ulu hati”, jerami yang mengering
di pinggiran sawah ladang yang tergolek
rebah dimakan penzholiman jaman

Mari kita usung sebait puisi indah
Untuk anak cucukita yang bertelanjang dada (Semarang, 11 Nopember 2011)

 Angin Kembara
 
Angin- angin kembara yang bermata juling
Telah memenuhi tepian Bumi Perkasa
yang berdiri kokoh di atas batu-batu pualam
menyebar diantara Selat Malaka dan Bumi Papua

Angin kembara kini menoleh ke tiap penjuru
negeri dan dusun, menyelorohkan dongeng tamak
berbau busuk, menebar duri
menghempaskan perilaku santun, hingga
anak- anak negeri  melempar kaca ke tiap jalanan
dengan tangan terkepal,  dengan dandanan beringas
dan menjinjing parang, yang melengking nyaring

Angin kembara, yang bertuan dajal,
entah apa yang kau pinta dari kami
yang hanya mampu menahan lapar
lantaran hanya tahu sebuah sarapan pagi
dari sepotong ubi rebus dan ...
segelas kopi yang bergula aren           (Semarang, 11 Nopember 2011)


Air Mata
Nanti juga akan sirna kanvas kelam
yang berlari menyusul angin badai
hingga menebarkan tikus-tikus busuk
yang merantaskan batang-batang padi
dan merobohkan gubug bambu milik pak tani

Nanti juga akan sirna, maka keringkanlah
air mata kita semua..air mata Ibu Pertiwi
usaplah dengan kain sutra, bersulam indahnya
negeri sorga, dengan bocah-bocah lucu
berhias pakaian warna warni
meski berseklah di gedung-gedung SD
yang hampir roboh, berornamen kepalsuan

Keringkanlah air mata kita,
Gantilah dengan semai semilir angin Muson
yang membawa butir hujan
untuk telaga hidup kita yang lembut
dan berpantai keranjang harap             (Semarang, 11 Nopember 2011)


Pantai Biru

Masihkah kita saksikan
Kala pantai berbuih putih,
Bertebaran ubur-ubur yang  jinak
Kitapun mampu sejenak menghirup udara
yang berumah di Pasifik dan Atlantik

Masihkah kita mampu melabuhkan biduk
yang berlayar centang-perentang, tentag buaian hidup...
jangan kita menjadi tersipu malu,
meski pantai negeri sebrang
lebih biru dan masih berpagar nyiur

Jangan kita urungkan biduk yang
telah melaju,meski dengan sisi yang yang
merapuh....
Namun biduk ini adalah milik anak cucu
Yang mereka usung dalam dongeng tidur mereka      (Semarang, 11 Nopember 2011)

Kamis, 03 November 2011

Hantu


Sedikit banyaknya Pak RT sudah beberapa kali menyambangi pria paruh baya itu, yang berambut lurus, berperawankan ceking, cekung matanya menjorok ke dalam, tapi sorot matanya sangat tajam. Seakan berhasrat menguliti siapa saja yang dipandangya.
Pagi itu kembali lagi Pak RT menyempatkan diri untuk bertemu denganya, agar mampu menyakinkan pria yang setengah gila itu. Pak RT sengaja mengajak beberapa pengurus RT untuk mendampinginya. Meski matahari sudah setinggi daun kelapa, namun rumah separo papan itu masih senyap. Apalagi di awal musim hujan ini, ketika hampir semalam hujan membius bumi, semua yang ada dalam rumah menjadi bertekuk lutut, menyerah dalam selimut mereka masing-masing. Termasuk Pak Diran, yang tidak tahu atau pura pura tidak tahu kedatangan Pak RT.
Hanya tiga kali Pak RT dan pengurusnya mengetok daun pintu dari triplek yang sudah mulai mengelupas sambil mengucapkan salam, kemudian diam membisu dengan raut muka yang bersungut. Lantaran rumah  pria misterius itu sama sekali tidak bernafas. Tak beberapa lama pengurus RT itu kini hanya duduk saja di serambi rumah Pak Diran yang lusuh, berdebu dan  dipenuhi daun daun Akasia yang kering berserakan. Kentara sejak akhir musim kemarau silam, pria itu tidak berinisiatif untuk menyapunya.
“Sungguh malang Pak Diran !” Suara Pak RT memecahkan keheningan beranda rumah tua itu.
“Ah, karena dianya sendiri yang tidak mau berbuat baik” Jawab sekretaris RT.
Kembali mereka bertiga dibius  dinginya pagi itu. Hanya angan mereka bertiga yang memenuhi hati mereka masing-masing. Meski angan mereka satu sama lain tidak jauh berbeda, semata menyayangkan nasib pria setengah gila itu, yang mencampak dirinya sendiri dlam perjalanan hidup yang suram.
Mereka bertiga adalah pengurus RT yang tergolong muda usianya dibanding usia Pak Diran. Maka mereka bisa menyaksikan sendiri, betapa pria misterius itu mengalami perubahan hidup yang tragis,  lima tahun silam Pak Diran menempati rumah mewah di tepi jalan protokol yang necis, bersih dan terpandang. Karena dia adalah kontraktor sukses di kota ini. Istrinya yang masih kelihatan cantik, meski sudah  berumur  hampir separuh baya selalu setia mendampinginya, mereka bersama membesarkan ketiga putri Pak Diran yang tergolong cantik dan cerdas.
Namun meski Pak Diran sudah berpijak di istana kebagiaan, namun dia tidak pernah mampu untuk mengendalikan suara hantu hantu yang bergentayangan di jantungnya. Hantu itu terus saja memberontak dan menelikung angan Pak Diran, agar  laki laki malang itu menaburkan uang yang bermilyar milyar jumlahnya untuk menebarkan kepuasan hatinya.
Maka mulailah Pak Diran selalu pulang larut malam, untuk menghabiskan bendel demi bendel uang ratusan ribu rupiah, untuk tersenyum lepas di hantu wanita, yang bermata juling, berkuku tajam dan hitam, berkulit bagaikan boneka lilin. Namun dari sorot matanya mampu menyihir siapa saja laki laki yang berduit.
 “Ayolah papa kita habiskan malam ini, agar tidak berwarna kelabu. Jangan takut, papa mampu membeli kota ini, mampu membeli segalanya. Oh aku belum merasa puas, bila aku belum memiliki Jaguar dan Bungalow indah di kaki Gunung Slamet. Ayolah papiku, keluarkan uangmu. Minggu depan kita harus sudah melampiaskan hati kita dalam bahtera yang lembut, penuh pesona, bahagia, asal kita sudah berada di bungalow baru…hik…hik…hik”  Dari taringnya yang panjang dan tajam, keluarlah mantera mantera sakti untuk membius laki laki berduit itu. Seperti bius Cleopatra, yang berhasrat menaklukan Kaisar Agustinus.
Tangan kanan laki laki itu memeluk pinggang “kuntilanak” yang berkemas bidadari malam, sementara tangan kirinya memegang mesra leher sang putri. Namun sama sekali bulu kuduk laki laki itu tidak meregang. Pertanda dia sangat akrab dengan hantu “kuntilanak” itu, atau memang Pak Diran adalah juga hantu berbadan kokoh, tegar dan mampu menundukan hantu siapa saja dari seluruh penjuru alam hantu.
Tak lama hantu kuntilanak yang hinggap di bungalow yang mewah dan di halaman rumahnya berdiri asri mobil Jaguar seharga 1 milyar Rupiah, ditinggalkan oleh hantu petualang itu. Lantaran dia sudah tidak mempan lagi dengan mantra mantra sakti  “sang kuntilanak”. Hantu kuntilanak itu sudah tidak berkemas “bidadari malam” lagi , dengan jerat di sayapnya sudah tidak kokoh lagi, kini hantu kuntilanak itu sudah berubah wujud menjadi nenek tua keriput, berjalan pincang dengan bau anyir di seluruh tubuhnya.
***
Kini telah beberapa bulan hantu petualang itu menjelajah semua puncak gunung, lembah, lautan dan hutan, untuk sejenak melepas dahaga di kuku kuku tajam hantu kuntilanak lainnya. Meski bidadari  penghuni rumahnya telah lama dia tinggalkan. Sementara ke tiga putrinyapun telah berbahagia dengan suami setianya masing masing. Sang bidadari setianya, yang sejak muda dengan setia mengarungi samudra kehidupan Pak Diran, kini hanya terpagut sepi, berlinang air mata. Berkali kali tanganya memegang pisau tajam untuk mengakhiri hidupnya, namun selama ini selalu gagal, lantaran bisik dari bayangan putih yang berkelebat di kamar pengantinya selalu mencegahnya.
“Tahukah kamu, hai Novia !, keluhuran dan tingginya derajat kaum wanita adalah mengasuh putra putranya hingga berhasil dan bersabar mendampingi suami suaminya yang telah berbuat gila. Janganlah pernah berputus asa, demi masa depan anak anakmu”. Seketika itu jatuhlah pisau tajam di tangan kanan Novia.
“Tapi kali ini dia sungguh keterlaluan, apakah ini memang salahku ?. Karena sudah tidak bisa membahagian dia lagi ?”
“Sama sekali tidak Novia !, kebagian yang telah dia dapatkan dari kamu sudah terpenuhi. Hanya hantu hantu genit saja yang sering bersemayam di bilik hatinya”
“Aku sudah tidak tahan lagi, akhir akhir ini dia malah mengusirku dan berniat menjual rumah dan mobil hadiah darinya, demi membahagiakan simpananya”.
“Kuatkan hatimu, jangan pernah berhenti mencintaimu, kecuali engkau sudah berkalang tanah, meski tidak dengan pisau itu. Berikan saja rumah dan mobil itu, pergilah bersama anak anakmu, mereka bertiga masih sanggup menyayangimu”
Novia yang berdandan bidadari malam yang jelita dan berhati sejuk itu, memang harus meninggalkan rumah hantu yang sekarang berdebu, tidak bedanya dengan kuburan. Sepasang gelas kaca, bertangkai  artistik “romawi” kerap bersanding di meja makan rumah tua itu, saat saat seperti itulah Novia kerap berseloroh romantis dengan Diran Prasojo. Sepasang gelas itu pula diharapkan Novia , agar dirinya  mampu menggayutkan pada “sayap sayap malaikat malam” yang membawanya berkelana ke tepi malam. Dia berharap mampu menggandeng lengan kokoh kuat milik Diran Prasojo, yang dahulu mampu membalikan arah putaran bumi.
Namun ketika malam yang pekat dan lancung itu, tak lagi mampu menyodorkan kenangan lama, Noviapun segera melipat sayap sayapnya dan jatuh di kamar pengantinya yang sunyi. Hingga akhirnya Novia memilih untuk bersatu dengan ke tiga putrinya untuk hidup di bawah kasih mesra, sebagai pengganti sesuatu yang hilang. Berkali kali bayangan suaminya menjenguknya, dengan raut muka yang mengerikan, bertaring tajam dan tak pernah bersatu dengan tegur sapa. Pertanda  bahwa memang dia sudah tidak menghendaki pertemuan denganya lagi.
Namun Novia kini pun menjadi kurus kering dengan dada nyeri  ditusuk sembilu jerat yang dipasang hantu petualang itu. Mungkin dengan menghadap yang Kuasa bagi Novia adalah jalan yang dipilih oleh Sang Khalik, dari pada hidup berkubang bara. Kini wanita yang malang itu hanya meninggalkan tubuh yang kaku dan dingin, yang terbujur di depan anak anaknya. Tanpa disaksikan suaminya yang kini telah berpetualang dari pelukan hantu hantu kuntilanak yang menemani dalam petualangan panjang.
***
Malam  semakin mengunci dan memencilkan dirinya dari rayuan Pak Diran, yang masih belum merindukan kehadiran istrinya. Diapun tidak tahu dimana istrinya berada. Sedangkan alamat ketiga putrinyapun belum dia ketahui. Warna dinding kamar pengantinya yang dulu menggerlapkan hidup bersama Novia,  kini kusam dan retak. Namun sama sekali dia tak memperdulikan karena rumah itu sudah bukan miliknya lagi.  Padahal seluruh tulang persendian dan ototnya, sudah tidak mampu lagi untuk terbang melawan angin muson, untuk bertualang dari penjuru ke penjuru bumi ini. Semua harta kekayaan kini telah musnah. Dunia hantu dan petualangan telah mencampaikan dia di tempat yang terakhir ini.
Padang ilalang di sekeliling rumah setengah papan itu menjadi saksi, betapa menderitanya dia dalam memunguti lagi jarum waktu yang pernah dia tinggalkan. Setiap kali dia ingin merentangkan sayapnya, setiap kali itu pula Novia hadir dengan dandanan “ratu malam” yang jelita bagai bidadari. Kerap dia berhasrat berdiri  mendampinginya, namun belum genap langkah dia torehkan, punggawa punggawa di seliling ratu malam itu melototkan sorot mata hendak melemparnya jauh jauh.
Lantas bagaimana kehidupan ketiga putrinya yang sama sekali jauh dari rengkuhanya, apakah aku sudah memiliki cucu atau mereka semua telah meinggal, tapi di mana kubur mereka. Apakah laki laki durjana seperti aku, tidak boleh hanya memandang ketiga putri putriku yang dulu cantik dan jelita. Apakah aku harus terbujur kaku tanpa kehadiran mereka. Bisik hati hantu petualang yang telah pongah itu tal hentinya melekat di jarum waktu.
***
Suara batu batuk kecil tapi dalam terdengar dari dalam rumah, Pak RT dan temanya itu segera beranjak dan menghampiri pintu yang telah separo terbuka, senyum tipis yang mengguratkan pipi yang lapuk dan menampakan gigi menghitam, menyambut kedatangan mereka bertiga.
“Beginilah nasib saya, Pak RT. Aku hanya ingin bertemu istri dan ketiga anaku !” Pak Diran perlahan membuka pembicaraan mereka berenpat di tikar bambu yang sudah mulai banyak berlubang.
“Maaf, Pak Diran !. Kami dan semua warga sudah berusaha melacak ke sana kemari, tapi hasilnya masih nihil”. Jawaban Pak RT menyentakan hati Pak Diran yang sudah lemah tak berdaya.
“Ah, tidak apa apa, semua ini memang salah saya, Pak RT !”
“Tapi kami tidak putus asa, Pak Diran !. Tolong berikan kami semua alamat saudara Bu Novia di mana saja, kami akan berusaha menghubunginya”

Sepotong kertas kumal denga tangan gemetar diberikan Pak Diran kepada Pak RT, meski bibir keriput itu sudah tidak sanggup lagi berkata. Hanya senyum hambar dan sedikit tundukan kepala melepas kepergian Pak RT.
Padang ilalang kembali gersang terpagut sepi, gerimis mulai membasahi beranda rumah tua, yang hanya satu satunya milik Pak Diran yang masih tersisa bersama dengan angan dan harapanya, untuk kembali berbahagia dengan Novia

Sepenggal Kisah tentang Pejuang


Lelaki  tua itu telah redup sorot matanya,
mengais  angin sejuk,  menyisir  duka
di pinggiran jalan protokol beraspal kepongahan,
di sampinya meluruskan kaki,  berbaju compang camping
milik anak jaman                                 
seorang pengemis muda…
“aku dulu mampu membungkam  howitzer Anjing NICA”
seru laki laki tua itu, seraya menunggu kekaguman
pengemis muda mencibirkan bibir, membeku lidahnya

dengan mendengus nafas
pengemis muda menikamkan sebuah seloroh
“mengapa tak kau kenakan kerah baju jendral”
batu batuk kecil dan dalam menjawabnya
menyelipan kata, “usai sudah yang aku mampu…..
dadaku tak cukup bidang untuk menggayutkan
bintang jasa”

di pinggir jalan berumbai langit biru
adalah milik lelaki tua itu…yang mengungkung hatinya
tidak segentar membungkam “Water Mantel”
di genggaman “Gurkha”  yang perkasa
semakin perlahan dia menyusuri jalan itu
kini sepi, dalam keranda tak berkemas
merah hati namun berkibar di hatinya

dalam keranda dia membawa tanah Sang Ibu Pertiwi
untuk di semai di halaman langit

(Semarang, 3 November 2011).

Sebuah Epos Yang Hilang

Tidakah kau pernah tahu ?
mereka datang dari jauh hanya membawa bara
untuk  menghanguskan setiap lekuk tubuh
Sang Ibu Pertiwi, aku  menggenggam pilu
Aku  mengencangkan urat nadi

2
tidakah kau tahu  pula,  anak- anaku?
Kita hanya memiliki
rembulan dan matahari yang saling berkejaran
untuk menguningkan padi dan tanaman jagung
agar perut kita tak menghempaskan deru

Namun mengapa mereka
menjaring angin kembara dan mengaitkan
pada sisi “negeri santun berpantai nyiur”
kita tak akan melipatkan lengan
meski kita hanya  bertelanjang dada
namun degup jantung mampu merobohkan tebing
yang mereka kokohkan
sepanjang Bukit Barisan hingga Cendrawasih

Anaku,
bila kokok ayam jantan di tebing ufuk timur
pagi berhias mentari, burung berpantun ria
dengan bulu warna warni
berbicaralah pada hari hari yang membisu
tentang lengan lenganku yang menghilang
kala memburu mentarimu,  agar tetap terjaga

(Semarang, 4  November 2011).


Manifesto Untuk Hantu Berkerah Putih

Altar  yang kau lebarkan hingga menepi di batas Laut Kidul, gigimu menyeringai, nampaklah tangan kecil menggelepar meradang nyawa namun menepis nafas mereka sendiri. Sekawanan hantu terus saja membaca mantera, dengan jas hitam berkerah putih, hingga Nampak langit berpoles warna kebiruan namun masih berenda awan hitam”  
Pohon perdupun menyimak, meski belukar mencibir, rumput tetap saja mengokohkan sepatu  laras untuk menunjam bumi, bila sang Pemeran Jaman terpelanting dalam jurang,
Namun berjuta raut, mempersembahkan protes terhadap “mantra sang hantu”
Yang hendak mengoyakan langit.

Dan  mengusung awan hitam, bertepi racun, onak bulu bambu.
Untuk mengusir nyamuk nyamuk bertulang iga rapuh di bawah gubug bambu,
3

Jangan kau hadapkan punggungmu, sang hantu !. Bila liuk puting beliung menghimpitmu,
Hingga melemparnu ke Puncak Tanguruhua atau Pinistubo,
Agar kau lebih akrab dengan tabir yang dulu kau pintal setebal belacu,
Kau boleh mengajak semua yang ada di kantong bajumu
Untuk menjadi teman kala kau tersudut di sudut tragedi

Apakah belum pernah kau dengar lagi,
Saat ibu ibu di desa membawa anaknya untuk melihat dunia
Mereka bersekolah di bangunan kardus, bersandar pada
keramahan angin gunung, untuk menyisir daun daun sayur yang tumbuh
Di sepanjang  kebun penuh harap, sedangkan atap sekolah mereka
selalu bergoyang ditiup angin ketidaktahuan

Atau kau lebih memilih
Bernyanyi simphoni riuh rendah yang mampu merobohkan warna pelangi
Kala hitam tidak sepantasnya bertaut dengan jingga,
Atau biar saja “wedus gembel”  menjadi merah membara
Menyodorkan sudut jantung yang berkawan sembilu
Kemudian menusuk tiap yang kita miliki            

 (Semarang, 4  November 2011).