Minggu, 11 Desember 2011

Nadi Jantungku

Hujan

Aku menyelinap...
pada gambar langit
bercorak keluh kesah...
ketika selaksa guratan hidup
mereka usung di batas nafas....

Merekapun merajut
halaman hati, penuh benang sutra...
aku hanya mampu mengerling
tak kusodorkan......
karena telang hilang
terpagut petir tengah hari....(Semarang, 22 September 2010)

Tuhan

Berilah aku pagi......
agar mampu aku kayuh
perahu yang t'lah sarat
ke tepian
pantai ASMAMU

Tuhan....
berilah aku waktu
untuk ku naiki
agar tiada lagi
gelombang pantai
yang liar....
bersamaku sla'lu
TUHANKU........(23 September 2010)

                                                                                            B
ulan

Saat kau terjaring..
di rimbun palma dan semak
akupun masih..berkalang ufuk
diantara ilalang
aku tepis..samar hati
lantas kujebak rembulan
aku terkapar........(.23 September 2010 )

B
ajuku

Bukankah telah aku semai...
biji biji tanaman hati..untuk esok
kala lusuh dan hambar..menjadi satu
aku menggeliat....menggambar warna
di depan bilahhati dan beranda
Jiwamu.....

Namun engkau memilih gerimis
berkalang hitam jelaga langit
aku sodorkan halaman
berpagar kembang bakung

Bulan di kantong bajuku
mengerling tajam
dan bersapa senyum...
hening.........(.24 September 2010 )
 

Nindia

Dalam ukatan satu rumpun
aku ikat mawar, melati, kenanga
saling mengenalkan warna...
anyelir pun tak mau surut

Semua menjadi satu...
tak ada yang mau...berkawan senja
lantas aku pikat dengan SMARANDANA
semuanyapun menyodorkan senyum...
tapi aku terburu....terselip di sudut asa

Aku berikan taman bunga..
tempat aku membenahi...
kumbang dan bunga yang
memekik seru..aku terhampar
dalam sayap  DE'AMOUR...
karya seorang pujangga..
yang menelisik telaga cinta..

di tepinya telaga...
tak ada lagi belalang padang
yang  meranggas pilu..
aku bersemayam dalam halamanmu
N
india.............(.24 September 2010 )

Hamdi Beffananda Aji
Sayap

 lajulah...
.tanpa batas.....
pada sebuah guratan tentang ASMAMU..

agar mampu merajut......
langit yang tiada terperi luasnya.
.aku ditepinya,
menjinjing kecerahan jiwa.
.yang pernah kubuang
di Samarathonga atau Semeru.

.SAYAP...lajulah......
kedua tangankupun telah pulih..
aku tengadahkan untuk kemurahanNYA...
(Mohon maaf lahir dan batin, pada semua temanku)...
(8 September 2010)

Cinta

Kala hari telah lusuh
Istriku menyiram pagar rumah
yang ditumbuhi beluntas
dengan embun dini hari

Aku masih terpaku
di kakiku sendiri
secangkir kopi pahit
adalah wujud cintanya....Jum'at. di tengah hujan 24/9



Sabtu, 03 Desember 2011

Sajak untuk Tahun Baru 2012

Sajak tentang Cintaku

Indah Mahanani
Semua yang di langit dan bumi..adalah kemurahMU
Tuhanku.....
 Dalam dinding hidupku yang “berkanvas” hitam putih,
Saat terselip sepotong noktah warna,
biru tergambar menyongsong tiap aku buru
jarum waktu dan saat kusisir rambut kasihku
dengan seribu cerita mengenai cinta.

Tuhanku, dia bukan “Dewi Ullupi” dari “Lembah Naga”
Tapi dia adalah sebuah alasan
Sehingga akupun “Sang Permadi” yang bertegur sapa
dengan “Sang Korawya”, hingga dia mengulurkan tangan
akulah yang membelai rambut “Sang Gambiranom”.

Satu titian telah aku kokohkan agar kasihku mampu mengenyam
dan menyelorohkan sebuah ikatan bunga,
Kasihku, kau telah  mengalungkan ikatan bunga itu,
pada leher dan bahuku yang melegam
namun hadir pula sepenggal sembilu dan mampu menyayat
sebidang asa yang menyebar dalam sawah hidupku,
Namun kita adalah ilalang dari negeri nestapa
Yang berakar kuat dan sekokoh hasrat sebuah hidup

Dalam deru waktu, sang ilalang pun terus menjulang ke
Langit dan mengabarkan pada bidadari, agar memenuhi
sayap-sayap mereka, akan hidangan secawan anggur cinta,
Sehingga “Sang Jonggring Salaka” bermandi kembang warna warni
Disini pula aku mendapakan pagi dan serambi beralas
saling pengertian, kau suguhkan seribu makna
yang aku telan dan memenuhi ruang dadaku
akupun menggelepar dalam lakon rindu

Seperti dua remaja yang bertegur sapa dalam pantun
Di pesta panen, dengan kaki telanjang dan kulit ditikam
garangnya sinar mentari, kau ikat rambutmu dengan jerami
dan “baju sari” berornamen “Parang Kusuma”, mengabarkan
ketidakmampuan kita dalam menyongsong hidup
namun kita mampu memejamkan mata,
dalam tidur malam berteman angin malam
meski dengan sepotong ubi rebus
dan sayur kacang panjang,kau sedu teh cinta
selamat pagi kekasihku
aku dan kau dalam bilik tahun 2012...... (Semarang, 4 Desember, 2011)
  
Sebuah Eksotis  Darimu

Gaun malam merah jambu,
yang kau pakai
Memaksa kedua sorot mataku,
puspa prasasti aji
Mengetuk dinding....
Terus saja, aku terpelanting
Dalam terompet tahun baru
Yang menyalak,membangkitkan
Kembang api malam tahun baru
Selamat “Tahun Baru 2012”
Kasihku....... (Semarang, 4 Desember, 2011)
  
 Malam Tahun Baru

Merah menyala dalam hitam langit
Disisi biru menyendu taburan bintang,
Putihpun menarik benang  tulus
tak seperti hari biasa
Kita di tengah pesta malam tahun baru,
Aku dan kau terpingit dalamnya

Kau tertawan dalam senyum menawan
Akupun terjebak dalam arakan ombak
Manusia yang menyongsong sang waktu
Kau berceria dalam relung aku yang
Bahagia....... (Semarang, 4 Desember, 2011)


Minggu, 20 November 2011

Impian Tentang NegeriKU


Sang Baghaskara”, kala mengintip dengan malu
Pada tiap penjuru “Negeri dengan dandanan sulaman
beludru biru”. Menapaki “Tanah tanah legam Papua
dan sebentar membasuh wajahya, di “ Pemandian Arafuru”

Kita mengulum senyum, dengan bola mata
menyisir setiap “ Lekuk tubuh Borneo dan Minahasa”.

Dalam telanjangnya nafas ,
dan sejauh kita mampu meluruskan pandang mata,
Sejauh itu pula, bersolek bukit, lembah dan pematang sawah,
dengan bedak dari halimun
dari celah bukit dan puncak puncak gunung.
Bibir gincu perawan desa, adalah apa yang harus kita
saksikan. Dari eksotis tiap ramahnya padang dan sawah.

Apakah masih ada, sebuah keluh dari sepotong peluh
Hingga merontanya tangan kita, yang telah kosong  dari
guratan-giratan petuah nenek moyang kita
ataukah kita hanya ingin menjadi “tiupan prahara
yang merontangkan tiap bunga bunga persembahan
sang pengantin baru.

Lantas sepi, hanya asap kedurjanaan.

Kita bentangkan tudung saji berkain biru,
Melengkung dari dua samudra lepas
Mengait pada “Laut Kidul” dan “Laut China Selatan”
Agar “Sang Atmosfer” di atas sana
Tidak menyeruakan lagi tentang kabar sumbang
Tentang ngarai yang hijau
di pinggir permadani kuning padi padi yang masak.

Puncak Mahameru”, tak kan mungkin goyah
Untuk sebuah tambatan, dari hati yang menerjangkan
Bara api.
Kita jaga bersama
Agar sawah dan ngarai
Terus hadir dalam mimpi kita  (Semarang, 21 Nopember 2011)


Nurlela

Nurlela mengecup pagi ini,
Lantaran hanya itu yang dia miliki,
Berjajar beribu bunga menjadi pagar rumahnya
Dan sebuah basuhan air embun
Nurlela berikan tiap, mentari di Timur.
Karena hanyalah hidup damai yang dia
impikan.

Nurlela sejenak menyambangi cermin miliknya
Di dinding bambu rumah panggung
Keriput dan lipatan wajahnya
Kini lebih kentara
Apa karena ini gambaran hidupnya ?
Dari apa yang pernah ia dengar
tentang dandanan seronok kehidupan ini.

Nurlela,
Lebih memilih, merapikan tiap pagi
Yang hadir, pada tiap sendi tulangnya
Ketimbang menikam hidup
ini menjadi “pecahan kaca yang tajam” ….(Semarang, 21 Nopember 2011)