Meski jarak pandang mereka dengan Pak Guru
Hananto cukup jauh, tetapi sorot mata mereka seakan enggan lepas dari tubuh
guru penuh kasih itu. Pagi itu memang hari pertama pelaksanaan UN yang
mendebarkan bahkan mampu memungut rasa percaya diri dari sanubari mereka semua.
Terbukti tiada satupun dari mereka yang berwajah ceria, “Enjoying always”
seperti pada hari-hari biasa.
Siska yang genit, Bra yang selalu kelihatan
renyam senyum, Sylvie yang berbibir tipis dan tak kerap diam membisu. Kini
semuanya terdiam dalam hipnotis pohon Akasia yang memayungi halaman sekolah
mereka. Entah apa hari ini bumi seakan akan menghisap dalam-dalam ke dua kaki
mereka.Sementara itu dengan egonya daun daun Akasia berguguran meski merelakan dirinya
berjatuhan di bumi, untuk digantikan dengan pucuk yang semi.
“Inilah hidup anak-anaku “ seru sebuah daun
pada manusia manusia belia yang dipagut gelisah. Daun itu belum kelihatan kering benar, tapi dia merelakan dihisap
gravitasi bumi.
“Jangan kau usung pepatah seperti itu pada
manusia ! “ jawab daun lainnya yang lama tergeletak dan membiarkan dirinya
bergelimpangan diterpa angin awal musim kemarau.
“Apa alsanmu ?”
“Hanya kita yang mampu berbuat demikian. Mereka manusia yang beribu pengharapan
selalu mereka pinta, agar mampu hidup seribu tahun lagi “
“Dari mana kau tahu ?” tanya daun lainya
yang kini mulai berkumpul dalam keranjang bambu di halaman sekolah.
“Lihat saja mereka hari ini gelisah!,
mereka enggan menghadapi tantangan sekecil apapun. Berlainan dengan kita yang
hanya pasrah dikibas angin pancaroba. Kita hanya mampu meliukan badan kekanan
dan kekiri. Tapi ketika bumi
menyelingkuhi kita, kitapun tetap tenang” seru daun tadi yang baru saja menggeletak
di bumi.
Tak satupun dari siswa itu yang
memperdulikan ocehan daun-daun yang selalu berbahagia di kala pagi dan sore,
ataupun siang dan malam. Mereka para siswa hanya mampu membiarkan degup jantung
yang memburu jarum waktu yang terus bergerak detik demi detik menunggu monster
yang dipanggil UN.
“Ah..apakah mereka sedang menunggu
datangnya monster garang ?” seru daun muda yang belum kering, tetapi karena hempasan angin beliung beberapa hari
silam dia jatuh di bumi ini.
“Betul kawanku, entah apa bentuk monster
itu, apakah bertaring ?, bersayap lebar
?, wajah penuh luka atau apa ?” seru sebuah daun yang sudah mulai pongah
tubuhnya dimakan rintik hujan.
“Bukankah manusia sudah mampu menggapai
atmosfer yang paling tinggi, mampu mendatangkan hujan bahkan mampu merobohkan
rumah istana kita. Tapi mengapa manusia-manusia muda itu kelihatan takut sekali
?”
“Entahlah !!!! “ jawab sebuah daun.
“Kapan mereka merasa puas ?” seru daun yang
ada di dasar keranjang bambu.
“Mereka memang makhluk yang ego, dahulu
daerah ini penuh rumah istana kita. Tetapi entah dengan egonya mereka mencabut
dan dibawa kemana aku tak tahu ! “. Daun yang paling tua diantara mereka
mencoba memaparkan sifat manusia.
Tidak beberapa lama terdengar suara
“Teeeeet….Teeet…Teeet”. Semua daun Akasia itu menolehkan wajahnya ke arah manusia
manusia muda itu yang memasuki ruangan dengan terbungkam seribu bahasa,
diantara mereka ada yang berkeringat dahinya, sebagian menundukan wajahnya,
sebagian lain memucat wajahnya. Sebagian kecil hanya meluruskan sorot padang
mereka lurus ke depan dengan tatapan yang kosong.
***
“Tidak perlu UN ini dijadikan momok bagi
kalian !” seru Pak Hananto di suatu pagi di depan kelas XII yang sedang diberi
pengarahan.
“Tapi, saya sudah belajar banyak. Selalu
saja saya merasa kesulitan menyelesaikan latihan UN Pak ?” tanya seorang siswa.
“Semuanya ada di diri kamu sendiri Prima ?”
jawab Pak Hananto dengan senyuman masih tersungging di bibirnya.
“Maksud bapak ?”
“Ya !, karena kamu selalu beranggapan bahwa
UN adalah hanya syarat untuk lulus kamu dari sekolah ini “
“Kan
memang seperti itu, Pak ?” tanya Albert Sitomorang, yang belum tahu betul
alasan guru penuh kepedulian pada anak-anaknya.
“He..he…he…inilah kesalahan kalian semua !”
“Yang benar yang mana tho, pak ?” Keane
bertambah penasaran dengan seloroh guru ganteng itu. Diapun mencoba menggoda
guru muda yang menjadi pujaan hatinya itu.
“Keane, Prima, Albert dan anak anaku semua
!, apakah setelah lulus UN kalian tidak memiliki tantangan lagi ?. Apakah
setelah lulus UN kalian akan dengan mudah mencapai kesuksesan berikutnya ?. UN
hanyalah sebuah tantangan kecil, bagai butir pasir di gurun pasir. Masih ada
tantangan lainnya yang menghadang kalian semua”
“Tapi semua manusia kan mesti harus
memiliki tantangan, Pak !”. Ilham menyela pembicaraan Pak Hananto, guru itupun
masih menghiasi bibirnya dengan senyuman manis.
“Betul, dan salah satunya adalah UN. Kalau
kalian memahami ini!, tentunya kalian
akan menghadapi dengan hati lapang. Lihatlah daun daun Akasia di halaman itu.
Mereka sama sekali tak memiliki tantangan. Mereka semi, tumbuh, dihempas angin
kemudian jatuh dan bepindah paling jauh ke tempat sampah” kelaspun terbungkam
seribu bahasa.
Daun daun Akasia yang mendengarkan celoteh
Pak Hananto hanya melempar senym kecil mereka. Namun diantara mereka tetap saja
terdapat beberapa daun yang mengajukan protes.
“ Tapi, apa beda mereka dengan kita?.
Merekapun hanya mampu melangkah di garis kodrat” salah satu daun mencibirkan
perkataan pak guru itu.
“Apa mereka mampu hidup lagi setelah
ditelan bumi ?” daun lainya mengajukan protes.
“Mereka hanya mampu merusak alam ini,
huuuuh…seandainya bumi ini tidak dipenuhi manusia, kita bisa hidup dengan bebas
“ entah dari daun mana protes itu diajukan.
“Sudahlah teman-temanku semua!, memang
begitulah manusia yang diciptakan berbeda dengan kita. Meski hanya beberapa
saja manusia yang berusaha peduli dengan kita serta hehijauan lainya. Merekapun
bila diberi pencerahan tentang manfaat kita. Merekapun akan bersatu dengan
kita.Cobalah bila mereka kepanasan, mereka pasti akan berlindung di bawah kita”
seru daun yang sudah renta dan melekat kuat di pohon Akasia, tapi belum
mendapatkan giliran untuk menyatu dengan bumi.
“Tetapi mengapa mereka sekarang melempar
sorot mata ke kita ?” seru daun muda
“Mungkin mereka iri dengan kita “ seru daun
renta itu.
“Iri ?, apa kelebihan kita dibanding mereka
?” entah daun yang mana mengajukan protes seperti itu.
“Ah. ..ada ada saja kau daun tua ?” daun
lainya berusaha gabung dengan diskusi antara daun Akasia.
“Mesti ada, karena yang menciptakan kita
dan manusia selalu member kelebihan dan kekurangan diantaranya ?” sahut daun
renta.
“Yang aku btuhkan adalah kelebihan kita
dibanding mereka ?” beberapa daun muda berusaha mendapatkan jawaban pertanyaan
mereka.
“Kita tidak pernah ragu dan bersedih bila
harus berakhir warna hijau pada tubuh kita. Tak ada satupun upaya kita untuk
lepas dari kenyataan ini “
“Betul juga katamu, daun tua !. Mereka kini
sedang banyak mengalami kebimbangan”
“Bahkan sepertinya mereka sedang ketakutan
!” silih berganti daun muda berusaha menguak perbedaan mereka dengan manusia.
“He…daun tua. Mengapa hari ini manusia muda
itu ketakutan ?”
“Mereka beberapa hari mendatang akan
mengikuti UN “ sahut daun renta itu.
“UN ?, kapan kita akan mengikuti UN ?”
seloroh salah satu daun muda.
“Besok, ha…ha…ha..” daun renta tertawa
lepas.
“Hahahaha…hahha…hahaha…” semua daun Akasia,
baik yang tua atau muda, besar kecil , yang masih hijau ataupun telah mongering
pilu tertawa lepas yang tidak pernah dapat didengar siswa siswa itu ***
Pagi- pagi
benar Mawar Wulan mengusung gelisah bukan kepalang. Meski lingkungan di
sekitar rumahnya masih tertutup kabut, dia tak memperduikanya.
Dengan langkah kaki yang gesit, dia terus menebas butir butir air halus yang menghadangnya, menyelusuri jalan beraspal yang ada di depanya dan masih terpagut sepi dan dingin,
namun kaki yang hanya beralas sandal jepit dengan egonya terus saja menggilas aspal yang sudah mulai pongah itu.Entah
apa yang akan dilakukan wanita yang masih lajang di pagi hari itu. Batuk batuk
kecil yang terus saja melekatnya itupun tanpa dia pedulikan.
Tepat di
pintu gerbang rumah Bu RW Mawar mulai melambatkan langkah kakinya, pintu besi
yang sudah berkarat baru saja berhenti berderit. Rumah Bu RW masih lengang dan
hanya sebelah pintunya yang kuno itu sudah terbuka. Terbesit dalam sanubari Mawar
Wulan perasaan canggung dan takut merepotkan Bu RW. Tapi perasaan itu kembali
ditelikung dalam hatinya, kala Bu RW sudah menyambutnya dengan senyum yang renyah
di tengah pintu model jawa kuno itu.
“Ah, maafin
Mawar bu!, pagi pagi sudah merepotkan !”
“Justru aku
yang minta maaf, merepotkan Mba Mawar !”
“Sama sekali
tidak bu !, cuma aku penasaran sejak kemarin sore. Tentang tujuan ibu ibu PKK
ke rumah saya bu !”
“Oh, masalah
itu , Mba Wulan !, iya memang ibu-ibu itu sedang bingung tentang kedatangan
Bill Clinton yang rencananya akan mengunjungi kampung kita “
“Lalu, apa
yang bisa aku bantu, Bu RW ?”
“Maaf !, Mba
Wulan masih kerja di restaurant eropa ?”
“Betul, Bu
RW, mesti ini masalah menu, ya bu !”
“Betul mba!,
Pak lurah menyarankan agar kita menjamu makan siang mantan Presiden Amerika itu
!.Mba Wulan saya pikir
tahu betul tentang menu orang Amerika dan Eropa. Maka kami
kemarin datang ke rumah”
“Mesti ibu
bingung menu jamuan tamu besar itu, iya kan ?”
“Betul mba!,
ibu ibu PKK yang mendapat tugas menyediakan jamuan tamu bule-bule itu menjadi bingung, enaknya menu untuk Clinton
itu apa ?. Apa Hotdog, Piza atau apa?. Menurut Mba Wulan enaknya menua apa ?”
“Kenapa mesti
bingung-bingung, bu ?. Kala orang besar seperti Bill Clinton itu sudah bosan
dengan hidangan ceremonial seperti itu !”
“Ya, terus
enaknya bagaimana !”
“Kita kan
banyak memiliki menu yang sudah mendunia seperti nasi goreng, sate ayam. Apa
salahnya bu, kita promosikan pada tamu-tamu eksekutif Bill Clinton’s Foundation
nantinya, atau boleh juga kalau kita hidangkan
tiwul, getuk dengan menu snak seperti resoles, kue lapis dan masih
banyak lainnya, iya kan Bu RW ?”
2
“Ah, masa iya sih mba !,
bule-bule doyan menu seperti itu ?”
“Iya bu !, aku sudah sejak lulus SMA bekerja
di Zona Zero Europe Restouran, kebetulan sekali aku sering menemukan bule-bule
yang minta menu tradisional yang aneh-aneh “
“Aneh-aneh
seperti apa, Mba ?”
“Bayangkan
saja Bu RW!, waktu serombongan wisman Middle Java Reuni dari Jawa Tengah mampir
ke Jakarta dan singgah di restaurant kami, sebagian besar mereka malah memilih
menu tradisional, seperti sayur asam, kelapa muda bahkan ada yang minta dawet. Mereka semua sudah bsan dengan aneka
bakery, Dennis Donuld, Humberger dan.... !”
“Apa iya,
mba. Jangan jangan Bill Clinton juga senang dengan menu seperti itu, ya Mba
Mawar ?”
“Bisa saja
to, bu !. Bisa juga dia meniru seperti Presiden Obama yang malah minta bakso
dan nasi goreng dengan lauk krupuk, hehehe…”
“Tapi baiknya
kalau Mba Mawar tidak keberatan, siang ini
kita ke Pos Posyandu, untuk gabung dengan ibu ibu lainya yang rencananya jam 9 siang
ini rembugan masalah persiapan Bill Clinton. Oh, ya Mba !, rencananya juga Bu
Hillary Clinton akan kita ajak ke
Posyandu untuk mengamati kegiatan ibu ibu Dharma Wanita “
Mawar Wulan
yang hari itu memang lagi off hanya menganggukan kepalanya, tapi lain lagi
dengan Bu RW yang hanya bengong saja mendengar kenyataan yang disampaikan oleh
sang maestro lajang itu. “ Masa tamu seperti Bill Clinton dan rombonganya mau menyantap menu
tradisional. Tapi…entahlah”.
***
Mereka siang
ini berkumpul di Posyandu yang tidak
seberapa luasnya, hanya sebuah ruangan yang berukuran 4 x 6 meter. Sebagian
ibu-ibu anggota Dharma Wanita sejak pagi tadi sibuk membersihkan rumput
dihalaman posyandu yang sederhana itu, sebagian lagi menggunakan sapu panjang
membersihkan atap lantai bahkan terdapat beberapa ibu ibu yang dengan cekatan
mengecat tembok yang mulai lusuh dan berdebu.Mereka sebenarnya sama sekali
tidak menduga bahwa kegiatan mereka semua selama dasa warsa ini telah menarik
perhatian staf Bill Clinton’s Foundation yang ada di Indonesia.
Ternyata keterpurukan kita di berbagai sendi kehidupan
telah menarik tokoh pemerhati dunia seperti mantan Presiden Amerika itu, tetapi
hal yang paling menarik perhatian dunia adalah aktifitas mandiri ibu ibu seantero Bumi Nusantara di bidang kesehatan
ibu dan anak, termasuk penimbangan bayi, pencanangan pemberian vitamin kepada anak, Keluarga Berencana dan
lain sebagainya dan salah satu dari ribuan kegiatan mandiri ibu ibu tersebut, ternyata Kelompok Dharma Wanita Kenanga Jakarta Selatan yang dipilih oleh tokoh dunia itu untuk
melihat dari dekat.
Kedatangan Bu
Rw dan maestro menu masakan eropa dan AS itu, sempat membuat semua ibu-ibu yang
bersemangat menjadi menyurut. Semua berhamburan keluar seperti anak ayam yang
menemukan induknya. Semua mengemasi peralatanya untuk gabung dengan diskusi
yang hangat, tawa renyah santai di hari Minggu yang terik itu.
“Ibu ibu !,
sebaiknya hari ini kita tuntaskan saja rencana perjamuan untuk tamu-tamu bule
kita. Selain Bu Lilis yang sudah pengalaman catering masakan eropa, kebetulan
kita
3
kedatangan
tamu Mba Mawar yang kerja di restauran Eropa. Kita tentukan saja menunya
setelah itu kita bicarakan lainnya”
“Kita
tentunya harus melihat dana kita, iya kan Bu RW ?” seru Bu Dirman yang
mendahului diskusi hangat.
“Tentu saja
Bu Dirman !. Apalagi biaya perjamuan ini kan dari kas kita yang tidak seberapa
“ jawab Bu RW.
“Itulah
masalahnya bu !, kita menjamu tokoh dunia dan pejabat lainnya, padahal dana
kita hanya pas-pasan “ Bu Gatot mulai memaparkan kendala yang selama ini
menjadi beban wanita wanita pejuang itu.
“Nanti dulu
ibu-ibu, untuk menjamu Bill Clinton bukan sebagai pejabat negara, tentunya kita tidak usah menghidangkan menu
yang resmi ?”
“Tapi kan rencananya nanti Bill Clinton akan diterima Pak Walikota. Terus bagaimana ini ?. Mba Mawar
?” Bu Handoko tidak mau kalah karena hatinya masih dipenuhi rasa penasaran.
“Bu Handoko !,
Yayasan Bill Clinton itu hanya LSM biasa. Kedatangan beliau juga bukan sebagai
tamu negara!, kalau kita menjamu dengan jamuan yang sederhana, tapi hygeinis, kan
tidak masalah ?”
“Lho…lho..nanti
kalau tamu-tamu itu tidak berkenan, kita yang kena dampaknya “seru Bu Dirman.
“Ini gimana
!. Mba Mawar ?”pendapat Mawar kali ini dibutuhkan sekali oleh Bu RW.
“Begini, ibu-ibu
!. Tujuan Bill Clinton ke posyandu ini kan, karena rasa simpatiknya beliau dengan
kemandirian kita. Kita terbiasa dengan kegiatan yang swadana dan swakarya.
Inilah yang harus kita buktikan ?”
“Lantas, apa
hubunganya dengan menu yang akan kita hidangkan, Mba !” tanya Bu Handoko.
“Inilah yang
akan kami sampaikan pada ibu-ibu ?”
Semua yang
hadir di diskusi siang itu menjadi diam seribu bahasa. Hanya senyum Bu RW saja
yang menyemaraki diskusi maestro maestro amatiran itu.
“Ah…sepertinya
ada yang penting sekali sih Mba Mbawar ?” Bu Handoko adalah salah satu peserta
diskusi yang masih penasaran.
“Ibu ibu
jangan salah paham, aku kebetulan sering bertemu dengan tim yayasan itu di
restauranku. Mereka sama seperti kita, menu untuk makan kadang kadang seperti
kita, tidak perlu seperti Piza, Spagheti, Hamburger atau Hotdog atau Dunkey Donnats.
Mereka malah senang sop, ayam bakar atau malah pecel lele, yang penting bersih
dan hyegenis, betul lho bu !”
“Ah, masa iya
?” jawab Bu Dirman.
“Apa Bill
Clinton doyan kue kue buatan kita sendiri ?” tanya Bu Dibyo
4
“Tapi kita
tidak main-main lho, Mba Mawar ?”
“Ibu ibu
waktu kunjungan Bill Clinton ke Denpasar
beberapa tahun lalu, bagian rumah tangga kepresidenan juga menyediakan
makanan tradisional buatan kita sendiri. Justru makanan seperti itulah yang
banyak dipilih oleh tamu asing”
“Makanan seperti
apa, Mba Mawar ?”
“Ya, Cuma
lemper, Lumpia dari Semarang, kue lapis, getuk, makanan dari ketan. Lho dalam
even seperti itu kan bisa digunakan untuk promosi makanan asli Indonesia”
“Kok bisa ya
Bu, aku tadinya malah punya pendapat
untuk menjamu Bill Clinton dan stafnya dengan jamuan snak dan makan siang
dengan Piza, Spagheti, Hamburger atau Hotdog atau Dunkey Donnats. Tapi itu
nggak menyinggung tamu tamu kita kan, Mba ?”
“Lho, justru
kita tampilkan kemandirian kita untuk memperbaiki gizi masyarakat. Coba dong
nanti kita paparkan ini semua pada Hillary, pasti dia senang, aku yakin !”
“Tapi siapa
yang ngomong nanti, Bu?”tanya Bu Dibyo.
“Lho Bu Dibyo
kan guru bahasa Inggris SMA, aku minta tolong sama ibu, siap?”pinta Bu RW
“Siap bu !”
“Kalau gitu nanti
kita masakan saja bebek goreng, gimana ?” Bu Hasan mengajukan permintaan.
“Pecel lele
saja !” seru Bu Handoko
“Sayur asam
dan sambel !” seru Bu Samsudin
“Ibu-ibu yang
penting sudah kita sepakati tentang menu makanan tradisional untuk Clinton. Tentang
menunya apa kita sesuaikan dananya saja, gimana ibu-ibu ?” Bu Rw minta
persetuan hadirin.
“Setuju “
jawab mereka semua serempak
“Terimakasih.
Mba Mawar ?” Bu RW mengulurkan tangan untuk menyalami Mawar Wulan yang
menyambutnya dengan senyuman berseri ***