Senin, 05 November 2012

Demi Anak Kita




Seperti meniti  tali  yang terbentang dan  dipenuhi duri tajam yang tak berujung dan harus dilalui. Sedangkan tautan kedua ujung tali itu.  tak begitu kokoh bertambat dengan puncak tebing yang menghimpit tubuh Rakian dengan kokohnya. Namun Rakian harus terus menitinya. Entah sudah berapa kali Rakian melewatinya, entah ujung yang mana yang sudah dijamahnya. Sementara di sebelah kanan kiri tali itu,  jurang menganga siap menyantap tubuhnya. Gentarpun harus disimpanya kuat kuat dalam lubuk hatinya. Apalagi rasa pasrah dan tertunduk lesu, dia buang jauh jauh hingga tak tampak lagi lakon hidup yang menyesakan dada.
Sesekali lakon hidup yang dilalui terasa sangat menusuk jantungnya, sesekali pula timbul dalam hatinya, perasaan pantang surut ke belakang demi Ardian dan Elly dua bocah laki laki dan perempuan,  sebagai buah hati perkawinan dengan Russ Kania selama beberapa  tahun. Perkawinan yang sangat menjadi dambaan Rakian, sejak dia dan Russ benar benar bertaut dalam pelukan mesra. Hingga lahirlah Ardian 4 tahun sesudah dia mulai mengarungi bahtera sebagai suami  dan Elly 8 tahun kemudian. Tak ada  sisi gelap satupun dalam hidup yang berkelambu kemesraan dan kesetiaan yang  pernah menusuk dalam dalam jantungnya di masa lalu.
Masa masa indah mengawali kehidupan mereka,  meski dia hanya  tenaga cleaning servis di perusahaan konsultan konstruksi dan interior design yang cukup beken di kotanya. Saat itu bagi Rakian, adalah yang hanya mampu diperbuat olehnya, yang hanya berijazah SMA. Peluh dan sesekali kesah menjadi  bagian kesehariannya dalam hidup yang dimiliki, sedangkan bergulirnya jarum detik terus memburunya, semakin lama detik itu menggigitnya dan semakin pula dia merasa tersudut. Meskipun dengan jerih payahnya dia mampu membelikan Russ rumah mungil di sudut kota, yang masih sepi dari taburan eksotis kota yang begitu liarnya.
Russ istrinya yang bergaya selebritis muda, hanya menampakan wajah wajah gelapnya selama menempati rumah mungil, berdinding batako dan beratap asbes. Bergaul dengan tetangga tetangga yang dipandang Russ hanya sebagai masyarakat kelas bawahan, yang norak dan tak berkelas. Sedangkan Russ selalu bergincu bibir mirip artis sinetron muda yang kontraknya mencapai milyaran rupiah. Di bawah asbes yang sudah mulai rapuh dan berdebu inilah Russ selalu menuntut Rakian demi sebuah hidup bergaya selebritis.
Rakian hanya tertunduk lesu bila seharian Russ memberondongkan umpatan, tentang ketidakmampuan Rakian dalam menuruti kemauan sang selebritis tinggi hati itu. Kedua anaknyapun seharian itu pula menempel dan menggayutkan pada tubuhnya. Sama sekali rasa kasih sayang pada kedua putranya tidak luntur sedikitpun, meski dia sering tersudut oleh impian dan khayalan istrinya. Dengan raut muka polos dan bening mata yang indah kedua anak anaknya tidak menghiraukan apa yang keluar dari mulut Russ ibunya, Rakianpun sama seperti kedua anaknya yang sama sekali tidak menghiraukan serentetan tuntutan selebritis yang bagaikan sedang tidak punya order kontrakan lagi. Meski sorot mata pria ganteng itu tidak mampu menyembunyikan perasaan yang bercampur, pilu, marah, sedih dan bingung.
Apalagi bila Russ melihat tetangga yang memusari dia terus saja merehab rumah mereka, dengan gaya rumah mpdern bergaya romawi, berdinding batu alam dan berlantai keramik. Diapun bagaikan macan lapar yang siap melahap tubuh Rakian yang tinggi. Entah iblis mana yang merasuk dalam aliran darah Russ Kania, sehingga dia menjadi nanar matanya, tak sehalus dan selembut saat awal awal pernikahan mereka. Russ saat itu tidak memperdulikan dia tinggal di rumah apapun, derita yang paling menunjamkan hatinya, diapun lega menerimanya. Tetapi kini jauh berbeda. Kelambu pengantinya yang dulu dia sulam dari benang sutra, yang lembut dan halus, kini telah meluruh menjadi kelambu penuh kepengapan.
_______________
            “Hanya kita saja, yang belum merehab rumah ini, Mas. Sedangkan tetangga kita sudah berganti tembok , berdinding genteng, pakai keramik lagi lantainya. Sedangkan kita membeli tv plat saja model sekarang tidak mampu” pagi-pagi sekali di Hari Minggu Russ sudah memprovokasi suaminya, yang dulu dianggapnya Sang Arjuna, yang mampu merobohkan jantung hatinya. Sementara Rakian seperti biasanya tidak memperdulikan ocehan wanita yang sangat dicintainya, yang memberinya dia putra dan putri, yang ganteng dan ayu mirip ibunya.
            Rakian hanya sibuk memandikan kedua putranya dengan seloroh yang lembut, penuh belaian kasih sayang, berlainan dengan ibunya yang melipat wajahnya bagaikan nenek lampir dari Gunung Merapi, meski sama sekali tidak terdapat guratan ketuaan di kulit wajahnya yang putih mulus.
            Namun betapa penasaran hati Rakian pagi itu, karena tidak seperti biasanya Russ berdandan sangat modis, dengan make up yang belum pernah dia belikan. Memakai stelan underok yang minim dengan kaos yang ketat. Sementara rambutnya dibiarkan terurai hingga pundaknya. Entah dari mana Russ mendapatkan sepatu yang berhak agak tinggi, dengan warna kulit kemerahan. Kedua anaknyapun  menyampaikan protes kepada Rakian bahkan sempat memberontak menuntut untuk ikut ibunya, yang tak tahu  entah kemana tujuan perginya. Namun protes itupun menjadi surut kebelakang, setelah kedua mata ibunya yang bundar memberikan sorot mata garang dan menghardiknya, supaya tidak usah ikut denganya.
            “Mereka berdua kecewa tidak kamu ajak pergi, Russ ? ”. Rakian mencoba membujuk Russ agar di Minggu pagi ini, Russ mengajak mereka untuk jalan jalan.
            “Mengapa kau memintaku seperti itu ?” jawab Russ.
            “Kamu kan ibunya, mereka butuh kamu, Russ ?”
            “Mas Rakian, aku ada janji dengan temanku “
            “Kemana ? “ seribu rasa penasaran kini bersemayam di hati Rakian
            “Apa perlumu ?” Russ mejawab dengan sebuah bentakan yang melengking.
            “Aku kan suamimu, Russ ? “
            Ruang tamu yang sederhana beralas semen yang sudah banyak mengelupas kini lengang  dan membisu. Rakian hanya tertunduk wajahnya dengan kedua bahunya yang masih digayuti kedua putranya. Seakan akan Rakian tidak mampu barang sedikitpun untuk menghalangi kemauan istrinya. Russpun segera berlalu tanpa say goodbye, kedua sorot mata anaknya terus mengikuti tubuh ibunya, yang tak lama menghilang di pertigaan ujung gang mereka yang kumuh. Rakianpun tahu apa yang akan dilakukan istrinya itu, tapi tak pernah mencoba untuk menahanya. Sebab bagaimanapun juga itu adalah hak istrinya untuk menentukan sikap, sebagai rasa kecewa pada dirinya yang sudah bertahun tahun menghinggapi kalbunya.
            Rakian kini dipersimpangan jalan, dilain sisi dia rela Russ menggapai kebahagiaan yang dia butuhkan untuk lifestyle yang dikejarnya. Tetapi di lain pihak kedua putranya membutuhkan belaian seorang ibu. Tapi bagaimanapun juga sebuah langkahpun harus dia beranikan, justru demi kebahagian kedua sisi yang melingkunginya. Russ sudah meluruhkan kasih sayangnya pada kedua belahan jiwanya, demi hanya kehidupan glamour yang dibidiknya, tanpa memperdulikan resiko apapun. Apabila Ardian dan Elly terus menemani kehidupan ibunya, maka mereka berduapun terus menjadi sasaran kemarahan ibunya. Namun getaran hati yang menggelora di beranda jantung Rakian, terus saja datang pergi silih berganti, antara Russ dan kedua bocah mungilnya.
Sementara malam telah merambat semakin larut, deru mesin kendaraan di gang depan rumahnya kini tidak terdengar lagi. Sesekali terdengar suara dentingan pinggan si abang bakso yang memecahkan kesunyian malam. Larutnya malam ini adalah saat yang paling memilukan, apalagi sering terdengar rintihan Elly memanggil ibunya demi segelas air susu hangat. Sementara Russ entah kemana menyelinap di tengah remang malam, atau mungkin dipelukan laki laki jalang demi selembar uang. Tapi yang jelas Rakianpun harus rebah keperaduan di samping kedua anaknya, yang telah merenda mimpi.
__________
            “Sudah kau pikir dalam dalam Russ, untuk meninggalkanku ?. Cobalah bersabar demi Ardian dan Elly “ pinta Rakian, yang sudah mulai lapang hatinya menerima keputusan yang diambil Russ, suatu keputusan yang diyakini sebelumnya bakal diminta Russ. Kegetiran hatinya telah mulai tertepiskan lantaran sedikit demi sedikit hatinya menjadi tabah saat menerima kenyataan ini. Rakian telah cukup lama merasakan betapa beratnya menerima makian kasar, tuntutan dan seribu sikap Russ yang menikam ulu hatinya.
            “Aku mengambil langkah ini justru demi mereka berdua yang masih butuh biaya. Sudahlah Mas Rakian, suatu saat akupun akan di tengah mereka kembali “. Inikah Russ Kania ?, wanita yang dulu justru mengejarnya untuk mendapatkan bilah cintanya, yang berjanji bersama mengayuh biduk hidup di tengah keadaan apapun. Tapi apakah ini sebuah lakon hidup yang harus dititi oleh manusia, yang bisa saja berubah tak tentu arah.
            Berkali kali Rakian hanya mampu menelan ludahnya sendiri, dia masih terpaku berdiri di serambi rumah mungil, menyakisikan Russ Kania pergi berlalu dengan sebuah mobil mewah, meski terdengar dengkur kedua anaknya yang  terlelap di tengah malam, setelah beberapa saat sebelumnya Russ Kania menciumi pipi kedua anaknya. Bagi Rakian malam ini memang malam tak berbintang gemintang, rembulan tertutup mega hitam. Tak lama kemudian terdengarlah adzan subuh menggema di malam pilu itu. Sedikit kesegaran dalam hatinya kini mulai ia dapatkan.

Minggu, 28 Oktober 2012

Amelia


Hari hari bagi Amelia adalahhari dalam kehidupanya. yang tak perna dihiasi dengan hasratmelangkah surut dalam hal apapun. Bagaikan angin kemarau yang melesat tak bisa dibendung sepanjang garis titian hidupnya, yang penuh dengan kesahajaan dan kegigihan bersama dengan bapa dan emaknya dalam mengayuh biduk kehidupan mereka. Meski Amelia dan keluarganya, hanya bersandar pada biduk yang lapuk dengan layar yang bertebar sayatan koyak, lantaran tertikam ganas dan kejinya kehidupan ini.


Amelia tumbuh menjadi remaja yang lebih sahaja dibanding   ABG lainnya di sekolah tempat dia serius menuntut ilmu. Amelia tidak pernah mengenal manis manja dan ceria seperti anak pejabat atau saudagar kaya dengan rengkuhan materi yang berkecukupan. Sehingga mereka seperti kupu kupu kertas warna warni,yang lepas bebas terbang ke tiap penjuru langit, saat hujan menghadang mereka, maka luruhlah kedua sayap yang tak seberapa kokohnya.

Padahal Amelia saat fajar merekah, dia sudah sibuk membantu emaknya untuk belanja sayur ke pasar pagi, untuk sekedar menyambung separo nafasnya. Dia rela bergumul dengan kabut pagi yang dingin, debu pasar yang berceria ditiup angin gunung atau peluh emak emak tua yang berebut mendapatkan sayur sayuran yang masih segar. Meski kadang disertai rasa kantuk,  lantara Amelia sering sampai larut malam membantu emaknya di warung nasi depan rumahnya. Sementara adik adiknya sudah mendengkur menguntai mimpi indah,tak peduli emak dan kakak sulungnya, mengais sesuap dua suap nafkah. 

Itulah Amelia, dia harus menikam bisu hari hari indahnya sebagai ABG yang sebenarnya berwajah cantik, berkulit kuning. Apalagi bila dia berdandan seperti ABG lainnya,bercelana jeans ketat, kaos T shirt yang keren dan asesoris gaul lainnya.Maka tampaklah selibritis yang siap bercasting di depan kamera tv swasta, setiap liuk tubuhnya yang sintal menggeliat seperti ular kobra, maka sorot mata cowok cowok jalangpun akan terus membidiknya. Maka wajar saja,  bila setiap sekolahnya mengadakan perhelatan seni Amelia selalu menjadi bidikan sokib sokibnya untuk mencurahkan multitalentanya. Meski dengan sorot matanya yang  sedingin salju lantaran kehidupanya yang mengalami keterpurukan, kadang kadang juga liar dan tajam pertanda dari dalam dirinya terpendam potensi sebagai ABG multitalenta.

***
“Kau tidak pernah sedikitpun memberi aku harapan,Amel ?” bisik Rudy yang sedari pagi terus menempel Amelia, yang berpakaian seragam sudah agak kusam, karena lamaAmelia  tidak mampu membeli yang baru. Amelia hanya tersenyum tipis dan tetap saja dia menyimpan salju di kedua sorot matanya. Rudypun terus saja hingga hari ini masih menyimpan sejuta penasaran, andaikan cewek ini mampu berbinar seperti ABG lainnya yang ceria, maka tidak ada perbedaan antara selebritis dengan Amelia seberkas benangpun. Namun Amelia hanya “keeping silent”, tanpa memandang serius apa yang selalu dia curahkan kepada dia.
“Kau tak keberatan kan ?,bila aku selalu memintamu untuk menjawab ?”

“Rudy ?, apa sih beratnya menjawab apa yang kamu pinta !. Tapi Rud !, aku bukan cewek seperti itu.Kehidupanku dan emak memang lagi terpuruk, bapak jarang pulang karena banyak mengejar borongan di Jakarta, aku nggak bisa sekolah dan berpacaran seperti cewek lainnya. Maafkan aku Rud !” Amelia tetap saja menyedot es jeruknya di kantin, di tengah klasmeeting sehabis UTS.Kedua sorot matanya,hanya asik menelisik larinya air jeruk yang turun naik sepanjang sedotan. Namun justru Rudi semakin dibuat ngap ngapan dengan ulah dingin “The Ice Girl”, yang terbujur bisu di depannya.

“Tapi kau kan jomblo,Amel ?”
“Ya, tepatnya The Silent Jomblo !, tapi itulah aku Rud !, aku nggak peduli. Aku nggak mau setiap sokibku ikut larut dalam penderitaanku. Aku terbiasa hidup gigih di tengah turun naiknya kehidupanku. Aku dhdapkan dengan bagaimana aku dapat membantu emak dan bapaku yang setengah mati menggayutkan hidup ini. Kau tidak biasa dengan keadaan seperti ini,kan Rud !. Kasihanilah diri kamu sendiri, Ru!” hanya sekali ini dia mendengar suara Amelia yang nyaring, dengan mata yang datar namun siap menundukan hati siapa saja yang ada di depanya.
Rudipun hanya sekilas menguliti perjalanan hidupnya, yang diseputari materi yang berlimpah. Mobil hiam mulus dari negeri Eropa selalu mengantarkan dia kemanapun pergi, doku yang diberikan mama papanya selau ludes untuk terbang dari cakrawala manja tawa satu ke lainnya. Apapun mampu dia beli, namun membeli sberkas cinta dari Amelia, ternyata dia tidak mampu sama sekali.
“Aku siap menerimamu apa adanya !”

“Jangan konyol, Rud !, kamu tidak akan mampu berbuat apapun menghadapi peliknya hidup ini. Kau hanya menuruti emosi hati  saja. Sudahlah Rud !, apa salahnya sih !, kalau kita hanya berteman saja !, piss !” kali ini sebuah senyuman tipis menghiasi wajah putih alami Amelia.

Tapi bagi Rudy sebuah sayatan luka dihatinya mulai terasa pedih. Tidak ada satupun tebing yang kokoh yang mampu dijadikan curahan hatinya. Mama papanya apalagi, mereka hanya sibuk memutarkan bermilyar milyar uangnya demi sebuah kehidupan sang pemuja harta yang glamour. Sokib sokib yang selalu memusarinyapun tak akan mampu mencarikan kiat untuk bisa mendapatkan ABG yang cantik, flamboyan dan sahaja ini. Ruypun hanya mampu menyobek selembar kertas dari bukunya untuk sekedar menuangkan gejolak hatinya yang sedang dijauhi dewi asmara. Hanya itu yang mampu diperbuat Rudy, sementara Amelia hanya asik mencari uang recehan yang tersebar di kantong bajunya, untuk membayar es jeruknya itu.

“Amel!, bacalah puisiku !, inilah gambaran hatiku, “

Amelia
mampukah kau sejenak melepas....
tiap bilah guratan pedih yang menikam halaman hatimu
lantas kau ulurkan kelopak mawar menembus batas langit
dengan warna merah jingga,
akupun mampu membentangkan rindu,
kau mlempar senyum yang mampu meuntuhkan
puncak Mount Everest
kita bermandi di buih putih laut biru
aku dalam tabir cinta,
kau bersamaku menghitung hari....Rudy

“Apa artinya ini semua Rud ?” geliat tubuh Amelia, yang tadinya terbujur bisu kini nampak saat kedua tanganya membaca puisi Rudy, namun sorot mata The Silent Jomblo masih saja sedingin es.
“Sebuah penantian, Amel !, tetang kau, tentang isi hati ini” Tangan kanan Rudy terus saja menempel pada dadanya sendiri.
“So sorry !, Rud, puisimu tak berarti apa apa bagiku, maafkan aku ya Rud !”
***
“Bapak  !”
“Amel, anaku !” sebuah pelukan luapan kangen antara bapak dan putri sulungnya mengharukan pertemuan mereka di tengah malam, saat bapak Amelia tiba kembali di tengah mereka setelah 6 bulan mereka berpisah. Demikian sibuknya hingga Sanoso si tukang batu baru bisa kembali dari Jakarta. Lelaki setengah baya itu, sudah kelihatan tua dibanding dengan umurnya, lantaran dia hanya sebagai pekerja kasar yang memaksakan diri demi menghidupi anak istrinya.

“Bapak !, Amel minta bapak tidak usah ke Jakarta lagi. Warung kita sudah mampu menghidupi kita semua”
“Tapi kamu harus kuliah, Amel !,kamu harus bisa maju, tidak harus terus menerus di warung”
“Itu gampang, pak !, yang penting kita bisa berkumpul lagi, itu sudah cukup bagi Amel “
“Tapi, siapa pacar kamu, Amel ?”

“Amel belum memikirkan itu, Pak !, meskipun sudah banyak cowok yang mendekati aku “
“Jangan begitu Amel, keadaan kita ini adalah semua salah bapak !, kamu tidak boleh ikut menderita. Biarlah semua menjadi tanggung jawab bapak. Seandainya kamu mencintai pria yang kamu pilih, janganlah kau bunuh perasaanmu sendiri. Asal kamu mampu menjaga diri. Kamu kan sudah lulus SMA, kamu harus ceria sama seperti wanita lainnya “.

Amelia hanya tertunduk malu, dalam dirinya kini mulai terasa getaran aneh yang kemudian merambat ke semua sendi tulangnya. Sorot matanya kini mulai hidup, entahlah apa yang akan dilakukan oleh cewek ABG k ini***

Kamis, 11 Oktober 2012

Laki Laki Tua





Sunyi di batas kota demikian mencekamnya,  jalan yang terhampar di depanya masih menyisakan basah dari gerimis tadi malam, jejak air gerimis tadi terus saja berkawan dengan kabut dingin yang mencekam dan terus menebarkan dingin yang menggigit kulit dan tulang. Sebentar sebentar terdengar deru mobil bak terbuka yang mengangkut sayur, menerobos kabut pagi di remang jalan desa yang berkelok dan licin. 
 

Tetapi bagi lelaki tua itu,  hari hari yang bergurat apa saja tak pernah membuatnya surut kebelakang,  meski dia harus terus menyeret sebelah kakinya yang lama tertikam penyakit uzur. Dengan dibantu  bilah bambu yang menjadi kawan setianya, hari hari yang memusarinya terus saja ditundukan meski dengan tatapan mata yang penuh asa, tak peduli pada usianya, tak peduli penyakit yang merongrongnya apalagi menghadapi segenggam hidup yang mesti harus dia hadapi.

“Antarkan aku, hai sang waktu !, untuk segera  menghadap langit di ujung cakrawala !.Biarkan aku berkumpul kembali dengan istriku Suminah dan anaku-anaku di istanaMU !” , kerap kali getaran hati itu muncul di beranda jantungnya, apabila dia merasakan sebuah kerinduan yang dalam pada istri dan kedua anaknya yang terlebih dahulu meninggalkanya. Tapi bila sinar mentari mulai menyeruak lewat celah celah dinding papan rumahnya, lelaki tua itupun mulai terhenyak untuk memunguti liku hidupnya. Basuhan air dingin dari pancuran di belakang rumah selalu bisa menyegarkan tubuhnya. Diapun selalu mampu menepiskan bayang kebahagian masa lalunya yang kini sirna.

***
Hutan jati yang masih kelihatan gelap kini sudah tepat di depanya, terlihat semua pucuk  pohon jati yang tersebar berjejer di depanya masih belum semi, akibat pagutan kemarau ganas beberapa minggu kemarin. Karjo, lelaki tua itu mulai menyisir jalan tanah yang melintang di tengah hutan, sebentar sebentar dia menata kembali cangkul dan peralatan kerjanya yang dipanggulnya, nafas dari lelaki tua itu saling memburu, terengah tak beraturan. Namun lelaki yang berkawan sepi itu, terus saja mencari akar  dan tunggak jati sisa penebangan beberapa lama sebelumnya  yang terpendam ,  untuk dijadikan arang. Meski dia bisa saja menebang pohon jati yang kokoh di sekelilingnya, namun dia sama sekali tak pernah berniat melakukan pekerjaan biadab itu.

Wajahnya menyunggingkan senyum ceria, kala dia menemukan sisa batang yang agak besar setelah sekian kali dia mencangkul tanah yang basah di depanya, seketika itu  cangkulnyapun di letakan di pinggirnya dan diapun melipatkan kakinya untuk duduk beristirahat. Kala istrinya Suminah masih hidup, tanpa diminta olehnya Suminah segera menyodorkan teh hangat yang di bawanya dari rumah, terkadang bekal yang dibawanya dilengkapi pula dengan singkong rebus atau penganan dari ketan untuk sekedar mengganjal perutnya. 

Apalagi kala ke dua anaknya masih hidup, dia tidak perlu repot repot mengais sesuap nasi hingga ke tengah hutan jati. Karena Karmo, anaknya yang sulung dan Mardiyatun adiknya, tidak pernah duduk berpangku tangan mengais nafkah untuk sekedar menafkahi dia dan istrinya. Meski kedua putranya hanya menjadi seorang tukang becak dan buruh cucian di kota. Namun Karjopun berusaha sekuat tenaganya untuk melupakan masa indah dan bahagia miliknya, meski saat ini baginya hidup adalah sebuah perjuangan yang berat dan terkadang merayu dirinya sendiri untuk berputus asa dan berharap datangnya sebuah masa indah untuk berkumpul dengan keluarganya di langit susun tujuh.

Batuk batuk yang kering dan dalam terus saja menyeruak di tengah keheningan hutan jati, di saat dia lepas beristirahat dengan sebotol air dingin yang kerap kali dia reguk membasahi kerongkonganya. Di tengah keriput wajah yang agak memucat itu, seberkas fragmen kenangan memenuhi bilik hatinya, tentang kasih sayang Mardiyatun, anak sulungnya yang benar benar tulus kepadanya, meski dia belum pernah membahagiakan putrinya, bahkan mencarikan jodoh untuk putri kesayanganya itu. Namun bila lelaki tua itu tersungkur dengan demam penyakit malarianya, Mardiyatun segera memberikan pijitan  kecil di seluruh tubuhnya, membuatkan air jahe, memberikan obat anti demam dan bila perlu mengantarkan dia ke puskesmas.

Namun demam malaria yang menyerangnya beberapa hari yang lalu mebuatnya terkapar  dan tak berdaya di bilik bambunya yang sudah lapuk. Kehadiran Mardiyatun hanya dalam ilusinya saja, yang hadir di tengah demamnya yang tinggi. Untuk pergi ke dokter diapun sama sekali tidak mampu, hanya beberapa teguk air dingin saja yang menemaninya. Saat itu dia mengharap sebuah ajal menjemputnya, demi terobatinya sebuah rindu yang dalam dan menggigitnya sepanjang waktu. 

“Atun, bapak sakit ! Tolong Atun, berikan buatkan bapak air jahe dan obat, badan bapak dingin sekali “ Tak ada seberkas suarapun menjawab lengkingan darinya. Hanya gemeretak batang bambu yang menjadi dinding biliknya menjawab pertolongan dia.

“Atun, Atun..dimana kamu, bapak sudah lama tidak ketemu kamu !” berkali kali teriakan itu memenuhi biliknya, kembali lagi, tak ada satu suarapun menjawabnya.

Kini diapun terlelap dalam tidurnya, didalam tidurnya sesuatu telah membawanya bertemu dengan Suminah, Karmo dan Mardiyatun, yang kini berada di istana megah, bersanding dayang dayang dan punggawa kerajaan. Mereka berempat layaknya anak kecil yang ceria, bermain di bawah bulan purnama, saling berkejaran. 

“Bapak, pulanglah “
“Atun, bapak tidak mau pulang, bapak masih ingin bermain denganmu “
“Tidak bapak !, bapak harus pulang. Bukan disini tempat bapak !”
“Tapi Atun !, kapan kita bertemu lagi ?”

“Entahlah, pak.Atun tidak tahu. Sekarang bapak pulang saja. Besok masih ada waktu kita bertemu lagi, sekarang pulanglah !”
“Tapi berilah bapak janji, untuk ketemu kamu, abangmu dan emak !”
“Atun janji, pak !, tapi entah kapan Atun tidak tahu !”

Bayang putih  Atun, Kasmo dan istrinya kini meredup dan menghilang. Lelaki tua itupun  siuman kembali. Sebuah rasa sedih menyelimutinya. Dinding bambu biliknya kini terbujur sepi dan dingin. Keinginan berkumpul kembali dengan semua keluarganya kali ini sirna begitu saja, karena Tuhan yang Kuasa menghendaki lain, lelaki tua itu masih dikodratkan untuk menyisir hari harinya yang berat. Diapun sigap menjemputnya, dan di pagi ini diapun segera menjelajah hutan jati, untuk membuat arang kayu dan dijual ke tengkulak demi sesua nasi untuk beberapa hari ke depan.
***
Batang dan akar kayu jati yang lama terpendam di tanah dia sayat kulit luarnya hingga tinggalah batang yang bersih,  kemudian  dia bakar dengan membuat api dari  daun dan ranting jati yang berserakan di hutan jati. Setelah cukup bara api, batang dan akar yang terbakar itu dia tutup dengan tanah yang tipis. Batang dan akar yang menghangus itu dia biarkan beberapa hari di hutan jati.  

Setelah terlihat mentari condong ke barat,  lelaki tua itupun pulang untuk beristirahat di rumah selama beberapa hari, timbunan arang yang belum jadi dia tinggalkan begitu saja, entah ada  atau tidak makanan yang bisa untuk mengganjal perutnya di gubug bambunya. Sayup terdengar desiran angin pancaroba yang menerpa tubuhnya sepanjang perjalanan menuju gubug bambunya. Meski gejolak perutnya yang belum terisi makanan tidak kalah teriakanya ketimbang desir angin panvaroba.

Reman gubug bambunya, memaksanya untuk segera rebah di ranjang bambu berlapis kasur tua yang sudah mengeras, entah karena angin pancaroba yang menggigitnya atau karena kondisi tubuhnya yang sudah melemah, lelaki tua itupun tersungkur di atas kasur pengap. Seluruh tubuhnya terasa lemas,  semua sudut bilik bambunya terlihat kabur.

“Ya Tuhan, tolonglah aku !, ampunilah dosa dosa hambamu yang lemah ini !”, sepotong kalimat keluar dari bibirnya yang pecah dan keriput.
“Bapak, ada apa !”
“Atun, tolonglah bapakmu, bapak sudah tidak kuat lagi “
“Baik, pak !, rebahlah di pangkuan Atun ?”
“Atun, bapak di mana ?”
“Jangna sedih, pak !. Bapak akan Atun ajak pergi jauh menuju cakrawala di kaki langit untuk berkumpul dengan emak dan Kak Kasmo “
Wajah lelaki tua itupun berseri bahagia bersmaan dengan lepasnya nafas terakhir.