Sabtu, 01 Oktober 2011

Puisi Tentang Bangsaku

Ranting Cemara Yang Meranggas

semua gurat pelangi melontarkan berkas warna di ufuk,
kala Mahapatih Gajah Mada berdiri dan menggelar tepian kanvas lukisan wajah ayu sang permaisuri di gendongan nina bobok Archipelago,
warna biru langit telah memenuhi semua pelupuk sang empu,
yang koyak pakaian mereka, namun masih mengais kepalan tanganya di pucuk palma,
berisi limpahan tinta emas untuk mengukir Kemurahan Sang Pencipta Hidup.

warna merah yang lama terbiuskan tari bidadari bertaring tajam.
dengan kuku menghitam, siap merobek bilik jantung yang berdegap gegap.
namun mereka tetap tegar, menuai bulir padi yang menguning, mengayunkan prosa negeri di jalan jalan penuh kemunafikan.
beberapa kerumunan bocah bertelanjang dada dari tengah padang,
yang telah meranggas semua belukarnya,
dengan hiasan rumbai jerami untuk mengatapi rumah bambu
berhias tajamnya sorot mata yang nanar,
sehingga pohon pisang yang pernah tumbuhpun terhempaskan,
karena badai kepedulian sesama telah memilitkan puting beliung.
lantaran, nafas Merapi melontarkan setiap asa pada tebing tebing berhias ilalang

apakah akan ada lagi batu nisan bertulis nama yang bertinta emas
di pusara bermandi kembang kagum dari anak cucu,
bermandikan air keruh modernisasi,
yang bernafas busuk dan bersitegang
pada bahu bahunya yang hitam melegam.
namun mengapa mereka dengan sigap menyergap,
beranda Archipelago yang dahulunya tempat mandi bidadari penghuni Indraloka,

ataukah memang mereka semua telah dipinang jaman,
yang berhias asap mesiu, korupsi dan hantu penghisap darah
ataukah panorama di tepian telaga
yang menghitam dengan suara parau dan sumbang burung camar,
kutilang, nuri dan derkuku
mereka dahulu bercanda dengan kidung Asmarandhana
di tiap sudut pohon cemara yang menjulang tinggi, menitipkan prosa kehidupan
pada Sang Pencipta.
tidak ada lagi kini, tebing,
padang dan lembah untuk sekedar cemara mengukuhkan selorohnya,

mereka dililit angin prahara,
lantaran bulu bulu warna warni
dari monster monster sang penunggang reformasi
yang telah meradang kiblatnya hingga tak selembar daunpun
yang tersisa untuk mensuapi cicit anak anak burung sang penunggu pagi.

Semarang, 30 September 2011.  

Bulan Terpingit 

bulan demikian bersedih,
kala tepian telaga tak mampu lagi menjadi cermin baginya,
meski roda roda bumi terus menjinjing sang pedang waktu,
lantas mereka biarkan kepulan asap mengerang
dan rajutan keranjang santun, milik penghuni Swargaloka.

wajah bulan berubah di malam purnama,
yang berenda rajutan kain sutra,
mengubah wajahnya bertepi pohon kamboja
apakah bulan juga mengulum pesan tentang perjalananya
di tanah bergaris katulistiwa

ataukah lantaran bulan menjadi saksi dari senyum hambar
penari Ramayana di plataran Prambanan
atau mungkin rajutan keranjang santun telah terkoyak,
menebarkan bisa bisa mematikan bagi “sang ilalang”
yang sedang berbulan madu dengan cakrawala
di ufuk pagi. atau pula bulan menjelma
wajah lelaki separo baya berwajah keriput,
yang tersayat hatinya,
kala mendengar nada sumbang '[
dari peniup seruling pada pagelaran “uyon-uyon” gamelan jawa.

entahlah bulan yang terpingitpun terus menyodorkan ketidaktahuan.

Semarang, 30 September 2011  

Merindukan Sang Ufuk 
mari kita benahi, bilik kamar tempat kita merebah,
menghitung selaksa pagi dan senja
yang berkejaran melintang dan terbujur
di kungkungan bola langit kita rindukan bersama
dalam langkah yang sepadan meski tenggorokan telah kering
pembuluh darah telah bosan tersumbat denyut prahara
mata memandang sesekali pada rumah mungil
di tengah ufuk -yang kabarnya hanya terbawa cicit burung kenari-rumah
dengan cawan berisi air mawar menepis hari hari panjang yang banyak
disulam pelacur pelacur jaman

jangan lagi kita semai rerimbunan
di sebidang tanah kehidupan,
hanya jalan berdebu agar kitapun sempat mewarnai
atap rumah ufuk dengan anyelir,
kenanga dan melati untuk merias wajah bidadari

Semarang, 30 September 2011  

Sepenggal Doa
kita tatap sejenak,
pada bening sorot mata
yang mengarah saat kita tanpa
sehelai benang menghisap aroma ILLAHI
tepat ke bilik jantung dalam genggamaNYA,

tak mampupun kita
menggerakan tiap benak dan otak
kita sandarkan perjalanan anak anak negeri
yang menyambut mempelai agar terpasung
di singasana pelaminan tanpa nafas nafas busuk
dan lidah menabur gejolak
di tengah kebimbangan debu debu
yang menyesak dada hingga tulang igapun bergemerisik
menopang hasrat yang menusuk hari di balik cakrawala fajar

Yang Disana Kitapun tetap menjulurkan niat untuk
”bersyahwat” dengaNYA
agar sepenggal doa kita tidak terpelanting

Semarang, 30 September 2011

Rabu, 20 Juli 2011

Gerimis Senja

tak kentara, wajah yang dibungkus bintik gerimis
hanya baju anyaman rumbai, yang merapat
menyelusuri lekuk tubuhmu
namun pandan wangi kau untai di bibirmu

Tidakah kau merasa bahwa
mendung dari sore hari telah berlalu
yang berisi keranjang sutra,
yang aku rajut dengan bait para dewa

Sekarang semua telah berganti
menjadi gerimis senja bertabur "Nyanyian Dewa"
bukalah kedua tanganmu
untuk bermandi gerimis ini
sehingga malam kita lewati dengan sejuk

Sabtu, 28 Mei 2011

Lifeshow TV Yang Miskin Kepedulian Sosial


Persaingan tajam antara beberapa stasiun tv nasional demi memuaskan pemirsa dan meraup keuntungan komersial, nampaknya semakin menjadi jadi belakangan ini. Para tim kreatif dari beberapa stasiun tv tersebut, telah tidak tanggung tanggung merancang jenis tayangan “surprise”, road show, kompetisi “staying-home”, karnaval sejumlah artis beken nasional dan lain sebagainua, yang diselenggarakan di kota kota seluruh Indonesia, yang tentunya menghabiskan dan menghamburkan dana milyaran rupiah dari pihak sponsor..

Tentu saja kita dapau mengambil kesimpulan, bahwa memang demikian “life-style” masyarakat Indonesia modern, yang telah menjadi keranjingan terhadap type tayangan entertainmen yang glamour dan spectakuler, yang ditayang langsung dari siang hingga malam. Tidak tanggung tanggung lagi konsumen acara spectakuler inipun bervariasi dari para remaja anak kita hingga ibu runah tangga. Karuan saja rating acara acara komersial ini menjadi tinggi dan gayungpun bersambung. Pihak sponsorpun menjadi semakin berani merogoh kocek lebih dalam lagi demi sukses penjualan produk mereka. Tayangan entertainment komersialp[un semakin berani dan gila-gilaan.

Memang menjadi hak setiap pihak menajement stasiun tv swasta yang eksis untuk menyuguhkan tayangan mega glamour langsung, dari panggung hiburan itu, yang memang membutuhkan pasokan dana demi operasonal publikasinya. Namun seberkas gambaran refleksi di balik ini semua bisa kita dapatkan, yaitu sebuah refleksi berkurangnya sifat kepedulian social komunitas tersebut terhadap meradangnya sebagian besar masyarakat Indonesia yang dirundung kemiskinan.

Dalam suatu masyarakat super multicultural yang melekat pada sejumah kurang lebih 250 juta penduduk Indonesia, kesenjangan yang terus melebar, karena tidak adanya konsep penanggulangan kesenjangan yang jitu, maka fragmentasi sosialpun bisa terjadi secara tajam dan mengkristal. Stimulus ini bakalan terus melaju sejakan dengan hedonisme yang terus menerjang masyarakat kita. Bukankah hal ini sering kita cermati di tayangan media tentang hedonisme para oknum koruptor.

Oleh karena itu, wajar saja bila tindak demo anarkis, angka krimaniltas dan perilaku abnormalitas masuarakat social terus terjadi. Lain halnya bila kita sepakati bersama malalui mediasi institusi penertiban siaran media elektronik, yang terus mengawal tv swasta untuk menyelipkan nilai moralitas dan kepedulian social bagi yang membutuhkan. Apalagi telah kita ketahui bersama bahwa dengan adanya kemampuan publikasi stasiun TV swasta yang menasional, maka tayangan super komersial itupun dapat dikonsumsi masyarakat di seluruh pelosok tanah air baik si kaya ataupun si miskin.

Tayangan semacam tersebut di atas, memang dengan mudah mampu mengumpilkan public dengan jumlah yang besar, ;angsung, spontan dan efektif Karena itu, acara yang dipublis menjadi road dan liveshow adalah acara yang banyak digunakan oleh banyak pemerintah daerah kota besar untuk memperingati HUT Kelahiran kota kota besar seantero nusantara. Lengkap dengan acara pendukungnya. Namun pemda kota setempat, telah menepiskan langkah strategis dan vital demi pengentasan si miskin yang signifikan. Mereka lebih mengedepankan glamour acara ulang tahun tersebut, dengan tentunya menonjolkan figure kepala daerahnya, agar lebih terpatri di hati rakyatnya,sehingga mampu terus eksis diterima masyarakatnya.

Akan lebih bijak lagi, bila tayangan super komersiil di kurangi frekuensinya, besar nya event dan acara acara pendukung yang sangat menyedot dana ratusan juta rupiah. Dana yang terhambur akan lebih berarti lagi untuk merekonstruksi dan merevitalisasikan infrastuktur strategis guna pembangunan ekonomi si kecil. Sehingga sedikit banyaknya msmpu mrnjadi obat hati bagi saudara saudara kita yang masih mederita dan terbelakang dalam segala hal dibanding dengan bangsa lain. Seperti kita ketahui, nahwa Human Development Indeks untuk orang Indonesia telah menempati urutan ke 161, di bawah Vietnam, yang medeka pada tahun 70-an.

Memang telalu pelik apabila kita korelasikan antara dunia megah megahan entertainment dengan kompetensi masyarakat Indonesia. Namun stmulir pergeseran social yang mengarah ke konsumsitifisme suatu masyarakat bisa dibendung dengan “dunia panggung hiburan” yang diredam lajunya, seingga terhindar dari gila gilaan. Aspek lain yang patut kita cermati, adalah interaksi semua komponen dalam masyarakay Indomesia yang
mengusung perilaku saling mengedepankan keopedulian sesama masyarakat Indonesia.

Maka suatu keputusan yang bijaksana bila kita selipkan setiap tayangan TV swasta yang memiliki rating tinggi dengan pencerahan moral untuk anak bangsa yang sedang mengalami krisis ideologis, daya beli, pendidikan, lapangan kerja, pencurangan terhadap uang Negara, kepedulian sesama dan lain sebagainya/


Pondok Sastra HASTI Semarang