Jumat, 07 Oktober 2011

Akhir Musim Kemarau

Semak belukar di lingkungan rumah Hardian kini terlihat kuning meranggas. Sejauh mata memandang hanya terlihat permadani kuning yang tergelar luas. Pemandangan ini disebabkan musim kemarau yang panjang, dengan diselingi tiupan angin kemarau yang kencang dan kering serta tidak membawa uap air. Musim kemarau yang kering ini di[perparah dengan mengeringnya sumur dan sungai yang mengalir di desa Hardian.

Siang hari itu, usai Hardian dan teman temanya seusai makan siang, mereka berkumpul dan bermain di sawah yang telah mengering tidak jauh dari rumah Hardian. Sawah itu kini telah ditumbuhi ilalang yang tinggi dan mengering, sehingga sebagian ilalang tersebut telah roboh dan sebagian lain masih berdiri tegak. Hanya sebentar sebentar terlihat beberapa burung jalak, kutilang dan kenari yang hinggap di pucuk ilalang, untuk mencari makan semut atau serangga lainnya yang berada di pucuk ilalang. Hardian dan beberapa temanya sangat ceria bermain bola di sawah yang kini menjadi padang gersang. Meski panas kemarau masih terasa menyengat kulit mereka, tapi semua tidak diperdulikan. Barangkali mereka semua adalah anak desa yang terbiasa dengan sengatan matahari.

Permainan bola yang mengasikan itu, mendadak terhenti kala mereka menyaksikan beberapa kawanan burung telah terbang berarak menteberangi langit dari arah timur ke barat. Bahkan terlihat pula kawanan burung yang trebang dari arah tenggara menuju barat laut. Sontak mereka berlarian menemui Pak Wiji, yang sedang membersihkan ilalang dan membakarnya di petak sawah sebelah mereka bermain. Mereka tidak takut dan malu dengan Pak Wiji yang mengajar kelas VI di sekolah mereka. Pak Wijipun menyambut mereka dengan ramah dan senyum menanggapi pertanyaan mereka.

“Pak Wiji apa ada kebakaran hutan?. Burung burung itu beterbangan bersama sama menujuke arah barat dan utara”. Tanya Bisri pada guru mereka yang kini duduk di tikar bambu di tengah padang gersang.
“Iya, Pak. Aku takut bila kebakaran itu juga menerjang desa kita”. Hardian mencoba mencurahkan kekhawatiran pada guru yang ramah itu.

“Ha..ha..ha, apabila terjadi kebakaran hutan di sebelah selatan, maka burung burung itu tidak terbang menuju ke barat laut. Tetapi mereka akan hinggap di pohon pohon di desa kita untuk mengungsi “
“Apa sebabnya, Pak ?” . Kukuh tidak mau kalah dengan teman temanya untuk mencari tahu penyebab kejadian itu. “Kejadian yang kamu lihat di langit ini adalah kejadian yang dinamakan migrasi kawanan burung” seru Hamzah.
“Migrasi itu artinya apa, Pak ? Dan mengapa burung tersebut melakukanya ?”
“Migrasi itu artinya perpindahan dari tempat satu ke tempat lainnya. Hamzah !, mereka berpindah tempat mencari daerah baru yang sudah memasuki musim hujan. Tujuanya adalah untuk mencari makanan, karena bila musim hujan tiba, alam menyediakan makanan yang berlimpah bagi burung burung tersebut.
“Mengapa mereka bisa mengetahui daerah yang sudah memasuki musim hujan” Kukuh kembali lagi mengajukan pertanyaan, karena dia masih penasaran dengan kejadian perpindahan burung burung tersebut. “Itulah naluri mereka , Kukuh !” “Naluri?, apa saya juga memiliki naluri, Pak?” seru Hamzah
“Kamu semua adalah makhluk yang paling sempurna, yang memiliki akal. Sehingga dengan akal yang ada manusia bisa mengetahui cuaca tanpa menggunakan naluri. Naluri diberikan Tuhan yang Kuasa kepada hewan, karena mereka tidak memiliki akal”
“Pak Wiji, mengapa di desa kita belum turun hujan. Padahal di daerah lain sudah hujan ?” Kembali Hardian menyerukan sebuah pertanyaan.
“Barangkali sebentar lagi, Hardian !. Biasanya kalau terlihat gejala alam seperti ini, tidak lama lagi desa kita akan diguyur hujan” jawab Pak Wiji dengan senyum yang lebar.
“Ah…mengapa datangnya musim hujan tidak serempak, ya Pak” Kukuh menyela pembicaraan mereka dengan kembali bertanya.
“Kamu semuakan sudah belajar bahan ajar Kepedulian Diri Pada Lingkungan. Pada pembelajaran itu, kamu diajar guru kamu bahwa alam sekitar kita telah rusak akibat ulah kita semua. Zat Ozon yang ada di atmosfer kita telahbanyak yang rusak, selain itu atmosfer sudah banyak dicemari bahan bahan buangan. Ini semua mengakibatkan “effek rumah kaca”, sehingga musim sekarang telah kacau.
“Pak, Pak Wiji, boleh aku bertanya?” Tanya Ningrum yang mulai tertarik dengan pembicaraan mereka di tengah sawah. “Oh, silakan Ningrum !”
“Bagaimana cara Ningrum, agar bisa mempercepat datangnya musim hujan ?”
“Ningrum !, tidak ada yang bisa kamu lakukan, yang penting bagi kamu belajar yang rajin bahan ajar Kepedeulian Lingkungan dan IPA.

Dan nanti di rumah kamu bersihkan sampah sampah yang ada di saluran air agar tidak mampat menyebabkan banjir dan jangan jajan di sembarang tempat, karena pada awal musim hujan biasanya akan berjangkit penyakit diare dan disentri, ya !. Sekarang hari sudah sore sebentar lagi gelap, kalian mandi yang bersih dan belajar ya ?” “Ya, Pak Wiji “ semua menjawab dengan serentak tanpa ada yang menuruhnya. Sementara itu langit di atas desa mereka sudah mulai gelap. Suara petir silih berganti disusul kemudian munculnya kilat yang menyambar desa mereka. Tidak lama kemudian 3 datanglah hujan yang pertama kali, yang sudah lama mereka tunggu.

Sabtu, 01 Oktober 2011

Puisi Tentang Bangsaku

Ranting Cemara Yang Meranggas

semua gurat pelangi melontarkan berkas warna di ufuk,
kala Mahapatih Gajah Mada berdiri dan menggelar tepian kanvas lukisan wajah ayu sang permaisuri di gendongan nina bobok Archipelago,
warna biru langit telah memenuhi semua pelupuk sang empu,
yang koyak pakaian mereka, namun masih mengais kepalan tanganya di pucuk palma,
berisi limpahan tinta emas untuk mengukir Kemurahan Sang Pencipta Hidup.

warna merah yang lama terbiuskan tari bidadari bertaring tajam.
dengan kuku menghitam, siap merobek bilik jantung yang berdegap gegap.
namun mereka tetap tegar, menuai bulir padi yang menguning, mengayunkan prosa negeri di jalan jalan penuh kemunafikan.
beberapa kerumunan bocah bertelanjang dada dari tengah padang,
yang telah meranggas semua belukarnya,
dengan hiasan rumbai jerami untuk mengatapi rumah bambu
berhias tajamnya sorot mata yang nanar,
sehingga pohon pisang yang pernah tumbuhpun terhempaskan,
karena badai kepedulian sesama telah memilitkan puting beliung.
lantaran, nafas Merapi melontarkan setiap asa pada tebing tebing berhias ilalang

apakah akan ada lagi batu nisan bertulis nama yang bertinta emas
di pusara bermandi kembang kagum dari anak cucu,
bermandikan air keruh modernisasi,
yang bernafas busuk dan bersitegang
pada bahu bahunya yang hitam melegam.
namun mengapa mereka dengan sigap menyergap,
beranda Archipelago yang dahulunya tempat mandi bidadari penghuni Indraloka,

ataukah memang mereka semua telah dipinang jaman,
yang berhias asap mesiu, korupsi dan hantu penghisap darah
ataukah panorama di tepian telaga
yang menghitam dengan suara parau dan sumbang burung camar,
kutilang, nuri dan derkuku
mereka dahulu bercanda dengan kidung Asmarandhana
di tiap sudut pohon cemara yang menjulang tinggi, menitipkan prosa kehidupan
pada Sang Pencipta.
tidak ada lagi kini, tebing,
padang dan lembah untuk sekedar cemara mengukuhkan selorohnya,

mereka dililit angin prahara,
lantaran bulu bulu warna warni
dari monster monster sang penunggang reformasi
yang telah meradang kiblatnya hingga tak selembar daunpun
yang tersisa untuk mensuapi cicit anak anak burung sang penunggu pagi.

Semarang, 30 September 2011.  

Bulan Terpingit 

bulan demikian bersedih,
kala tepian telaga tak mampu lagi menjadi cermin baginya,
meski roda roda bumi terus menjinjing sang pedang waktu,
lantas mereka biarkan kepulan asap mengerang
dan rajutan keranjang santun, milik penghuni Swargaloka.

wajah bulan berubah di malam purnama,
yang berenda rajutan kain sutra,
mengubah wajahnya bertepi pohon kamboja
apakah bulan juga mengulum pesan tentang perjalananya
di tanah bergaris katulistiwa

ataukah lantaran bulan menjadi saksi dari senyum hambar
penari Ramayana di plataran Prambanan
atau mungkin rajutan keranjang santun telah terkoyak,
menebarkan bisa bisa mematikan bagi “sang ilalang”
yang sedang berbulan madu dengan cakrawala
di ufuk pagi. atau pula bulan menjelma
wajah lelaki separo baya berwajah keriput,
yang tersayat hatinya,
kala mendengar nada sumbang '[
dari peniup seruling pada pagelaran “uyon-uyon” gamelan jawa.

entahlah bulan yang terpingitpun terus menyodorkan ketidaktahuan.

Semarang, 30 September 2011  

Merindukan Sang Ufuk 
mari kita benahi, bilik kamar tempat kita merebah,
menghitung selaksa pagi dan senja
yang berkejaran melintang dan terbujur
di kungkungan bola langit kita rindukan bersama
dalam langkah yang sepadan meski tenggorokan telah kering
pembuluh darah telah bosan tersumbat denyut prahara
mata memandang sesekali pada rumah mungil
di tengah ufuk -yang kabarnya hanya terbawa cicit burung kenari-rumah
dengan cawan berisi air mawar menepis hari hari panjang yang banyak
disulam pelacur pelacur jaman

jangan lagi kita semai rerimbunan
di sebidang tanah kehidupan,
hanya jalan berdebu agar kitapun sempat mewarnai
atap rumah ufuk dengan anyelir,
kenanga dan melati untuk merias wajah bidadari

Semarang, 30 September 2011  

Sepenggal Doa
kita tatap sejenak,
pada bening sorot mata
yang mengarah saat kita tanpa
sehelai benang menghisap aroma ILLAHI
tepat ke bilik jantung dalam genggamaNYA,

tak mampupun kita
menggerakan tiap benak dan otak
kita sandarkan perjalanan anak anak negeri
yang menyambut mempelai agar terpasung
di singasana pelaminan tanpa nafas nafas busuk
dan lidah menabur gejolak
di tengah kebimbangan debu debu
yang menyesak dada hingga tulang igapun bergemerisik
menopang hasrat yang menusuk hari di balik cakrawala fajar

Yang Disana Kitapun tetap menjulurkan niat untuk
”bersyahwat” dengaNYA
agar sepenggal doa kita tidak terpelanting

Semarang, 30 September 2011

Rabu, 20 Juli 2011

Gerimis Senja

tak kentara, wajah yang dibungkus bintik gerimis
hanya baju anyaman rumbai, yang merapat
menyelusuri lekuk tubuhmu
namun pandan wangi kau untai di bibirmu

Tidakah kau merasa bahwa
mendung dari sore hari telah berlalu
yang berisi keranjang sutra,
yang aku rajut dengan bait para dewa

Sekarang semua telah berganti
menjadi gerimis senja bertabur "Nyanyian Dewa"
bukalah kedua tanganmu
untuk bermandi gerimis ini
sehingga malam kita lewati dengan sejuk