Jumat, 06 Januari 2012

Di Sana Hujan Bercerita tentang Negri


Awalnya hanya senyum ranum....sekumpulan beluntas
yang memagari sebuah ladang bertanam pengharapan, sebuah bunga
berkelopak “merah segar” meminang hari dari sekumpulan
Pinisi, biduk dan sampan dalam rajutan pelangi
di timur sang katulistiwa ,
menyusun prosa dari “antah berantah hingga Majapahit”.
Mereka menyebutnya seikat ilalang
Dalam sauh yang jauh menembus dalamnya bumi
Untuk berlabuh “Dalam Pekik Bumi Merdeka”.

Jangan bicarakan Jiran “sang kokok ayam jantan berkeling mata”
Dengan bulu berderu debu, mengusung atmosfer pekat durjana
Meski kita berkalang pagar bambu, dengan bertepi Melati harum mewangi
Namun episoda “Negri Hujan” bergincu angin lembut
Selembut perawan desa, berselingkuh padi menguning.
Damai dan tentram, bersama sarapan pagi “Nasi yang bersorot Mesra”.

Kita tak memiliki lagi “Anjing NICA”  berlidah menjulur
Menggeleparkan ilalang dengan mata-mata kosong

Kita tak dekat lagi dengan “Beruang Merah” meradangkan bara
Kita hanya menyusun serumpun pandan wangi
Bertangkai lurus ke atas menuju jendela langit.
Dalam hujan setahun, mengalirkan gemercik air pancuran
Untuk membasuh jiwa, bergurat fajar bersama sang mentari
Yang mengurai rambut suteranya.

Dalam hujan, basahi kita dalam damai

(Semarang, 5 Januari 2012 )

Galau  Sang  Guru 
Aku  dinginkan semua peluh tubuhku,
Meski hidup ini bukan miliku sendiri, akulah  sang pemburu,
tiap jengkall waktu..untuk merebah
dalam buaian halus menyelorohkan suka,
namun sepi,…..diterkam sang haus telaga tinta,

Akulah yang beruntung,
tak pernah hirau badai, prahara apalagi beliung
memincingkan mata untuk gerigi tajam sang jaman
untuk merobek dan menerjang atmosfer angan…..

Jangan pernah menakar tepi dan luasnya jaman ! ”
 Masih basah lidah emak di telingaku, kala di kampung
memberikan goresan prosa  dan “pitutur”  indah.
Seindah tidur sang permaisuri raja,
dalam  ayunan dan meliuknya benang globalisasi.

Tajamnya mantra dan sihir hidup dan kehidupan
Menawarkan ketidakpastian  dan menghimpit tulang iga
Akupun lelap  dalam semai  “Mawar Bunga” ditiup,
angin lembut, menerbangkan benih ilalang tak tentu arah
Aku hanya berkaca pada senja,
Kala daun-daun palma berhenti mengatur nafas
Tak ada lagi, angin pagi  yang menyambangi.

Aku tak pernah terpelanting dalam magnet hidup
Yang mengosongkan debar jantung,
dari daun daun kering meranggas, mereka hanya
mampu berteriak menghardik ganasnya matahari
mereka tak memiliki lagi bahu- bahu legam
hanya lumpur hitam membenamkan
dalam dan galau…lahir pada rona wajah.

Pernahkah ada yang peduli ?.
Bila nyanyian jiwa telah parau, senyaring burung hantu
bercengkerama di tengah gersangnya padang.
Akulah yang hadir dengan sekerat dada yang lapang
Biarlah basah tubuhku karena peluh

Kucoba menepis “Panggung Hiburan Ronggeng”
yang dihinggari “Sinden Kuntilanak dan Banaspati”

Apakah masih ada lagi nyanyian jaman ?
yang  mampu   manja sendu dalam rindu
sang mempelai wanita menantikan pria pujaan
ataukah tepian telaga telah menyatu dengan “Wedus Gembel”
yang tajam dan mewarnai kehidupan
dengan kedurjanaan.

Akulah sang guru,
Dalam remang “padang dolanan”
Akulah anak desa yang menepi …. (Semarang, 7 Desember 2011).

Di batas kota
Aku yang kau lempar...di sudut kota
Medadak tak bernyali
Seribu belati menikamku, mencerai...
Hingga kuraut sendiri
Tajamnya hari pengganti,
Yang kau cibirkan

Masih kokohkah lembut sang mega
Menjadi pengganti wajahmu
Biarkan aku terpingit...
Berselingkuh dengan diriku sendiri

Biar aku eratkan, mega bersusun
Menuju langit,  menanti terbukanya
Jendela cakrawala,
Akan aku pungut batas kota
Kusedu dalam aroma teh hangat
Secawan kita berdua

(Semarang, 3 Januari 2012).

 Bila Harus
Bila kita harus memandang, pandanglah....
Hingga sepotong buku harian, bisa  engkau genapi
Mumpung rembulan masih mau menyisir rambutnya
Dalam salam canda dengan sang mentari
Untuk apa kita bersuara lantang,
Jika hanya belalang yang hanya bisa menelanya
Dengan lidah yang sependek tenggorokanya.

Nyanyian merdu setiap bulir kembang Anggrek Bulan
Terasa parau,  bila  telah tersumbat genderang telinga kita
Jangan lupa kerikil tajam, yang menyayat luka
Lantas kau sertakan bukit kokoh dalam bilah hatimu
Tanpa suara ucapan selamat, pada senja

Aku bawa engkau untuk menyelinap
Dalam kawanan perdu yang bernyanyi ceria
Sehingga mereka membagi kasih
Sebuah sikap santun, melonggarkan nadimu

Tentang negeri hujan yang kau pandangi
Aku bawakan segumpal awan pembawa hujan
Dari batas yang tak mampu kita pandang
Hingga langit, berdentang dengan cahayanya
Sudahkah kau bicarakan dengan alam,
Sayap-sayapmalaikatpun akan membawakan

Janganlah iri dan dengki
Sunyilah dalam malam berbintang

(Semarang, 5 Januari 2012).

Sabtu, 31 Desember 2011

Jangan Bersedih Emak....!


hamdi beffananda aji
PUISI ANAK

Hari ini aku masuk sekolah, setelah libur lama
Emak belum membelikan aku sepatu baru,
Tapi aku tetap ceria di tiap pagi ke sekolah....
Karena baru minggu ini bapak menyemai padi
Aku tidak mau emak marah dan bersedih
Bila aku minta tas dan sepatu baru..

Tuhanku, berilah mereka selembar hidup yang kokoh
Sekokoh apa yang tidak mudah terhempas
Hujan. Badai, beliung atau pekatnya jaman

Emak, untuk apa bersedih....
Bukankah masih ada matahari dan bulan
Yang menerangi gubug bambu kita
Bukankah emak masih mampu menyodorkan aku
Sepotong cerita bila mataku belum terlelap

Aku anak dengan sebungkus kue sawah ladang
Yang jauh dengan kue-kue anak gedongan
Emakpun bahagia bila aku tetap belajar
Di atas meja bambu beralas kasih emak
(Semarang, 2 Januari 2012)

Kamis, 29 Desember 2011

Hujan Terus Bersambung


sang ilalang
Semua harta kekayaanya kini telah habis dilipat demi sebilah hidupnya. Sel-sel organ tubunya yang “usil dan nakal” tidak mau bercermin pada Sutedjo, yang hanya mampu mengayuh roda becaknya di atas jalan aspal berlobang, dikupas roda-roda beringas truk dan tronton. Sedikiit demi sedikit uang hasil penghasilan sebagai abang becak dan kerja sambilan lainnya, bertahun tahun dia kumpulkan semata untuk membeli sebidang tanah. Sedangkan istrinya yang telah ikut berkulit legam, tergigit matahari karena tiap hari berjualan makanan lauk pauk di Pasar Mranggen Demak, ikut pula menyisihkan sebagian penghasilanya.
Sel sel sumsum tulangnya yang merasa pengap kini mengajukan protes pada diri Sutedjo, agar bisa terbang ke atmosfer, hdup menerjang apa saja, bebas dan lepas. Sedangkan diri sutedjo tak mampu menekan amarah Sel-Sel Beta yang ada di pankreasnya, sehingga tubuh Sutedjo mengalah dan lebih memilih menguruskan diri.
Sedangkan untuk mengayuh becak lagi Sutedjo kini tak mampu lagi, karena tubuhnya yang lemas dan lunglai menyergapnya. Sutinah istri yang setiapun tidak pernah mengeluh meski setiap hari dia bermandi peluh. Sementara putranya yang paling kecil masih bersekolah di SMP,  kakak-kakaknya juga masih sekolah di SMK dan si sulung sudah tiga tahun ini kuliah di perguruan tinggi negeri. Untuk biaya anak anaknya itu, kini separo tanah milliknya telah Supardo jual pada Haji Imron dengan harga nego.
Meski Sutedjo sudah habis air matanya, tapi hatinya telah tergayut pilu dan galau, yang ikut pula menusuk tubuhnya hingga sering merasa gemetar.
sahaja
***
Remang malam   dan dinginya Bulan Januari tahun ini membalut sepi pekarangan rumahnya, namun di dalam ruang tamu beralas tanah, udara malam terasa lebih hangat meskipun hanya diterangi lampu 10 Watt.  Suedjo rebah di kursi panjangnya dengan bantal bersusun dua, wajahnya pucat di bibirnya sudah tak ada senyuman lagi.
“Bapak, aku berhenti kuliah saja ?”
“Jangan berkecil hati Burhan. Selesaikan kuliah kamu !. Percuma bapak mengeluarkan biaya bila kau berhenti di tengah jalan. Sebentar lagi kan kamu lulus ?”
“Tapi, aku rela pak !,aku anak sulung. Aku ingin kerja untuk adik-adiku “
“Burhan !, emak kan masih jualan di pasar!. Emak masih mampu membiayai kamu. Karena harapan satu-satunya emak dan bapakmu kini hanya tinggal kamu. Selesaikan sekolahmu !”
“Bapak akan menjual semua tanah dan rumah satu-satunya ini bila perlu, Burhan !. Asalkan hidup anak-anaku tidak seperti bapak dan emak. Kamu mampu lancar kuliah di fakultas tehnik, berarti kamu pandai. Jangan putus asa !”
Burhan beranjak dari duduknya di kursi bambu disamping bapaknya yang kurus kering. Burhan menatap jauh jauh malam yang diguyur gerimis sejak pagi. Terkadang diselingi hujan deras bahkan sore tadi hujanpun turun disertai badai.
“Tapi aku sudah tidak kuat lagi pak !, aku kasihan sama bapak dan emak !”
“Boleh kamu berperasaan seperti itu,  bila perasaan bapak dan emakmu
 menderita. Tapi Burhan !, bapak dan emak adalah anusia yang “sugih” rasa syukur pada Illahi. Sekarang bapak dicoba karena bapak pernah dilimpahi nikmat. Lihatlah hujan itu, sekarang deras saat lainnya dia akan berhenti dan bumipun kerontang. Untuk saat ini memang bapak dan emak sedang mendapat banyak cobaan dariNYA, seperti hujan yang terus bersambung “
Burhan dan emaknya hanya dia membisu, sementara kedua adiknya sedang merajut mimpi di tengah malam dipenuhi hujan***