Senin, 02 April 2012

Sajak Duka Anak Negeri


Sekali ini saja

semburat yang legam
menyesakan dada sempit , sekumpulan daun pandan
mengusung “angan binal” hendak meruntuhkan stambul besi
yang menari beriringan gendang parau
sekali lagi bau anyir
kepulan asap terus menghentak jaman,
bagai roda pedati yang gontai,
di alas santun negeri ini

teriakan  “Jangan Melukai Hati Rakyat”
membujur dan melintang tak tentu arah
pada wajah bumi, milik peran “panggung sandiwara”
pada episoda cinta yang hilang
terpagut raksasa seram,
yang muncul dari awan hitam
penghias langit.Namun langit berduri
menghantarkan jalan jalan kota
meradang dalam mata nanar

sementara perlente berkerah sutra
dalam gedung loji mewah berlantai belulang
tak gerah dan menusukan jauh-jauh,
kata kata samar, pada yang tertunduk menghujam bumi

si kecil yang menggayut sarapan pagi
segenggam nasi bisu, dengan lauk meracik pilu
tetap saja tak mampu berselingkuh
dengan hari,
berpagar rambut kuning mentari….(Semarang, 3 April 2012).

Terlanjur beku

tak urung alis mata wajah negeri
ikut merenda centang perentang bibir gincu
tak peduli serpihan “bedak pupur”
menghitami atmosfer bertaut empat penjuru
yang sarat dengan susunan nada pongah
kita tidak semanis semilir angin pantai lagi
kala semua merapikan bait
pantun dan syair tentang tanah negeri
berpagar ratna mutumanikam dalam gendongan
dua musim

hanya karena teriakan nyaring
“Kenaikan Harga BBM”
yang menyedukan angin musim sekumpulan awan
bernada gusar, membekukan pelangi
lurus melintang sepanjang negeri perawan desa
yang sarat senyum tawa seloroh
di sela hamparan padi menguning

kita terlanjur beku
dengan wajah terjerambab layaknya nenek sihir
terus memelentingkan guratan
permusuhan di luar dan dalam gedung loji
secawan the hangat, bermanis gula tebu
seharusnya berjejer di tepi meja
kala kita duduk melingkar dalam tembang dolanan

kita dalam hingar bingar
suara hati tak tentu arah…..(Semarang, 3 April 2012).

Anak Negeri

akulah sang anak negeri
bersiul tembang dalam kermunan kerbau sawah
tak kenal Valentin atau Happy Birthday
tak akrab  dengan lidah Humberger atau Hot Dog
aku hanya mengenal karib
handai taulan atau bunga
di taman halaman rumah
tempat aku membuka jendela
hingga ujung langit negeri “nyiur pantai”
sekali ni saja,
aku hembuskan nasehat emak di kampungku
agar kita rapi bertanam padi dan sayur…..(Semarang, 3 April 2012).

Kamis, 29 Maret 2012

T O M C A T


SENJA sudah mulai menggelapi rumah sederhana, yang berlantai semen dan berdinding setengah bata. Atap rumah sederhana yang  terbuat dari genteng  merah sederhana itu, masih menyimpan hangat terkaman sinar matahari yang seharian penuh tadi mengakrabinya. Angin pancaroba  yang seharian  menerbangkan debu debu dari arah bentangan sawah  di sebelah  mulai lelah, berganti dengan langkahnya yang semilir. Sehingga semua daun pisang di halaman belakang, hanya mampu tertunduk lesu.

Seperti biasa tiap senja menyelinap pekarangan rumahnya,  Sukoco  mulai memutar-mutar lampu neon lusuh 10 Watt di halaman depan agar mampu menyala. Meski sinarnya sudah mulai surut, namun lampu neonya mampu menerangi jalan tanah yang ada di depan rumahnya. Sehingga lubang lubang jalan yang dilindas roda pedati kini dapat terlihat jelas. Terdengar batuk batuk kecil Sukoco menyelinap dinantara kelengangan desanya yang sedang dirundung sebuah kegetiran. Batuknya semakin melengking saat ,  semilir angin senja mulai membalut tubuh Sukoco yang kurus kering itu. Namun lelaki yang menghabiskan seluruh hidupnya di sawah ladang itu, lebih memilih menghangatkan tubuhnya dengan menutup rapat rapat  dengan sarungnya yang  kumal.  

Sukoco segera beranjak dari duduknya, setelah beberapa serangga tomcat beterbangan dan hinggap di dinding  beranda rumahnya, segera dia berkelit kesana kemari, mirip Pendekar Rajawali dalam serial silat mandarin “Return of The Condor Hero” yang mahir memainkan pedangnya. Sarungnya yang tadinya membungkus tubuhnya kini berganti digunakan untuk menyambar setiap tomcat yang terbang di seputar tubuhnya. Rupanya tomcat itu kembali menyatroni rumah papanya dan kini nampaknya semakin bertambah banyak jumlahnya. Rasa kesal Sukoco kembali mengisi seluruh hatinya seperti malam malam sebelumnya. Padahal kemarin malam sudah cukup banyak serangga itu bergelimpangan di lantai semen setiap penjuru rumahnya,  setelah dia semprot dengan obat serangga  sisa dari musim tanam kemarin.

Namun kawanan  tomcat itu tidak menggubrisnya, seakan akan mereka tahu bahwa  Sukoco dan teman-temanya yang mengusik ketentraman hidup mereka, petani desa itulah yang membunuh wereng yang menjadi santapan mereka setiap hari, ditambah dengan bau obat serangga  yang merambah setiap jengkal sawah mereka, yang telah membuat mereka mual perutnya dan memeningkan kepalanya. Bahkan tidak sedikit  teman mereka yang tersungkur menghembuskan nafas.

“Tomcat sialan, ayo maju rasakan sarungku !!!’. Setelah beberapa puluh tomcat bergelimpangan, Sukoco segera kembali siaga dengan kuda-kudanya mirip pendekar

2
sakti yang menantang musuhnya. Mendengar teriakan Sukoco yang memecahkan keheningan senja di tengah perkampungan petani yang dibelit kesusahan hidup. Beberapa
tetangganya segera merangsek mendekati Sukoco, yang kini mengerahkan semua jurus silatnya dari mulai aliran mandarin hingga jurus Betawi untuk mengalahkan tomcat.

“Pak !, jangan seperti orang gila !, malu dilihat tetangga !!” teriak istrinya yang mengambil langkah seribu keluar rumah setelah mendengar kegaduhan yang dibuat suaminya.

“Biar saja !, biar semua tomcat ini mampus !, aku sudah semprot dengan oabt serangga, tetapi mereka tidak mati !” Sukoco sudah menepikan akal sehatnya, memang dia telah kesal dengan tomcat-tomcat durjana yang nekad menyebar di rumahnya dan sebagian menyerang gabah yang baru saja dipanenya.

“Tapi jangan seperti orang gila !”. Lengkingan Ponirah membentur dinding bambu rumah tetangganya yang berjajar di jalan tanah berlapis batu kali yang berhamburan di atasnya.

“Yang gila aku apa tomcat, Pon ?” teriakan Sukoco dibarengi kedua matanya yang melotot pada Ponirah istrinya.

“Kalau yang gila tomcatnya!, apa kita akan menirunya ?” kembali Ponirah mengajukan protes keras.

“Iya!, kalau perlu !, lihat tuh Pon!. Semua tetangga kita sekarang jadi edan memburu tomcat sialan ini. Jelas ini kemarahan sang penunggu sawah-sawah kita. Sehingga tomcat ini menjadi berani dengan kita “ Kedua kaki Sukoco kini berhenti berjingkrakan yang tadinya mirip Jacko yang asyik menyanyikan lagu “Black and White”. Kini sarungnya dikalungkan ke lehernya, mulutnya mulai berkomat kamit menghujamkan mantra sakti pada kawanan tomcat yang kini masih beterbangan kesana kemari di dalam dan pekarangan rumah papan Sukoco.

“Pak, kamu tambah memalukan. Ingat Pak !, tetangga kita mulai berdatangan menontonmu, Pak ingat,Pak !!!!!”.

“Edan kamu !, tomcat itu tidak sembarangan hewan, tidak seperti biasanya mereka berani dengan kita. Mesti ini karena sihir penunggu sawah kita. Sekarang diam kamu !”

Kerumunan tetangga Sukoco bertambah rapat, beberapa diantaranya juga ikut berkomat

3
kamit mulutnya, wajah wajah mereka tengadah ke langit hitam. Mereka kini semua berniat mengajukan protes pada siluman siluman di langit sana yang menggembalakan tomcat yang liar dan ganas. Terlebih lebih Sukoco yang merasa menjadi pusat perhatian tetangganya menjadi semakin liar dan tak tahu malu. Seluruh tubuhnya kini mengginggil, dan dari mulutnya terdengar suara melengking.

“Hei, sang penunggu Desa  Gondang Manis!, Hentikan kemarahanmu !, bawa pulang kembali tomcat kamu semua !“ seru Sukoco.

“Sukoco !!!!”, panggil Langgeng Budarjo yang memecahkan konsentrasi Sukoco yang berdiri di tengah kerumunan lengkap dengan pasang aksi yang berhasil menghipnotis tetangganya yang meyakini kekonyolan Sukoco. Laki laki kurus kering itu segera menghentikan mulutnya yang komat-kamit, dan segera menyapu sorot mata tajam pada lelaki tua beruban yang kini berdiri di depanya.

“Ada apa, paman !”

“Kamu sudah edan !” bentak Langgeng Budarjo yang seusia ayah Sukoco.

“Jangan usil dengan niat saya, paman !, ini demi ketentraman desa kita. Lihat paman !, banyak tetangga tetanggaku yang ikut mengusir tomcat dengan caraku !”

“Anak edan !, sampai satu bulanpun kamu berjingkrakan seperti itu tidak akan berhasil mengusir tomcat “

“Maksud paman, bagaimana ?”

“Mereka seperti kita, apabila rumah dan makanan mereka telah terusikpun mereka akan mecari rumah lainnya “

“Tapi mereka telah menggigit tetangga kita ?”

“Mereka tewas ?”

“Tidak ?”

“Berapa tomcat yang kau bunuh ?” bentakan Langgeng Budarjo kian menggema memecah pekatnya malam.

4
“Sudah banyak, paman !” jawab Sukoco jujur.

“Itu perlakuan tidak adil namanya !” seru Langgeng.

“Merekakan hanya serangga  !!!! “ Sukoco mulai tersudut dengan

“Mengapa kamu komat kamit dan berteirak teriak menggegerkan kampung, kalau mereka hanya binatang ?”

“Paman !, mereka semua pasti dikerahkan kekuatan gaib yang marah kepada kita. Mereka sepertinya telah bertindak diluar wajar “

“Apa mereka mampu mendengar permintaanmu ?”

“Aku minta kepada sang penunggu desa kita , yang mengerahkan tomcat itu ?”

“Sukoco !, tomcat bukan saja menyerang desa kita. Tapi sudah menyerang ke wilayah lainya di negara kita. Apa sang penunngu itu menyebarkan tomcatnya  ke seluruh wilayah negara kita. Pakailah nalar, Sukoco. Aku juga warga desa sini yang tidak mengenyam pendidikan tinggi, tapi aku pakai nalar “

“Paman, seperti juga ulat bulu tahun kemarin, mereka juga menyerang desa kita !” sahut Sukoco.

“Mengapa tidak kau pintakan pada sang penunggu desa ini, akhirnya mereka hilang sendiri kan ?”

“Apa salah saya berdoa kalau kita kena musibah ?” tanya Sukoco.

“Kalau berdoa dilarang, jelas menyalahi ajaran leluhur kita. Tapi berdoalah kepada Tuhan Yang Kuasa bukan dengan cara seperti orang kesurupan ?” jawab Langgeng dengan penuh bijaksana. Kini terlihatlah sorot mata Sukoco yang sudah tak seliar tadi.

“Baiklah , paman !. Terserah apa maunya  paman “

“Baiklah Sukoco !, dan semua saudara saudaraku. Serangan Tomcat seperti ini tidak akan bis dihentikan dengan cara apapun. Yang pertama mereka sudah kehilangan banyak wereng yang menjadi makanan mereka, karena obat serangga. Disamping itu juga musim di wilayah kita sudah rusak, sehingga kehidupan merekapun sudah diluar kewajaran
alam. Mereka akan hilang sendiri jika musim kembali normal. Kalian semua jangan tersihir tomcat tomcat ini. Mereka tidak akan menggigit kita, mereka juga bukan hewan berbisa. Jadi tutuplah semua pintu dan jendela rumah kita kalau malam tiba. Matikan lampu sebelah dalam, biarka lampu diluar rumah menyala. Ini bukan kemarahan sang penunggu desa ini “

Kerumunan warga desa itu menjadi bubar, masing masing warga berjalan dengan muka tetunduk. Terlebih lebih Sukoco yang tanpa pamit meninggalkan kerumunan itu dan mengunci pintunya rapat-rapat. Tinggalah Langgeng Budarjo yang termangu di tengah pekarangan rumah Sukoco terpagut dinginya udara malam desa Gondang Manis yang masih hijau lestari. Dalam hatinya kini terselip rasa syukur yang dalam, karena saudara saudaranya tidak terjerumus dalam kepercayaan yang sesat***

Rabu, 21 Maret 2012

dengarkan teriakanku



untuk saudara, karib......
geram, gundah dan jalang
apalagi nyanyian busuk, masih kau julurkan
kita dalam batas, samar kau tetap
memalingkan wajah

dimanakah telingamu…
meski sekumpulan rumpun belukar telah menembus
sisi empat penjuru langit
meneriakan lengkingan menjerat lehernya sendiri,
untuk mendulang permata, hiasan anak cucu kita
menerjang dengan teriakan panjang,
menembus benak dan tempurung otaknya
kita dalam nyanyian sengau, tak semerdu alunan Gurindam 12
saat nenek menidurkan cucunya

kita sekali lagi, hanya orang-orangan sawah
tak mau menyimpan bara dalam sekam
saat jalanan panjang hanya menggeliat noda darah
atau sebuah tatapan nanar hati yang sempit
kita hanya pantas berbulan madu di tepi “Danau Toba”
ibarat pengantin baru berseloroh dengan “Anggrek Bulan”
menyunting dalam rajutan benang halus pualam negeri
agar rumah gubug tetap berumbai kesyahduan
terbitnya matahari dari rengkuhan Jaya Wijaya

teriakan panjang sang belukar
jangan sampai hinggap sebatas dilumat geraman
srigala pongah, bermata juling di tengah hari bolong
saat panas mentari membakar sekeping tekadnya
atau rayuan yang menunjam hati
dibarengi liur busuk moralitas petinggi  yang
bermantel kain beludru bulu-bulu serigala
sekali kau acungkan taringmu
belukar merebah, tak tentu arah

sekali sekali jinakan telingamu
kau sedukan teh  hangat dengan wajah pagi
hingga angin prahara menjadi penyejuk udara kala senja
akan kita jemput bersama bintang kejora, berwajah
perawan desa,  menyeringai membawa keranjang bambu
berisi padi dan palawija terasa ringan dijinjing
lesung pipinya, adalah kala kita selorohkan
dengan anggunya negeri pantai berdaun nyiur 

mengapa kita dalam syak wasangka
dalam lipatan jubah iblis kelam, berwajah bengis
menepis nyanyian tanah perekat sisi langit
terpingit dalam bilik berpagar sembilu
sehingga anarkis menjadi dongeng malam hari
untuk anak anak kita yang lelah berkejaran
di padang gersang berkerumun belalang

tak bisakah kau urungkan ,
 melipat angin bara, dalam ketiakmu
dengan menorehkan pada bait hati
semua teriakanku

(Semarang, 22 Maret 2012)