Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label BUDAYA. Tampilkan semua postingan

Senin, 21 Maret 2011

Bahasa Dan Sastra Jepang

Sebuah budaya yang agung dan tetap eksis sepanjang millennium, dari masa prasejarah (Jōmon period) hingga modern dengan (hybrid culture), yang dikombinasikan dengan budaya Asia, Europe and North America. Inilah Budaya Jepang, yang terus berkembang dari jaman isolasi dunia luar atau jaman Tokugawa shogunate hingga jaman kedatangan kapal Eropa "The Black Ships" dan Restorasi Meiji ( Meiji period).


Fūjin and Raijin, Lukisan karya Tawaraya Sōtatsu, abad ke- 17.




Pine Trees, Karya Hasegawa Tōhaku

Bahasan Jepang sangat memegang peranan nyta dalam budaya Jepang. Karena bahasa ini digunakan di seluruh pelosok negeri ini dan komunitas emigrant di seluruh dunia. Oleh karena itu bahasa Jepang berperan sebagai pemersatu (agglutinative language) dan perbendaraan vocal/suara bahasa ini relative sedikit, tetapi dibedakan maknanya berdasarkan sistim aksen. Tahap awal budaya Jepang dikenal dunia luar adalah pada abad ke 8. Sedangkan bahasa Jepang dikenal di China tercatat dalam sejarah China adalah pada tahun 252 A.D.

Bahasa Jepang ditulis dalam 3 kombinasi, yaitu hiragana, yang merupakan derivasi huruf China , katakana, derivasi huruf sederhana dari karakter China, dan kanji, yang diimpor dari China. Huruf Latin atau Latin alphabet, dalam Bahasa Jepang disebut rōmaji, dewasa ini digunakan olem masyarakat modern Jepang, khususnya untuk nama perusahaan/lembaga bisnis. Logo, advertensi dan computer. Sstem Angka Jepang Sino-Japanese numerals juga msih umum digunakan.
Lukisan Karya Murasaki Shikibu


Peranan lukisan di budaya Jepang berlangsung cukup lama, dengan menggunakan kuas tradisional tetapi memiliki nilai artistic yang cukup tinggi. Apalagi setelah kertas dari China mulai dikenal pada abad ke 7 berkat jasa Damjing and tokoh tokoh agama Goguryeo. Oleh karena itu tehnik melukis Jepang Kuno masih dipertahankan hingga kini

Huruf dan Bahasa Jepang itu sendiri lebih mengarah ke kaligrafi yang rumit. Kaligrafi bagi masyarakat Jepang sebenarnya adalah seni yang berasal dari barat. Sehingga penggunaanya masih terbatas saat itu. Akan tetapi bagi Negara Negara Asia Timur setiap tulisan cenderung diapresiasikan dengan bentuk seni, yang bertujuan sebenarnya untuk menuliskan sebuah informasi. Karya sastra pada masyarakat timur biasanya berbentuk prosa, puisi, kisah dsb. Gaya dan format penulisan adalah perwajahan tujuan penulisan.

Bentuk penuangan dalam seni seperti tersebut di atas disebut dengan ‘Shodo’ (書道) yang secara literature diungkapkan sebagai tujuan utama penulisan kaligrafi ‘the way of writing or calligraphy’ atau dalam Bahasa Jepang ‘Shuji’ (習字), yang berarti menulis sebuah karakter. Sedangkan melukis suatu objek benda disebut dengan ‘Sumi-e’ (墨絵) l


Seni pahat Jepang (Patung ) didominasi oleh gaya seni Budha, seperti Tathagata, Bodhisattva dan Myō-ō. Patung ysng p[sling tus di Jepang yang terbuat dari kayu, disebut dengan Amitābha pada kuil Zenkō-ji pada jaman Nara (Nara period)

Satus status Budha ini dibangun oleh pemerintas untuk menaikan pamor Negara. Status ini bisa kita lihat di Kota Nara danKyoto, sebagian besar status Budha dibuat kolosal seperti pada Buddha Vairocana di kuil Tōdai-ji.
Kayu pada masyarakat Jepang dianggap sebagai bahan bangunan yang murah dan penyusun penting arsitektur Jepang dengan pewarnaan/[engecetan yang kontras tetapi tipis.
Ukiyo-e


The Great Wave at Kanagawa, Dipahat
Hokusai


Ukiyo-e, secara literature berarti melukis pada media yang mengambang. Adalah salah satu jenis lukisan di atas kayu (woodblock prints ) yang banyak dipajang dengan karakter/gaya seni Jepang sebelum Meiji.

Ikebana

Ikebana (生花?) adalah seni merangkai bunga. Fenomena ini sebenarnya telah dibudayakan oleh masyarakat dunia, karena menyangkut keindahan, keserasian, warna dan seni menyusunya. Penggunaan bunga ini jelas sangat berhubungan denga musim, meski arti yang sebanarnya lebih dari harga bunga tersebut. Wanita wanita Jepang setelah menikah mulai menekuni pembelajaran Ikebana untuk menunjukan sifat kewanitaan.

Teater

Masyarakat Jepang mengenal 4 karakter dalam teater, yaitu noh, kyogen, kabuki and bunraku. Noh adalah jenis teater yang menggabungkan musik dan tarian ( sarugaku) yang dirancang pertama kali oleh Kanami dan Zeami Motokiyo.
Seluruh aspek teater di apresiasikan dengan topeng, dandanan dan makna yang tersimpan dalam figure tersebut. Noh dimainkan oleh lima anggota kyogen, Kyogen dipilih dari sosok yang humoris/lawak . Mulai dikenal masyarakat Jepang sebelum abad ke 8 dan berasal dari China.

Kabuki lahir pada awal perioda Edo yang dilangsungkan di Izumo no Okuni di Kyoto. Pada tahun 1629 pemerintahan Edo melarang para wanita penjaja seks untuk memainkan kabuki, dan peran wanita saat itu digantikan dengan pria (onnagata). Karakteristik kabuki lainnya adalah rias actor menurut perananya (kumadori). Pada masa berkembangnya kabuki, lahir pula wayang golek (bunraku) , yang sebenarnya telah lahir terlebih dahulu pada perioda Heian (Heian period).

Senin, 07 Juni 2010

Cukup Hanya "SAY HALLO"

Inilah yang dinamakan hidup, bila hati inipun harus selalu berada diantara apa harus aku gapai, atau sebaliknya apa yang harus aku jinjing meski suatu kehampaan, Maka malam selalu aku biarkan agar bertaut dengan kokohnya bibir langit.
Kala bintangpun mencoba untuk melihat buku harian di sudut hatiku, namun aku tengahi dengan sorot mata yang mampu merobohkan ketegaran penjuru langit. Deru dan debu perjalanan hidup ini telah aku sampaikan kepada semua yang masih menyimpan hati, lantaran pula jiwa ini harus meniti pada kodrat yang tergambar di tangan, dan pada seribu ilalang yang memekikan kegetiran ini.
Meski aku ganti dengan gambaran yang berhias kembang warna-warni. Namun tetap saja jiwa ini harus mereguk hasrat. Ketika aku lukiskan dengan tinta yang menggambar suatu kebisuan hanyalah ada gambar wajah manis, yang berkulum ketidak-tahuanku, sempat aku paduka wajah itu dengan renda warna jingga, agar kokoh menghiasi dipinggir kanvas.
Namun wajah itupun menukik dan terbang menembus pekat malam. Sejak saat itu akupun tak berani lagi melihat malam, yang sering kusaksikan bersama dengan badai, deru angin malam yang akan menghempaskanku ke pinggir kegelapan malam. Namun wajah manis masih aku saksikan ketika ruang dadaka meradang yang ingin merindukan isi dunia ini.
“Pras, aku sendiri tak tahu harus berkata apa!”. Satu demi satu kata masih aku ingat, apa yang memang harus terlontar dari mulutnya,
“Hanya sebatas apa yang tersimpan di hatimu, itu saja sudah cukup Tyas !”. Aku jadi bertambah tidak mengerti mengapa ini pula yang aku sampaikan pada Roro Tyas di sebuah senja di tepi padang ilalang, di sudut desa.
“Tapi, aku memang tidak tahu, apakah harus seperti itu Pras ?’
“Tyas !, aku Prasetyo, aku bukan laki-laki yang sembarangan melangkah, apa yang harus aku rengkuh”
Tak ada lagi, jawaban yang datang dari mulut Roro Tyas, demikian pula mulutku ini bagaikan dibelenggu besi baja, hanya diam yang mampu aku lakukan,
Roro Tyaspun hanya mengamati jalan desa yang ada didepanya, sambil mengajaku pulang ke rumah, karena senja telah menapaki wajah langit. Semilir angin gunung mulai menerpa tubuh kami berdua, langkahpun menjadi bertambah cepat. Meski aku menginginkan pertemuan ini terus saja hingga di penghujung malam.
Haripun berlari menyongsong datangnya bulan, dan bulanpun menautkan pada tahun, hingga pada suatu pagi mentari kembali menampakan keceriaanya, menghangatkan sawah yang menguning, kerbau dan sapi yang melenguh, gemercik air sungai di pinggiran rumah. Aku sambut pagi ini dengan asa masih tergenggam di tangan, untuk mengeti lebih jauh hati Roro Tyas,
Sementara tegarnya Bukit Barisan sebatas mata memandang, meninggalkan kesan mencibirkan hatiku yang tidak sekokoh bukit itu. Namun aku tak perduli mesti Tyas harus berkata apa. Inilah kehidupan, yang harus dihadapi dengan kelapangan dada.
“Tyas, coba kamu lihat sebentar lagi kita akan panen raya, semua petani di tanah Minang ini akan berhasil musim ini” aku sodorkan wajahku dengan senyum ceria, agar Tyas juga mampu sepertiku. Bersatu dengan keceriaan pagi di tanah Minang. Keceriaan sepanjang hari di tengah menguningnya padi, hingga terasa mentaripun mulai condong ke barat.
“Tapi aku nggak suka panen ini, Pras !”
“Ah…kau bercanda, Tyas.
“Sungguh, Pras !, Aku serius, keinginan Bapak sudah nggak bisa ditahan lagi” “Keinginan tentang apa? Aku harap tidak ada hubungan dengan cinta kita, Tyas!”
Jantung yang ada di dalam dada ini terasa ditimpa beban yang berat, sehingga terasa sesak. Rasa was was kini menyelmuti hati, seiring dengan denyut nadiku yang menderu tidak teratur.
Pandanganku mulai nanar, melihat wajah Roro Tyas yang menegang, berhias kegelisahan hati dan sorot mata yang hampa, tentu saja memberikan isarat bahwa sesuatu akan menimpa tali hati yag selama ini lembut, penuh gambaran kehalusan insani. Mestikah harus direnggut oleh sesuatu.
“Itulah yang selama ini aku takutkan, Pras!”
“Takut, takut tentang apa, Tyas?, Serahkan pada aku!”
“Ini menyangkut tentang bakti anak kepada ortu, bukan masalah yang harus kamu tangani. Aku sendiri tidak tahu, harus berbuat apa”
“Aku harap kau mau jujur padaku, Tyas”. Lama kedua mata remaja yang memiliki dunia itupun hanya saling pandang, hanya saja mata Tyas mulai basah, pertanda diapun berniat melontarkan kata hatinya pada Prasetyo, pemuda desa yang lama dia kenal, yang hanya memiliki segenggam asa, untuk menapaki kehidupan mereka berdua kelak. “Bapak menyuruhku segera ke Jakarta, untuk melanjutkan studi di Jakarta, aku harus kuliah Pras. Bapak juga berniat mempertemukan semua saudara bapak Ibu yang sekarang masih di Jawa. Entahlah Pras aku tidak berdaya lagi.
Memang sudah lama Bapak rindu dengan saudara saudaranya di Jawa. Kamu kan tahu bahwa Bapak dan Ibuku brasal dari Tanah Jawa”
“Lantas aku harus bagaimana, padahal waktu panen tinggal beberapa hari?” suarakupun mulai tersendat, Sementara angin tenggara mulai bertambah kencang menimbulkan suara daun padi yang semakin nyaring bergesek.
“Biarkan saja aku yang menangis, Pras, kamu kan laki-laki. Aku sudah tahu persis tentang ketabahan kamu”
“Tapi apa yang dapat aku lakukan di sini tanpa kamu”
“Tapi juga aku harus bagaimana?, kita remaja desa yang biasa berbakti pada ortu, yang biasa hidup diatas apa yang kita miliki. Aku harap engkau bersikap dewasa, sama seperti sikap kamu pada adik-adikmu”
“Tapi, ini masalah lain, Tyas”
“Aku yakin pada diri Prasetyo masih sanggup untuk menghadapi ini semua, meski betapa menderitanya sebuah penantian, akupun akan kembali pulang setelah selesai kuliahku”
“Aku percaya sama kamu Tyas, aku belum pernah menjumpai kamu berbohong, yah…sudahlah, kita hanya sesuatu yang belum memiliki apa-apa, meski berat rasa hatiku bila harus jauh dari kamu”.
“Apa aku juga tahan menerima ini semua, Pras !. Aku seorang wanita, Pras!, yang memiliki hati yang lemah. Tapi masih terbesit di hatiku untuk menyongsong masa depan di jaman sekarang. Pras, dewasalah, tunggulah aku sampai aku pulang”.
Suara Roro Tyaspun melemah, pipinya sudah terbasahi air mata. Kini wajah ayu itu telah terbenam pada Pras, yang tiada seberapa kokohnya.
“Pasti, Tyas !, aku hanya pemuda desa, hanya mengerti sawah dan lading, hanya sepintas punya harapan untuk merangkai masa depan bersamamu, namun kini kau pergi”
“Aku tidak akan pergi meninggalkanmu, aku hanya sementara di Jakarta”
“Tapi bagiku sama saja?”
“Kenapa Pras ?”
“Tentunya Bapak Ibumu akan melangkah lebih jauh lagi, bukan hanya menyekolahkanmu ke universitas “
“Aku harap tidak, Pras. Aku akan bersikeras agar Bapak Ibu mau menerimamu”
“Ah…itu masalah nanti, perjalanan hidup kita masih panjang. Sudahlah, kita pulang saja, hari mulai gelap”.
Kedua remaja itu melewati pematang sawah dengan tangan mereka saling melekat. Yang jelas dunia dan isinya telah mencatat, adanya sepasang remaja desa yang telah memberanikan diri mencoba mendayung perahu kehidupan di tengah badai yang tak pernah peduli nasib mereka.
Sang waktulah yang kemudian menenggelamkan mereka berdua, pada kodrat-iradat yang telah ditentukan Tuhan yang Kuasa. Hingga tidak terasa sepuluh tahun sudah Prasetyo berpisah dengan Roro Tyas, dengan penantian yang mencekam, karena tanpa selembar suratpun dia terima dari Roro Tyas, yang kini kuliah di fakultas kedokteran di Jakarta.
Namun inilah hidup, pertemuan dan penantian ataupun perpisahan adalah suatu suratan takdir yang mengakrabi kehidupan setiap insan, seperti yang dialami mereka berdua, meski sempat menyisakan kegetiran di kehidupan pemuda desa ini yang sarat dengan kesengsaraan hidup, maka Prasetyopun kini hanya mampu menyandarkan segalanya pada Tuhan yang Diatas.
Barangkali saja Tuhan yang Kuasa berkehendak mempertemukan mereka kembali, saat gempa yang cukup dasyat mengoncang Bumi Minang hingga meluluh-lantakan semua yang ada di atasnya. Pertemuan antara keduanya kinipun tidak bisa dihindari, sama seperti dikala Tyas mengucapkan perpisahan 10 tahun yang lalu, saat Tyas mengucapkan janji untuk sebuah penantian mereka berdua.
Prasetyo kinipun hanya mampu memandang Tyas, dengan segumpal kekecewaan hati. Tyas kini telah menjadi dokter ahli bedah dan bersanding dengan temen kuliah di kedokteran, untuk menguntai jalan hidup bersama.
Prasetyo hanya mampu mengawali dan mengakhiri pertemuan mereka kembali hanya dengan kata “say hallo” dari pemuda desa, yang akrab dengan sawah, padi, kerbau tetapi masih menyisakan keteguhan hati dan jiwa. Yang mengorbankan segalanya demi sebuah ikatan janji, yang dipinta Tyas.
Langit Bumi Minang terus dikungkungi mendung hitam kepriatinan, terlebih bagi Prasetyo yang telah mencoba menemukan hatinya kembali di tengah luluh lantak rumahnya.

Senin, 01 Februari 2010

KEMBANG ARUM DI UJUNG MALAM

Aku belum merasakan  dada yang terbuka
Untuk kau mampu menyelinap dan menyusun mimpimu
Pada jauh hiasan seberkas bunga rampai
Kala warna biru telah kau urai
Menusuk jauh ke jantung yang tiada bersapa lagi

Lalu akupun berganti melapangkan
Setiap rona warna yang aku siapkan
Pada  apa yang aku  tebarkan
Pada gemercik air penyejuk di beranda
Kata hatimu yang selalu saja menembus kekosongan ini

Aku berteriak pada setiapsudut dindingkamarku
Agar engkau mau menapakan lebih kuat lagi
lentik jemarimu pada setia berkas nafas
Yang ingin melambung di ujung pagi

Minggu, 17 Januari 2010

KEPRIHATINAN NURANI SEBAGAI ANAK BANGSA

Sungguh merdu terdengar di telinga kita, kala kita mendengar lagu rayuan pulau kelapa. Dalam syairnya menyiratkan setiap keindahan yang kita miliki selama bernaung di bumi katulistiwa ini. Tergambar di dalamnya kehidupan setiap anak bangsa yang tentram dan damai. Penuh dengan kekayaan alam yang mampu menopang setiap kehidupan kita

Namun apa daya sekarang panasnya lahar yang dimuntahkan gunung api atau panasnya hutan yang terbakar, akan terasa lebih dingin dibanding dengan panasnya para pemimpin nasional / mantan pemimpin nasional yang sekarang sedang berseteru di depan Pansus Hak Angket DPR untuk kasus Bang Centuri , yang saling menyalahkan satu dengan lainnya dan tiada henti – hentinya mendera wajah politik , ekonomi dan sosial dari bangsa dan negara ini di beranda Tahun 2010. Ditambah lagi stimulus-stimulus elite politik / petualang politik yang pandai mengambil kesempatan di tengah suasana panas tersebut

Belum lagi kekisruhan Bang Century terlarutkan dengan temuan siapa dalang yang paling bertanggung jawab terhadap dana bailout sebesar 6 , 7 trilyun Rupiah, kita dikagetkan dengan temuan simbol kekisruhan tatanan moral dan sosial kita , yang menyangkut moral para oknum pejabat kita. Betapa tidak seorang wanita pengusaha sukses yang berstatus narapidana bisa bergaya hidup layaknya tinggal di hotel berbintang , padahal hotel berbintang tersebut adalah kamar LP Pondok Bambu di lantai III. Menurut para saksi mata yang ada, wanita itu di dalam kamar tahanan juga mampu memimpin rapat perusahaannya yang memliki ± 70 ribu karyawan. Wanita itu tidak lain adalah Atalyta Suryani.

Menyikapi fenomena sosial tersebut, terbesitlah dalam benak kita siapa sebenarnya yang patut dipersalahkan. Lepas dari siapa yang bertangung jawab dengan kasus sepert itu, ada baiknya bila kita menggunakan logika yang mapan, mengapa hal ini perlu kita pertanyakan, karena masalah tersebut adalah mungkin kasus yang kebetulan bisa kita temui. Barangkali di luar masalah ini , masih bisa kita temukan kasus kasus yang lain yang sekali lagi menyangkut masalah kejujuran moral oknum pejabat dan lihainya konglomerat / pengusaha sukses yang bergelimang uang untuk membeli moral para okmum pejabat kita.

Masih dalam koridor perilaku para oknum pejabat kita diatas, sebagai anak bangsa kita bertambah menangsis pilu ketika mendengar laporan dari Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, yang telah menyerahkan data –data para makelar kasus di Komisi Pemberantasan Hukum lengkap dengan nama, tempat transaksi, kuitansi, tanda terima, alamat dan anak siapa ke Satgas Pembrantasan Hukum , Rabu 13 Januari 2010. Lebih lanjut Beliau juga melaporkan bahwa keterlibatan oknum pejabat di KPK tidak tanggung – tanggung dilakukan oleh jajaran aparat KPK dari mulai deputi hingga ke jajaran di bawahnya.

Lantas apabila kita menghaapi kondisi semacam ini bagaimana bisa tercipta iklim Supremasi Hukum yang kita damba-dambakan bersama. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa hukum adalah Lembaga Regulatif yang berfungsi multiguna dalam menciptakan kestabilan sosial, politik, ekonomi dan setiap unsur kehidupan lainnya yang bernaung dalam suatu kesatuan negara. Apabila hal ini telah nodai hanya untuk kepentingan
pribadi, maka tentu saja akan tumpul pranata hukum tersebut, yang pada giliranya akan melumpuhkan setiap dinamika Bangsa Indonesia di dalam perjalanan menuju era masa depan yang kita damba-dambakan.

Lumpuhnya sebuah negara besar, yang memiliki wlayah geografis dari Sabang hingga Merauke, yang memiliki pulau sebanyak 17.504 buah, memiliki luas wilayah ± 5. 250. 053 km 2 ( Wikipedia, 2004 ) dan
berpenduduk lebih dari 200 juta penduduk serta memiliki suku bangsa sejumlah 316 suku bangsa yang hidup saling berdampingan mesra, tentunya akan sama dengan lumpuhnya suatu Raksasa.

Bukankah dalam sejarah perkembangan bangsa ini selalu dihadapkan pada kebesaranya sejak jaman Majapahit hingga jaman Soekarno, yang disegani oleh bangsa- bangsa di Asia. Namun kebalikan dengan kenyataan yang aa di era sekarang, berdasarkan data yang diperleh dari survey Dirjen Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan melaporkan bahwa sebanyak 70 juta penduduk Indonesia tidak memiliki jamban. Kondisi ini bisa kita jadkan suatu barometer analisis sosial masyarakat kita, bahwa untuk kebutuhan yang vital saja kita masih jauh dari sejahtera.

Sementara itu para oknum pejabat baik tingkat mentri / mantan menteri hingga bupati dan walikota kepala daerah banyak yang terlah terbukti menggasak uang negara hingga milyaran rupiah. Tentu saja kesenjangan semacam ini akan menghambat hjubungan serasi antar klas sosial sebagai modal dasar untuk menyeragamkan sinergi dalam menggapai masa depan yang kita inginkan.

Namun marilah kita bersama mengambil tindakan yang sigap, bijak dan jernih dalam mengurai satu demi satu krisis multidimensional yang menghanyutkan kita hingga menjadi tertinggal jauh dibanding dengan negara-negara ASEAN lainnya. Kita beri kesempatan kepada setiap insttusi yang berwenang menyelesaikan permasalahnya secara porposional dan profesional, sehingga satu demi satu krisis yang ada tidak meluas hingga terjadinya social conflict yang parah. Sehingga perlahan lahan daun pohon nyiur yang berdiri di sepanjang garis pantai sejauh 54.700 Km akan melambai lagi. Kembali terdengar lagu merdu Rayuan Pulau Kelapa.

Rabu, 30 Desember 2009

MELIHAT PERANAN STRATEGIS GURU


Bermula dari membca Surat Pembaca pada Harian Umum Suara Merdeka pada tanggal 15 Desember 2009 lalu, yang ditulis Sdri Galih Annisa Hakiki Mahasiswa FMIPA Universita Negeri Jogjakarta, tentang himbauan kepada publik untuk lebih mengingat akan jasa guru, sebagai figur yang mampu menggantikan peran orang tua dikala peserta didik berada di sekolah dan tanggung jawab moral lainnya terhadap peserta didik. Timbulah inspirasi penulis untuk menggali lebih dalam lagi wacana tentang peran vital guru, tentunya terhadap kontribusi dalam Pembangunan Nasioanal kita.

Gambaran tentang peranan vital guru dalam ruang lingkup pembangunan nasional pernah digambarkan secara gamblang oleh team nara sumber pada Seminar Nasional Pendidikan Bernafas Agama dengan topic Reposisi dan Reorientasi Penddikan Bernafas Agama si Tengah Pluralitas, yang diselenggarakan di Semarang 13 Agustus 2003. Gambaran tersebut terungkap tatkala Kaisar Hirohita pada Tahun 1945 mendapat laporan dari para jenderalnya saat Nagasaki dan Hiroshima di jatuhi bom atom yang menewaskan ratusan ribu warga Jepang.

Mendengar laporan tersebut Kaisar Hirohito mmenyikapi dengan sedih dan pernyataan Belia yang pertama kali meluncur adalah menanyakan jumlah guru yang masih hidup, Beliau tidak memperdulikan jumlah tentara atau tenaga medis yang selamat. Hal ini tentu menyiratkan suatu fenomena, bahwa suatu bangsa boleh saja mengalami kejadian apa saja asalkan masih ada guru yang memiliki tugas moral yang luhur dalam meneruskan pembangunan nasional suatu bangsa.

Dengan demikian peran guru yang professional untuk memberikan kontribusinya pada pembangunan nasional ini sangatlah mendesak untuk direalisasikan mengingat peran guru dalam mempersiapka n peserta didik yang m,ampu berperan sebagai generasi yang terlibat aktif dalam pembangunan nasional nantinya. Hal ini didasarkan pada Tugas dan Petranan guru menurut UU Nomor 20 Tahun 2003 yang menjelaskan bahwa guru adalah tenaga pendidik, yang padanya melekat dimensi profesi mengajar dan mendidik.

Tugas mengajar seorang guru adalah berkaitan dengan profesionalisasi dalam ranah merancang, melaksanakan serta mengevaluasi pembelajaran yang bersumber pada kurikulum. Sedangkan mendidik erat kaitanya dengan meneruskan dan mengembangkan nilai – nilai hidup yang eksis di lingkungan masyarakat, bangsa dan negara. Dengan nilai –nilai hidup yang terkonsep jelas secara pedagogis inilah diharapkan akan tercetak generasi penerus yang mampu membawa bangsa kita pada tahapan yang lebih maju ketimbang sekarang.

Terlebih lagi fungsi guru yang harus mampu menanamkan sikap mental peserta didik yang nantinya mampu menjadi generasi yang memiliki nilai – nilai luhur yang dibutuhkan masyarakat sekelilingnya. Karena aspek karakter man behind the gun untuk generasi mendatang tidak kalah pentingnya dengan aspek kompetensi peserta didik menurut bidangnya masing – masing.

Namun pada kenyataannya Fungsi dan Peranan Guru yang strategis tersebut di tanah air kita masih jauh panggang dari api. Hal ini terbukti bahwa menurut survey yang dilakukan oleh Human Development Index melaporkan bahwa sebanyak 60 % guru SD, 40 % guru SMP, 43 % guru SMA dan 34 % guru SMK belum layak untuk mengajar di jenjangnya masing – masing, ditambah lagi bahwa sebanyak 17, 2 % guru atau sebanyak 69. 4 77 guru mengajar bukan di bidang studinya masing – masing. Bahkan lebih parah lagi kemampuan kompetensi Guru Indonesia menempati rangking ke 109 dari 179 negara yang disurvey.

Fenomena di ataspun makin bertambah mempriatinkan dengan kurangnya guru dalam menulis laporan ilmiah guna pengembangan profesionalnya. Hal ini terungkap dari pernyataan Kepala Lembaga Penjamin Mutu Pendidikan Jawa Tengah Slamet Tri Hartanto.

Dengan penulisan ilmiah maka guru mampu secara ilmiah mengatasi kendala-kendala pembelajaran yang diberikan kepada peserta didik. Disamping itu juga bila guru akan menerapkan metoda pembelajaran yang efektif, maka tentu penentuan itu harus dilandaskan pada PTK ( P enelitian Tindakan Kelas ).

Dengan kondisi dan realitas yang demikian mampukan peran guru bernila istrategis apalagi peranannya dalam kontribusi terhadap pembangunan nasonal yang kita harapkan. Kenyataan ini akan lebih pelik lagi bila kita melihat kesejahteraan guru yang tidak sepadan dengan tanggung jawab moralnya.

Beruntunglah untuk Guru PNS yang telah dinaikan kesejahteraanya pada jaman Pemerintahan Presiden Abdur Rahman Wakhid, namun siapakah yang akan memperdulikan nasib guru swasta yang menerima kesejahteraan hanya disesuaikan dengan jumlah jam mengajar per 4 kali hadir. Sungguh memilukan nasib guru swasta, maka wajar saja bahwa guru swasta ini tidak mampu mengembangkan kompetensinya, apalagi untuk memolesnya menjadi guru atau pendidik yang professional. Padahal aspek yang turut andil dalam mencetak generasi yang memadai, adalah kompetensi guru di bidang bahan ajar yan disodorkan kepada peserta didik.

Secercah harapan kini mulai tampak dengan dikeluarkannya program pelatihan professional guru, berdasarkan Undang Undang No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menyatakan bahwa guru sebagai agen pembelajaran adalah guru profesional dan harus memiliki standar akademik minimal S1 atau D IV. Guna merealisasikan pembenahan Sistim Pendidikan Nasional tersebut, Diknas telah membekali pendidik baik pendidik PNS maupun swasta untuk setiap jenjang dengan Pendidkan dan Latihan Profesi Guru ( P L P G ).

Dengan pembekalan professional guru tersebut, maka diharapkan guru mampu mengembangkan potensi profesionalisasinya, yang mencakup aspek pelayanan kemanusian ketimbang aspek pemenuhin kebutuhan pribadi, penguasaan bahan ajar yang mumpuni sebagai salah satu cirri guru dibanding individu lainnya dan memiliki wawasan intelktualitas yang memadai serta hak untuk memiliki standar kualifikasi yang dijamin oleh lembaga formal tertentu ( Chandler dan Sahertian 1994 : 27 ).,

Maka dengan pemenuhan aspek aspek tersebut di atas maka diharapkan guru mampu memegang memiliki kembali predikat sakral yang dikenal dengan digugu lan ditiru pada masa-masa mendatang sebagai suatu jaminan suksesnya sistem pendidikan yang kita miliki bersama.

Minggu, 06 Desember 2009

Pesta Tari Sintren

Suara kenong, gong , titil, kecapi dan kendang yang rancak telah membahana ke seluruh ruang pesta. Lenggak lenggok penari sintren serasi dengan luget suara kendang. Seluget teh poci yang dinikmati sebagian tamu, sambil berdendang dan mengangkat kedua tangan tinggi – tinggi

Sementara hanya terlihat hadirin bapak dan ibu yang rata – rata sudah setengah baya ikut juga larut dengan tabuhan gamelan itu. Meski tidak sehinga bingar solo organ yang kini lebih banyak diminati di panggung hiburan, terutama kawula muda yang bisa lepas berjoget dengan lagu – lagu kontemporer.

Sintren pernah eksis di tengah masyarakat Tegal bersama – sama dengan Wayang Golek Tegalan serta Rebana Tegalan ( Balo – balo, Terbang Kencer dan Terbang Jawa ). Kala itu sintren sering ditampilkan pada acara 17 Agustus, pesta perkawainan ataupun pesta khitanan atau pula kegiatan penting lainnya.

Berbeda dengan Wayang Golek , Sintren hanya didukung oleh sekitar 20 pemain, yang termasuk niyaga, sinden, dancer dan dalang yang memimpin segala sesuatu yang berhubungan dengan pentas Sintren. Bahkan lebih specifik lagi berhubungan dengan supranatural yang turut menyemarakan pentas Sintren.

Memang inilah sintren, sebuah bentuk budaya tegalan yang kini musnah di telan jaman. Sintren meski salah satu unsure budaya yang berasal dari Jawa Barat, dengan menu Cirebonan, dahulu memang banyak digandrungi masyarakat Tegal, baik tua, maupun muda bahkan mampu menjadi arena hiburan bagi anak – anak, yang kala itu belum terkontaminir berbagai media elektronik , seperti play station, dan televisi.

Ciri specifik Sintren dibanding dengan unsur budaya Tegalan lainnya, adalah unsur magis yang melekat kental pada kesenian ini. Meskipun fenomena ini sifatnya hanya subyektif belaka. Namun demikian rata – rata masyarakat Tegal meyakini fenomena ini. Betapa tidak, kesenian sintren diawali dengan tampilnya dancer, ke tengah panggung hiburan dengan pakaian casual melenggok – lenggok dengan gayangan pinggul gaya jaipongan.

Setelah cukup sudah goyang pinggul penari Sintren tersebut, dengan dibimbing sang dalang yang konon kabarnya seorang ahli spranatural, masuklah penari tersebut kedalam kurungan yang tertutup kain warna – warni dengan hiasan renda yang eksentrik bercorak tegalan, Setelah sebelumnya kurungan tersebut dipertontonkan kepada penonton, yang menyaksikan dengan jelas tiada sebuah bendapun berada di dalamnya. Besar kurungan tersebut tidak lebih hanya sebatas ukuran tubuh dengan posisi jongkok.

Selama sang Penari Sintren berada di dalam kurungan dilakukanlah acara ritual yang dipimpin langsung oleh Sang Dalang untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, agar selama berlangsungnya pentas kesenian Sintren mereka dan para penonton tidak mendapat halangan suatu apapun. Sementara itu selama berlangsungnya acara ritual suara gamelan masih etap membahana si tengah para penonton.

Penontonpun terus asyik menikmati rancaknya kendang Cirebonan, kadang mendayu kadang pula terdengar rancaknya kendang jaipongan. Hal ini jelas membuat para penonton mengabaikan apa yang terjadi dengan penari yang ada di dalam kurungan. Lantas bagaimana nasib penari dalam kurungan tadi ?, yang menurut legenda Tegalan syarat utama menjadi Penari Sintren adalah seorang bocah perempuan yang belum akil baligh ( belum mengalami menstruasi ).

Ditengah hingar bingarnya pesta Sintren tersebut, dengan selalu dibimbing Sang Dalang, keluarlah Penari Sintren dengan performan yang mencengangkan penonton. Kini jelaslah di depan mereka seorang wanita cantik dengan dandanan model tradisional dan menggunakan kacamata hitam sebagai ciri khas penari sintren.

Tentunya hal ini menimbulkan pertanyaan hingga sekarang, bagaimana Sang Penari Sintren bisa berdandan di dalam kurungan tersebut. Padahal sebelum dimulainya acara Pesta Tari Sintren semua penonton telah menyaksikan sendiri, bahwa tiada selembar kainpun yang ada di dalam kurungan tersebut. Barangkali kita bisa saja berpendapat, bahwa fenomena ini hanyalah trik belaka atau karena kekuatan magis belaka.


Namun fenomena tersebut hingga sekarang telah diabaikan begitu saja oleh masyarakat Tegal. Lantaran Sintren sebagai kekayaan Budaya Tegalan berusaha hanya mengetengahkan unsur dinamika budaya saja, bukan untuk mengedepankan Show of The Master. Hal ini
memang patut dimaklumi lantaran Budaya Tegalan, adalah budaya bentukan asimilasi antara budaya Sunda dan Jawa. Terlebih lebih Sintren adalah salah satu unsur budaya yang lahir dari Peradaban Timur, yang nota bene sarat dengan mistik. Sehingga dalam hal ini tidak ada yang patut dipersalahkan.

Yang patut digarisbawahi dengan Pesta Tari Sintren adalah salah satu kekayaan budaya yang lahir dari dinamika kehidupan Orang Pesisiran sebagai salah satu bentuk Social Multiculture yang terus mengalami social changes di tengah ratusan budaya lain yang hidup di Bumi Nusantara ini.